Raja mematung di tempatnya, mencoba menimang-nimang segalanya. Apabila dirinya menerima pemberian sang ayah, bukankah itu berarti dia menyerah untuk membuat pria itu membayar atas segala kesalahannya? Namun … menerima berarti bisa menolong dan membahagiakan istrinya.
“Apa Pak Raja tidak muak dengan kehidupan Pak Raja yang sekarang?” pancing Alexander.
Pandangan Raja terangkat, menatap Alexander dengan dingin. ”Kamu menghina kehidupanku sekarang?” Dia tahu dirinya miskin, tapi dia masih memiliki harga diri.
Alexander menggelengkan kepalanya. “Saya juga orang biasa, Pak. Dan, itu alasan saya tahu bahwa Bapak berada di posisi sulit saat ini.” Dia menatap Raja dalam-dalam. “Bapak mungkin merasa tidak rela begitu saja memaafkan Pak Banara, maka jangan maafkan beliau semudah itu.”
Ucapan Alexander membuat Raja tersentak. Bukankah pria ini berusaha membujuknya, lalu apa maksud ucapannya itu?
“Jangan maafkan beliau, tapi gunakanlah dirinya,” jelas Alexander. “Terimalah apa yang Pak Banara berikan secara cuma-cuma, lalu pikirkanlah keputusan ingin memaafkannya atau tidak di kemudian hari.” Pria itu mengulurkan sebuah kartu hitam ke arah Raja. “Yang terpenting sekarang adalah menggunakan apa yang bisa Bapak miliki untuk membalas mereka yang merendahkan Bapak dan mempersulit istri Bapak.”
Raja menurunkan pandangannya, menatap kartu hitam yang terulur ke arahnya. Dia sangat mengenali kartu hitam dengan pinggiran dilapisi emas itu. Bank dunia membuatkan kartu tersebut hanya untuk orang terkaya di Capitol, yang menunjukkan identitas orang tersebut sebagai pebisnis terkaya dunia, yakni sang ayah.
Alexander tahu apa yang ada di pikiran Raja, lalu dia pun menjelaskan, “Hanya dua orang di dunia yang sekarang memiliki kartu ini, Pak Banara … juga Pak Raja.” Pria itu meraih tangan Raja dan meletakkan kartu tersebut di atas telapak tuan mudanya itu. “Gunakan kartu ini untuk membuktikan identitas Pak Raja ke Prince group saat Bapak berkunjung. Aku juga akan menginfokan pada semua orang perihal identitas Bapak sebagai pemilik baru,” ucap Alexander dengan sebuah senyuman, terlihat yakin bahwa dirinya berhasil membujuk Raja.
“Tidak,” ucap Raja pada akhirnya, membuat ekspresi Alexander kembali ketakutan, mengira pria itu akan menolak. “Informasikan hanya pada para eksekutif, dan perintahkan mereka untuk menyembunyikan identitasku.” Tangan Raja tertutup, menerima kartu tersebut. “Aku ingin hidup tenang tanpa perlu menarik perhatian publik.”
Senyuman merekah di wajah Alexander, dan pria itu pun menganggukkan kepala dengan cepat. “Akan saya laksanakan sesuai perintah Bapak,” ucapnya.
Raja berbalik, berniat untuk masuk ke dalam rumahnya. Sebelum dia benar-benar pergi, pria itu berkata pada Alexander, “Aku menerima ini, tapi bukan berarti aku memaafkan ayah dan bersedia menemuinya.”
Mendengar itu, Alexander menganggukkan kepalanya. Dia juga tahu bahwa luka yang ditorehkan Banara Darmendhara terhadap putra sulungnya ini begitu dalam, dan kebencian itu perlu waktu untuk sembuh. Yang terpenting, pewaris tunggal yang asli akan kembali.
“Saya mengerti, Pak Raja,” balas Alexander dengan hormat. Namun, tidak lupa dia menambahkan, “Saya hanya berharap Bapak bisa segera menemui Pak Banara.” Wajah pria itu berubah sendu. “Kesehatan beliau semakin menurun dan sangat berharap bisa bertemu dengan Bapak secepatnya. Temuilah ayah Bapak sebelum terlambat.”
Raja mematung di tempatnya, wajahnya kentara terkejut. “Dia … sakit?”
“Ya,” jawab Alexander.
“Separah apa?”
Dengan sebuah senyuman tipis, Alexander membalas, “Saya rasa, Bapak bisa tanyakan hal itu kepada Pak Banara nanti lantaran saya tidak berhak berbicara terlalu banyak.” Pria tersebut membungkuk hormat, lalu berkata, “Karena saya telah menyampaikan pesan Pak Banara, saya pamit undur diri.”
Setelah kepergian Alexander, Raja masuk ke dalam rumahnya. Dia duduk di atas sofa sembari memikirkan masa lalu. Bagaimana sang ayah membuangnya, ancaman kematian dari istri kedua ayahnya, lalu pandangan mengejek dari saudara tirinya saat semua orang tidak ada yang percaya padanya. Pria itu menutup mata, berusaha melupakan kenangan pahit tersebut.
Dia masih perlu waktu untuk menerima sang ayah kembali.
Saat Raja sibuk memikirkan masa lalu, ponsel bututnya mendadak bergetar. Dia melihat layar dan mendapati sebuah pesan terpampang di sana. Ternyata pesan itu dari salah satu sahabat satu shiftnya di restoran.
[Raja! Aku melihat istrimu ada di restoran bersama keluarganya. Di sini ada pria yang kamu hajar tadi siang!]
Pesan itu dibarengi dengan sebuah foto yang memperlihatkan wajah Ayyara memasang wajah tidak nyaman selagi duduk di sebelah Marcel. Paman, bibi, sepupu, serta kakek Ayyara juga ada di sana.
“Apa-apaan ini?” Raja menatap layar ponselnya dingin.
Teman Raja kembali mengirim pesan.
[Aku mendengar istrimu meminta maaf pada pria itu atas kesalahan kamu tadi siang. Terus aku juga mendengar paman istrimu berusaha menjodohkannya dengan pria itu. Aku dengar kata-kata cerai! Cepat kemari dan selamatkan istrimu!]
Tubuh Raja bergetar akibat ledakan emosi hebat dalam dada. Rahangnya mengembang dan tanpa sadar tangannya terkepal sempurna.
“Beraninya kalian!” geram Raja, tidak mampu lagi menahan amarah dalam diri. Matanya melirik kartu yang ia letakkan di atas meja di hadapan. Dia meraih kartu tersebut, lalu berujar, “Raja Elvano Darmendhara sudah kembali, dan tidak akan lagi aku biarkan kalian menginjak-injak harga diriku juga istriku!”
Usai berkata demikian, Raja pergi begitu saja. Dia memutuskan pulang ke rumah besar Nugraha. “Sudah cukup mereka bermain-main dengan keluargaku. Waktunya sudah tiba. Aku akan menghukum semua musuh-musuhku,” gumam Raja sembari melangkahkan kakinya. Dua puluh menit kemudian, Raja tiba di rumah besar Nugraha. Dia menghampiri sang Kakek dan Ayyara yang menunggunya di ruang tengah. “Mas?” Mengerti tatapan sang istri yang mencemaskannya, Raja pun menanggapi, “Aku baik-baik saja, tidak ada luka sedikitpun di tubuhku.” Sementara, Nugraha masih mematung di tempat. Dia masih belum menyangka bahwa menantunya itu adalah putra Banara Darmendhara. “Aku sudah menyuruh Anton untuk menghukum semua orang yang berani mengganggu kebahagiaan kita, termasuk Shinta dan Kakaknya,” ucap Raja. Lalu menoleh ke arah Nugraha. “juga Marcel dan Ferdi.” Nugraha yang tidak mengerti pun bertanya, “Maksudnya?” “Sepuluh menit yang lalu Prince Group telah memutus kontrak kerja sama dengan perusahaan WNE Group.
“Malam ini juga Bagas harus menghadapiku!” seru Raja. “Aku juga akan menghukumnya!” sahut Nugraha yang tak kalah murkanya. Ayyara yang bediri di tengah-tengah mereka pun berkata, “Kakek belum sembuh total. Biarkan Mas Raja yang menanganinya.” “Tidak. Kakek mau ikut. Aku–” “Ara benar. Sebaiknya Kakek tidak perlu ikut,” potong Raja. “serahkan semua urusan ini kepadaku.” “Baiklah.” Nugraha berujung mengalah. Raja menoleh ke arah Anton, “Apakah kamu sudah merekamnya?” Anton mengangguk cepat, “Sudah, Pak.” “Kirimkan rekamannya kepadaku,” pinta Raja. *** Bagas mengetahui kalau Jamal dan teman-temannya tertangkap dan diadili. Namun, saat ini dia sama sekali tidak panik. Dia sudah memiliki rencana untuk mengantisipasinya. Bahkan di saat ini dia bermain dengan wanita jalang di sebuah kamar. Tanpa Bagas sadari, di luar sana Raja dan orang-orangnya berhasil melumpuhkan semua anak buahnya yang ditugaskan untuk menjaganya. BRAK! Bagas dan wanita jalangnya spontan menoleh ke arah pintu
“Berlatih menembak,” ucap Anton. Tubuh Jamal semakin begetar hebat, “Saya mohon, Pak. Jangan jadikan saya kelinci percobaan.” Jamal tampak begitu panik melihat tangan Anton mulai terangkat dan mengarahkan pistol ke arah apel yang berada di atasnya, “Saya akan jujur. Saya akan mengatakan siapa yang telah menyuruh saya.” Sudut bibir Anton terangkat, memang ini adalah rencananya untuk memaksa Jamal mengakui segalanya. “Saya janji,” ulang Jamal mencoba meyakinkan Anton. Jamal tak punya pilihan lain. Dia tidak bisa terus-menerus mempertahankan pendiriannya jika tidak ingin nyawanya yang melayang. “Penawaran yang sangat menarik. Tapi jika sekali saja kamu berbohong, aku tidak segan-segan membunuhmu!” seru Anton sambil menempelkan moncong pistol tepat di dahi Jamal. “bukan apel lagi, tapi peluruku akan menembus kepalamu!” “Ba-ik, Pak. Saya akan jujur.” Suara Jamal nyaris tak terdengar karena diselimuti rasa takut yang membesar. “Cepat katakan, Jamal! Jangan bertele-tele!” geram Anton.
“Halo, Pak Raja … Saya sudah berhasil menjalankan tugas dari Pak Raja,” ucap Anton di seberang telepon. Nugraha yang mendengarnya pun merasa terheran-heran. Raja yang sedari tadi mengintip di balik pintu, dia pun masuk kembali dan menghampiri Nugraha. “Lakukan sesuai rencana, Anton,” ucap Raja yang sudah berdiri di samping Nugraha. “Baik, Pak,” jawab Anton, dan setelahnya telepon terputus. Nugraha yang kebingungan pun menatap Raja dengan ekspresi yang begitu serius, “Siapa kamu?” “Aku suami Ayyara, menantu Kakek,” jawab Raja. “Jawab yang jujur. Siapa kamu sebenarnya?” tanya Nugraha. “Aku Raja Elvano Darmendhara. Putra Banara Darmendhara,” jawab Raja serius. “Kamu jangan bercanda.” Raut wajah Nugraha memerah. “Mas Raja nggak bohong, Kek,” sahut Ayyara yang muncul dari luar dan berjalan mendekat. “Mas Raja adalah putra Ayah Banara Darmendhara, pemilik Darmendhara Group.” Nugraha tercengang mendengarnya, tetapi dia masih menganggap Raja dan Ayyara telah berbohong. “Candaan ka
“Siapa kamu?” tanya Nugraha.Ayyara merasa heran dengan pertanyaan Nugraha, karena pria itu tak lain dan tak bukan adalah Raja. Dia takut sang Kakek lupa ingatan.“Apa Kakek saya baik-baik saja?” tanya Ayyara kepada si perawat yang sudah berdiri di sampingnya.Si perawat itu menatap Nugraha dengan senyuman ramah, “Maaf, Pak. Nama Bapak siapa?”“Nugraha.”“Dan mereka siapa?” Perawat itu menunjuk ke arah pasangan suami-istri.“Ayyara dan Raja, menantuku,” jawab Nugraha.Ayyara tersenyum, merasa tidak ada masalah dengan ingatan Nugraha. Sementara, perawat itu memeriksa keadaan sang Kakek secara keseluruhan.“Kepala Bapak terluka. Jadi jangan banyak bergerak dulu,” ucap perawat itu setelah selesai melakukan pemeriksaan.“Terima kasih,” balas Nugraha, dan perawat itu pergi dari ruangan setelah berpamitan.Usai kepergian si perawat, Nugraha menatap Raja yang berdiri di samping Ayyara.“Raja? Jujurlah kepada Kakek. Kenapa kamu bersama dengan Pak Anton waktu menyelamatkanku?” tanya Nugraha.“
Raja dan Anton segera masuk ke mobil. Hanya memerlukan waktu kurang dari 10 menit, mereka sudah sampai di sebuah aprtemen, tempat Nugraha dibawa.Raja langsung turun dari mobil, diikuti Anton dan anak buahnya.Sementara, di dalam apartemen Jamal dan teman-temannya tampak terlihat panik bukan main. Pasalnya mereka tahu kalau orang-orangnya Nugraha sedang menuju ke tempatnya.Tak ingin celaka, mereka pun menggunakan Nugraha sebagai tameng untuk menyelamatkan diri.BRAK!Sontak semua mata menoleh ke arah pintu yang di dobrak. Jamal pun langsung menempelkan pistol ke pelipis Nugraha yang terikat tak sadarkan diri di kursi.Raja yang melihat wajah Nugraha yang dipenuhi darah, seketika aura mengerikan begitu kental menguar dari dirinya.“Jangan berani mendekat! Atau kalian akan melihat Nugraha mati di tanganku!” ancam Jamal penuh mengintimidasi, walau dia sendiri sebenarnya agak gentar menghadapi Raja dan anton beserta anak buahnya.“Kamu telah melakukan kesalahan besar, Jamal!” seru Anton