Share

Bab 6. Bangkitnya Sang Pewaris

Raja mematung di tempatnya, mencoba menimang-nimang segalanya. Apabila dirinya menerima pemberian sang ayah, bukankah itu berarti dia menyerah untuk membuat pria itu membayar atas segala kesalahannya? Namun … menerima berarti bisa menolong dan membahagiakan istrinya.

“Apa Pak Raja tidak muak dengan kehidupan Pak Raja yang sekarang?” pancing Alexander.

Pandangan Raja terangkat, menatap Alexander dengan dingin. ”Kamu menghina kehidupanku sekarang?” Dia tahu dirinya miskin, tapi dia masih memiliki harga diri.

Alexander menggelengkan kepalanya. “Saya juga orang biasa, Pak. Dan, itu alasan saya tahu bahwa Bapak berada di posisi sulit saat ini.” Dia menatap Raja dalam-dalam. “Bapak mungkin merasa tidak rela begitu saja memaafkan Pak Banara, maka jangan maafkan beliau semudah itu.”

Ucapan Alexander membuat Raja tersentak. Bukankah pria ini berusaha membujuknya, lalu apa maksud ucapannya itu?

“Jangan maafkan beliau, tapi gunakanlah dirinya,” jelas Alexander. “Terimalah apa yang Pak Banara berikan secara cuma-cuma, lalu pikirkanlah keputusan ingin memaafkannya atau tidak di kemudian hari.” Pria itu mengulurkan sebuah kartu hitam ke arah Raja. “Yang terpenting sekarang adalah menggunakan apa yang bisa Bapak miliki untuk membalas mereka yang merendahkan Bapak dan mempersulit istri Bapak.”

Raja menurunkan pandangannya, menatap kartu hitam yang terulur ke arahnya. Dia sangat mengenali kartu hitam dengan pinggiran dilapisi emas itu. Bank dunia membuatkan kartu tersebut hanya untuk orang terkaya di Capitol, yang menunjukkan identitas orang tersebut sebagai pebisnis terkaya dunia, yakni sang ayah.

Alexander tahu apa yang ada di pikiran Raja, lalu dia pun menjelaskan, “Hanya dua orang di dunia yang sekarang memiliki kartu ini, Pak Banara … juga Pak Raja.” Pria itu meraih tangan Raja dan meletakkan kartu tersebut di atas telapak tuan mudanya itu. “Gunakan kartu ini untuk membuktikan identitas Pak Raja ke Prince group saat Bapak berkunjung. Aku juga akan menginfokan pada semua orang perihal identitas Bapak sebagai pemilik baru,” ucap Alexander dengan sebuah senyuman, terlihat yakin bahwa dirinya berhasil membujuk Raja.

“Tidak,” ucap Raja pada akhirnya, membuat ekspresi Alexander kembali ketakutan, mengira pria itu akan menolak. “Informasikan hanya pada para eksekutif, dan perintahkan mereka untuk menyembunyikan identitasku.” Tangan Raja tertutup, menerima kartu tersebut. “Aku ingin hidup tenang tanpa perlu menarik perhatian publik.” 

Senyuman merekah di wajah Alexander, dan pria itu pun menganggukkan kepala dengan cepat. “Akan saya laksanakan sesuai perintah Bapak,” ucapnya.

Raja berbalik, berniat untuk masuk ke dalam rumahnya. Sebelum dia benar-benar pergi, pria itu berkata pada Alexander, “Aku menerima ini, tapi bukan berarti aku memaafkan ayah dan bersedia menemuinya.”

Mendengar itu, Alexander menganggukkan kepalanya. Dia juga tahu bahwa luka yang ditorehkan Banara Darmendhara terhadap putra sulungnya ini begitu dalam, dan kebencian itu perlu waktu untuk sembuh. Yang terpenting, pewaris tunggal yang asli akan kembali. 

“Saya mengerti, Pak Raja,” balas Alexander dengan hormat. Namun, tidak lupa dia menambahkan, “Saya hanya berharap Bapak bisa segera menemui Pak Banara.” Wajah pria itu berubah sendu. “Kesehatan beliau semakin menurun dan sangat berharap bisa bertemu dengan Bapak secepatnya. Temuilah ayah Bapak sebelum terlambat.”

Raja mematung di tempatnya, wajahnya kentara terkejut. “Dia … sakit?”

“Ya,” jawab Alexander.

“Separah apa?”

Dengan sebuah senyuman tipis, Alexander membalas, “Saya rasa, Bapak bisa tanyakan hal itu kepada Pak Banara nanti lantaran saya tidak berhak berbicara terlalu banyak.” Pria tersebut membungkuk hormat, lalu berkata, “Karena saya telah menyampaikan pesan Pak Banara, saya pamit undur diri.”

Setelah kepergian Alexander, Raja masuk ke dalam rumahnya. Dia duduk di atas sofa sembari memikirkan masa lalu. Bagaimana sang ayah membuangnya, ancaman kematian dari istri kedua ayahnya, lalu pandangan mengejek dari saudara tirinya saat semua orang tidak ada yang percaya padanya. Pria itu menutup mata, berusaha melupakan kenangan pahit tersebut.

Dia masih perlu waktu untuk menerima sang ayah kembali.

Saat Raja sibuk memikirkan masa lalu, ponsel bututnya mendadak bergetar. Dia melihat layar dan mendapati sebuah pesan terpampang di sana. Ternyata pesan itu dari salah satu sahabat satu shiftnya di restoran.

[Raja! Aku melihat istrimu ada di restoran bersama keluarganya. Di sini ada pria yang kamu hajar tadi siang!] 

Pesan itu dibarengi dengan sebuah foto yang memperlihatkan wajah Ayyara memasang wajah tidak nyaman selagi duduk di sebelah Marcel. Paman, bibi, sepupu, serta kakek Ayyara juga ada di sana.

“Apa-apaan ini?” Raja menatap layar ponselnya dingin.

Teman Raja kembali mengirim pesan.

[Aku mendengar istrimu meminta maaf pada pria itu atas kesalahan kamu tadi siang. Terus aku juga mendengar paman istrimu berusaha menjodohkannya dengan pria itu. Aku dengar kata-kata cerai! Cepat kemari dan selamatkan istrimu!]

Tubuh Raja bergetar akibat ledakan emosi hebat dalam dada. Rahangnya mengembang dan tanpa sadar tangannya terkepal sempurna. 

“Beraninya kalian!” geram Raja, tidak mampu lagi menahan amarah dalam diri. Matanya melirik kartu yang ia letakkan di atas meja di hadapan. Dia meraih kartu tersebut, lalu berujar, “Raja Elvano Darmendhara sudah kembali, dan tidak akan lagi aku biarkan kalian menginjak-injak harga diriku juga istriku!”

Komen (68)
goodnovel comment avatar
Muzuardi Edy
kenapa harus di kunci kita buka internet aja udah bayar
goodnovel comment avatar
Edi Rafael
terlalu banyak kuncinya.kecewa abisdd
goodnovel comment avatar
Yusnan Hitam Kelabu
mahal bangat
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status