Share

CURHATAN DARI UDARA

Author: ArunaLys
last update Last Updated: 2025-06-25 11:28:46

Hari demi hari, “Menantu ON AIR” mulai tumbuh. Sekar mulai menerima berbagai cerita dari para pendengar. Ada yang dari Jawa, dari Madura, dari Sumatera.

“Mbak Sekar, mertua saya tiap pagi suka bilang: ‘Yehhh, engkok tak ngerti juga, dek. Anak lanang memang beda dari menantu!’ Rasanya pengen nangis aja, Mbak.” kata seseorang yang mengaku dari daerah Malang.

Sekar membaca pesan itu dengan suara pelan, “Yehhh, engkok tak ngerti juga, dek…,” dan tertawa kecil. Sekar sendiri pernah merasakannya dari Ibu Sri, yang setiap kali Sekar membuat sambel selalu berkata, “Yehhh… sambelmu beda rasanya, Sekar. Yang buat ibu itu, terasa ‘lebih rumah’.”

Sekarang radio ini radio lokal rasa nusantara. Sang pencurhat datang dari mana saja, mereka punya bahasa berbeda tapi dengan tujuan sama. Sekar yang tengah duduk tenang di balik mikrofonnya, tersenyum mendengar curahan hati sang penelpon dari Jawa.

Suara perempuan itu terdengar lirih, tetapi penuh kesantunan. Sekar menarik napas pelan sebelum menjawab, “Injih, Mbak… betul sekali, kalau di Jawa itu diajarkan untuk ‘njunjung dhuwur’, menghormati suami dan mertua penuh tata krama,” kata Sekar dengan nada lembut. “Banyak aturan, tetapi semua itu lahir dari niat baik, dari nilai ‘andhap asor’ yang dijunjung tinggi agar rumah tangga tetap tentram,” lanjut Sekar sambil tersenyum. “

Kados dawuhipun para sepuh, ‘Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana’, martabat seseorang memang terlihat dari ucapan dan tindak-tanduknya. Jadi kalau kita bisa tetap menjaga unggah-ungguh itu, Insya Allah, rumah tangga pun adem, penuh keberkahan,” ucap Sekar pelan, membuat suasana di ruang siaran terasa hangat dan penuh makna.

Setiap hari radio ini tak pernah sepi peminat. setelah beberapa menit mendengar curahan hati dari menantu Jawa, hari ini Sekar menyambut telepon seorang pendengar yang berada di Medan. Suara dari ujung telepon terdengar sedikit gugup, tetapi juga penuh kehangatan. Sekar memberi kesempatan bagi si penelepon untuk bercerita.

“Assalamualaikum, Mbak Sekar kenalkan, saya Sofia, asli Madura, tapi sudah tiga tahun ini menikah dengan suami dari Medan,” ujarnya memulai cerita

Sofia menarik napas panjang sebelum mulai bercerita panjang lebar. “Awalnya, memang tidak pernah terbayang kalau saya, seorang perempuan Madura, bisa berjodoh dengan lelaki dari Medan. Kita memang beda banget soal adat, soal kebiasaan sehari–hari, bahkan soal pola komunikasi. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus banyak belajar dan berdamai dengan perbedaan itu, terutama setelah menikah dan tinggal bersama mertua di Medan,” kata Sofia dengan suara pelan tetapi penuh makna.

Saat Sofia tumbuh dewasa di Madura, nilai-nilai yang dia pelajari dari kecil memang sangat tegas soal tata krama dan kesopanan. Dalam keluarga Madura, seorang perempuan diajarkan untuk sangat menghormati suami dan mertua. Ada ucapan-ucapan khas Madura yang terus dia ingat hingga hari ini, semisal “bhâsa é padhâ’â, lampah é padhâ’â” yang berarti bahasa dan tindak-tanduk harus dijaga sesuai dengan tempat dan siapa yang diajak bicara. “Saat berada di rumah Madura,” kata Sofia,

“Berbicara dengan nada tinggi itu sangat dihindari. Bahkan, ketika menjawab pertanyaan dari mertua, ucapan harus pelan dan penuh hormat. Ada semacam tata bahasa khusus yang digunakan untuk menghormati yang lebih tua, bahkan juga kepada suami.”

Saat menikah dan pindah ke Medan, Sofia merasakan perubahan yang signifikan dari pola komunikasi itu. “Di Medan, saya melihat bahwa komunikasi antar anggota keluarga memang jauh lebih terbuka dan santai,” kata Sofia sambil tertawa kecil.

“Saat pertama kali duduk bersama mertua dan ipar, saya sempat kaget karena mereka biasa berbicara dengan nada yang lebih tinggi dan tegas dibandingkan pola komunikasi di Madura. Awalnya, saya berpikir ‘Kok kasar, ya?’ tetapi ternyata bagi orang Medan itu bukan soal kasar atau tidak sopan. Itu memang bentuk komunikasi biasa bagi mereka. Mereka memang terbiasa bicara apa adanya, ‘to the point’, tidak berbelit-belit, tetapi bukan berarti tidak menghormati.” Selain soal komunikasi, soal tata krama juga beda jauh.

Sofia menjelaskan, “Saat di Madura, kalau makan bersama mertua, tempat duduk itu juga ada aturan tak tertulis. Mantu tidak duduk lebih tinggi dari mertua, tidak memulai makan sebelum mertua mulai makan, bahkan soal menu makanan juga diatur sesuai dengan selera yang lebih tua. Ada semacam hirarki yang memang dijaga dengan sangat ketat. Berbeda dengan di Medan, mertua saya justru berkata ‘Sudah, makan aja. Nggak usah sungkan-sungkan.’ Awalnya ini membuat saya bingung. Rasanya kalau belum mendapat izin dari yang lebih tua, belum ‘marem’ makan. Tapi dari waktu ke belum ‘marem’ makan—

—Tapi dari waktu ke waktu, saya mulai paham bahwa itu memang bentuk keakraban khas Medan. Mereka memang apa adanya dan tidak terlalu berpaku pada formalitas.”

Begitu juga soal kerja rumah dan pola hidup sehari–hari. “Saat di Madura, sebagai menantu perempuan, dari awal diajarkan untuk sigap membantu mertua. Ada nilai ‘nyekel pawon’, yang artinya siap masuk dapur, siap bantu masak, siap siapkan keperluan rumah dengan penuh kesopanan. Berbeda dengan di Medan, mertua saya justru berkata, ‘Kalau capek, nggak perlu masak, beli aja makanan dari luar juga nggak apa-apa. Yang penting semua senang dan tidak stres.’ Awalnya ini membuat saya terkejut, tetapi juga membuat saya merasa lega dan diterima apa adanya,” kata Sofia dengan nada lega.

Pertemuan Sofia, seorang perempuan keturunan Madura, dengan lelaki asal Medan dan keluarganya telah menjadi cermin indah bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk mencipta harmoni. Justru dari perbedaan itulah mereka belajar saling memahami, menerima, dan tumbuh bersama.

Sofia menemukan bahwa cinta sejati tidak selalu hadir dari kesamaan latar belakang, tetapi dari kesediaan untuk menjembatani jurang-jurang perbedaan dengan hati yang terbuka. Hubungannya dengan sang mertua, meski tak selalu mulus, perlahan terjalin oleh rasa hormat dan kasih yang tulus.

Hari itu, udara dipenuhi suara-suara hati dari berbagai penjuru Nusantara.

Satu per satu, telepon berdenting dan curahan hati mengalir tanpa sekat. Sekar duduk di balik mikrofon dengan hati yang hangat—ia bukan sekadar penyiar, tapi sahabat bagi para menantu yang tak selalu punya ruang untuk bersuara. Di balik siaran itu, ia merasa bangga karena telah menjadi tempat pulang bagi kisah-kisah yang tak sempat terucap di rumah. Menantu ON AIR bukan hanya program, tapi pelukan hangat bagi mereka yang butuh didengar.

Kini Sekar sadar, di balik suara dari seberang, tersimpan kerinduan untuk dimengerti dan keberanian untuk bertahan. menantu punya cerita, punya luka, dan punya harapan. Sekar menjadi jembatan bagi suara-suara itu untuk bersatu, saling menguatkan dalam frekuensi yang sama.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Undangan yang Tertahan di Ujung Lidah

    Malam itu, ruang tamu rumah sederhana Pak Slamet diselimuti temaram lampu minyak. Angin dari jendela bambu berdesir pelan, menyelipkan aroma tanah basah sisa hujan sore. Di kursi kayu tua yang sudah mulai keropos di beberapa sisinya, ia duduk termenung. Tangannya meraba-raba lipatan sarung, seolah mencari pegangan untuk keraguan yang tak juga menemukan ujung.Sejak sore, pikirannya penuh dengan satu perkara: siapa yang harus ia undang pada acara tasyakuran empat bulan kehamilan Sekar, menantunya. Acara itu sederhana saja—sekadar doa bersama, kenduri kecil, dan harapan yang dilangitkan untuk keselamatan ibu dan calon cucu. Namun bagi Pak Slamet, acara itu bukan sekadar doa; melainkan pernyataan kepada dunia kecilnya bahwa keluarganya tengah menunggu titipan suci dari langit.Ia melirik ke arah istrinya yang

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Rahasia yang Mengetuk Pintu Kembali

    Hari-hari Sekar terasa semakin indah. Wajahnya kian berseri, tubuhnya yang mungil menyimpan rahasia kehidupan baru yang tumbuh di dalam rahimnya. Kehamilannya sudah memasuki bulan keempat, dan setiap pagi ia merasa lebih bersemangat. Arya selalu setia mendampinginya, kadang terlalu protektif, tapi itu justru membuat Sekar tersenyum bahagia.“Sayang, jangan terlalu capek, ya. Aku yang angkat galon. Kamu cukup duduk manis,” kata Arya suatu pagi sambil bercanda, membuat Sekar terkekeh.Di ruang tengah, Bu Sri tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Sebagai seorang ibu dan calon nenek, ia merasa kebahagiaan itu perlu dirayakan.“Saya ingin buat tasyakuran kecil, Sekar. Biar ada doa bersama, tanda syukur atas kehamilanmu,” ucap Bu Sri sambil merapikan kerudungnya.Pak Slamet, ayah mertua Sekar, mengangguk setuju. “Ya, kita undang tetangga dekat saja. Sederhana, tapi penuh doa.”Sekar menyambut ide itu dengan hati hangat. “Terima kasih, Bu. Aku senang sekali.”Namun, di balik kegembiraan it

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Serial siaran

    Pagi itu, loteng rumah mertua diselimuti cahaya hangat matahari yang menembus jendela kecil. Sekar duduk di kursi kayu, menatap mikrofon, dan tersenyum tipis. Hatinya masih hangat dari siaran kemarin, dari keberanian Rina membagikan ketakutannya.“Tadi aku berbicara tentang keberanian menghadapi ketakutan,” bisik Sekar ke mikrofon. “Hari ini, kita akan membahas tentang keberanian dalam mencintai… bahkan saat kita tidak tahu harus berbuat apa.”Dering telepon studio memecah keheningan. Sekar menekan tombol terima, dan terdengar suara laki-laki muda, canggung namun penuh rasa ingin berbagi.“Halo… ini… ini saya, Bu Sekar. Nama saya Dito. Saya ayah baru… dan saya bingung. Anak saya baru tiga tahun, tapi saya… saya merasa sering salah. Saya tidak tahu cara mend

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Mentari Baru di Loteng

    Sekar membuka mata di pagi yang hangat. Sinar matahari menyelinap melalui tirai tipis kamar yang selama ini selalu terasa asing baginya, tapi kini terasa begitu ramah. Tubuhnya yang mulai membesar sedikit demi sedikit mengingatkannya bahwa ada kehidupan lain yang bergantung pada dirinya, kehidupan yang membuat hatinya berdebar sekaligus penuh syukur.Di dapur, terdengar suara piring bersentuh lembut. Bu Sri, mertuanya, sedang menyiapkan sarapan, wajahnya menampilkan ketenangan yang dulu jarang Sekar lihat. “Sekar, Sarapan sudah siap,” suaranya lembut, tanpa nada dingin seperti dulu.Sekar tersenyum, hatinya hangat. “Terima kasih, Bu. Aku… aku akan turun sebentar lagi.”Arya muncul di ambang pintu, rambutnya masih basah, tapi matanya berbinar. “Pagi, Sayang. Tidurmu nyenyak?” tan

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Menyulam Kasih dalam Diam

    Ia tersenyum tipis, air mata masih menetes. “Sekar telah mengajariku sesuatu yang berharga: kadang kita terlalu sibuk menjaga kehormatan atau tradisi, sampai lupa menjaga hati orang-orang yang kita cintai. Dan aku sadar… kasih sayang tak pernah salah, kelembutan tak pernah merusak, dan penyesalan yang disertai usaha untuk memperbaiki selalu membawa damai.”Dalam hening malam itu, Bu Sri menulis nasihat di buku hariannya, sebagai pengingat dan warisan untuk generasi mendatang:“Untuk setiap ibu mertua, ingatlah bahwa menantu adalah bagian dari keluarga yang harus dicintai, bukan diuji atau ditakuti. Untuk setiap anak menantu, pahamilah bahwa ketegasan orang tua atau mertua bukan selalu kebencian, tapi terkadang kekhawatiran yang tersamar. Bersabar

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Kutub Es yang Mencair

    Bu Sri duduk di ruang tamu, lampu temaram hanya menerangi secuil wajahnya yang mulai keriput, tapi matanya masih menyimpan ketegasan. Di tangannya, secangkir teh hangat yang baru ia seduh. Namun, rasa hangat dari minuman itu tak mampu menembus dingin yang selama ini ia rasakan terhadap menantunya.Malam itu, setelah percakapan panjang dengan Sekar, sesuatu di dalam diri Bu Sri mulai goyah. Sekar—yang selama ini selalu tampak patuh, penuh senyum sopan tapi jarang benar-benar terbuka—tiba-tiba menumpahkan semua rasa sakitnya, rasa takut, dan kegelisahan yang selama ini tertahan.Bu Sri menutup mata sejenak, mencoba menenangkan jantungnya sendiri. “Apakah selama ini aku terlalu keras padanya?” gumamnya pelan, seolah takut Sekar bisa mendengar.Ia mengingat kembali setiap teguran yang pernah ia lontarkan, setiap ko

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status