Hari demi hari, “Menantu ON AIR” mulai tumbuh. Sekar mulai menerima berbagai cerita dari para pendengar. Ada yang dari Jawa, dari Madura, dari Sumatera.
“Mbak Sekar, mertua saya tiap pagi suka bilang: ‘Yehhh, engkok tak ngerti juga, dek. Anak lanang memang beda dari menantu!’ Rasanya pengen nangis aja, Mbak.” kata seseorang yang mengaku dari daerah Malang. Sekar membaca pesan itu dengan suara pelan, “Yehhh, engkok tak ngerti juga, dek…,” dan tertawa kecil. Sekar sendiri pernah merasakannya dari Ibu Sri, yang setiap kali Sekar membuat sambel selalu berkata, “Yehhh… sambelmu beda rasanya, Sekar. Yang buat ibu itu, terasa ‘lebih rumah’.” Sekarang radio ini radio lokal rasa nusantara. Sang pencurhat datang dari mana saja, mereka punya bahasa berbeda tapi dengan tujuan sama. Sekar yang tengah duduk tenang di balik mikrofonnya, tersenyum mendengar curahan hati sang penelpon dari Jawa. Suara perempuan itu terdengar lirih, tetapi penuh kesantunan. Sekar menarik napas pelan sebelum menjawab, “Injih, Mbak… betul sekali, kalau di Jawa itu diajarkan untuk ‘njunjung dhuwur’, menghormati suami dan mertua penuh tata krama,” kata Sekar dengan nada lembut. “Banyak aturan, tetapi semua itu lahir dari niat baik, dari nilai ‘andhap asor’ yang dijunjung tinggi agar rumah tangga tetap tentram,” lanjut Sekar sambil tersenyum. “ Kados dawuhipun para sepuh, ‘Ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana’, martabat seseorang memang terlihat dari ucapan dan tindak-tanduknya. Jadi kalau kita bisa tetap menjaga unggah-ungguh itu, Insya Allah, rumah tangga pun adem, penuh keberkahan,” ucap Sekar pelan, membuat suasana di ruang siaran terasa hangat dan penuh makna. Setiap hari radio ini tak pernah sepi peminat. setelah beberapa menit mendengar curahan hati dari menantu Jawa, hari ini Sekar menyambut telepon seorang pendengar yang berada di Medan. Suara dari ujung telepon terdengar sedikit gugup, tetapi juga penuh kehangatan. Sekar memberi kesempatan bagi si penelepon untuk bercerita. “Assalamualaikum, Mbak Sekar kenalkan, saya Sofia, asli Madura, tapi sudah tiga tahun ini menikah dengan suami dari Medan,” ujarnya memulai cerita Sofia menarik napas panjang sebelum mulai bercerita panjang lebar. “Awalnya, memang tidak pernah terbayang kalau saya, seorang perempuan Madura, bisa berjodoh dengan lelaki dari Medan. Kita memang beda banget soal adat, soal kebiasaan sehari–hari, bahkan soal pola komunikasi. Ada banyak pengalaman yang membuat saya harus banyak belajar dan berdamai dengan perbedaan itu, terutama setelah menikah dan tinggal bersama mertua di Medan,” kata Sofia dengan suara pelan tetapi penuh makna. Saat Sofia tumbuh dewasa di Madura, nilai-nilai yang dia pelajari dari kecil memang sangat tegas soal tata krama dan kesopanan. Dalam keluarga Madura, seorang perempuan diajarkan untuk sangat menghormati suami dan mertua. Ada ucapan-ucapan khas Madura yang terus dia ingat hingga hari ini, semisal “bhâsa é padhâ’â, lampah é padhâ’â” yang berarti bahasa dan tindak-tanduk harus dijaga sesuai dengan tempat dan siapa yang diajak bicara. “Saat berada di rumah Madura,” kata Sofia, “Berbicara dengan nada tinggi itu sangat dihindari. Bahkan, ketika menjawab pertanyaan dari mertua, ucapan harus pelan dan penuh hormat. Ada semacam tata bahasa khusus yang digunakan untuk menghormati yang lebih tua, bahkan juga kepada suami.” Saat menikah dan pindah ke Medan, Sofia merasakan perubahan yang signifikan dari pola komunikasi itu. “Di Medan, saya melihat bahwa komunikasi antar anggota keluarga memang jauh lebih terbuka dan santai,” kata Sofia sambil tertawa kecil. “Saat pertama kali duduk bersama mertua dan ipar, saya sempat kaget karena mereka biasa berbicara dengan nada yang lebih tinggi dan tegas dibandingkan pola komunikasi di Madura. Awalnya, saya berpikir ‘Kok kasar, ya?’ tetapi ternyata bagi orang Medan itu bukan soal kasar atau tidak sopan. Itu memang bentuk komunikasi biasa bagi mereka. Mereka memang terbiasa bicara apa adanya, ‘to the point’, tidak berbelit-belit, tetapi bukan berarti tidak menghormati.” Selain soal komunikasi, soal tata krama juga beda jauh. Sofia menjelaskan, “Saat di Madura, kalau makan bersama mertua, tempat duduk itu juga ada aturan tak tertulis. Mantu tidak duduk lebih tinggi dari mertua, tidak memulai makan sebelum mertua mulai makan, bahkan soal menu makanan juga diatur sesuai dengan selera yang lebih tua. Ada semacam hirarki yang memang dijaga dengan sangat ketat. Berbeda dengan di Medan, mertua saya justru berkata ‘Sudah, makan aja. Nggak usah sungkan-sungkan.’ Awalnya ini membuat saya bingung. Rasanya kalau belum mendapat izin dari yang lebih tua, belum ‘marem’ makan. Tapi dari waktu ke belum ‘marem’ makan— —Tapi dari waktu ke waktu, saya mulai paham bahwa itu memang bentuk keakraban khas Medan. Mereka memang apa adanya dan tidak terlalu berpaku pada formalitas.” Begitu juga soal kerja rumah dan pola hidup sehari–hari. “Saat di Madura, sebagai menantu perempuan, dari awal diajarkan untuk sigap membantu mertua. Ada nilai ‘nyekel pawon’, yang artinya siap masuk dapur, siap bantu masak, siap siapkan keperluan rumah dengan penuh kesopanan. Berbeda dengan di Medan, mertua saya justru berkata, ‘Kalau capek, nggak perlu masak, beli aja makanan dari luar juga nggak apa-apa. Yang penting semua senang dan tidak stres.’ Awalnya ini membuat saya terkejut, tetapi juga membuat saya merasa lega dan diterima apa adanya,” kata Sofia dengan nada lega. Pertemuan Sofia, seorang perempuan keturunan Madura, dengan lelaki asal Medan dan keluarganya telah menjadi cermin indah bahwa perbedaan bukanlah penghalang untuk mencipta harmoni. Justru dari perbedaan itulah mereka belajar saling memahami, menerima, dan tumbuh bersama. Sofia menemukan bahwa cinta sejati tidak selalu hadir dari kesamaan latar belakang, tetapi dari kesediaan untuk menjembatani jurang-jurang perbedaan dengan hati yang terbuka. Hubungannya dengan sang mertua, meski tak selalu mulus, perlahan terjalin oleh rasa hormat dan kasih yang tulus. Hari itu, udara dipenuhi suara-suara hati dari berbagai penjuru Nusantara. Satu per satu, telepon berdenting dan curahan hati mengalir tanpa sekat. Sekar duduk di balik mikrofon dengan hati yang hangat—ia bukan sekadar penyiar, tapi sahabat bagi para menantu yang tak selalu punya ruang untuk bersuara. Di balik siaran itu, ia merasa bangga karena telah menjadi tempat pulang bagi kisah-kisah yang tak sempat terucap di rumah. Menantu ON AIR bukan hanya program, tapi pelukan hangat bagi mereka yang butuh didengar. Kini Sekar sadar, di balik suara dari seberang, tersimpan kerinduan untuk dimengerti dan keberanian untuk bertahan. menantu punya cerita, punya luka, dan punya harapan. Sekar menjadi jembatan bagi suara-suara itu untuk bersatu, saling menguatkan dalam frekuensi yang sama.Hari ini Menantu On Air sedang libur. Tapi jangan buru-buru mikir Sekar bisa leyeh-leyeh sambil sheet mask-an nonton drama Korea. Justru, saat mikrofon dimatikan, pekerjaan rumah hidup-hidup datang menagih janji: dari cucian baju yang melambai minta disentuh, sampai sapu lantai yang kayaknya udah ngegerundel di pojokan karena dicuekin.“Enak ya jadi ibu rumah tangga, di rumah terus…”Ucapan klasik dari umat yang belum tahu kerasnya hidup bareng ember cucian dan nyetrika baju suami sambil nahan lapar karena belum sempat sarapan.Sekar sering pengen bales,“Betul, di rumah terus... bareng cucian, kompor, dan setrikaan. Kita tim Hore Hore Habis Lelah.”Tapi yaudah lah, cuk
“Dia anak tunggal dari keluarga kaya. Ibunya udah meninggal lama, lima tahun sebelum aku masuk ke rumah mereka. Aku... anak yatim piatu. Jadi waktu nikah sama Rendi, aku ngerasa hidupku lengkap banget. Kami bahagia, punya anak kembar, laki-laki dan perempuan. Dunia tuh rasanya indah banget, Mbak…”Sekar bisa mendengar senyum yang terselip di balik sedihnya.“Lalu?” bisiknya.“Lalu… Rendi kecelakaan. Meninggal seketika. Aku masih dua puluh tahun. Anakku masih bayi.”Sekar menutup mulutnya, terkejut.“Ya Allah, Rania… aku ikut berduka. Kamu pasti kuat banget selama ini.”
Siaran radio Sekar perlahan menjadi buah bibir. Bukan di televisi, bukan pula lewat video viral seperti kebanyakan tren zaman ini, tapi justru dari frekuensi radio yang hampir terlupakan. Di tengah gempuran era digital, ketika semua berlomba-lomba menayangkan wajah dan kehidupannya ke layar-layar kaca mungil di genggaman tangan, Sekar memilih jalan sunyi: berbicara, bukan memperlihatkan.Aneh, tapi justru itulah yang disukai pendengarnya. “Menantu On Air”, begitu acara itu dikenal. Siaran yang hanya tayang dua kali seminggu—setiap hari Rabu dan Jumat, pukul sembilan pagi. Sebuah waktu yang tenang, ketika kota baru saja benar-benar terjaga dan para ibu rumah tangga sedang menyelesaikan pekerjaan terakhir sebelum duduk menyeruput teh atau kopi.Hari ini Jumat. Langit masih pucat ketika Sekar membuka jendela dan merasakan udar
Sudah setengah tahun Sekar tinggal di rumah mertua—rumah tua berlantai dua yang tampak kokoh dari luar, namun menyimpan banyak gema sunyi di dalamnya. Dari loteng kecil yang kini ia sulap menjadi ruang siaran, Sekar memulai acaranya. Ia hanya ingin menemani para pendengar dengan suara musik lawas dan obrolan ringan, tapi siapa sangka, dari mikrofon berdesis pelan itu, satu per satu rahasia keluarga mulai bermunculan.Sore itu, di tengah siarannya, sebuah panggilan masuk.“Halo, selamat malam. Anda bersama Sekar di Menantu On Air. Silakan, siapa di sana?” Suaranya ramah, senada dengan alunan instrumental di latar belakang.Terdengar jeda sebentar sebelum suara di ujung sana menjawab, lirih namun tajam menusuk.“Mbak Sekar... saya cuma mau bilang, rumah yang Mbak tempati sekarang… bukan milik ibu mertua Mbak.”Sekar tersentak. Jemarinya seketika berhenti memainkan fader mixer. Senyap. Bahkan musik latar seolah turut menahan napas.“Maaf...? Maksud Anda...?” tanyanya, berusaha menjaga na
TTak terasa, enam bulan telah berlalu sejak Sekar resmi menyandang gelar baru: menantu. Enam bulan yang diam-diam menggoreskan banyak rasa, mengajarkannya membaca diam, menyulam sabar, dan melipat kata-kata yang belum sempat terucap. Hari-harinya tak selalu terang, tapi juga belum tentu gelap. Ia belajar menyeimbangkan langkah di rumah yang tak dibangun dari ingatannya.Sore itu, sinar matahari mengintip malu lewat kisi-kisi jendela ruang tengah. Sekar tengah merapikan bantal kursi, menyapu debu yang menempel di kayu jati, ketika suara dari dapur memanggil namanya.“Sekar…”Suara Ibu mertua, berat dan berwibawa, seperti biasanya.Sekar menoleh, buru-buru menyeka keringat dari pelipisnya.“Ya, Bu. Ada apa?”Langkahnya pelan tapi pasti, menyusuri lorong yang kini mulai terasa tak asing, tapi belum bisa disebut rumah.“Ibu sedikit capek. Tolong ambilkan kursi jati dari loteng, ya? Ada tamu nanti sore. Sekar bisa, kan?”Sekar mengangguk, bibirnya tersenyum kecil meski sorot matanya menyi
Menantu yang Beradaptasi Itu Bernama SekarNamanya Sekar. Seorang perempuan muda yang baru saja menyandang gelar istri, sekaligus menantu. Tak lama setelah akad suci itu terucap, ia pun resmi menetap di rumah keluarga suaminya—rumah yang asing namun kini harus ia sebut "rumah".Hari-harinya dimulai dengan perasaan campur aduk: canggung, ragu, dan sedikit kikuk. Setiap sudut rumah itu menyimpan aturan tak tertulis yang belum sepenuhnya ia pahami. Ada kebiasaan yang berbeda, ritme yang tak sama, dan harapan-harapan halus yang menggantung di udara, menantinya untuk memahami, menyesuaikan, lalu menyatu.Namun Sekar bukan perempuan lemah. Di balik tatapan lembutnya, tersimpan tekad untuk belajar, menerima, dan tumbuh. Sebab ia tahu, menjadi bagian dari keluarga baru bukan soal diterima begitu saja—tapi juga tentang keberanian untuk memahami dan bersabar. Sore itu, selepas membereskan pekerjaan rumah yang seakan tak pernah habis, Sekar duduk di tepi ranjang dengan secangkir teh melati yan