Share

Menantu yang Beradaptasi

Author: ArunaLys
last update Last Updated: 2025-06-25 19:45:04

Menantu yang Beradaptasi Itu Bernama Sekar

Namanya Sekar. Seorang perempuan muda yang baru saja menyandang gelar istri, sekaligus menantu. Tak lama setelah akad suci itu terucap, ia pun resmi menetap di rumah keluarga suaminya—rumah yang asing namun kini harus ia sebut "rumah".

Hari-harinya dimulai dengan perasaan campur aduk: canggung, ragu, dan sedikit kikuk. Setiap sudut rumah itu menyimpan aturan tak tertulis yang belum sepenuhnya ia pahami. Ada kebiasaan yang berbeda, ritme yang tak sama, dan harapan-harapan halus yang menggantung di udara, menantinya untuk memahami, menyesuaikan, lalu menyatu.

Namun Sekar bukan perempuan lemah. Di balik tatapan lembutnya, tersimpan tekad untuk belajar, menerima, dan tumbuh. Sebab ia tahu, menjadi bagian dari keluarga baru bukan soal diterima begitu saja—tapi juga tentang keberanian untuk memahami dan bersabar.

Sore itu, selepas membereskan pekerjaan rumah yang seakan tak pernah habis, Sekar duduk di tepi ranjang dengan secangkir teh melati yang mulai mendingin. Angin senja menyusup dari celah jendela, membawa aroma tanah basah dan gema langkah waktu yang pelan-pelan mengendap ke dalam ingatannya.

ia menyandarkan punggung, matanya menatap langit-langit kamar yang kini menjadi miliknya—sebuah ruang kecil di rumah mertua yang masih asing, meski sudah ia isi dengan baju-bajunya dan segenggam harapan.

Dalam diamnya, Pikirannya mengembara, mengulik kembali perjalanan hati yang membawanya ke titik ini.

Hari pertama ia menginjakkan kaki di rumah itu—rumah yang dipenuhi wangi khas ibunya suaminya dan denting rutinitas yang belum ia kenal—hatinya digelayuti oleh rasa haru dan canggung yang tak bisa disembunyikan. Ada luka kecil karena perpisahan dengan ayah dan ibunya, dua jiwa yang selama ini menjadi rumah sejati baginya. Di sanalah tempat ia tumbuh, tertawa, menangis, dan merasa terlindungi. Kini, semuanya berubah.

Ia telah sah menjadi istri, telah memilih berjalan di samping pria yang juga menjadi satu-satunya harapan bagi orang tua yang menua. Pindah ke rumah mertua bukan sekadar keputusan praktis, melainkan sebuah bentuk pengabdian, sebuah jalan panjang yang harus ditempuh dengan kesabaran dan jiwa besar. Siapa lagi yang akan menjaga kedua orang tua itu kalau bukan anak semata wayang mereka?

Sekar menarik napas panjang saat itu, dalam dan pelan, seolah menghirup sekaligus menerima kenyataan yang telah digariskan Tuhan. Ia tahu, hidup bukan selalu tentang kenyamanan, tapi tentang bagaimana hati bertahan dan belajar mencinta dalam kondisi yang baru. Dalam detik itu, ia berjanji dalam hati—untuk tidak sekadar tinggal, tapi hadir. Untuk tidak hanya menjadi menantu, tapi menjadi bagian dari rumah ini, sepenuhnya.

Ibu mertuanya adalah sosok yang tak bisa diabaikan begitu saja—sebuah perpaduan antara ketegasan yang mengakar dan cinta yang tak pernah surut. Suaranya kerap terdengar di setiap sudut rumah, cerewet namun bukan tanpa alasan, menguliti setiap debu dan kekacauan sekecil apa pun dengan mata elangnya yang terlatih oleh tahun-tahun kesunyian dan pengabdian. Segala hal harus berada pada tempatnya—rapi, bersih, teratur. Baginya, kebahagiaan anak tunggal yang dibesarkannya dengan sepenuh jiwa bukanlah sesuatu yang bisa ditawar, tapi juga bukan alasan untuk memanjakannya. Ia mendidik dengan cinta yang berprinsip, melindungi dengan batas-batas yang tegas.

Sekar berdiri di ambang rumah itu, di antara bayangan masa lalu dan harapan masa depan. Sebuah koper kecil tergenggam di tangannya, berisi pakaian, dan lebih dari itu—berisi keberanian. Ia datang bukan sekadar sebagai tamu, tapi sebagai bagian dari kisah yang sedang ditulis ulang. Di dalam dadanya, berkecamuk tekad untuk memahami, untuk menerima, dan untuk bertumbuh—bersama keluarga yang kini juga adalah miliknya.

Suami Sekar bukan pria biasa—ia lelaki yang tumbuh dari akar tanah keras kehidupan, lalu mendaki perlahan-lahan, dengan tangan penuh peluh dan mata penuh impian. Kini, ia adalah pedagang sukses. Namanya harum di antara para relasi bisnis, dihormati bukan hanya karena pencapaiannya, tapi juga karena sikapnya yang ramah dan senyumnya yang tak pernah absen, bahkan saat dunia terasa berat.

Ia mencintai Sekar—itu pasti. Cinta yang dalam, meski tak selalu terdengar. Cinta yang teguh, meski tak selalu tampak dalam pelukan atau ucapan. Bagi lelaki itu, cinta adalah menyediakan atap yang kokoh dan dapur yang selalu berisi. Ia tumbuh sebagai anak tunggal, belajar dari ayahnya yang pensiunan tentara tentang disiplin dan kerja keras, dan dari ibunya yang perfeksionis tentang kerapian dan kehati-hatian. Maka tak heran, dalam setiap langkahnya, ia selalu berpikir panjang dan bertindak cepat.

Namun, di balik semua kekokohan itu, ada sesuatu yang tak pernah benar-benar ia pahami.

Suatu malam, saat bulan menggantung malu-malu di balik tirai awan, Sekar duduk di ruang tengah, tangannya membelai gelas teh yang sudah tak lagi hangat.

“Mas,” ucapnya pelan, hampir seperti bisikan angin. “Apa Mas pernah merasa... aku terlalu diam?”

Suaminya menoleh, mengangkat alis. “Diam? Kamu? Nggak juga. Kamu selalu cerita kok, tentang toko bunga, tentang makanan yang kamu suka itu…”

Sekar tersenyum kecil, tapi tak sampai ke matanya. “Aku cerita, iya. Tapi kadang, aku bukan mau didengar soal bunga, Mas. Kadang aku cuma… mau dipeluk.”

Ia terdiam. Matanya berpindah ke wajah istrinya yang menunduk, menatap meja, seolah ada rahasia yang mengendap di permukaannya.

Aku tahu Mas sayang aku,” lanjut Sekar lirih. “Tapi kadang, aku juga ingin Mas paham tanpa aku harus selalu bilang. Misalnya, ketika aku pulang capek, dan cuma butuh digenggam tanganku. Atau saat aku senyum tapi sebenarnya hatiku sedang remuk.”

Suaminya bergeming. Bukan karena tak peduli, tapi karena kata-kata itu menamparnya lembut—dengan kenyataan yang tak pernah ia sadari.

“Aku pikir,” katanya akhirnya, pelan dan jujur, “kalau aku kerja keras, kalau semua aman, kamu pasti bahagia. Aku nggak tahu kalau... ada bahagia lain yang aku lupa kasih.”

Sekar menatapnya, mata mereka bertemu. Dalam keheningan itu, ada rindu yang menggantung, bukan pada sosok, tapi pada pemahaman.

Lelaki itu mendekat, duduk di sampingnya, dan untuk pertama kalinya malam itu, tangannya meraih tangan Sekar. Ia genggam erat, seperti ingin berkata: Ajari aku lagi, caranya mencintaimu dengan cara yang kamu butuhkan.

Sekar menutup matanya, dan untuk kali pertama dalam waktu yang lama, hatinya hangat. Bukan karena janji-janji manis, tapi karena diam yang akhirnya dimengerti.

Hari-hari itu, Sekar menapakinya perlahan, seperti melangkah di atas jalan setapak yang asing dan berkerikil. Menjadi menantu di rumah besar itu ternyata bukan hanya tentang tinggal bersama, tetapi tentang belajar membaca tanda—terkadang bahkan sebelum tanda itu muncul.

Setiap pagi, ia bangun lebih awal dari matahari, menyiapkan sarapan yang berharap bisa disukai semua penghuni rumah. Tapi nyatanya, harapan itu sering kali runtuh dalam bisik-bisik yang terdengar cukup jelas untuk melukai.

"Sayurnya agak terlalu asin, sekar" ujar ibu mertuanya suatu pagi sambil mengaduk kuah sop dengan sendok logam. "Mungkin karena kamu belum terbiasa dengan lidah orang sini."

Sekar menunduk, mencoba tersenyum, meski sudut bibirnya terasa kaku.

“Iya, Bu. Maaf ya… Sekar masih belajar.”

Belajar—kata yang terus ia genggam erat, meski dalam hatinya, ia kadang ingin berseru: “Tapi aku juga manusia, Bu. Aku juga lelah.”

Suaminya, lelaki yang dulu ia kenal begitu penuh kasih, kini seolah tenggelam dalam deretan angka dan transaksi. Pulang malam, berangkat subuh. Ketika pulang, hanya sempat bertanya singkat:

"Sayang, gimana hari ini?"

Sekar akan menjawab, seperti biasa, dengan suara pelan, “Baik, Mas…”

Meski sebenarnya tidak selalu baik.

Meski sebenarnya tidak selalu baik.

Di balik pintu-pintu rumah itu, Sekar terus berusaha berdamai. Dengan suara-suara kecil yang tak dimaksudkan melukai, tetapi terasa menyentil hati. Dengan aturan-aturan yang tak tertulis, namun begitu kuat menghimpit.

Pernah suatu sore, ia menata bantal-bantal di ruang tamu, menambahkan sentuhan manis berupa vas bunga yang baru ia beli dari penjual keliling. Hatinya lega. Ruang itu kini tampak lebih hidup. Tapi tak lama kemudian, suara langkah-langkah ringan terdengar mendekat.

“Aduh, vas ini biasanya di pojok sana, bukan di tengah. Dan bantalnya... itu warnanya ditukar, ya? Yang merah selalu di kanan.”

Ibu mertuanya mengatur ulang semuanya tanpa marah, tapi juga tanpa senyum. Sekar hanya berdiri di sisi, menggenggam ujung bajunya.

“Oh... iya, Bu. Maaf... Sekar kira lebih enak dilihat begini.”

“Tak apa. Mungkin di rumahmu dulu seperti itu, ya? Tapi di sini… sudah dari dulu begini aturannya.”

Dan Sekar hanya bisa mengangguk, menelan keinginannya sendiri perlahan.

Malamnya, ketika ia dan suaminya duduk sebentar di ruang keluarga, ia mencoba membuka suara. Pelan.

“Mas, Sekar tadi mindahin bantal dan vas bunga. Tapi Ibu… ya, Ibu balikin lagi semua kayak biasa.”

Suaminya mengangguk, matanya masih menatap layar ponsel.

“Iya, namanya juga Ibu ya. Memang begitu orang tua. Kamu sabar aja, Sayang.”

Sabar.

Satu kata yang telah menjadi jubahnya setiap hari. Tapi siapa yang tahu bahwa jubah itu mulai berat, mulai lusuh, mulai meresap air mata diam-diam?

Namun tetap, setiap pagi ia kembali bangun, memasak, membersihkan, menata. Karena ia tahu, cinta bukan hanya tentang dicintai—tetapi tentang bertahan, bahkan ketika tak ada yang melihat perjuanganmu.

Sekar tak pernah mengeluh. Tidak ketika tangannya lelah merapikan rumah yang bukan miliknya, tidak ketika langkahnya terasa asing di lorong-lorong rumah yang belum sepenuhnya ia pahami. Namun, di sudut hatinya yang sunyi, tumbuh perlahan sebersit kesepian—bukan karena suaminya tidak mencintainya, bukan karena pelukan suaminya kurang hangat, tetapi karena pemahaman yang belum tiba. Adaptasi, baginya, bukan sekadar diam dan mengikuti; ia butuh dukungan, butuh sekeping pembelaan yang tak selalu harus diucapkan lantang, tetapi cukup terasa dalam sikap.

Suaminya memang pulang dengan senyum dan kantung belanjaan, dengan cerita-cerita pasar dan cium di kening. Tapi belum sekalipun ia bertanya, “Bagaimana perasaanmu hari ini?” Belum sekalipun matanya menangkap betapa rapuh Sekar berdiri di tengah pusaran aturan, mencoba menjahit makna rumah dari serpihan-serpihan baru yang belum ia hafal betul letaknya.

Seperti siang itu.

Sekar sedang berdiri di dapur, merapikan piring-piring setelah makan siang. Suara air mengalir dari kran, memecah sunyi yang melingkupinya. Bau sabun cuci piring bercampur dengan aroma sisa sayur asem yang masih hangat di panci. Ia baru saja mengusap piring terakhir ketika langkah ibu mertuanya terdengar mendekat. Langkah yang ringan, tapi selalu membawa banyak pesan.

Ibu Mertua berdiri di ambang dapur, kedua tangannya bersedekap di dada, pandangannya lurus ke arah Sekar.

Ibu Mertua:

“Sekar, tadi sayurnya agak asin, ya. Kalau bisa, besok-besok garamnya dikurangi sedikit. Ayahmu itu tidak suka yang terlalu asin.”

Sekar berhenti sejenak, lalu menoleh. Bibirnya melengkungkan senyum kecil—senyum yang sopan, tapi sedikit terlalu kaku. Ia mengangguk pelan.

Sekar (lembut):

“Baik, Bu… Sekar coba lain kali.”

Namun, dalam hati yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri, Sekar bergumam lirih:

"Aku hanya ingin mencoba menyenangkan semua orang di rumah ini, Bu. Tapi kenapa rasanya seperti selalu kurang tepat? Bahkan rasa garam pun bisa membuatku merasa asing…"

Ia menunduk, kembali ke sisa cucian piring yang belum selesai, sementara hatinya perlahan menumpuk satu demi satu rasa yang tak sempat dijelaskan. Tidak marah. Tidak kecewa. Hanya… ingin dimengerti.

Di luar dapur, angin sore menggeser tirai jendela. Dan Sekar, di tengah keributan kecil dapur dan hatinya sendiri, kembali belajar bahwa menjadi menantu bukan hanya soal tinggal serumah—tetapi juga tentang bagaimana membuat hatimu tak kehilangan arah di rumah yang bukan kamu bangun dari awal.

Senja mulai turun ketika suara langkah kaki suaminya terdengar di depan pintu. Sekar yang sedari tadi duduk termenung di ujung ranjang, menggenggam ujung kerudungnya yang mulai lemas. Hatinya berdebar, bukan karena marah, tapi karena begitu banyak kata yang selama ini hanya ia simpan sendiri.

Saat suaminya masuk dan menaruh tasnya di meja kecil, Sekar menarik napas pelan. Ia berdiri, melangkah mendekat, lalu memberanikan diri membuka suara dengan lirih namun tegas.

“Mas…” ucapnya, membuat sang suami menoleh dengan senyum kelelahan. “Sekar mau bicara sebentar.”

Tatapan itu masih hangat, tapi belum tentu mengerti. Sekar melanjutkan dengan suara yang sedikit bergetar, namun mata yang tetap lurus menatap.

“Sekar tahu… Sekar belum bisa sepenuhnya menyesuaikan diri dengan semua aturan di rumah ini. Sekar hormat sama Bapak dan Ibu, sangat hormat… Tapi Sekar juga manusia. Sekar juga butuh waktu. Sekar butuh dimengerti… dan butuh Mas, untuk berdiri di samping Sekar, bukan hanya di belakang Ibu.”

Hening menyelinap di antara mereka. Hanya suara kipas angin tua yang berputar malas di langit-langit kamar. Lalu, suaminya menarik napas panjang, tersenyum kecil—senyum yang entah menguatkan atau menghindar—dan menjawab dengan pelan,

“Sabar ya, Sekar… Ibu itu sebenarnya niatnya baik.”

Hati Sekar mengerut. Senyum itu manis, tapi terasa seperti pintu yang tak pernah benar-benar dibuka untuknya. Dan malam pun jatuh, meninggalkan kata-kata yang tak sepenuhnya sampai.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    MENANTU ON AIR

    Lampu “ON AIR” menyala merah di dinding studio yang pernah menjadi saksi tawa, tangis, dan setiap getar suara Sekar di masa lalu. Ruangan itu masih sama—bau karpet lama, aroma kopi yang menempel di meja mixer, dan pantulan cahaya jingga sore yang menembus kaca. Namun ada sesuatu yang berbeda kali ini: waktu.Sekar duduk di kursi siarannya, menatap mikrofon yang dulu menjadi sahabat setianya. Tangannya sedikit gemetar ketika memutar tombol volume. Di dadanya, debar yang sama kembali terasa—campuran antara gugup, rindu, dan tenang. Di layar monitor, nama program muncul perlahan:“Menantu On Air — Edisi Perpisahan”Ia menarik napas panjang, lalu menekan tombol record.

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Waktu yang Tak Pernah Kembali

    Langit sore itu berwarna jingga muda — warna yang dulu selalu membuat Sekar ingin berhenti sejenak dari hiruk pikuk hari, sekadar memandangi langit dan mengingat masa lalu. Di beranda rumahnya yang kini sunyi, ia duduk sendiri dengan secangkir teh melati, membuka sebuah buku harian berkulit cokelat tua yang sudutnya mulai mengelupas. Di halaman pertama tertulis dengan tinta pudar:“Hari ini Jinara tertawa untuk pertama kalinya.”— Sekar, 11 Mei 2009.Sekar tersenyum lirih. Ia masih bisa mengingat dengan jelas hari itu — tawa kecil Jinara yang pecah di antara tangis dan gumam bayi, tangan Arya yang memeluk mereka berdua, dan dirinya yang menangis karena

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Renungan Batin

    Sekar berkata:“Menjadi ibu ternyata bukan sekadar melahirkan.Tapi juga melahirkan ulang diriku sendiri — dengan sabar yang tak pernah aku tahu sebelumnya,dengan cinta yang tak pernah aku bayangkan bisa sedalam ini.Ada malam-malam di mana aku menangis dalam diam, bukan karena lelah, tapi karena haru:bagaimana mungkin tangan sekecil ini bisa menggenggam seluruh hatiku?Aku belajar bahwa menjadi ibu bukan tentang sempurna, tapi tentang hadir.Bukan tentang tahu semua jawaban, tapi berani mencari bersama anakmu.Setiap tangisnya mengajarkanku arti doa,

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Malam-Malam Pertama Jinara

    Malam itu, angin berhembus pelan di luar jendela. Di dalam kamar, Sekar duduk bersandar di kepala ranjang, rambutnya terurai berantakan, matanya sayu tapi hangat. Jinara meringkuk di pelukannya, menangis pelan karena lapar. Arya dengan sigap menyiapkan air hangat di dapur kecil mereka.Sekar tersenyum samar, meski tubuhnya masih terasa nyeri pasca melahirkan.“Dulu aku pikir jadi ibu itu cuma tentang cinta,” gumamnya lirih. “Ternyata cinta juga butuh tenaga dan air mata.”Arya datang membawa botol kecil, matanya setengah mengantuk tapi masih penuh perhatian.“Cinta juga butuh begadang,” jawabnya sambil tersenyum, mencoba bercanda.Sekar tertawa kecil, suara tawanya pelan tapi tulus — seperti cahaya kecil di tenga

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    EMPAT PERAN WANITA

    Malam turun perlahan, membawa udara sejuk dan wangi bunga kenanga dari halaman. Di teras rumah yang sederhana itu, lampu kuning menggantung lembut, menciptakan cahaya hangat di antara gelapnya langit.Sekar duduk di kursi rotan, mengenakan selimut tipis di bahunya. Di pangkuannya, segelas teh hangat mengepul. Di sampingnya, Bu Ambar, ibunya, duduk sambil mengusap pelan tangan putrinya — seperti dulu, ketika Sekar masih kecil dan sering takut tidur sendirian.Dari dalam rumah terdengar samar suara tawa pelan.Pak Surya sedang berbincang dengan Arya, membicarakan hal-hal kecil — pekerjaan, tanggung jawab, dan pengalaman menj

  • Menantu On Air : Siaran Rahasia dari rumah mertua    Ketemu Kakek dan Nenek

    Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar, jatuh lembut di wajah mungil Jinara Aryasatya yang masih meringkuk di pelukan ibunya. Sekar membuka matanya perlahan, masih setengah mengantuk, lalu tersenyum kecil melihat bayinya menggeliat pelan, menguap dengan suara kecil seperti desah burung.“Selamat pagi, Nak…” bisiknya lembut, mengelus rambut hitam halus di ubun-ubun Jinara.Tak lama, Arya masuk dari dapur, masih memakai kaus yang kusut dan rambut yang berdiri acak-acakan. Di tangannya, dua cangkir teh hangat mengepul.“Selamat pagi, dua cinta hatiku,” katanya, suaranya parau tapi lembut. Ia meletakkan teh di meja, lalu duduk di tepi ranjang, menatap Jinara dengan wajah campur kagum dan gugup.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status