“Annisa!!!” Zidane berteriak seperti orang kesetanan begitu sampai di rumah. Pria itu mencari istrinya ke setiap sudut rumah dengan perasaan campur aduk. Begitu melihat Annisa di dapur, ia langsung berlari dan memeluknya. “Kamu kenapa tumben pulang cepat?” tanya Annisa bingung begitu ia memisahkan diri dari pelukan Zidane. “Tangan kamu kenapa ini?” Zidane manatap tangan Annisa dengan penuh kekhawatiran begitu melihat tangan kanan Annisa yang penuh dengan luka gores. “Oh ini, tadi nggak sengaja kena duri mawar.” Tatapan Zidane kini beralih ke arah Vivi. “Mama nyuruh Annisa untuk melakukan ini semua kan? Iya kan? Jawab pertanyaan aku.” Vivi langsung memasang tampang masam. Kedua tangannya ia lipat di depan dada. “Istrimu yang ngadu ya? Mama cuma mau membantu Annisa semua nggak malas-malasan saja di kamar. Ternyata istri kamu ini adalah wanita yang lemah. Baru segini saja sudah mengeluh,” sindir Vivi. “Mama!!! Sudah berapa kali Zidane bilang kalau Annisa ini tidak boleh terlalu cap
Zidane sejenak tertegun sambil memandang ke arah jendela ruang kantornya. Waktu sudah hampir petang sebab eksistensi matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan. Sesekali ia mengembus napas kasar sebab memikirkan masalah yang tengah melanda perusahaannya. Suasana di ruangan kantor itu juga terasa sangat gelap dan sunyi, hanya terdengar denting jam dinding. Zidane sengaja tak menghidupkan lampu karena ia lebih senang berpikir dalam keadaan minim cahaya. Menurutnya itu bisa lebih membuat pikirannya rileks. Seperti yang diperintahkan oleh Zidane tadi, Rizky sudah menyuruh admin publishing untuk mengunggah sertifikat uji kelayakan produk milik perusahaan. Setelah sertifikat itu di-upload banyak pihak yang berkomentar dan komen negatif mulai sedikit terkikis. Untung saja mereka bertindak cepat, kalau tidak perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar. "Saya juga sudah menangani beberapa artikel buruk mengenai produk kita, Pak. Semuanya akan dihapus secara bertahap," terang Rizky
Zidane masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan. Ternyata isi amplop cokelat besar itu adalah dokumen penting yang tertera bahwa Annisa telah mengalirkan dana miliaran rupiah ke perusahaan Alfian. Zidane baru menyadari bahwa orang yang telah membeli saham perusahaan Alfian ketika perusahaan itu hampir bangkrut adalah Annisa."Bagaimana bisa aku nggak tahu Kia melakukan ini di belakangku?" gumam Zidane seraya mengembus napas lirih. Ia agak sedikit marah karena waktu itu ia sudah melarang Annisa melakukan itu sebab tak mau dianggap sebagai suami yang memanfaatkan kekayaan sang istri. Kedua mata Zidane masih fokus membaca isi dokumen secara runut. Dari mulai lembaran pertama hingga ke lembaran selanjutnya. Saking fokusnya ia tak menyadari jika sudah menghabiskan waktu hampir lima belas menit. "Astaga! Aku ke kamar 'kan niatnya mau cari obatnya Kia." Zidane menepuk keningnya pelan. Ia pun kembali memasukkan lembaran-lembaran itu ke amplop dan menaruhnya di tempat semula. Ama
Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Pukul 21.00 di Ibu Kota. Seorang wanita berhijab menepikan mobilnya di depan sebuah kafe buku. Beberapa karyawan yang terlihat sedang beres-beres untuk menutup kafe, langsung menyapa memberi salam hormat ketika melihat wanita itu. Karena sang wanita masuk ke dalam ruang kerja khusus, bisa diperkirakan kalau wanita tersebut adalah pemilik kafe. Tanpa disuruh, salah satu dari para pelayan langsung membuatkan secangkir cokelat hangat kesukaan sang majikan. Kemudian, pelayan itu menghampiri ke ruang kerja wanita tersebut selagi yang lain berpamitan untuk pulang. Tak lama, terdengar suara ketukan dari pintu ruang kerja. “Boleh aku masuk?” tanya seorang pria dengan suara rendahnya. Tazkia Annisa—wanita pemilik kafe itu—langsung mengangkat pandangan ke arah pintu ruang kerjanya, menatap bayangan pria yang terkesan familier. Tahu siapa tamu tak diundangnya, Annisa menjatuhkan pandangan kembali ke meja dan bersenandung singkat, “Hm.” Pintu ruang kerja Annisa pun terbu
"Jangan bercanda. Ini sungguh tidak lucu, Annisa!" Zidane memaksakan sebuah senyuman untuk terlukis di wajahnya. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, niatnya yang hendak pulang dia urungkan. 'Sungguh ada masalah besar yang sedang dihadapinya,' batin Zidane. Ia merasa Annisa mendadak menjadi gila.Dua pasang mata berwarna cokelat itu saling menatap satu sama lain, seolah sedang menyelami kedalaman pikiran masing-masing."Aku serius. Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Annisa.Pria tampan itu tertawa kecil. Kepalanya menggeleng pelan, menyangkal percakapan mengejutkan yang terlontar dari mulut majikannya.Pria normal mana yang mampu menolak pesona seorang Annisa? Dilihat dari segi mana pun, dia nampak sempurna.Cantik, berprestasi, walau berasal dari keluarga kaya, tetapi Annisa bukan tipe gadis yang suka berfoya-foya menghabiskan uang dan memanfaatkan jabatan orang tuanya untuk menindas orang lain.“Aku hanya pria miskin
Keesokan paginya, Annisa kembali ke rumah karena dia harus berganti pakaian sebelum berangkat ke kantor. Suasana hatinya sudah jauh lebih baik dari pada semalam. Meskipun, dia masih merasa malu atas keputusan bodohnya yang sudah melamar Zidane, padahal tak ada hubungan apa pun di antara mereka sebelumnya, kecuali atasan dan karyawan. "Tazkia Annisa! Dari mana saja kamu jam segini baru ingat pulang?" Annisa mendesah kasar saat mendengar suara bariton seorang pria yang sangat familiar menyapa telinga. Langkah kaki yang hendak menaiki anak tangga pun terpaksa terhenti, kemudian Annisa memutar tubuh untuk melihat orang yang baru saja memanggilnya. Iris mata gadis itu berubah menjadi dingin dengan seulas senyum miring menghiasi bibirnya. "Memangnya kenapa? Bukankah biasanya Papa gak pernah peduli dengan apa pun yang kulakukan?" jawab Annisa sinis. "Kenapa sekarang tiba-tiba ingin tahu aku prgi ke mana saja?" tanyanya la