Setelah mengetahui kebenaran kalau selama ini Annisalah yang membantu perusahaan ayahnya ketika hampir bangkut membuat Zidane semakin bersemangat untuk bekerja dan tidak boleh berleha-leha lagi. Zidane sangat berterimakasih kepada istrinya itu yang masih mau membantu perusahaan milik mertuanya meski Annisa belum mendapatkan restu sama sekali dari mereka. Cara satu-satunya yang bisa Zidane lakukan untuk membalas semua kebaikan istrinya meskipun tidak bisa semua kebaikan istrinya yang bisa ia balas adalah dengan memastikan pekerjaan di kantor bisa beres semua tanpa ada kesalahan sedikit pun. Zidane tidak boleh membebani Annisa lagi, istrinya itu belum cukup pulih benar. Selama kehamilan ini, keadaan Annisa selalu dipantau oleh dokter spesialis kandungannya. Dokter juga menyarankan Zidane untuk bisa menjadi suami siaga. Maka dari itu, sebisa mungkin ia tidak akan membawa pekerjaan ke rumah karena selama di rumah fokusnya harus penuh ke istrinya itu. Tumpukan berkas di meja Zidane dari
“Kamu pasti bohong, kan?” Zidane berusaha untuk tidak percaya dengan kebenaran itu. Namun, binar mata Rizky yang tidak berkedip sedikit pun itu menghancurkan pengharapannya. “Saya punya buktinya, Pak. Orang suruhan Pak Alfian telah mengaku kepada kita. Bahkan saya sudah memberikan sejumlah uang yang nominalnya lebih besar dari yang ia terima agar pria itu mau membuka mulutnya,” jelas Rizky sambil mengutak atik layar IPADnya kemudian memberikannya kepada Zidane untuk dilihat pria itu. Zidane menggebrak meja lagi. Darahnya berdesir. Dadanya terasa sakit seperti ada pisau yang menusuk di sana. “Apa motifnya?” tanya Zidane lagi. Tangan lebarnya meraup wajah kasarnya. Rambut tipis telah tumbuh di dagu dan kumisnya akibat ia belum punya waktu untuk mencukur. “Perusahaan Alfian ingin menekan perusahaan ini agar anjlok dan tunduk di bawah kekuasaan mereka. rencana mereka ingin membeli separuh saham milik kita. Maka dari itu mereka sengaja menciptakan rumor palsu tentang perusahaan ini.” Z
Pukul 21.00 di Ibu Kota. Seorang wanita berhijab menepikan mobilnya di depan sebuah kafe buku. Beberapa karyawan yang terlihat sedang beres-beres untuk menutup kafe, langsung menyapa memberi salam hormat ketika melihat wanita itu. Karena sang wanita masuk ke dalam ruang kerja khusus, bisa diperkirakan kalau wanita tersebut adalah pemilik kafe. Tanpa disuruh, salah satu dari para pelayan langsung membuatkan secangkir cokelat hangat kesukaan sang majikan. Kemudian, pelayan itu menghampiri ke ruang kerja wanita tersebut selagi yang lain berpamitan untuk pulang. Tak lama, terdengar suara ketukan dari pintu ruang kerja. “Boleh aku masuk?” tanya seorang pria dengan suara rendahnya. Tazkia Annisa—wanita pemilik kafe itu—langsung mengangkat pandangan ke arah pintu ruang kerjanya, menatap bayangan pria yang terkesan familier. Tahu siapa tamu tak diundangnya, Annisa menjatuhkan pandangan kembali ke meja dan bersenandung singkat, “Hm.” Pintu ruang kerja Annisa pun terbu
"Jangan bercanda. Ini sungguh tidak lucu, Annisa!" Zidane memaksakan sebuah senyuman untuk terlukis di wajahnya. Dia memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana, niatnya yang hendak pulang dia urungkan. 'Sungguh ada masalah besar yang sedang dihadapinya,' batin Zidane. Ia merasa Annisa mendadak menjadi gila.Dua pasang mata berwarna cokelat itu saling menatap satu sama lain, seolah sedang menyelami kedalaman pikiran masing-masing."Aku serius. Apa kamu mau menikah denganku?" tanya Annisa.Pria tampan itu tertawa kecil. Kepalanya menggeleng pelan, menyangkal percakapan mengejutkan yang terlontar dari mulut majikannya.Pria normal mana yang mampu menolak pesona seorang Annisa? Dilihat dari segi mana pun, dia nampak sempurna.Cantik, berprestasi, walau berasal dari keluarga kaya, tetapi Annisa bukan tipe gadis yang suka berfoya-foya menghabiskan uang dan memanfaatkan jabatan orang tuanya untuk menindas orang lain.“Aku hanya pria miskin
Keesokan paginya, Annisa kembali ke rumah karena dia harus berganti pakaian sebelum berangkat ke kantor. Suasana hatinya sudah jauh lebih baik dari pada semalam. Meskipun, dia masih merasa malu atas keputusan bodohnya yang sudah melamar Zidane, padahal tak ada hubungan apa pun di antara mereka sebelumnya, kecuali atasan dan karyawan. "Tazkia Annisa! Dari mana saja kamu jam segini baru ingat pulang?" Annisa mendesah kasar saat mendengar suara bariton seorang pria yang sangat familiar menyapa telinga. Langkah kaki yang hendak menaiki anak tangga pun terpaksa terhenti, kemudian Annisa memutar tubuh untuk melihat orang yang baru saja memanggilnya. Iris mata gadis itu berubah menjadi dingin dengan seulas senyum miring menghiasi bibirnya. "Memangnya kenapa? Bukankah biasanya Papa gak pernah peduli dengan apa pun yang kulakukan?" jawab Annisa sinis. "Kenapa sekarang tiba-tiba ingin tahu aku prgi ke mana saja?" tanyanya la
Annisa bersandar pada pintu kamar sambil memejamkan mata. Dia menghela napas panjang untuk menetralkan kembali perasaannya. Setelah merasa lebih baik, gadis itu langsung mengganti pakaian, kemudian bergegas pergi ke kantor.Mata Annisa menyipit begitu ia memasuki ruang kerjanya. Seketika pandangan gadis itu berubah menjadi datar dengan raut wajah yang menunjukkan rasa tidak senang melihat keberadaan Yogi di ruangannya."Sedang apa kamu di sini?" tanya Annisa, sinis. "Jangan bersikap kurang ajar dengan memasuki ruangan orang tanpa izin dari pemiliknya!" tegasnya lagi penuh penekanan.Tanpa memandang pria yang ia lewati, gadis itu berjalan menuju meja kerjanya, kemudian duduk di kursi putar kebesarannya tanpa menghiraukan keberadaan Yogi yang sejak tadi menunggu kedatangannya.Annisa mulai menyibukan diri memeriksa dokumen yang sudah menumpuk di atas mejanya, dengan tenang.Yogi tersenyum simpul. Dia nampak sangat tenang menghadapi ketidakpedulian An
"Papa ingin bertemu dengan pria itu," ucap Reza dengan suara rendah tetapi tegas.Alis Annisa saling berpaut memperlihatkan segurat garis halus di dahinya. Jelas terlihat bahwa gadis itu tidak paham dengan maksud perkataan papanya."Kamu bilang sudah memiliki kekasih 'kan? Ajak dia menemui Papa siang ini," ucap Reza lagi. Kali ini pria paruh baya itu memperjelas maksud perkataannya.Annisa melongo dan mengejapkan mata dua kali. Demi apa pun, dia tak menyangka hal ini akan terjadi. Tiba-tiba saja Reza ingin bertemu dengan pria yang Annisa cintai, padahal sebenarnya gadis itu sama sekali belum memiliki kekasih."Ma- maksud Papa-""Papa hanya ingin yang terbaik untukmu, Nisa. Papa ingin memastikan bahwa pria itu layak bersanding dengan putri Papa," ucap Reza, memotong perkataan Annisa.Annisa bergeming sambil menatap dalam-dalam mata tajam papanya yang sulit diartikan. Gadis itu mencoba menebak sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Reza.M
Kedua alis Annisa saling berpaut sehingga memperlihatkan segurat garis halus di keningnya. Tajam, iris matanya menatap wajah Zidane dengan sorot yang sulit diartikan."Aku ingin memberikan jawabannya hari ini. Apa kamu masih ingin mendengarnya sekarang?" tanya Zidane dengan suara rendah tetapi serius.Annisa bergeming selama beberapa detik dengan tidak mengalihkan pandangan dari pria yang duduk di depannya. Sekeras mungkin otaknya berusaha untuk menebak jawaban apa yang akan dikatakan oleh Zidane kepadanya.Mungkinkah pria itu akan menolak?Tidak!Annisa tidak akan menerima penolakan. Walau apa pun yang terjadi, Zidane harus mau membantunya kali ini. Mungkin, hal ini terdengar sangat egois, tetapi Annisa tidak peduli."Jadi, apa jawabanmu?" tanya Annisa. Meski dalam hatinya merasa gugup dan takut penolakan, tetapi gadis itu berusaha tetap terlihat tenang.Terdengar suara helaan napas panjang ke luar dari mulut Zidane. Pria berparas ta