Kini Saras membantu Gilang memakai kaos setelah selesai mandi.
Secara tidak sengaja, Gilang justru menyentuh tangan istrinya.Mendadak kepala Gilang berdenyut kemudian mendapat sebuah penglihatan atau gambaran tentang keadaan Saras yang tidak sadarkan diri di sebuah kamar hotel.'Apa ini?' tanya Gilang dalam hati.Ada seorang pria yang tidak dikenalnya, berada di dalam kamar yang sama dengan Saras.Gilang bingung dengan penglihatannya ini, karena biasanya forecast yang dia miliki tidak bisa melihat masa depan. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dialaminya.Bagaimana mungkin ia bisa melihat gambaran masa depan Saras dengan begitu jelas?Apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya di kamar hotel itu?Semua pertanyaan dari hasil penglihatannya ini menghantui pikirannya, membuat Gilang akhirnya tidak bisa tidur semalaman.'Bukan grafik? Kenapa tiba-tiba saja aku bisa melihat bagaimana keadaan di masa depan?' batin Gilang bertanya.'Tapi, kenapa Saras dengan pria lain? Siapa dia? Atau, itu adalah kekasihnya Saras?'Berbagai macam pertanyaan yang berhubungan dengan penglihatannya, tiba-tiba membuat Gilang penasaran.Dia berpikir bahwa pria tersebut adalah kekasih dari Saras. Akhirnya hingga malam sudah larut, bahkan hampir pagi, matanya belum juga terpejam.Gilang bergerak ke arah ranjang istrinya. Selama menikah, mereka berdua memang tidur satu kamar tapi berbeda tempat tidur. Jadi ada dua ranjang di kamar ini.Dengan intens, Gilang memandangi wajah Saras.Istrinya ini belum pernah disentuhnya sama sekali, sebagaimana seorang suami pada istri pada umumnya. Bukannya tidak mau atau tidak ada nafsu, tapi Gilang berpikir jika Saras akan keberatan dengan keinginannya sebagai seorang suami. Apalagi sandiwaranya yang belum bisa dibukanya pada siapapun.Gilang belum siap dengan terbongkarnya rahasia dirinya yang pura-pura bodoh.Dia juga belum yakin jika Saras mau menerimanya dengan tulus sebagai seorang suami yang sebenarnya, tanpa embel-embel terpaksa demi mamanya yang banyak hutang.Tangan Gilang ingin menyentuh wajah Saras, tapi ia kembali teringat dengan penglihatannya tadi, di saat menyentuh tangan istrinya.Dia mengurungkan niatnya karena ada ketakutan jika apa yang melintas di pikirannya kembali hadir."Hahhh ..."Gilang hanya bisa membuang nafas panjang, kemudian kembali ke tempat tidurnya sendiri. Setelahnya, ia berusaha keras untuk memejamkan mata agar bisa segera tidur. Mencoba untuk abai dengan segala sesuatu yang sedari tadi dipikirkannya.***"Mas. Mas Gilang di rumah baik-baik? Saras mau kerja dulu."Di pagi hari, Saras tampak sudah siap menuju kantor.Melihat itu, Gilang menganggukkan kepala mengiyakan–seperti biasa."Jangan buat mama marah lagi. Aku tidak mau kejadian kemarin terulang lagi!" nasehat Saras mengingatkan supaya suaminya tidak berulah.Seperti anak kecil, Gilang menggeleng-gelengkan kepalanya–menampilkan wajah tanpa dosa."Gilang gak salah, Saras. Gilang tidak rewel," katanya, membela diri."Iya, aku tahu. Makanya, tidak usah dekat-dekat dengan mama atau pacarnya itu! Nanti malam, aku ajak ke acara pesta temannya mama."Gilang memiringkan kepalanya saat mendengar perkataan Saras tentang pesta yang akan mereka hadirin nanti malam.'Pesta? Pesta apa, ya?' tanya Gilang dalam hati.Tapi sayangnya, Saras tidak melanjutkan penjelasannya sehingga Gilang tidak tahu apa yang dimaksud dengan pesta nanti malam. Tapi ia berpikir bahwa, kemungkinan besar ini ada hubungannya dengan penglihatannya semalam, saat dia menyentuh tangannya Saras.'Apa ini akan terjadi? Jika benar, aku akan mencegahnya!' tekad Gilang yang ingin merubah segala kemungkinan yang akan terjadi.Tak lama kemudian, Saras pergi ke kantor. Gilang sendiri masih berada di dalam kamar, melakukan aktivitasnya seperti biasa setelah pintu kamar dikunci dari dalam.Gilang memeriksa laporan Ryan, yang biasa diperiksa di jam-jam kantor agar Saras tidak mengetahui aktivitasnya yang sebenarnya.Setelah selesai, Gilang memberikan instruksi untuk Ryan melalui email balasan.Tok tok tok!"Gilang! Keluar, kamu!"Gilang terkejut saat pintu kamar diketuk dengan kasar, bersamaan dengan suara Diana yang memanggilnya.Dengan malas, ia pun membuka pintu setelah menutup email yang berhubungan dengan Ryan.Ceklek!"Dasar pemalas! Ayo kerja, sana!" bentak Diana memerintah."Apa, Ma?" tanya Gilang pura-pura tidak mengerti maksud mama mertuanya."Kerja apa kek, yang bisa menghasilkan uang! Mau ngemis, ngamen atau ngerampok sana! Bisanya tidur, makan saja. Enak banget kamu jadi suami anakku!"Diana mengomel tiada henti, mencerca menantunya."Kamu pikir, uang pemberian keluargamu yang 25 juta sebulan itu cukup untuk kehidupanmu di sini? Kurang banyak, tolol!" maki Diana lagi, dengan menunjuk ke dahi Gilang dengan geram.'Aku tahu, kamu menggunakan uang itu untuk keperluanmu sendiri. Kamu juga masih meminta uang kepada Saras untuk bersenang-senang dengan berondong tidak berguna itu!’ geram Gilang dalam hati. Tapi, ia sendiri belum bisa berbuat apa-apa.Ada sesuatu yang harus dilakukan untuk melindungi dirinya sendiri dari seseorang.Drrrt!Omelan Diana berhenti saat ponselnya berdering. Tampaknya, ada seseorang yang menghubunginya."Kamu, ngepel sana! Awas jika tidak bersih!" ancam Diana dengan melenggang pergi– lalu menerima panggilan telepon."Iya, Sayang. Aku masih ada di rumah, kok."Gilang menggelengkan kepala melihat kelakuan sang mertua. Terlebih, ia masih bisa mendengar suara Diana yang sedang berbicara dengan seseorang di seberang sana.Dia yakin jika yang sedang berbicara dengan mama mertuanya itu adalah Surya, kekasih muda Diana, yang sama jahatnya.Tapi, perasaan Gilang tidak enak. Dia ingin mengetahui pembicaraan mama mertuanya tersebut, karena sepertinya ada sesuatu yang dirasakan."Apa ini ada hubungannya dengan pesta nanti malam? Apa ada hubungannya juga dengan penglihatanku?" gumam Gilang bertanya pada diri sendiri.Untuk mengetahui semua jawabannya, akhirnya Gilang mengikuti mama mertuanya, tapi dengan berpura-pura mengambil alat pel. Dia akan mengepel lantai tak jauh dari tempat mama mertuanya berada, supaya bisa mendengar pembicaraan Diana melalui telepon."Iya, Sayang. Tenang saja, Saras sudah setuju kok!"Dan benar saja, Gilang kembali mendengar suara mamanya yang masih berbincang dengan Surya di telepon. Tapi, kali ini dengan menyebut nama istrinya.Jadi, mau tidak mau, Gilang harus mempertajam telinganya."Semua sudah diatur. Kamu tinggal bilang sama Mario untuk mempersiapkan diri. Saras pasti patuh sama aku, seperti biasanya."Mata Gilang menyipit. 'Apa maksudnya? Rencana apa?' tanyanya dalam hati.Gilang semakin yakin, jika apa yang direncanakan Diana ada hubungannya dengan penglihatannya semalam.Dia harus bisa melakukan sesuatu untuk mencegah kejadian yang ada di dalam penglihatannya.“Awas saja jika sampai Saras kenapa-kenapa!”Malam harinya, Saras tampak mempersiapkan diri untuk pergi ke acara makan malam.Dia sedang duduk menyisir rambutnya lagi, di depan cermin rias."Mas, Saras diajak mama sebentar," ucapnya menyadari Gilang yang hanya diam dan bengong melihat ke arah dirinya.Perempuan itu tak menyadari bahwa sebenarnya sang suami tengah meneliti lebih lanjut “penglihatannya”."Pergi? Ikuuutt ... aku ikuuutt, ya?"Akhirnya, Gilang mencoba untuk merengek agar diajak pergi. Dia merasa tidak tenang saat mendengar perkataan Saras, yang akan pergi karena ajakan mamanya.Saras terdiam sebentar memperhatikan suaminya.Karena wajah Gilang yang memelas, Saras tidak tega membiarkan Gilang sendirian di rumah. Akhirnya dia menganggukkan kepalanya."Aku, bicara sama mama dulu ya? Mas Gilang, ganti baju dulu!"Gilang cepat menganggukkan kepalanya saat Saras pamit. Dia harus bisa bersandiwara, supaya Saras tidak meninggalkan dirinya sendiri di rumah.Begitu juga dengan Saras.Dia harus bisa menyakinkan mamanya, agar b
Menyadari apa yang akan terjadi, Gilang cepat menggeser gelas-gelas yang berisi minuman jus sehingga gelas yang berisi obat tadi tertukar tanpa sepengetahuan waiters."Maaf, hehehe ..."Gilang, mengucapkan permintaan maafnya kepada waiters, dengan sikap yang aneh.Waiters hanya mengangguk tanpa peduli apapun kemudian pergi menuju meja Mario, lalu memberikan pesanannya.Dia tidak curiga jika gelas jus yang dibawa bukan gelas yang berisi obat, sedangkan yang jus bercampur dengan obat justru ada di nampan yang lain.Di tempat duduknya, Saras tampak gelisah.Dia sudah tidak nyaman ada di tempat pesta yang tidak jelas seperti ini, akhirnya mengajak sang suami pulang. "Mas Gilang, kita pulang sekarang, yuk!" ajaknya dengan berbisik.Diana, yang mendengar ajakan tersebut tentu saja marah. "Apa? Kita baru saja datang, kamu tidak punya sopan santun!""Benar kata mamamu, Saras. Kenapa terburu-buru? Acaranya baru saja dimulai," timpal Surya—mencari muka dengan dukungannya terhadap Diana."Jangan
Sehari setelah semua kekacauan yang terjadi malam itu, Diana merasa sangat malu untuk menghubungi Mario.Dia tidak punya keberanian untuk melanjutkan rencana perjodohan Saras dengan pengusaha muda tersebut.Sementara itu, di kantornya, Mario sedang marah. Tiba-tiba dia menggebrak meja kerjanya, membuat Surya yang saat ini berada di ruang kerjanya terkejut.Brakkk"Sialan! Benar-benar sial!" umpat Mario geram, "Semua rencana untuk Saras, sudah hancur!""Hm, maaf Mario. Tapi aku sudah mencoba untuk merayu Diana, dan katanya dia malu atas kejadian malam itu. Itulah sebabnya, dia ragu melanjutkan rencana yang kemarin." Surya, memberitahu alasan Diana.Mario terdiam sejenak untuk berpikir.Dia sudah terlanjur terpesona dengan kecantikan dan kemolekan Saras. Jadi, ia jelas masih menginginkan perempuan itu.Akhirnya, Mario meminta kepada Surya memberitahu Diana, untuk melanjutkan rencana mereka dengan imbalan yang lebih."Bilang sama pacar tuamu itu! Aku, akan memberikan uang 1 M. Ada satu
Mario duduk di meja kerjanya dengan ekspresi wajah yang tegang. Matanya membelalak saat ia melihat layar komputernya yang menampilkan grafik saham perusahaannya yang terus merosot. Alisnya mengernyit, dan ia menggigit bibirnya dengan gerakan kasar."Ini tidak mungkin! Bagaimana bisa saham kami jatuh seperti ini?" tanya pria itu kebingungan.Sambil memegang kepala dengan satu tangan, Mario mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di meja dengan keras, mencerminkan tingkat stres yang tinggi."Mengapa investor kehilangan kepercayaan pada kami?"Ekspresi wajah pria tersebut mencerminkan kekhawatiran dan kekecewaan yang mendalam karena dia menyadari bahwa situasi ini bisa menyebabkan kebangkrutan perusahaannya, yang telah dia bangun dengan susah payah."Saya telah bekerja keras untuk membangun perusahaan ini, dan sekarang semuanya hancur!"Tanpa sadar, Mario mulai mengepalkan tangannya kuat, hingga kuku-kuku jari tangan menancap di telapak tangan-membuat tetesan darah mulai menitik diatas meja kerj
"Sejauh ini kita sudah berhasil di planning B, Mas Gilang. Tinggal planning C dan itu tidak lama lagi."Ryan melaporkan hasil pertemuannya dengan Mario, bahwa pria tersebut sudah setuju menjual saham dan menerima investasi darinya.Sesuai dengan rencana, Ryan masuk ke perusahaan Mario sebagai investor.Semuanya sudah mereka planning-setelah dikuasai Gilang dengan bantuan Ryan, mereka akan membuat Mario hingga jatuh miskin dan tidak semena-mena lagi."Bagus. Tetap pantau secara langsung perkembangan yang ada. Jika ada sesuatu yang dia putuskan tanpa meminta pertimbangan darimu, beri peringatan!"Gilang memberikan jawaban dengan tegas. Saat ini mereka terhubung melalui telepon."Siap, Mas Gilang!" jawab Ryan patuh."Pokoknya buat dia semakin merasa tertekan dan tidak bisa bebas," ungkap Gilang, menginginkan kejatuhan Mario."Pasti! Sesuai dengan arahan Mas Gilang," tegas Ryan.Mereka berdua masih berbicara melalui telepon, membicarakan rencana selanjutnya."Terima kasih atas bantuannya,
"Ryan, lanjutkan planning selanjutnya!"Tegas, Gilang meminta Ryan untuk melanjutkan terencana mereka--terkait masalah Mario."Siap, Mas Gilang!" sahut Ryan dari seberang sana.Siang ini, Gilang menerima panggilan telepon dari Ryan di balkon kamarnya di lantai dua.Kebetulan mama mertuanya sedang pergi keluar rumah sehingga tidak ada orang yang mengawasinya."Pastikan dengan benar, bahwa harga saham perusahaan Mario benar-benar jatuh. Dan ingat, buat seperti tidak ada investor yang tertarik!"Lagi, Gilang memberikan instruksi terkait pekerjaan yang harus dilakukan Ryan."Semua sudah sesuai dengan planning, Mas Gilang. Tinggal menunggu saatnya tiba," ujar Ryan meyakinkan."Ya, aku percaya padamu."Setelahnya, Ryan memberikan laporan seperti biasa terbaik usaha yang dikelolanya."Satu jam yang lalu, sekretaris Mario juga sudah menghubungi saya, Mas Gilang. Dia berharap bisa bekerja sama denganku."Gilang tersenyum senang mendengar berita ini--rencananya akan segera terwujud!"Bagus, Rya
Ibra melihat adiknya yang terlihat sangat marah--membuatnya bingung."Gilang, apa yang terjadi? Kenapa kau terlihat begitu marah?" tanyanya--ingin tahu.Gilang tersenyum sinis mendengar pertanyaan tersebut."Oh, kau akhirnya datang kesini, Ibra. Aku marah karena selama ini kau telah menyakiti aku tanpa henti!"Mendengar jawaban dengan suara keras dan penuh amarah, membuatnya merasa bersalah."Maafkan aku, Gilang. Aku menyadari bahwa perbuatanku menyakitkanmu. Tapi aku hanya ingin melindungimu. Percayalah!"Tapi adiknya itu menggeleng cepat, tidak mau mendengarkan penjelasannya.Bahkan adiknya juga berkata dengan keras--mencerminkan emosio yang tidak bisa ditahan."Aku merasa diabaikan dan diacuhkan olehmu. Kau selalu berpikir hanya tentang dirimu sendiri dan tidak memperhatikan bagaimana aku!"Ibra ingin membela diri, tapi ternyata Gilang tidak mau mendengarkan penjelasannya."Aku menyesal sekali telah bersikap seperti itu. Sebagai kakak, seharusnya aku lebih perhatian terhadapmu.""H
Ibra mengusap wajahnya dengan kasar-ingat akan mimpinya lagi."Huhfff ... apa ini? Kenapa aku tidak bisa berkonsentrasi?" gumamnya bertanya.Setelah berpikir lagi, Pria sukses itu memutuskan menghubungi seseorang-seseorang yang dulu pernah dipekerjakan.Seseorang itu dimintai tolong untuk menjadi "eksekutor", menabrak Gilang lima tahun lalu!Dia ingin kembali menugaskan orang tersebut mulai mengawasi adiknya-lagi."Aku tidak mau mimpi itu jadi nyata "Ibra akan memantau gerak-gerik Gilang-yang bodoh!Semua karena kegelisahannya, berpikir bahwa mimpinya adalah sebuah petunjuk, bukan sekedar mimpi biasa saja."Ini seperti memberikan gambaran, bahwa selama ini Gilang hanya pura-pura saja."Menurutnya-bisa jadi, pada akhirnya Gilang merebut perusahaan yang dikuasainya saat ini!Padahal perusahaan ini bukan milik Ibra secara mutlak, karena sebenarnya perusahaan keluarga.Seharusnya dikelola bersama-sama dengan Gilang, tapi itu jika mereka berdua sudah sama-sama dewasa dan kondisi Gilang "no