Home / Urban / Menantu Tak Ternilai / Rapat Perusahaan

Share

Rapat Perusahaan

Author: Falisha Ashia
last update Last Updated: 2025-05-27 20:29:39

Waktu seminggu jelas adalah waktu yang singkat. Tetapi Bastian tidak takut sama sekali, dia sudah bisa mengira kekuatan yang dimiliki oleh Gilang dan dia yakin bisa mengalahkannya.

Bastian lalu melanjutkan langkahnya menuju ke kamar pribadinya untuk beristirahat.

Malam ini dia tidur dengan sangat nyenyak. Namun ketika dia bangun, badannya terasa sakit dan pegal semuanya. Ini adalah efek dari latihan kemarin yang benar-benar menguras tenaga.

Ingin sekali rasanya dia libur kerja hari ini, tetapi ketika dia akan tidur kembali setelah buang air kecil, Anastasia menghubunginya dan meminta dia untuk datang ke pabrik Jaya Sentosa.

"Apa gak bisa besok saja? Badanku sedang pegal-pegal semua," kata Bastian beralasan.

"Nggak bisa, ini harus kita bicarakan sekarang. Untuk masalah badannya yang pegal-pegal nanti akan aku pijit, tenang saja!" ucap Anastasia tidak memberikan satu kesempatan untuk Bastian memiliki alasan untuk tidak datang

"Ah, iya … iya … aku akan datang ke sana!" ucap Bastian.

Kem
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Menantu Tak Ternilai   Tidak Benar-benar Percaya

    Patrick menggigit bibir setelah panggilan Bernard terputus. Ia segera menghubungi Amber, menunda kencan pertama yang sudah direncanakan. Rasanya sial: rencana yang manis harus tertunda karena gangguan besar.“Halo, Amber,” sapanya saat sambungan tersambung. “Maaf, aku hampir sampai, tapi ada urusan mendesak. Aku harus putar balik dulu.”Amber panik. “Ada apa? Kamu tidak kecelakaan, kan? Atau banmu pecah?”“Tidak. Hanya ada masalah yang harus segera kuselesaikan. Daripada kepikiran waktu bertemu, lebih baik aku urus dulu.” Patrick berbohong tipis, menutup fakta: Bernard akan datang ke rumahnya.“Kalau begitu aku panggil montir saja, ya? Bisa ganti ban di situ.” Amber mencoba membantu.“Ide bagus. Maaf sudah janji menjemputmu, tunggu sebentar, aku akan segera kembali.” Setelah memutus, Patrick menyetel napas, memacu mobil ke arah rumah.Di jalan ia melajukan mobil, menerabas lampu merah; fokusnya hanya satu: sampai lebih dulu di rumah sebelum Bernard tiba. Di kepala berputar skenario ba

  • Menantu Tak Ternilai   Permainan Yang Berawal Dari Kebohongan

    Mereka tengah membicarakan Amber ketika pintu ruang kerja terbuka. Wanita itu muncul tergesa, belum berganti pakaian, namun sudah mengenakan make up. Wajahnya terlihat berseri, seolah menahan antusias yang tak bisa disembunyikan.“Ada apa lagi?” tanya Bastian heran. “Kau sudah dua kali ke sini hari ini.”Amber tersenyum canggung. “Hanya ingin memastikan kalau aku benar-benar diizinkan menemui Patrick.”Charlie dan Bastian saling pandang. Tatapan mereka berkata hal yang sama: ada sesuatu yang berubah dari Amber.“Tentu saja,” jawab Bastian akhirnya. “Kau sudah mendapat izin. Kenapa bertanya lagi?”Amber mengangkat bahu ringan. “Hanya ingin memastikan. Aku akan merasa lebih tenang kalau dengar langsung.”Ia tersenyum manis sebelum keluar ruangan.Begitu pintu tertutup, Bastian menarik napas panjang. “Sikapnya benar-benar aneh. Aku yakin dia menyembunyikan sesuatu.”Charlie mengangguk. “Apa aku perlu membuntutinya?”Bastian sempat ragu. “Kalau dia tahu, bisa-bisa marah.”“Lalu bagaimana

  • Menantu Tak Ternilai   Bayang Di Balik Janji

    ‘Siapa yang Amber telepon malam-malam begini?’ Hans berdiri di balik tembok, hanya terpisah beberapa jengkal darinya. Suara Amber terdengar jelas, lembut tapi serius.“Jam berapa kamu luang? Aku jemput,” suara laki-laki di seberang terdengar antusias. Hans langsung mengenalinya, Patrick.“Aku selalu luang kalau kamu yang ajak,” jawab Amber manja. “Makan siang atau makan malam?”“Siang, kalau kamu bisa. Tapi kalau tidak—”“Bisa,” potong Amber cepat. “Kamu kabari saja kalau sudah berangkat.”Hans menatap dinding di depannya, rahangnya mengeras. Ia tahu Amber sedang menjalankan rencana mendekati Patrick, tapi nada suaranya… terlalu lembut untuk sekadar misi.Patrick meminta Amber mengenakan gaun navy dan berdandan cantik. Amber terkekeh pelan, “Baiklah, aku akan tampil sempurna.”Hans mendecak pelan. ‘Belum juga dekat, sudah menuruti semua keinginannya. Kalau benar-benar jatuh hati, bisa gawat.’Ia sempat ingin menegur Amber, tapi urung. Jika ia bicara sekarang, Amber pasti tahu ia mengu

  • Menantu Tak Ternilai   Jejak Yang Tersisa

    Kabar tentang keluarga Dominic mulai beredar di antara orang-orang yang pernah mengenal Nico. Hans, yang kembali ke klub untuk mencari petunjuk, hanya disambut tawa sinis.Salah satu teman Nico mendengus. “Kami tahu keluarga Dominic sedang di ambang kehancuran.”Hans menatap mereka datar. “Jangan menelan gosip sebelum terbukti. Semua baik-baik saja.”Namun semakin ia menegaskan, semakin besar penolakan di wajah mereka. Nama Nico, utangnya, dan kepergiannya menjadi alasan kuat untuk tak mempercayai apa pun dari mulut Hans.“Benarkah?” tantang seorang pria berjaket kulit. “Kau pikir kami bodoh?”Hans mendekat perlahan, berdiri di hadapan mereka. “Aku tak punya waktu untuk berbohong. Percayalah atau tidak, urusan kalian.”Ia berbalik, siap pergi. “Nikmati malam kalian. Dunia kalian kecil, jangan tersesat di dalam gosip.”Nada suaranya tajam tapi tenang, meninggalkan kesan tak terbantahkan. Setelah itu, ia melangkah pergi tanpa menoleh.Begitu Hans menghilang, meja itu pecah dalam tawa.“

  • Menantu Tak Ternilai   Mencari Keberadaan Nico

    Dukungan Martin bukan sekadar angka; itu tanda bahwa garis kekuasaan mulai berpindah, dan orang-orang yang dulu setia pada Sectio perlahan berkumpul di bawah panji barunya. Di mata Bastian, itu bukan kemenangan sia-sia, itu amanah yang harus dijaga.“Ayo, makan lagi,” ajaknya ringan. Suasana yang tegang disuburkan dengan tawa kecil dan piring yang bergeser. Brigit menghidangkan kue, dan Bastian mencicipinya sejenak, menikmati rasa manis itu seperti memetik sejenak ketenangan di tengah badai yang menjelang.“Kau sangat mirip Sectio,” ujar Martin akhirnya, suaranya dipenuhi kekaguman jujur. Ia melihat bayangan pemimpin lama pada sosok muda di hadapannya, sifat yang tak mudah dipalsukan.“Karena aku anaknya,” Bastian menjawab santai, tetapi matanya menyimpan tekad baja. Puji itu membuatnya tenang; pengakuan itu seperti meneguhkan jalannya.Percakapan bergeser pelan ke topik berat. Charlie masih menyisakan kerut di dahinya, suara sinisnya kadang menusuk. “Sudah banyak yang melindungiku,”

  • Menantu Tak Ternilai   Bayangan Di Balik Kesetiaan

    Suasana malam di markas Bastian dipenuhi ketegangan. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma tanah basah yang menusuk hidung. Dari kejauhan, konvoi kendaraan berhenti di depan gerbang utama. Martin turun lebih dulu, ditemani sepuluh anak buah yang mengawalnya dengan sikap siaga.‘Jadi ini markas Bastian selama ini,’ batin Martin. Bangunannya megah, berdiri dengan struktur yang menunjukkan kekuasaan dan kehati-hatian. Ia mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan singkat.Aku sudah di depan. Cepatlah ke sini.Tak lama kemudian, Brigit muncul dari balik pintu gerbang. Ia berlari kecil mendekati ayahnya. “Kenapa Papa membawa pasukan sebanyak ini? Ini bukan medan perang.”Martin menatap ke arah pengawal yang berjajar di belakangnya. “Hanya berjaga-jaga. Aku tidak tahu seperti apa sambutan di sini.”Brigit menghela napas. “Baik. Tapi jangan sampai salah paham. Kalau Papa datang ke sini atas perintah Bernard, Bastian tidak akan segan membunuhmu.”Martin menggeleng cepat. “Aku tidak lagi di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status