Riosandi Gumilang, seorang pria berusia 26 tahun yang telah menyelesaikan pendidikannya namun sayangnya karena pandemi hingga detik ini ia belum memiliki pekerjaan tetap walau sudah ratusan lamaran ia masukkan ke berbagai perusahaan. Karena ingin membuktikan kepada orangtuanya bahwa ia bisa hidup mandiri tanpa sokongan dana dari keluarga, akhirnya ia mencoba bertahan hidup di kost yang telah ia tinggali sejak pertama kali berkuliah di Jogja. Kini, saat tawaran pekerjaan sebagai seorang supir mampir kepadanya, dengan mengesampingkan gengsi, ia mencoba menerimanya namun siapa sangka ia akan menjadi supir dari Tri Retno Wahani, janda tanpa anak berusia 39 tahun yang cantik, seksi bahkan sering membuat Rio panas dingin dan senam jantung hanya dengan menatapnya dari jauh.
View More“Begini nasib jadi bujangan, kemana mana asalkan suka, tiada orang yang melarang. Hati senang walaupun tak punya uang,” suara sumbang diiringi petikan gitar memecah kesunyian di pos 2 gunung Merbabu via Selo malam ini.
“Nyaring amat Lo nyanyinya, Ri?" Kata Juna sambil menikmati kopi hitamnya.
“Ya ginilah, Mas. Nasib pengangguran banyak acara alias pengacara kaya gue. Sudah hampir dua tahun gue lulus kuliah, tapi kagak dapat kerjaan terus.”
“Kenapa Lo nggak nyoba untuk buka persewaan alat-alat gunung. Lumayan koleksi Lo kalo di komersilin.”
Rio menghela nafasnya dan menatap Juna dengan pandangan malas.
“Tanpa Lo ngomong juga gue sudah buka dari jaman kuliah dulu. Kalo enggak gimana bisa gue mencukupi kebutuhan harian gue.”
Kini Juna menaruh cangkir kopi stainless steel-nya di tanah dan menatap Rio dengan tatapan penuh menganalisa. Riosandi Gumilang, sosok kaki-laki yang Juna kenal sejak masih berada di bangku kuliah semester 3 dan kini ia telah menyelesaikan pendidikan strata duanya dan mendapatkan gelar sarjana seni. Walau tidak tergolong lulusan cumlaude, Rio cukup berotak. Sayangnya jurusan yang Rio ambil tentu tidak dibutuhkan di perusahan miliknya sehingga Juna tidak bisa mengajak Rio untuk bergabung bersamanya. Padahal Rio juga masih memiliki tugas untuk menyelesaikan kuliah administrasi bisnis sesuai keinginan orangtuanya. Bahkan Juna cukup salut ketika melihat Rio bisa santai tanpa terlihat stress karena masalah tuntutan kelulusan di jurusan administrasi bisnis dari orangtuanya. Karena bagaimanapun kuliah di jurusan yang tidak sesuai dengan pilihan hati tentulah berat untuk dijalani.
“Asal job wedding sama prewedding lancar aja, Bro. Ingat ya, kerja itu nggak harus kantoran dan berdasi yang penting dompet Lo kagak pernah kempes," kata Prima pada Rio.
“Kempes nggak masalah selagi saldo di ATM nya nggak berseri kaya mas Juna,” kata Manda yang membuat Juna hanya tersenyum dan teman-teman pendakiannya kali ini tertawa cekikikan.
“Ya iya lah, kalo duitnya kempes kaya gue, gimana bisa ikutin gaya hidup Mbak Nada dan geng-nya? Bayangin tas yang ditenteng bininya mas Juna aja bisa buat beli rumah satu tipe 36 masih sisa dapat mobil sebiji,” Kata Rio disela sela tawanya.
“Gue doain bini Lo besok kaya raya, biar Lo tinggal ongkang-ongkang dirumah.”
“Aamiin,” kata Rio sambil mengelap mukanya dengan kedua tangan.
***
Walau sudah sering kali naik turun gunung dan tak terhitung jumlahnya sejak ia masih SMP tetap saja badan Rio remuk redam dan kakinya pegal-pegal setelah melakukan pendakian. Kalo ada yang bilang mendaki itu tidak membuat lelah dan tetap strong, tolong dicek saja, mungkin yang ia naiki adalah gunung kembar yang menggantung dengan sempurna dan indah di tubuh seorang wanita bukan gunung sungguhan.
Siang ini Rio turun dari Jeep Gladiator Rubicon milik Juna dengan wajah lesu dan yang ingin ia lakukan adalah tidur. Kini uang di dompetnya hanya tersisa gambar Kapitan Pattimura. Tentu saja itu tidak akan cukup untuk membeli sebungkus nasi angkringan.
“Thanks ya, Mas, Lo sudah mau antar gue sampai kost. Nggak mampir dulu, Mas?”
“Sama-sama. Nggak usah soalnya bini gue lagi pergi sama Mama. Kasian Papa jagain sikembar sendirian. Gue duluan ya? Bye.”
“Bye, Mas.”
Kini Rio berjalan menuju kamar kostnya yang berada di paling belakang bangunan kost dua lantai ini. Saat sampai di depan kamarnya ia melihat Mika, adik angkatannya di jurusan administrasi bisnis.
“Mas Rio,” sapa Mika ramah.
Rio hanya tersenyum. Ya, Mika adalah sosok perempuan incaran laki-laki di kampus karena cantik, seksi dan tentunya berasal dari affluent society. Berbeda dengan dirinya yang berasal dari middle class.
“Kok Lo bisa ada di kost gue siang-siang begini?” tanya Rio tanpa basa basi pada Mika.
“Iya, Mas. Sebenarnya pingin ngajakin nonton, Mas Rio, mau?”
Rio hanya tersenyum tipis, jangankan untuk nonton, yang di dompetnya saja tinggal seribu rupiah. Mungkin untuk makan nanti ia harus menyembelih celengan ayam miliknya.
“Sorry ya, Mik, bukannya gue nggak mau, tapi gue capek. Lagipula pengangguran kaya gue gini harus selektif ngeluarin duit.”
“Mas Rio kan masih belum wisida, jadi ya wajar belum dapat kerja.”
Rio paling malas menerangkan kepada orang lain bahwa ia sudah pernah diwisuda bahkan dua kali, sayangnya bukan di jurusan administrasi bisnis. Ia lebih memilih disebut mahasiswa abadi karena ia pernah mengambil cuti dua semester untuk menyelesaikan tesisnya.
“Mending Lo bantuin gue cari kerja aja. Nanti kalo gue sudah dapat gaji pertama, gue traktir nonton.”
Mika yang memang sudah naksir Rio sejak pertama kali bertemu dengannya tentu saja tersenyum bahagia mendengar perkataan Rio ini.
“Serius, Mas?”
“Iya.”
“Kriteria kerjaan yang Mas Rio cari itu apa aja? Coba sebutin?”
Pertanyaan yang bagi Rio sangat lucu dan itu membuatnya tersenyum sambil memandang Mika. Mika yang dipandang Rio seperti itu sudah panas dingin. Seorang Riosandi Gumilang menatapnya dengan senyum teduhnya, hmm, Mika jadi makin salah tingkah dibuatnya.
“Gue nggak punya kriteria harus apa. Selagi pekerjaan itu halal, tidak melanggar hukum dan gajinya cukup untuk bayar kost beserta makan harian aja sudah Alhamdulillah. Nggak perlu kantoran apalagi milih-milih kerjaan.”
“Berarti soal gaji nggak masalah nih kalo UMR?"
“Nggak masalah. Buat gue yang penting berpenghasilan.”
“Okay. Gue bantu Mas Rio cari kerjaan.”
Rio hanya menganggukkan kepalanya sebagai tanda persetujuan.
“Kalo gitu sekarang Lo bisa pulang dulu ya? Gue mau istirahat habis naik ke Merbabu soalnya.”
“Okay, Mas," jawab Mika singkat namun senyum tidak hilang dari wajahnya. Demi menjadi pacar Rio, ia rela menurunkan ego-nya. Apalagi Rio anak mapala, tentu saja perempuan manja mungkin tidak akan diliriknya.
Setelah itu Mika langsung tancap gas menggunakan Honda HRV putihnya untuk menuju ke salah satu Mall di Jogja. Seperti biasa ia akan kongkow bersama teman-temannya. Sepeninggal Mika, Rio memasuki kamarnya dan meletakkan tas gunung berukuran 80 liter itu di pojokan tembok. Ia langsung merebahkan dirinya di kasur dan tidur. Baginya, mendaki adalah cara untuk menghilangkan insomnia, pikiran yang melantur bahkan melupakan masalahnya dengan kedua orangtuanya. Kini Rio harus segera memikirkan, apakah ia rela di drop out dari kampus jurusan administrasi bisnis sebagai kampus pilihan orangtuanya atau tetap berpegang teguh pada prinsip dan pendiriannya bahwa ia akan tetap menjadi seorang fotografer dan bisa bekerja untuk majalah-majalah fashion suatu hari nanti. Sayangnya mata Rio sulit terpejam kali ini, apalagi jika memikirkan uangnya yang sudah sangat menipis untuk kebutuhan hidupnya ditambah seminggu lagi ia harus membayar kostnya. Tidak mungkin ia mau meminta kepada orangtuanya yang masih juga menyekolahkan sang adik di jurusan kedokteran. Tentu saja biaya pendidikan sang adik cukup besar dan Rio tidak tega memberatkan orangtuanya.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda seorang wanita cantik dengan tubuh sintal sedang menatap pemandangan butik batik miliknya. Dialah Tri Retno Wahani, seorang wanita berusia 39 tahun yang masih tetap cantik jelita dengan payudara berukuran 38B. Ia biasa di panggil Retno. Selama menjanda Retno termasuk wanita yang tetap memiliki gairah sex aktif. Ia tetap melakukan hubungan sex walau ia harus membeli para partnernya. Baginya belum ada yang mengalahkan keperkasaan seroang Ervin Aditya, salah satu mantan gigolo yang pernah ia sewa bahkan menjadi langganannya. Sayangnya ia tidak bisa memakai jasa Ervin lagi karena ia memilih meninggalkan profesi gelapnya ini setelah menikah dengan Kaluna Maharani Atmaji Putri. Wanita yang Ervin nikahi adalah mantan calon istri dari Handi yang tidak lain adalah mantan suami Retno sendiri. Retno menikahi Handi tentu saja karena ia mencintai Handi pada awalnya, namun kesibukan keduanya di bisnis mereka masing-masing membuat mereka sudah tidak memiliki waktu untuk satu sama lain. Ternyata itu membuat mereka mencari kepuasan di luar rumah. Tanpa perselisihan akhirnya mereka berdua sepakat bercerai setelah menikah hampir 6 tahun lamanya tanpa kehadiran anak. Ya, bagaimana Retno mau hamil jika Handi saja belum tentu sekali seminggu menyentuh serta menjamahnya.
Kini pandangan Retno terfokus pada dua orang wanita yang tidak asing baginya. Dialah istri Wisnuaji Widiatmaja dan sang menantu, Nada. Mereka berada di butik Retno tentu saja karena butik milik Retno adalah salah satu butik terbaik yang menyediakan motif batik lengkap dari seluruh Nusantara. Sebagai seorang owner yang baik, Retno menghampiri Nada dan Samira.
“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu," tanya Retno ramah.
Walau Nada tidak menyukai Retno karena ia pernah mencoba merusak rumah tangga sepupunya bahkan pernah mencoba genit kepada sang Papa mertua ketika ia masih menduda, namun tetap saja Nada berusaha ramah di hadapan Retno. Apalagi ada sang ibu mertua disini. Jangan sampai ia mencoreng nama baik keluarga Widiatmaja.
“Siang Mbak Retno, saya sama Mama mau nyari setelan batik nih buat keluarga. Butuh 5 biji ya yang dewasa. Buat Mama, Papa, Eyang, aku sama suami."
“Okay, kalo begitu biar dibantu sama karyawan saya ya?”
Nada dan Samira hanya menganggukkan kepalanya. Kini Retno memangil karyawannya dan meminta mereka melayani Nada serta Samira. Retno langsung pamit untuk menuju ke ruang kerjanya. Disana ia segera mengecek design yang akan dipilih untuk dibawa sebagai contoh bagi para buyers dari Jepang. Ia memilih contoh mana saja yang akan dibawa. Andai ia boleh mengeluh, sebenarnya dirinya merasakan lelah setelah sang supir mengajukan pengunduran diri tiga bulan lalu karena di diagnosa mengidap jantung koroner. Ditubuhnya bahkan sudah terpasang ring sebanyak dua cincin. Sejak kesehatan sang supir terganggu dan ia mengajukan pengunduran diri, praktis Retno menyupir sendiri kemana-mana tanpa bantuan orang lain.
“Nasib, nasib, gini amat hidup aku. Apa sih yang aku kejar? Buat siapa aku kerja keras sampai seperti ini?” Kata Retno dalam hati sambil menatap berbagai contoh kain batik di depan meja kerjanya.
Hampir satu jam Retno berada di dalam ruang kerja dan ia akhirnya keluar. Ketika ia keluar, matanya masih menangkap dua sosok wanita cantik yaitu Samira dan Nada yang masih sibuk dengan aktivitas mereka berbelanja batik. Retno memilih jalan ke halaman samping butik dan duduk disana seorang diri. Beberapa saat ia duduk disana, ia mendengar suara wanita sibuk bertelepon ria di dekat kamar mandi dan ia masih bisa mendengar obrolan wanita tersebut.
“Tumben Lo Inget gue, ada apaan? Sudah pulang Lo dari Merbabu sama suami gue?”
“…”
“Cariin Lo kerja?”
“…”
“Lo lulusan strata dua seni. Masih belum juga Lo calon sarjana administrasi bisnis, kok bisa Lo sampai begini? Jadi model ajalah, Lo kan lumayan tu ganteng ada darah luarnya kaya laki gue.”
“…”
Retno hanya tersenyum mendengar obrolan Nada ditelepon. Mungkin dirinya tidak seberuntung kebanyakan wanita diluar sana yang memiliki suami setia dan sudi menemani dalam segala kondisi. Merasa bahwa dirinya sudah cukup hari ini berada di butik, ia memilih bangkit berdiri dan segera menuju ke halaman depan, tempat mobilnya berada.
Saat perjalanan pulang kerumah, sang keponakan yang bernama Mika meneleponnya dan memintanya untuk datang ke rumah orangtuanya.
“Ada apa, Mik sampai kamu telepon Tante?”
“Disuruh Eyang mampir ke rumah.”
Retno hanya menghela nafas dan menatap jalan didepannya yang sedang macet dengan pandangan malas.
“Tumben nyariin Tante, ada apa dirumah?”
“Nggak tau, Tan. Aku aja lagi mau on the way ke rumah Eyang.”
“Kamu dari mana?”
“Kost gebetan tadi, terus diusir secara halus, akhirnya aku terdampar di Mall sama anak-anak tapi sayangnya baru asyik ngobrol, Kanjeng Eyang telepon. Ya sudah aku cabut, daripada dicoret dari daftar ahli waris," kata Mika yang membuat Retno tertawa. Memang keluarga mereka berasal dari affluent society.
Retno cukup mengetahui bagaimana pergaulan keponakannya yang satu itu. Ia tidak buta dan cukup tau bahwa sang keponakan terbilang memiliki pegaulan yang bebas. Hampir setiap weekend ia habiskan keluar masuk club' malam. Belum lagi hoby shopping dan menghambur hamburkan uang. Mungkin itu adalah efek karena ia kesepian di rumah, orangtuanya cukup sibuk dengan pekerjaan mereka. Apalagi sejak lahir hingga menyelesaikan bangku SMA-nya sang keponakan berada di kota metropolitan.
“Mik," panggil Retno.
“Ya, Tan?”
“Jangan terlalu memaksakan sesuatu. Kalo dia nggak bisa meluangkan waktunya untuk kamu, tandanya kamu nggak special dan berarti untuk dia."
“Duh, Tante Retno, kita ini cuma senasib beda status di KTP doang. Aku sama Tante sama-sama berharap segera dihalalin. Ya sudah ya, Tan, ini dah hijau lampunya. Aku matiin ya teleponnya. Bye.”
“Bye.”
Setelah menutup teleponnya Retno kembali fokus pada kemudinya dan melajukan mobilnya kearah Condong Catur tempat rumah orangtuanya berada. Saat sampai disana ia sudah melihat HR-V putih milik Mika ada di halaman. Ia segera turun dan memasuki rumah. Retno memasuki rumah orangtuanya yang sudah ia tempat sejak lahir. Kini ia harus menahan tawa ketika mendengar orangtuanya sedang menasehati sang cucu yang bagi Mika adalah sebuah omelan.
“Mikhaila Ameera Violeta, sudah berapa kali Eyang bilang sama kamu, kalo kamu harus segera lulus biar bisa bantu Papa dan Mama kamu di perusahaan?"
“Aku bantuin Tante Retno aja. Lebih enak di butik daripada di kantor.”
“Kamu itu kuliahnya apa? Kok mau bantuin Tante Retno.”
Retno melihat Mika menghela nafas dan terlihat sudah hampir kehilangan kesabaran.
“Jaman sekarang itu nggak harus kok kerja sesuai dengan jurusannya, Eyang.”
Kedua Eyang Mika yang melihat sang Anak datang langsung bangkit berdiri dan meninggalkan Mika untuk menyambut anak perempuannya. Anak perempuannya yang masih betah menjanda selama beberapa tahun ini. Walau mereka sering mendengar selentingan tentang kelakuan Retno di luar rumah yang suka jajan gigolo, namun mereka mengesampingkannya. Mereka belum mau mempercayai hal tersebut sebelum melihat dengan mata kepalanya sendiri.
***
Setelah merasa cukup menikmati pemandangan gunung Prau yang indah ini, akhirnya Rio dan teman-temannya memutuskan untuk membongkar tenda dan segera turun ke bawah. Saat turun, Rio berada di paling belakang dengan Retno yang ada di depannya.Jika semalam yang terlihat di sisi kanan kiri Retno adalah gelapnya malam, maka kini semua terlihat jelas. Pemandangan siang hari yang cerah dengan teriknya sinar matahari adalah teman perjalananya kali ini. Di depannya ada Prima yang sedang mendengarkan lagu dari handphonenya. Retno baru menyadari satu hal, jika ia lebih cepat lelah ketika naik semalam daripada pagi ini. Karena kali ini mereka baru beristirahat ketika telah sampai di pos tiga."Jangan lama-lama dong, soalnya anak-anak gue sudah nunggu di basecamp," kata Nada sambil mulai membuka botol minumnya.Retno melihat Nada sambil tersenyum. Retno tau dan mempercayai jika Tuhan itu adil, namun kenapa dirinya tidak bisa memiliki kehidupan seperti Nada. Kehidupan rumah tangga yang adem tentrem
Retno duduk di depan tenda sambil melihat pemandangan gunung Sumbing dan Sindoro yang ada di hadapannya. Kedua gunung yang tampak indah dan mirip dengan salah satu gambar di logo air mineral. Seumur hidupnya ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di gunung. Riuh suara dari para pendaki menghiasi pagi buta ini. Bahkan saat ia menoleh ke sisi sebelah samping tampak Manda yang sedang men-setting kamera DSLR miliknya."Lo ngapain sih, Man?" Tanya Prima sambil mulai duduk di sebelahnya."Lagi setting kamera. Pingin jualan hasil foto. Siapa tau aja jadi cuan.""Jual diri lebih cepat laku, Man," kata Prima santai setelah itu ia menyeruput coklat panasnya.Plak.....Manda menepuk bahu Prima yang membuat minuman di tangan Prima tumpah sedikit."Segawon tenan, wedangku tumpah iki*." (*Beneran anjing, minumanku tumpah ini)"Lambemu koyo ora tau di sekolahin*." (*Bibirmu seperti tidak pernah disekolahkan.)Mendengar perdebatan Manda dan Prima, Retno hanya bisa tersenyum kecil. Sungguh be
"Kita istirahat di sini dulu, 5 menit," kata Juna ketika mereka sampai di pos dua yang disebut canggal walangan. Retno mengikuti semua yang memilih duduk dan menyelonjorkan kakinya."Gimana, Tante, capek nggak?" Tanya Rio ketika ia mulai duduk di sebelah Retno sambil menyelonjorkan kakinyaRetno menoleh dan tersenyum. Baru pertama kalinya Retno melihat laki-laki yang seharusnya jauh dari tipenya tapi justru sanggup membuatnya merasa nyaman. Kali ini Rio terlihat berkeringat, kucel karena debu yang menempel pada wajahnya."Cukup menyenangkan juga. Btw, Tante doang ini yang nggak bawa cerrier?""Nggak pa-pa, semua logistik Tante sama aku sudah ada di tas ini. Mau minum nggak, Tan?" Tanya Rio sambil membuka cerrier 80 liternya."Boleh," jawab Retno singkat.Rio lalu mengeluarkan botol air minum berukuran satu setengah liter."Ini, Tan," kata Rio sambil mengulurkan botol air itu."Thanks," kata Retno sambil menerima botol air tersebut."Duh, duh, duh, mupeng gue lihat Rio manis banget sa
Retno tidak pernah menyangka jika malam hari di kawasan Dieng ini bahkan mungkin lebih dingin daripada suhu AC 16 derajat. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana bisa para warga di sini tidak masuk angin setiap hari? Dirinya saja sampai menggigil tadi. Retno berfikir bahwa Rio akan memeluknya, namun yang ada justru Rio malah meminta maaf kepadanya, ingin marah, tapi apa yang dikatakan Rio tadi ada benarnya.“Tante, maafin aku ya, aku nggak bisa meluk Tante di sini, walau Tante kedinginan. Jadi aku kasih sleeping bag sama Tante pakai jaket dobel ya? Pakai aja ini punya aku,” Retno sedikit kaget karena tidak biasanya Rio menggunakan bahasa, “aku” biasanya ia lebih formal dengan menggunakan kata ”saya".Bagaimana Retno bisa marah kalo Rio sudah meminta maaf terlebih dahulu? Tentu saja tidak bisa. Baru beberapa saat Retno memejamkan mata, alarm milik teman mendaki Rio sudah bernyanyi dengan riangnya. Mau tidak mau Retno ikut bangun dan bersiap siap. Sebelum memulai pendakian mereka sempat
Retno menatap penampilannya di cermin dan ia tersenyum bahagia. Sesuatu yang sederhana namun baginya begitu manis. Ia belum pernah di perlakukan seperti ini, apalagi dengan seorang berondong. Selama ini ia membeli berondong untuk memuaskan napsunya, namun baru Rio-lah satu-satunya berondong yang bisa mengisi jiwanya yang kosong dan tidak pernah terjamah sejak ia bercerai dari Handi.Setelah merasa cukup untuk mematut diri di depan cermin, Retno kembali keluar dan di sana terlihat Rio yang sudah menunggu dengan motornya. Segera saja Retno menghampiri Rio."Ri," panggil Retno yang membuat Rio menoleh.Kali ini Rio terpesona melihat janda satu ini yang telah memberinya surga kenikmatan dunia untuknya. Bagaimana rasanya memuja dan dipuja dengan begitu liar namun tak terlupakan. Retno terlihat muda dengan jaket gunung, celana gunung, bahkan sepatu gunungnya. Jika dulu ia merasa Retno terlihat seksi saat mengenakan bikini, namun itu semua telah terganti. Retno berubah menjadi luar biasa sek
Rio menatap Retno yang tengah berbaring disampingnya. Ia tersenyum melihat Retno yang sedang tertidur setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu. Rio tau apa yang ia lakukan dengan Retno sudah menyalahi aturan, namun ia tidak bisa menghentikan hasratnya. Apalagi ketika ia mendengar setiap desahan, lenguhan, hingga teriakan Retno saat mereka menyatukan seluruh partikel-partikel kecil di tubuh mereka berdua. Rasanya ia ingin mencobanya lagi dan lagi. Rio tidak tau harus bagaimana menyingkirkan perasaan ini dari dalam hatinya. Bila ia memang serius dengan Retno maka ia harus berjuang hingga ia pantas bersanding dengannya.Rio memajukan kepalanya dan ia cium kening Retno sekilas.Cup....."Makasih, Tante. Tante luar biasa, aku janji bakal lakuin apa aja asal Tante bahagia."Tanpa sepengetahuan Rio, Retno masih bisa mendengar apa yang Rio ucapkan. Entah kenapa hati Retno merasa bahwa apa yang dikatakan Rio begitu tulus. Pelan-pelan Retno membuka matanya dan pemandangan pertama yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments