Malam terakhir di Berlin, mereka bertiga duduk di lounge hotel yang remang. Rio akhirnya bergabung lagi, bisnisnya beres, wajahnya penat tapi senyumnya lapang. Di meja, tiga gelas kopi dan beberapa piring makanan kecil terlihat begitu menggoda.
“Jadi, kau akhirnya selesai bertemu orang-orang beruang itu?” canda Pandu sambil mengangkat cangkir kopi dan mendekatkan ke mulutnya.Rio terkekeh, meneguk kopinya. “Ya, semua urusanku beres dan aman. Deal beres, legal beres. Sekarang tinggal urusan kalian... kalian bawa pulang draft itu, bikin meledak.”Bumi menghela napas, menepuk map di sampingnya. “Draft belum selesai sepenuhnya, Rio.”Rio mencondongkan badan, menatap Bumi lekat. “Ya, tentu saja... dan kau harus menyelesaikan seperti yang diminta Franz.”Bumi mengangguk, ragu tapi mantap. Pandu menepuk bahu Bumi, suara gelak tawanya renyah di sela hening lounge hotel.“DengarSore itu, ia duduk di sebuah kafe. Meja kayu kecil, secangkir kopi panas, dan novel Bumi tergeletak di sampingnya. Ia tersenyum, memotret suasana itu, lalu mengirimkannya langsung ke Bumi melalui pesan singkat.Cempaka Kirana:[foto novel Bumi dengan cangkir kopi di sampingnya]> “Kang Bumi… akhirnya aku punya alasan lagi buat duduk di kafe sendirian sambil baca. Selamat ya… karyamu sudah sampai di tanganku 😊📖☕”Bumi membalas tak lama kemudian. Suaranya—walau hanya lewat kata-kata tertulis—seakan terdengar hangat dan mantap:> "Wah… Kirana… terima kasih sudah membeli. Semoga betah menemani bukuku, jangan cepat bosan ya 😅🙏"Kirana menahan tawa, meletakkan ponsel sebentar, lalu menatap halaman depan novel. Ia merasa seperti sedang berbicara langsung, walau hanya lewat layar kecil itu:> “Kalau dari tanganmu, mana mungkin aku bosan? Hehe… Btw, kenapa tidak kiri
Di sebuah sore yang teduh, Kinanti duduk di ruang tamunya. Di meja ada sebuah paket bersegel rapi yang baru saja diantarkan kurir. Namanya tertulis jelas di atas amplop cokelat itu, dan di sudut kecilnya ada tulisan tangan yang tak asing baginya: Bumi.Dengan hati-hati, ia membuka paket itu. Sebuah buku bersampul tebal keluar, judulnya tercetak gagah.BUBAT: Harga Diri Para Ksatria (A Story of Betrayel and Honor in The Old Archipelago)Tangan Kinanti gemetar kecil. Matanya menyapu halaman pertama, lalu berhenti pada sebuah tulisan tangan yang ditorehkan Bumi:> "Untuk Kinanti, rekan terbaik Bumi, sahabat yang paling tulus, kuhaturkan novel ini. Maaf tidak sempat mengantarkan sendiri ke sana sambil ngopi 😅"Seulas senyum hangat muncul di wajahnya. Ada perasaan haru, bangga, sekaligus getir yang tak bisa ia jelaskan. Selama ini, ia selalu tahu Bumi berbeda. Ia tulus, apa adanya, p
Gerbang pagar rumah mewah di daerah Dago Atas itu digeser hingga terbuka."Masuk saja, Kang Bumi... Pak Rio dan Bu Mutia sedang santai di rumah," ucap seorang sekuriti."Lho, buku apa itu?" tanya Bumi sambil menunjuk Buku yang dipegang oleh petugas sekuriti itu. "Buku bagus, Kang... semua sekuriti dikasih satu satu sama Pak Rio. Disuruh baca biar melek katanya," ujar petugas sekuriti itu sambil tertawa.Sita tersenyum mendengar ucapan petugas sekuriti itu. "Bagus tidak, Pak?""Bagus, Neng... kata orang sini mah rame pisan," jawab petugas sekuriti itu. "Saya yang malas baca saja malah keasyikan, tak mau berhenti. Ada dua bahasa, tapi saya baca yang bahasa Indonesia saja."Sita berbisik kepada Bumi. Setelah Bumi mengangguk, Sita menyodorkan sebuah bungkusan kepada sekuriti itu, "Pak, ini ada sop kaki sapi buat Bapak, juga ada satu pak rokok, ya.""Aduh
Kabar itu datang dengan cara yang tak pernah dibayangkan Bumi. Pagi itu, ia membuka surel dari penerbit Jerman yang selama berbulan-bulan bekerja sama dengannya dan Franz. Judul itu terpampang jelas di layar:> BUBAT: Harga Diri Para Ksatria (A Story of Betrayal and Honor in The Old Archipelago) Novel yang ia tulis dengan penuh keraguan, pergulatan batin, dan berhari-hari begadang, akhirnya resmi terbit.Tak hanya satu bahasa, melainkan dua bahasa dalam satu buku sekaligus: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bumi sempat terdiam beberapa menit. Tangannya gemetar saat menggulir layar, membaca detail pengumuman itu—daftar toko buku besar di Eropa yang sudah menerima pasokan, pameran buku di Frankfurt yang akan menyoroti novel itu, bahkan rencana distribusi ke Amerika dan Asia.Di Indonesia, kabar itu juga langsung menyebar. Beberapa toko buku besar di Jakarta dan Bandung memasang poster dengan sampul bukuny
Bumi baru saja menuntaskan perjalanan singkat dengan motor tuanya, menghirup udara pagi yang segar saat memasuki halaman rumah Sita. Rumah itu tampak rapi dan hangat, bunga-bunga di pekarangan menebar aroma manis, memberi kesan ramah yang menenangkan.Ia disambut ayah dan ibu Sita dengan senyum hangat. Sita sendiri sudah menunggu di ruang tamu, senyum manisnya merekah saat melihat Bumi masuk.“Kang Bumi, selamat datang,” sapa ayah Sita dengan tangan terulur. “Mari, duduklah. Kami sudah siapkan serabi.”Bumi membalas salam itu dengan sopan, menunduk hormat. “Terima kasih, Om... Tante, senang bisa berkunjung.”Mereka duduk mengelilingi meja kayu bundar, serabi hangat tersaji di piring. Aroma manis dan gurih menyeruak, menciptakan suasana santai. Bumi menikmati setiap gigitan, tapi pikirannya tetap waspada, memerhatikan gestur Sita dan kedua orangtuanya.“Rasanya enak sekali, Kang Bumi,” puji
Malam itu rumah Bumi sunyi. Lampu ruang tamu redup, hanya menyisakan cahaya kuning yang jatuh di atas meja kayu. Di hadapannya, secangkir kopi panas masih mengepul. Bumi menyesap rokok, dan tangannya gemetar ringan saat ia mereguk kopi, seakan setiap tegukan menambah berat pikirannya.Pikirannya masih tertambat pada percakapan siang tadi—perbincangan yang begitu tiba-tiba, begitu tegas. Ayah Sita, dengan suara berat penuh keyakinan, mengajaknya berbicara dengan tulus. Suara itu terus bergema di kepalanya."Kami khawatir, kalau suatu hari kami meninggal... siapa yang akan menjaga Sita? Anak kami ini cantik, tapi kurang mandiri... semua kekayaan kami, semua aset ini, suatu saat akan diwariskan kepada Sita. Kami ingin kau menjaga Sita, menikahinya."Bumi menghela napas panjang. Ia menunduk, menatap cangkir kopinya seakan di sana tersimpan jawaban. Baru satu hari ia kembali dari Jerman, membawa kepenatan dan tugas yang tak ringan,