Share

Apa Hubungannya Dengan Diana?

Part 7. Apa Hubungannya Dengan Diana?

"Kenapa punya mantu gini-gini amat ya, keluarganya pun sama. Bukannya ngajarin biar mandiri. Ini malah kirim-kirim barang. Mau pamer punya banyak duit kali, ya. Huhh, dasar! lama-lama bikin darah tinggi, gini mah!" Ibu masih nyapu sambil ngomel.

Aku berharap Arumi di dapur yang lagi melanjutkan cucian piring tidak mendengar ocehan ibu karena tertutup oleh suara air keran.

"Ibu ini kenapa sih, Bu? Gak udah-udah. Arumi gak ada benernya di mata Ibu. Kenapa, sih? Ibu jadi berubah drastis sama Arumi semenjak kami tinggal di sini. 'Kan kami tinggal di sini atas permintaan Ibu juga."

"Lo, kok, kamu nuduh Ibu yang bukan-bukan Raga!"

"Bukan nuduh, tapi kenyataannya emang begitu, Bu."

"Kenapa sampai ngomongin masalah tempat tinggal? Ibu memang nyuruh kalian tinggal di sini mumpung kamu dipindahtugaskan di daerah kita. Kamu tega membiarkan ibu tinggal di sini sendiri." Ya, ibu tinggal sendiri beberapa bulan sebelum aku mutasi ke kota ini. Andini si bungsu kuliah di luar kota. Sedangkan Arya adik kedua pergi kerja ke luar kota juga semenjak beberapa bulan yang lalu.

"Bukan maksud Raga begitu, Bu. Raga mohonlah ibu baik-baik sama Arumi seperti dulu."

"Mulai lagi kamu ini, ya Raga. Ibu gak suka kamu giniiin ibu karena istrimu itu!"

Udahlah diam saja. Kalau begini gak akan ada ujungnya. Aku pun bersiap-siap berangkat ke kantor.

"Oya, Raga. Jangan lupa kirim bingka buat Andini, ya. Sekalian kamu berangkat kerja udah ibu siapin tu. Dalam kotak atas meja makan." Seru ibu lagi padaku.

"Iya, Bu." Aku segera berlalu ke dapur ngambil bingka.

"Memang Ibu, ya. Gak nyadar. Wajarkan keluarga Arumi kirim sesuatu buat Arumi. Bukan masalah manja. Buktinya ini juga Ibu kirim Bingka buat Andini. Harus repot-repot buat lagi. Semoga Ibu cepat sadar kalau beliau keliru. Karena tak selamanya orang tua itu selalu benar. Semoga mertua-mertua lain yang begini juga pada sadar semua." Bergumam sendiri pelan, biar plong. Hupf ... Aku meraup udara dan menghembusnya kasar. Tentu kupastikan suaraku tak terdengar Ibu, tetapi kalau Ibu dengar bagus juga, sih. Biar cepat sadar kalau salah. Kalaulah dengar dan sadar. Kalau dengar dan ngamuk. Gimana?

Ku lihat Arumi masih mencuci piring dan peralatan bekas bikin bingka tadi malam. Melihatku ke dapur istriku buru-buru cuci muka.

"Sayang, kamu kenapa?" Aku bertanya yang sebenarnya udah tahu jawabannya, sepertinya istriku itu menyembunyikan air mata dengan membasuh wajahnya.

"Gak apa-apa, Bang. Biar segar aja."

"Ya udah, Abang berangkat dulu, ya sayang. Baik-baik di rumah." Ku kecup keningnya. Aku pura-pura tak melihat mata sembabnya. Aku kasian sama istriku. Tiap hari perasaannya dibantai sama ibu.

"Oya, sayang ... aku mau ngomong sesuatu." ucapnya sambil menyalamiku.

"Ngomong apa? Ngomong aja yang."

"Gimana kalau kita cari pem--" ucapan Arumi terhenti karena melihat ibu ke dapur.

"Kenapa sayang?"

"Hmm ... gak jadi, Bang. cuma mau bilang hati-hati di jalan. Maaf adek gak bisa antar ke depan. Lagi nanggung."

"Iya, gak apa-apa." Aku tahu sayang kamu bukan mau ngomong itu tadi. Ucapanmu terhenti karena tak mau di dengar ibu. Ya udah kita lanjut nanti aja. Nunggu kita hanya berdua aku akan tanya yang ingin kau katakan padaku sampai tuntas.

Ibu pun nimbrung, "Kenapa Rum. Mau ngadu, ya? Mau ngadu apalagi kamu," kata-kata pedas ibuku.

"Apa sih, Bu!" tukasku.

***

Aku menelepon Andini memberitahukan kalau paket dari ibu untuknya sudah aku kirim, menyuruhnya segera membuka dan memakannya kalau udah sampai soalnya isinya kue bingka. Kalau lama takut berubah rasa. Ibu sangat menyayangi putri semata wayangnya itu dan selalu mengirim apa yang bisa dikirim. Aku juga sangat menyayangi adik perempuan kubitu dan rindu sekali. Sudah lama kami tak bertemu dan cerita-cerita. Biasanya kalau ada dia, ada apa-apa aku selalu cerita padanya.

Nah, untuk masalah ibu dan Arumi belum aku ceritakan takut mengganggu pikirannya yang lagi jauh di kota orang untuk menuntut ilmu, tetapi karena sekalian menelepon. Akhirnya tak tahan juga aku untuk curhat padanya, akhirnya kuceritakan juga pada Andini tentang sikap ibu pada Kakak iparnya itu sekarang.

Aku tak mengira dengan jawaban Dini mendengar ceritaku.

"Mungkin karena Diana, Bang," jawabnya singkat.

"Lo, memangnya kenapa Din, ada apa? apa hubungannya? Gak paham Abang ... gak konek," rentetan pertanyaanku pada Andini. Karena aku heran sekali. Dimana letak hubungannya? benang merahnya? Apa ada sesuatu yang luput dariku? Sedang Andini yang jauh di sana bisa tahu.

"E-eeh kapan-kapan aku ceritakan ya, Bang. Adek lagi nanggung ngerjakan tugas ini ... udah dulu ya, Bang. Assalamualaikum." Andini memutuskan telepon seperti menghindar dengan yang kutanyakan. Bahkan, dia mematikan telfon sebelum aku menjawab salamnya. Makin membuat aku bingung.

Memangnya kenapa dengan Diana tean masa kecilku itu. Apa hubungannya,ya pada ibu dan Arumi. Hingga sikap ibu begitu pada Arumi sekarang.

Jadi penasaran ... aku selidiki nanti.

Diana adalah teman masa kecil, kami selalu satu sekolah hingga SMA.

Kemudian aku melanjutkan kuliah ke luar kota. Sedangkan dia, aku dengar dijodohkan dengan duda kaya punya beberapa toko kain di kota kami dan setelah itu aku tak tahu lagi kabarnya. Baru kali ini mendengar namanya lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status