Bab 10Sudah tidak sabar rasanya menunggu kepulangan Mas Indra suami yang menikahiku beberapa hari yang lalu. Dia yang sedang bekerja sebagai Manager Pembangunan seringkali ditugaskan diluar kota untuk terjun langsung mengawasi proyek pembangunan kontruksi. Yang membuat kami harus siap untuk sering LDR ( Long Distance Relationship) setiap saat. Walau kadangkala hari-hariku terasa kesepian, hampa dimana aku merasakan sebuah rasa kosong dalam diri dan hati. Tapi aku harus tetap bersabar demi mempertahankan pernikahanku yang baru seumur jagung, karena aku tidak ingin mengecewakan kedua orang tuaku di kampung. Aku menutupi semuanya dari Bapak, Ibu tentang Mertuaku atau keluarga Mas Indra yang tidak menganggap aku sebagai menantunya. Yang mereka tahu aku hidup bahagia sekarang bersama Mas Indra. Ya aku memang hidup bahagia dengannya tapi tidak dengan keluarganya. Aku selalu diintimidasi oleh Mamah agar tidak menceritakan segala perlakuannya terhadapku kepada Mas Indra, karena beliau tidak
Bab 11Akhirnya aku bisa meloloskan diri dari cengkraman tangan Sizi, yang memaksaku untuk ikut kemana aku pergi. Karena sangking penasarannya dengan penulis A. Zahra sekaligus ingin membuktikan apakah yang dikatakan aku itu benar atau hanya omong kosong belaka. Untung saja aku masih bisa mengelabuinya dengan beralasan aku akan mampir ke banyak tempat salah satunya supermarket terlebih dahulu untuk membeli kebutuhanku sedangkan dia sudah waktunya berangkat kuliah. Hingga pada akhirnya dia mengurungkan niatnya untuk mengikutiku karena takut terlambat. Dengan bantuan supir taxi online yang ku tumpangi aku menemukan alamat kantor Rumah Produksi dengan mudah. Terlihat gedung tinggi dengan puluhan lantai diatasnya. Ada sedikit rasa canggung saat akan memasuki area kantor, karena ini baru pertama kalinya aku menginjakkan kaki di gedung sebesar ini. Dengan bermodal rasa percaya diri aku mencoba bertanya pada Security yang sedang berjaga di Pos Satpam. Seseorang yang berbaju hitam itu lalu m
Bab 12"Ayo sayang kita mulai makan malamnya! Mamah sengaja masakin makanan kesukaan kamu dan Indra loh," ujar Mamah sembari tangannya menggandeng tangan Sherly. Sherly yang saat ini berada dipihak Mamah dia menjadi semakin besar kepala. Dengan penuh rasa percaya diri dia duduk tepat di hadapan Mas Indra yang hanya terhalang oleh meja makan. Kulirik Mas Indra yang berada disebelahku, dia hanya diam terpaku tanpa suara. "Kamu mau makan apa sayang? Biyar aku yang ambilkan," seruku. Yang sengaja melayani Mas Indra didepan Sherly agar tidak ada kesempatan untuknya mendekati Mas Indra. "Apa aja boleh De," jawabnya. Lalu ku ambilkan sepiring nasi beserta lauknya capcay dan udang goreng tepung. "Aisyah. Mas Indra itu alergi sama udang, kenapa kamu malah kasih dia udang," ucap Sherly. "Aisyah. Kamu sengaja ya mau meracuni Indra? mau bikin Indra masuk Rumah Sakit?" cerca Mamah memojokkanku. "Maafin aku Mas! aku gak tau kalau kamu alergi sama udang," ucapku meminta maaf. "Kamu itu istr
Bab 13"Tunggu sebentar! boleh pinjam kunci mobilnya?" pintaku pada Sherly. "Untuk apa?" tanya Sherly. "Siapa tahu aku bisa membantu," jawabku. Sherly hanya terdiam tanpa menjawab pertanyaanku, dari mimik wajahnya seperti orang yang sedang bingung karena ulahku. Kunci mobil yang di pegangnya aku ambil dengan paksa tanpa menunggu persetujuan darinya sang pemilik mobil. "Aisyah. Kembalikan kunci mobil Sherly! lancang kamu ya. Mobil Sherly itu Mobil mahal kalau sampai rusak atau lecet kamu mau tanggung jawab? hah. Uang dari mana kamu? Aisyah," bentak Mamah. "Mah. Aisyah hanya mau mencoba membantu bukan merusaknya," Bela Mas Indra didepanku. Tanpa kuhiraukan perintah Mamah, aku terus berjalan kearah dimana mobil Sherly terparkir. Dengan menggenggam erat kunci yang sudah ditanganku. Perlahan kubuka pintu mobil Honda Jazz berwarna putih type terbaru. Dua orang wanita yang tak lain Mamah dan Sherly mereka terus saja memperhatikanku, mungkin mereka pikir aku akan mempermalukan diri send
Aku kembali masuk ke kamar untuk melihat apa isi surat yang ditujukan kepadaku. Perlahan kubuka Kop Surat yang menyertai nama instansi perusahaan beserta logonya. Kemudian kubuka lipatan kertas yang isi tulisannya membuatku menjadi semakin penasaran. Disana tertera nama penaku A. Zahra bahwasanya saya diundang untuk menghadiri acara pembukaan di releasenya film terbaru yang tak lain penulis naskahnya adalah diriku sendiri. Kebetulan acaranya masih satu minggu lagi jadi aku bisa mempersiapkannya lebih awal. Tiada hentinya aku bersyukur karena skenario Allah lebih indah dari yang ku kira. Tidak pernah terbesit sekalipun kalau coretan cerita-cerita yang kubuat salah satunya menarik perhatian seorang produser untuk memfilmkannya. Dengan begini impianku untuk membangun Madrasah di kampung akan segera terwujud, selebihnya uang itu akan kugunakan untuk membungkam mulut mereka yang menghinaku. Kulipat kembali kertas undangan itu. Kemudian memasukkannya kedalam amplop. Lalu kubuka laci nakas
Bab 14"Indra. Mamah minta uang saku dong buat pergi ke puncak besok!" pinta Mamah."Sizi juga dong Bang!" Sizi pun tak mau kalah.Sarapan pagi yang sedang hikmat seketika dirusaknya, gara-gara mereka membuka suara."Siapa memangnya yang mau ke puncak Mah?" tanya Mas Indra."Sherly mengajak kami liburan di Villa. Dia mengajak Mamah, Sizi, Rara dan Kiki," jawab Mamah."Aisyah diajak gak Mah?""Iya Mamah ajak. Kan dia yang jago masak. Biar nanti di sana dia yang masakin," ungkap Mamah dengan santainya. Sambil mulutnya masih mengunyah roti tawar isi selai coklat."Oh. Untuk disuruh masak saja di sana? kalau begitu kenapa tidak ajak Bi Ratih saja Mah?"Pertanyaan Mas Indra sontak membuat Mamah yang sedang makan tiba-tiba tersedak. Matanya berair karena batuk - batuk akibat makanan yang menyangkut di tenggorokannya. Ingin rasanya aku tertawa tapi takut dosa."Minum dulu Mah!" aku menyodorkan segelas minuman air putih kepadanya.Mamah melirik gelas yang aku berikan, seakan takut aku racuni.
Bab 15 "Zi. Kamu cari di g****e maps Rumah Sakit terdekat di daerah sini!" perintahku. Karena aku hanya fokus menyetir jadi tidak sempat untuk membuka Handphone ku. Sizi segera melaksanakan perintahku. Kulihat Mamah dari kaca spion. Ia terus memegang kening kepalanya yang pusing. Bibirnya tak berhenti meringis menahan rasa sakit. Melihatnya tak berdaya seperti ini jiwa rasa belas kasihanku tersentuh. Sejahat apapun beliau dia tetap Ibu Mertuaku. Akhirnya dengan bantuan G****e Maps aku menemukan Rumah Sakit yang dituju. Kuantar Mamah ke ruang Instalasi Gawat Darurat agar segera ditangani. Sementara Dokter Muda yang menangani Mamah menyuruh kami agar menunggu diluar ruangan. "Zi. Kamu telepon Mba Kiki atau Mba Rara! kasih tau mereka kalau Mamah sedang di Rumah Sakit," "Iya Mba," Baru kali ini aku melihat Sizi bisa diajak kompromi. Biasanya diajak bicara saja susah, sekalipun menjawab dia selalu menjawab dengan ketus. "Mba Rara. Mamah masuk Rumah Sakit. Jatuh dari tangga," un
Bab 16"Mah. Mamah makan dulu! setelah itu baru minum obatnya. Aku bantu suapin ya Mah," bujukku. Seraya membawa semangkok bubur untuk Mamah. Disaat seperti ini aku abaikan bagaimana bencinya Mamah terhadapku, karena aku bukanlah orang yang pendendam. "Bi Ratih. Suapin aku!" perintah Mamah yang memalingkan wajahnya dari hadapanku. "Iya Bu," jawab Bi Ratih yang mengambil alih mangkoknya dari tanganku. Mamah menolak untuk disuapi olehku. Padahal aku sudah berusaha menurunkan egoku dan ingin berdamai dengannya. Tapi tidak dengan Mamah, dia masih saja angkuh didepanku. Sejak tadi hanya kami bertiga yang ada diruang rawat inap Mamah. Apapun kebutuhan Mamah aku dan Bi Ratih yang berusaha memenuhinya. Mamah terus menghubungi Sizi dan kedua menantunya tetapi tidak ada satupun dari mereka yang mengangkat telepon dari Mamah. "Sial. Mau liburan malah masuk Rumah Sakit. Mereka kemana sih? ditelepon satupun gak ada yang angkat," gerutu Mamah yang terus memperhatikan layar ponsel ditangannya.