Halo, Ash :)))
“Hell no!”Leland memaki saat melihat siapa yang menunggunya di bawah tangga pesawat. Ia baru saja turun setelah jet yang ditumpanginya mendarat di bandara.“Kenapa? Aku sudah bersusah payah ingin menyambutmu.” Kaiden menebar tangannya selebar mungkin, bermaksud untuk memeluk tentu.“No! Don't you dare to touch me!” (tidak, jangan menyentuhku)Leland langsung mendorong dada Kaiden memakai ponsel yang ada di tangannya. “Kenapa? Aku di sini untuk menemanimu.” Kaiden tentu saja langsung menghalangi langkah Leland.“Tidakkah kau sibuk? Kenapa juga kau harus ada di sini?” sergah Leland, sambil melotot, dan mendorongnya ke pinggir, melewatinya.Ia tahu Kaiden termasuk laris. Keberadaannya adalah mengherankan. “Aku ada pekerjaan di negara tetangga tapi sudah selesai. Lalu kata Taylor kau akan ke sini jadi aku menyusul.” Kaiden menjelaskan sambil menjajari langkah Leland yang sudah meninggalkannya.Meski bertanya Leland tidak amat ingin mendengar Kaiden. Hanya ingin segera bekerja—cepat sel
“Ka–kau akan pe–pergi berapa lama?” tanya Suri, sambil menatap jet yang akan membawa Leland berangkat.“Kemungkinan besar dua minggu. Aku tidak bisa memberi waktu pasti kapan akan bisa menyelesaikannya. Masalahnya agak rumit.”Leland sudah memeriksa semua dokumen itu kemarin, dan mulai paham kalau masalah yang diserahkan kakeknya itu tidaklah semudah yang dibayangkan.Awalnya Leland ingin menunda beberapa hari sebelum berangkat, tapi percuma menunda karena hanya akan memperburuk keadaan.“Jangan khawatir, kakekku tidak akan membuat kehidupanmu sulit.” Leland mengusap kepala Suri dan memeluknya.Suri yang sejak tadi diam, mengangguk saja meski agak bingung. Ia sama sekali tidak memikirkan Martell tadi—tebakan Leland salah.Suri memang sempat khawatir Martell akan galak dan memperlakukannya berbeda setelah ‘kematian anaknya’.Tapi perilakunya kurang lebih sama saja. Masih dingin, tapi Suri sudah cukup lega. Sudah bagus Martell tidak mengusir ataupun menyalahkannya akibat keguguran itu.
“My bad … I didn’t mean to… my bad.” (salahku… aku tidak bermaksud… salahku)Leland dengan panik mengusap paha Suri yang sudah duduk.“Aku lupa…” Leland sangat-sangat menyesal, terlupa ia tidak boleh mengagetkan Suri. Padahal baru sore tadi ia mendapat keterangan yang jelas. Selama ini Leland menganggap kalau Suri yang terkejut adalah lucu, tapi sekarang tidak lagi seperti itu. Suri menggeleng. “Aku ti–tidak tahu ka–kau masuk.”Suri bergegas mematikan layar ponselnya, menekan lebih lama agar sekalian ponsel itu mati kalau perlu.Melihat reaksi Leland yang sibuk meminta maaf, sepertinya Leland tidak melihat apapun. “Aku memang sengaja tidak membuat suara. Kebiasaan buruk kamu akan mengurangi setelah ini.” Leland sangat hobi memberi kejutan, tentu kebiasaan yang tidak cocok dengan keadaan Suri.“A–ku pikir kau ma–masih lama.” Suri merasa masih bisa bersantai karena mengira Martell akan menahan Leland lebih lama lagi.“Lebih cepat selesai akan lebih baik. Aku akan membuatnya mati lebi
Bukan hanya memilih untuk memutuskan hubungan dengan Quinn, kakeknya menyuruh tidak membuat Suri kelelahan, lalu mengancam seandainya ia menyakiti Suri. Ini sudah di luar kebiasaan. Leland tidak pernah melihat kakeknya begitu peduli pada siapapun—bahkan dirinya. Leland memaklumi hal itu karena memang hubungan mereka sedikit rumit, tapi kenapa mendadak kakeknya begitu peduli pada Suri?Wanita yang sama sekali asing—lebih asing dari dirinya. “Sir… mungkin lain kali.” Taylor kembali melakukan pengusiran halus. “CK!” Dengan membawa dongkol dalam hatinya, Leland keluar dari sana.“Sir… Anda terlalu jelas tadi.” Taylor meminta Martell untuk tidak terlalu menunjukkan perhatian.“Harus! Aku tidak mau anak bodoh itu membuatnya patah hati. Kau tahu berapa banyak wanita yang menjadi korban gombalannya!”Taylor mengangguk, menyimpan pendapatnya sendiri setelah mendengar nada Martell semakin keras. Ia tidak akan memperpanjang urusan saat ini karena bisa-bisa jantung Martell tidak akan berumur
“Apa kau punya kepuasan khusus saat berhasil melawan perintahku?” tanya Martell.Tidak ada sapaan, Martell langsung menegur begitu Leland muncul di kamarnya. Martell sudah pulang—saat yang lain berada di rumah Rowena. Saat ini duduk bersandar di ranjangnya, seperti yang biasa dilihat Leland—seolah kakeknya tidak pernah pergi, atau menghabiskan waktu hampir seminggu di rumah sakit.“Ya. Adrenalin rush yang muncul saat melawan perintah itu rasanya sangat menyenangkan, Grandad.” Leland menjawab tanpa merasa bersalah tentu karena memang sudah berniat untuk melanggar perintah saat menantang Lottie. Martell mendengus. “Aku masih ingat saat kau menjadi anak yang manis. Tapi kau memutuskan untuk menjadi menyebalkan seperti ini!”“Mungkin karena kau memutuskan untuk selalu mengancamku dengan warisan. Aku pun mulai sebal,” kata Leland, masih tenang.“Aku perlu mengancammu dengan warisan karena kau juga tidak pernah berniat untuk menjadi serius. Kau sudah berumur 30! Apalagi yang kau cari? Kau
“Karena Rowena mengalami banyak sekali keguguran sebelum mendapatkan Amy—adik Ashton. Dia tidak akan memaafkan orang yang telah menyebabkan bayi meninggal,” jelas Mae.“Oh… pantas saja.” Leland mendengus. “Aku sepertinya tidak perlu melakukan apapun. Ibu mertuamu akan bergerak sendiri tanpa diminta.”Leland langsung merasa tidak perlu mengurus tentang Lottie—karena sudah jelas Rowena tidak akan pernah memaafkannya. Lottie tidak akan punya kesempatan untuk kembali berbaur dengan kalangan atas di London—Rowena akan memastikannya.“Benar. Aku rasa dia akan sangat membenci Lottie dan Luna setelah ini.”Mae tampak tersenyum tapi sekaligus takut. Ia menyadari seberapa kuat pengaruh dari Rowena, dan masih bisa merasa takut, meski sudah berstatus sebagai menantu. “Dia mengerikan.” Ashton ikut bergumam, dengan raut wajah yang kurang lebih sama.“She is your mom.” (dia ibumu)Leland mengangkat alis melihat wajah enggan itu. Mae bisa dimengerti karena ia hanya menantu, tapi Ashton adalah anakn