Share

Chapter 8 : Malam di apartemen

Ryan berdiri melihat ke atas di depan gedung perkantoran itu. Lalu dia berjalan pelan di sisi jalan dengan lalu lintas padat dan gemerlap lampu kota malam hari itu yang menemani langkahnya menuju apartemen.

Dia memilih santai berjalan kaki, setelah menolak ajakan Jacob untuk menumpang. Kendaraannya kini masih berada di bengkel dengan masalah kerusakan lain yang begitu aneh karena merambat pada hal lain, yang seharusnya hanya mengganti kaca depan saja.

Saat dia melangkah pelan di jalur yang mulai sedikit tidak ramai, tiba-tiba sebuah sedan mewah merapat dan berjalan pelan di sebelah seakan mengikuti langkahnya. Awalnya Ryan tidak menyadari hal itu, karena risih merasa diikuti akhirnya menoleh ke arah kendaraan itu.

Kaca mobil itu pun terbuka pelan, muncul sosok Briana yang memanggilnya untuk berhenti.

“Hati-hati kepalamu, kau melihatku sambil berjalan!” teriak Briana dari dalam mobilnya. “Berhentilah sebentar.”

“Kau?” Ryan tersentak, dia berhenti dan diam di posisinya.

“Mau kuantar?”

“Aku? Kau antar? Ha-ha … terima kasih, apartemenku tidak jauh.” Ryan melanjutkan langkahnya.

Briana yang menghentikan mobilnya, akhirnya keluar untuk mengejar langkah Ryan. “Hei, tunggu, di mana mobilmu?”

“Bengkel.”

“Sebaiknya kau ikut denganku.”

“Kau ingin ke bar?” Ryan mendongakkan kepalanya menatap ke arah langit. “Huft … ya Tuhan, kenapa malam ini,” gumamnya.

“Tidak. Hum … tapi jika aku ingin ke bar, kau pasti akan ikut denganku, kan?”

“Tidak juga, itu hanya akal-akalanmu saja. Ayahmu akan segera tahu.”

“Kenapa kau mulai jadi budak ayahku, huh? Ayo, ikutlah denganku, a-aku …. Ya, aku ingin ke bar!”

Ryan menghela napas kasar sambil menyugar rambutnya dengan kesal. “Baiklah.” Ryan pun membatin, “Mau mengakaliku, hum?”

Briana yang hendak masuk di pintu bagian kemudi, segera dicegah oleh Ryan.

“Hey! Ini Teslaku!”

“Dan aku laki-laki, aku anti dikemudikan wanita dalam keadaan sadar.”

“Cobalah, kita lihat apa kau bisa mengoperasikannya.”

Briana melemparkan kunci mobil itu pada Ryan. Ryan pun menangkapnya.

Keduanya masuk ke dalam mobil. Ryan terlihat biasa saja saat mulai mengoperasikan kendaraan itu, seakan dia sudah terbiasa dengan kecanggihan mobil mahal itu.

Ryan duduk dan menyentuh layar sentuh di dalam kendaraan itu. “Berapa pinnya?”

“Bagaimana kau ta—, kau pernah mengemudikannya?”

“Berapa?”  Ryan membalas datar sambil melirik Briana.

Briana pun menyebutkan pin untuk mengoperasikan kendaraan itu. Namun. wanita itu masih penasaran apakah Ryan tidak bertanya mereka akan pergi ke mana malam itu. “Kau tidak bertanya kita akan ke mana?”

“Bar, hotel yang biasa kau kunjungi.”

“Apartemenmu.”

“Apa? Tidak akan.”

“Kenapa? Kita bisa bersantai sambil minum, banyak hal yang ingin kubicarakan padamu.”

“Baik. Kita ke apartemenku.”

Kendaraan itu pun melaju menuju apartemen Ryan yang tidak seberapa jauh dari lokasi tadi. Sesampainya di area parkir, Ryan menghentikan mobil dan keluar sambil memakai kembali tas punggungnya.

“Pulanglah, apartemenku bukan untuk bersantai, ini sudah bukan jam kerja, beristirahatlah, aku akan melaporkan keberadaanmu malam ini pada ayahmu.”

“Ta-tapi … kau bilang ingin menemaniku minum, kan?”

“Tidak di apartemenku. Dan berhentilah menjadi wanita mabuk.” Ryan masih berdiri di depan mobil itu. “Aku tidak akan bergerak satu langkah pun sampai kau masuk ke dalam mobil dan menjauh dari pandanganku.”

Briana yang melihat Ryan menatapnya serius, akhirnya masuk kembali ke mobil dan duduk di kursi kemudi. Saat kendaraan itu pun mundur kemudian melaju keluar dari area apartemen, Briana melihat dari kaca spion tampak Ryan sudah berjalan membelakanginya. Namun saat mendekati pintu parkir, Briana tidak sengaja melihat sesuatu di dalam mobilnya.

Ryan kini sudah berada di dalam apartemennya, menaruh tasnya dengan sembarang ke sofa dan membuka kemeja kerjanya. Lalu menghempaskan tubuhnya merebah di sofa panjang sejenak hanya dengan memakai kaus dalam pria. Hari ini begitu melelahkan pikiran.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah luar, Ryan dengan malas berjalan menuju pintu dan hendak membukakannya. “Siapa?”

Tidak ada sahutan, tapi pintu itu terus saja diketuk. Ryan melihat dari lubang intip pintunya, tapi tidak dilihat siapa pun di sana. Ryan membalikkan tubuhnya dengan tidak peduli, tapi kini pintu itu diketuk berulang dengan sangat keras.

Saking kesalnya, Ryan tanpa basa-basi membuka pintu itu dengan cepat. Ryan pun terkejut, dilihatnya kini, Briana berdiri memegang berkas di tangannya.

“Kau meninggalkan benda penting di mobilku, ini berkas yang tadi siang kuberikan, kan?”

“Ah, iya. Terima kasih.” Ryan mengambil berkas itu langsung ingin kembali menutup pintu.

“Hey! Hanya itu? Terima kasih katamu?”

“Lalu apa? Seharusnya bisa saja kau berikan besok di kantor. Sudah kukatakan ini jam istirahat. Pulanglah.”

“Kau kasar sekali, Ryan. Aku sudah berbaik hati mencari lokasi kamarmu dan mengantarkan ini, apa tidak ingin kau persilakan aku masuk sebentar saja?”

“Ini sudah malam, Briana, ayolah … huff ….”

“Kupikir kau orang yang baik.”

“Oke. Aku bukan orang yang baik, apa itu cukup jelas?”

Briana menatap Ryan dengan wajah yang sedikit kecewa, matanya mulai memerah sehingga membuat Ryan merasa kasihan dengan wanita itu.

“Baik. Masuklah, jangan lama-lama.”

Ryan melebarkan pintu membiarkan Briana masuk. Dia mengacak-acak rambutnya dengan kesal, menggembungkan pipinya dan membuang napasnya dengan kasar, lagi-lagi dia harus terganggu malam ini.

“Apartemenmu rapi sekali.” Briana berdiri sambil memandang ke sekeliling ruangan itu.

“Kenapa harus berantakan, aku tidak suka menerima tamu.”

“Dan kau pasti sibuk di kamarmu, mungkin saja di sana berantakan, coba kita lihat ….”

Ryan sigap memasang badan menghalangi langkah Briana. “Hey, hey, apa-apaan … beraninya kau mau melihat isi kamarku. Aku tahu arah pikiranmu.”

“Tidak, aku hanya penasaran apakah diam-diam kau menyimpan pakaian wanita. Atau kau ternyata … lebih suka pria,” bisik Briana sambil melewati Ryan dan duduk di salah satu sofa. "Jangan-jangan kau berpikir aku sengaja memancingmu untuk tidur denganku, ya?"

“Gila. Yang benar saja! Siapa yang datang malam-malam, duduklah.” Ryan berkacak pinggang. “Kau mau minum apa?” ucapnya sambil berlalu ke arah dapur.

“Terserah, apa kau punya anggur?”

Ryan berjalan mendekati Briana sambil membawa dua cangkir kopi. “Hanya kopi.”

“Kau ingin aku terjaga dan mengobrol di sini semalaman, baiklah.”

“Ha-ha-ha, tidak. Aku hanya tidak ingin ada alasan untuk mengantarmu, jadi kau harus terjaga, bukan?”

“Dasar pria tidak punya hati,” gumam Briana.

“Apa katamu?”

Briana menggeleng dan pura-pura tidak peduli dengan pertanyaan Ryan.

“Oke, apa yang ingin kau bicarakan?” Ryan mengambil posisi duduk berseberangan dengan Briana, sama sekali tidak ingin mendekat.

“Apa yang sebenarnya kau incar di perusahaan ayahku?”

Ryan pun tercekat, hampir saja tersedak saat menyeruput kopinya. Bibirnya terbuka dan hendak menjawab dengan perasaan gugup. Bagaimana bisa Briana bertanya seperti itu, apakah Briana sebenarnya tahu tentang misi Ryan sesungguhnya dan identitas aslinya?

“Maksudmu?”

Briana dengan gaya angkuhnya, tiba-tiba menyilangkan kaki dan menatap tajam ke arah Ryan.

“Aku sudah tahu lama tentangmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status