“Masih belum tidur, Kawan?”
Ryan mendorong tubuh Jacob. Sang sahabat malah tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi kesal Ryan.
“Minggir kau. Aku ingin mandi!”
Pukul 2 dini hari. Mata pria setinggi 185 cm itu masih terjaga di hadapan laptop, bersama dengan Jacob yang datang ke apartemen saat Ryan tertidur lelap di sofa. Keduanya berencana mencari jalan keluar kasus peretasan, setelah beberapa jam lalu pihak direksi mengirimkan e-mail persetujuan.
Perdebatan tidak sia-sia antara dirinya dan Chris kemarin, kini dana dipersiapkan ditambah bonus ribuan dolar untuk para tim.
Di pagi yang masih gelap, Ryan dan Jacob sudah berada di kantor tengah menyiapkan beberapa hal sebelum kedatangan tim divisi IT. Keduanya kini duduk bersebelahan dan tengah sibuk berhadapan dengan laptop. Masalah itu sesungguhnya sepele bagi dirinya, tetapi dia sengaja melibatkan tim agar bonus bisa didapat dan dialirkan pada divisi mereka.
"Kapan kau membuat program ini? Apa kau sudah meraba kasus ini sejak lama?" tanya Jacob.
"Untuk antisipasiku. Satu tahun berada di perusahaan ini membuatku yakin mereka mengesampingkan banyak hal penting."
"Kerja bagus, tidak diragukan lagi kau pantas naik jabatan, Kawan!"
Mendengar itu, Ryan memasang wajah malas. "Tidak pernah terlintas dalam pikiranku untuk membantu mereka terlalu jauh," gumamnya, tapi tidak sengaja terdengar oleh Jacob.
"Apa katamu?"
"Ah, tidak. Lupakan, hum ... itu bukan ambisiku."
Laman resmi telah diretas oleh pihak asing. Bukan menampilkan profil perusahaan, melainkan terisi oleh foto-foto yang menampilkan wanita-wanita vulgar.
Waktu menunjukkan pukul 6. Tim mulai berdatangan dan siap melakukan eksekusi sesuai instruksi dari Ryan. Solidaritas tim yang pantas diapresiasi, mereka berinisiatif kerja ekstra sepagi itu. Pengarahan pun dimulai dan semuanya stand by melakukan pemantauan dari sistem yang sudah dipersiapkan. Progam yang hanya semalaman suntuk dirancang oleh Ryan.
Secepatnya semua bergerak mengambil posisi di depan komputer masing-masing. Memantau aktivitas, serta memasukkan bahasa pemrogaman.
"Tolong pastikan server tidak down tiba-tiba, dalam proses ini tidak boleh ada koneksi terputus, kita tidak boleh kalah oleh kecepatan mereka, sebagian dari kalian bersiap untuk mengecek,“ titah Ryan. "Damon, bagaimana soal laman web?” tanyanya pada salah seorang tim.
“Sedikit lagi. Aku harus mengubah ulang semua format seperti sediakala. Tapi, seharusnya ini otomatis berubah, hanya bisa bertahap karena aksesnya ditolak seperti terkunci!”
Ryan beranjak dari kursi dan menghampiri Damon, mengambil alih posisi dan mulai mengetik cepat pada keyboard. Dia memasukkan script untuk mempercepat proses dan membuka akses yang terkunci.
Setelah melihat ada sedikit perubahan, Ryan menyerahkan keyboard itu kembali pada Damon. “Oke, kau bisa lanjutkan ini. Kita tunggu prosesnya sampai 100 persen kemudian masukkan coding. Akan 10 kali lebih cepat daripada input manual. Kali ini tidak akan gagal.”
“Wow. Ini keren! Terima kasih, Tuan Bos,” canda Damon, dengan takjub.
"Bos? Kau mau kupotong bonusmu? Jika sekali lagi kau menyebutku seperti itu, awas saja!" balas Ryan sambil tertawa, menepuk pundak Damon dan kembali duduk di kursinya.
Ryan duduk di antara para tim IT di ruangan mereka. Semua mata terfokus pada layar dan Ryan terus memandu untuk menyelesaikan masalah satu per satu.
“Ryan. Kau tahu IP peretas terpencar di lokasi berbeda?”
“Tiga peretas sudah kudapatkan. Dari alamat IP mereka di Atlanta, Chicago, satu lagi di luar US. Akan kutangani dua IP Blacklist. Mereka mengincar data-data lain. Lihat, mereka bergerak lagi," gumam Ryan pada Jacob. "Bagaimana bisa bagian keuangan memiliki database lemah seperti ini. Apa saja yang selama ini, seperti tidak ada pembaharuan!”
“Tidak. Ini baru saja terjadi. Saat Stoner di posisimu, sepertinya dia tidak pernah mendapatkan masalah. Semua terkendali,” jawab Jacob.
“Ini sangat rapi ditutupi, bukan tidak ada. Atau mungkin ... sengaja dibiarkan. Aku memilliki bukti kapan persis data diretas."
"Kau yakin?"
"Kenapa tidak? Sistem ini lemah, ini kesengajaan. Dan serangan terkini sangat berlipat ganda.” Di balik kaca matanya, Ryan kembali terfokus pada layar laptop, dia telah mendapatkan informasi bahwa berbagai data sudah diretas persis satu tahun sebelum dia berpindah posisi sebagai manager di departemen IT itu. “Secepatnya lakukan pembaharuan, pindahkan dan amankan data. Pulihkan kembali dan lakukan sesuai protokol yang kuberikan.”
“Baik,” sahut dari teman-teman timnya secara bergantian.
Ryan bangkit dari duduknya dan bersandar di dinding mengarah pada semua tim. “Ini estimasi waktu kita, Kawan-Kawan. Target kita di pukul sepuluh, akses masuk laporan keuangan, jangan sampai mereka mendapatkannya lagi. Berusahalah,” ucap Ryan sedikit meninggikan suara menyemangati tim.
“Sedikit pesta besok malam, oke, Ryan?”
Ryan hanya menyunggingkan senyum dan mengangkat ibu jarinya tinggi ke arah tim. Hingga akhirnya sebelum menginjak pukul sepuluh, situasi berangsur jauh terkendali. Entah bagaimana Ryan memimpin tim IT untuk menutup semua akses menggunakan sistem pengamanan baru yang sudah disiapkan olehnya, digunakan ke semua tim yang bertugas saat itu.
Sorak kemenangan memenuhi seisi ruangan yang samar terdengar dari sisi luar. Tampak dari kaca luar mereka saling ‘toss’ merayakan keberhasilan. Karena ini kondisi terparah selama beberapa tahun mereka bekerja di perusahaan itu. Namun, bisa diatasi dalam hitungan beberapa jam saja sambil dipandu apik oleh Ryan.
Di sela-sela suasana kemenangan para tim, tiba-tiba seorang pria masuk sambil tersenyum dan ikut bertepuk tangan seakan memberi selamat. Seketika semuanya suara surut dari euforia dan mereka mulai terdiam, setelah melihat siapa pria yang kini tengah hadir di antara mereka.
“Tim yang hebat. Selamat … selamat.” Chris datang sambil tersenyum dengan deretan giginya, tangannya pun ikut menepuk pelan lengan salah satu tim, hanya sekadar basa-basi.
Dari arah jauh, Ryan hanya memandangi langkah Chris yang semakin mendekat. Sambil melipat tangannya dengan tubuh menyandar sisi meja. “Sama-sama. Mereka bekerja keras pagi ini.”
“Ya … dan wah sekali, sampai seorang manager departemen terpaksa turun ke divisi. Kalian punya atasan yang sangat baik, lain kali cobalah seperti dia," sindir Chris.
"Untuk meninjau atau ada kepentingan lain, Chris?"
Chris pun berdiri di sebelah Ryan, kemudian berbisik, "Ayolah, seharusnya kau hanya memerintahkan, bukan turun menangani langsung. Mungkin kau cocok hanya menjadi tim leader biasa, bukan seorang manager.”
Salah seorang tim yang sekilas mendengar tampak geram, tiba-tiba berdiri cepat dan hampir memajukan tubuhnya ingin menghajar Chris yang sedari awal berusaha mengejek Ryan. Akan tetapi itu dihalangi oleh Jacob, yang sebenarnya juga ingin sekali memukul wajah pria berambut pirang itu.
“Teman-teman, aku kembali ke ruanganku. Kabari aku jika ada perubahan,” ucap Ryan yang mulai memasang ekspresi datar.
Dengan abai, Ryan berjalan meninggalkan Chris yang kini mengikuti langkahnya dari belakang. “Potensimu sebagai pemimpin memang layak diakui, tapi bukan pemimpin yang bergabung dengan para bawahan. Bedakan posisimu, Ryan.”
Ryan membuka pintu ruangannya dengan cepat, sedangkan tampak dari jauh Jacob menjaga jarak sambil mengawasi gerak-gerik Chris yang ikut masuk ke ruangan Ryan.
“Apa aku menyulitkan langkahmu? Katakan.” Ryan mengambil posisi berdiri di sisi mejanya, tidak ingin membuat Chris merasa nyaman agar tidak berlama-lama di ruangan itu. ”Bukan masalahku jika kau merasa tersudut. Aku mengutamakan solusi dalam rapat. Kau keberatan?” ucap Ryan dengan wajah tenang.
“Tidak. Bagiku ini menarik!" Chris terlihat bersemangat. "Baik, kutawarkan satu perjanjian. Jujur saja, tim-mu itu tidak berkelas, Ryan. Sebaiknya kau gantikan posisiku agar kau tidak lagi dilibatkan mereka. Ini ide brilian dan penawaran yang jarang, banyak yang memperebutkan kedudukanku. Ambillah, Kawan.” Dia mengangkat alisnya sambil tersenyum lebar.
“Kawan? Aku tidak berkawan dengan orang yang ingin meraup keuntungan perusahaan untuk pribadi. Sebaliknya, keahlianku mencegah penyusup yang ingin menggerogoti dan mengontrol data." Ryan pun mencondongkan tubuhnya ke arah Chris. "Dengarkan kata-kataku. Aku tidak suka kau menjatuhkan timku yang sudah berusaha keras! Sebaiknya kau tidak membuang waktu, tidak akan ada negosiasi.”
“Whoa, kau ingin menakutiku? Ha-ha ... apa yang bisa kau ancam dengan kacamata dan laptopmu. Ayolah, berhenti menjadi naif, ini menyenangkan, lupakan tim dan para bawahan itu! Entahlah, apa sebutan yang cocok untuk mereka. Kau pasti paham bagaimana White berkompetisi kuat mengalahkan perusahaan Andrew Ford.”
Mendengar ucapan itu, Ryan semakin geram dan spontan mengepalkan tangannya ingin sekali memukul wajah Chris. Hinaan bagi timnya disertai nama perusahaan Ford yang terseret, membuat dirinya siap berperang dingin menghadapi pria licik yang diam-diam ingin menjatuhkan posisinya itu.
Saat berada di dalam ruangan, tiba-tiba Briana kembali mengirimkan pesan pada Ryan.Briana : [ Ryan, apa kau sudah makan siang? ]Ryan : [ Ya, Candice membawakan pesananku ke ruangan. Aku ingin segera menyelesaikan analisisku untuk beberapa proposal. Kita perlu membuang pikiran tentang pekerjaan besok, bukan? ]Briana : [ Oh, baiklah. Katakan padaku jika kau sudah selesai. Aku ingin bicara denganmu ]Ryan : [ Apakah itu penting? ]Briana : [ Entahlah Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu ]Ryan : [ Baiklah, aku akan ke tempatmu setengah jam lagi ]Setelah Ryan menyelesaikan proposal terakhir, dia bergegas datang ke ruangan Briana, wajahnya menunjukkan kekhawatiran, tidak biasanya Briana bicara empat mata secara tiba-tiba. Dia sempat berpikir bahwa gadis itu ingin membatalkan rencana besok. Saat memasuki ruangan dan menutup pintu. Kecanggungan terasa saat Ryan berjalan mendekat ke mejanya."Ada apa, Briana?"Sejenak Briana tampak menggigit bibirnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat
Seorang pria tampan melangkah masuk ke lobi kantor perusahaan White dengan percaya diri. Setelan jas abu-abu tua yang membalut tubuh tegapnya terlihat sempurna, menonjolkan postur tubuh yang atletis dan penampilan elegan. Rambut cokelatnya tertata rapi dan mata biru yang tajam seolah menarik perhatian setiap orang yang berada di lobi. Aaron Ford, kakak kedua Ryan, menyambangi kantor itu untuk menemui Briana. Para karyawan yang kebetulan berada di lobi tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Beberapa dari mereka berbisik-bisik, mencoba menebak siapa pria berkharisma ini.Pria setinggi enam kaki itu terus melangkah menuju meja resepsionis. Tatapannya yang menawan membuat sang resepsionis tersenyum kikuk, tetap berusaha profesional."Selamat siang, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya resepsionis itu dengan suara yang berusaha tetap tenang.Aaron membalas dengan senyum menenangkan. "Selamat siang. Saya Aaron Ford. Saya ingin bertemu dengan Nona White," ucapnya dengan suara bariton
Setelah beberapa hari pemulihan dan kejenuhannya selama berada di mansion, Ryan akhirnya kembali ke kantor dengan penuh semangat. Pagi itu dengan langkah yang tidak lagi tertatih, dia memasuki area lobi, tampil tampan dan berkharisma dengan setelan jas biru gelap dan kemeja putih.Ryan kini tampak jauh berbeda jika dibandingkan dirinya dulu, seorang manager IT perusahaan itu. Kewibawaan sosok CEO-nya semakin terpancar, menampakkan jiwa sesungguhnya yang seorang Ryan Stanley Ford—sang anak pengusaha kedua terbesar di US. Meskipun kini dia masih menjaga identitas palsunya sebagai Ryan Miller, tapi tidak bisa dipungkiri jati dirinya yang garis keturunan seorang miliarder.Para karyawan yang telah merindukan kehadiran sang CEO, pun menyambutnya dengan hangat. Mereka semua berdiri di lobi, bertepuk tangan dan tersenyum ketika Ryan memasuki lift khusus menuju lantai atas. Ryan membalas sambutan itu dengan senyum lebar dan anggukan kepala, merasa sangat dihargai oleh tim dan karyawan yang ber
Briana mengangkat pandangan dari bunga mawar itu dan melihat ke arah Candice. "Selamat pagi, Candice. Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, mencoba menjaga nada suaranya tetap profesional meskipun ada perasaan tidak nyaman yang tiba-tiba muncul."Ini adalah laporan yang perlu Anda tinjau hari ini. Selain itu, ada beberapa hal yang perlu dibicarakan mengenai proyek baru." Candice tersenyum tipis dan melangkah mendekat, menaruh berkas-berkas di meja Briana. Briana mengangguk. "Terima kasih. Aku akan melihatnya segera," jawabnya singkat sambil melihat pada berkas yang ditaruh ke meja. Mata Candice masih menatap bunga dan kotak perhiasan yang ada di meja Briana. "Pemberian dari seseorang yang spesial?" tanyanya dengan senyum canggung. "Ya, seseorang yang sangat berarti bagiku," sahut Briana sambil mengulas senyum, teringat kembali oleh Ryan. "Senang mendengarnya. Jika ada yang perlu dibantu, tolong beritahu saya." Candice mengangguk, menyembunyikan perasaannya dengan baik. Setelah itu, Ca
Ryan menatap langit-langit penthouse-nya, pikirannya dipenuhi dengan bayangan Briana. Dia memutuskan untuk menghubungi Briana, merasa perlu mendengar suaranya untuk sedikit mengobati rasa rindunya. Dia mengambil ponselnya dan menekan nomor Briana, menunggu dengan cemas."Halo, Ryan," suara lembut Briana terdengar dari seberang sana."Briana. Bagaimana kabarmu? Kau sudah kembali ke kantor?" tanya Ryan, mencoba menjaga nada suaranya tetap ringan.Terdengar tawa halus sekilas dari Briana, sedikit memanjakan telinga Ryan mendengar gadis itu menerima teleponnya dengan manis. "Ya, aku sudah kembali. Rasanya aneh setelah sekian lama tidak di sana, tapi semuanya berjalan lancar. Bagaimana denganmu? Bagaimana pemulihanmu?"Ryan menghela napas, mencoba terdengar ceria. "Aku baik-baik saja. Hanya saja, terjebak di sini membuatku merasa sedikit ... terisolasi."Briana merasakan simpati. "Aku bisa membayangkan. Aku berharap bisa datang menemuimu dan membuatmu merasa lebih baik. Aku tidak cukup ban
“Selamat siang, Tuan Miller.” Candice melangkah gemulai di atas lantai marmer dengan heelsnya. "Saya pikir ada beberapa detail teknis yang perlu kita diskusikan lebih lanjut," ucapnya dengan nada profesional, sambil menata beberapa dokumen di atas meja ruang utama itu.Setelah beberapa hari selalu berada di kantor, Candice akhirnya mengunjungi Ryan di penthouse. Kunjungannya kali diisi dengan tugas profesional yang semakin intens. Namun, di antara niatnya untuk membicarakan serangkaian rapat dan diskusi, dia menemukan kesempatan untuk mendekati Ryan.Diskusi panjang itu kini rampung dan telah mendapatkan hasil yang baik dari para tim project yang bekerja profesional, sebuah proyek masa depan yang sangat menjanjikan. “Baiklah, segalanya be