"Kamu nggak sepantasnya ngomong begitu sama tante kamu sendiri!"
Usai makan malam, Kaira harus kembali mendengarkan ocehan dari ayahnya. Kali ini sebab bibinya itu mengadu bahwa Kaira menghinanya.
Setelah bertahun-tahun tidak pulang dan bahkan baru mendengar cerita Kaira via telepon, bukannya menanyakan bagaimana perjalanan Kaira, dia justru harus kembali disalahkan sebab aduan sang bibi yang dilebih-lebihkan. Selama makan malam, sang bibi terus merusak suasana dengan menyudutkannya melalui sepotong kalimat yang memang kelepasan dia ucapkan tadi. Tapi dari sudut pandang Kaira, bukankah kalimat sang bude jauh lebih nyelekit daripada kalimatnya?
Tapi mau seperti apapun pembelaan Kaira, sang ayah tidak akan membenarkan tindakannya. Pria itu akan tetap keras pada putrinya sendiri agar tidak bermasalah dengan adiknya itu.
"Kamu tuh kok nggak pernah rukun sama Tante Mita? Ada aja yang kalian ributkan," keluh sang ayah lagi.
Kaira hanya bisa menanggapi dalam hati. Sebab semakin disanggah, sang ayah mungkin hanya akan semakin menyalahkannya saja.
"Jangan sampai lah kamu mengungkit tentang ini sama tante. Tahu sendiri, kan? Hidupnya tante keras selama menikah karena suaminya melakukan KDRT. Dia cuma punya bapak sebagai keluarganya yang tersisa."
Selalu itu senjata yang ayahnya gunakan setiap kali menasehati Kaira agar tidak terlalu kasar pada sang bibi. Hanya saja, meskipun Kaira sudah berupaya untuk selalu sabar, bibinya itu justru seolah memancing emosinya lebih dulu.
Keduanya berbincang di taman belakang rumah. Tepat di bawah pohon mangga yang sudah ada sejak Kaira kecil. Dulu sekali, ayahnya membuatkannya ayunan agar bisa bermain disini. Momen-momen hangat kebersamaan keluarga mereka tidak akan pernah bisa dia lupakan.
"Bapak pasti malu ya karena putri semata wayang yang bapak kuliahkan dengan susah payah justru pulang kampung dengan status pengangguran? Usia juga kalo kata orang sudah pantas menikah, tapi justru masih jadi beban orang tua."
Kaira menunduk, pada akhirnya dia menumpahkan keresahannya dipicu omongan sang bibi tadi siang.
Sang ayah terdiam. Setelah mengomeli sang putri, lelaki itu tersadar bahwa putrinya juga sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
Pada akhirnya, lengan kanannya mendarat lembut diatas kepala sang putri. Menatap Kaira yang menunduk hampir menitikkan air mata.
"Bapak nggak pernah malu punya putri seperti kamu. Kaira yang cerdas dan selalu membanggakan bapak dan ibu. Kaira yang dikenal pemberani sampai anak-anak lain tidak ada yang berani mengganggu kamu ataupun teman-teman dekat kamu. Kaira yang selalu memikirkan bapak dan ibu sampai-sampai ikut menanggung beban kami. Bagaimana bapak dan ibu bisa malu?"
Seolah terketuk pintu hatinya, ayah Kaira yang tadinya mengomel kini justru berbalik memujinya. Kaira mendongak menatap senyum tulus di wajah sang ayah.
"Maaf ya, bapak nggak bermaksud marah-marah sama kamu. Hanya saja, bapak nggak mau kamu jadi anak durhaka. Biar bagaimanapun, Tante Mita juga orang tua kamu. Bapak nggak mau anak baik bapak jadi berkata yang kurang berkenan sama yang lebih tua."
Didikan sopan santun dan selalu menjadi baik terhadap siapapun adalah ajaran yang selalu ditanamkan oleh kedua orang tuanya. Kaira hidup sejauh ini dengan membawa nilai-nilai tersebut. Sekalipun pada akhirnya dia justru harus menghadapi kenyataan bahwa tidak semua kebaikannya berbalas. Ada kalanya, Kaira justru harus dikhianati karena bersikap terlalu baik.
"Bapak nggak masalah kamu mau tinggal disini berapa lama pun. Rumah ini akan selalu jadi rumah kamu. Tenangkan diri dan kembalilah setelah kamu siap! Bapak dan ibu nggak pernah merasa terbebani karena kami yakin kamu selalu tekun dan bertanggung jawab."
Lagi-lagi Kaira hampir menangis. Orang tuanya selalu suportif terhadapnya. Sesuatu yang selalu Kaira syukuri sebagai miliknya.
"Ambil waktu untuk istirahat! Kamu tidak berhenti bekerja bahkan sejak kamu masih SMA. Mungkin sekarang saatnya menyegarkan diri, tapi dengan catatan jangan sampai terlena apalagi terlalu lama terpuruk, ya!" Tandas sang ayah.
Kaira mengangguk setelah disemangati oleh ayahnya itu.
"Iya, aku nggak mau jadi Tante Mita selanjutnya," ujar Kaira iseng yang membuat sang ayah kembali menjitak dahi putrinya sembari tertawa kecil.
"Hus! Nggak boleh begitu sama tante!"
Ayah dan anak itu tertawa meskipun perbincangan mereka serius. Masa-masa seperti inilah yang Kaira rindukan dari hidup seatap dengan orang tuanya.
Tawa mereka terhenti ketika sang ibu menghampiri dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa, Bu?" Tanya Bapak.
Ibu Kaira bahkan belum selesai mencuci piring—nampak dari kedua tangannya yang masih berbusa. Wanita itu menatap sang putri lamat, "Kamu di kota nggak aneh-aneh kan, Nak?"
Alis Kaira reflek mengerut, "Aneh-aneh bagaimana, Bu?"
Wanita usia lima puluhan awal itu menengok kembali kearah belakang, lalu menyelidik menatap putri semata wayangnya.
"Kamu nggak punya hutang sama rentenir, kan?"
Reflek Kaira menggeleng, "Nggak, bu. Aku bukan Tante Mita," celetuknya lagi yang membuat dia reflek kembali disikut oleh sang ayah.
"Kamu nggak....hamil, kan?" Tanya sang ibu lagi. Kali ini membuat Kaira jadi semakin terheran-heran akan sikap aneh ibunya itu.
"Nggak, bu. Pacar aja aku nggak punya," geleng Kaira lagi. "Ada apa, sih?" Tambahnya heran.
Wanita itu menatap sang putri setelah menghela nafasnya perlahan.
"Ada yang cari kamu, sekeluarga," ujar wanita itu.
Kaira terang saja bingung. Namun daripada memupuk lebih banyak kebingungan, pada akhirnya mereka bertiga bergerak menuju ruang tamu. Disana para tamu sudah duduk dengan ditemani oleh Tante Mita yang nampak sumringah.
Netra Kaira membulat saat menemukan sosok yang dia kenali tiba-tiba berada di rumahnya. Netra mereka bersitatap sebelum akhirnya lelaki itu mengutarakan tujuan datangnya yang membuat seisi rumah menjadi semakin syok.
"Kami datang kesini untuk melamar Kaira Hadinata."
Langit sore tampak cerah, seolah turut merayakan momen spesial di perhelatan sederhana namun meriah keluarga bahagia tersebut. Siapapun bisa dengan mudah melihat dan merasakan binar yang terpancar, terutama dari Kaira dan Davian.Ketika mereka menikah sekitar dua tahun lalu, mungkin tak pernah sepasang insan itu sangka bahwa mereka akan ada di titik seperti sekarang ini. Tersenyum bahagia dengan mata penuh cinta. Pernikahan yang awalnya digagas penuh intrik oleh adik Davian sekaligus juga mantan Kaira—Alvero. Pernikahan yang awalnya dilaksanakan dengan prinsip hanya untuk sekadar "menikah". Pernikahan yang mungkin tidak didasari cinta tapi tetap dengan komitmen bahwa menikah hanya sekali seumur hidup. Kalau bukan karena kekuatan mereka berdua yang menjalani didalamnya, tentu semua tidak akan seperti ini, kan?Hari ini adalah ulang tahun pertama Arsandi Rajendra—putra kecil mereka yang telah membawa begitu banyak kebahagiaan dalam keluarga. Ruang tamu dan halaman belakang rumah didekora
Mobil yang dikendarai Davian melaju dengan kecepatan stabil, membawa mereka pulang dengan anggota keluarga baru yang mungil dan berharga. Di kursi belakang, Kaira duduk dengan hati-hati, memastikan bayi mereka tetap nyaman dalam gendongannya. Sesekali, ia menatap wajah mungil itu dengan mata berbinar, seolah masih sulit percaya bahwa mereka akhirnya bisa membawa pulang buah hati mereka setelah seminggu di NICU.Kaira sudah diperbolehkan pulang lebih dulu sekitar tiga hari lalu. Selama itu juga dia bolak-balik rumah sakit untuk menengok putranya sekaligus memberikan ASI. Setelah perjuangan tersebut, akhirnya pagi ini bayi mereka diperbolehkan untuk dibawa pulang. Berat dan kadar bilirubinnya dikatakan sudah normal sehingga kondisinya sudah memungkinkan untuk pulang ke rumah."Dia tidur nyenyak sekali," bisik Kaira, menatap wajah bayi mereka yang tenang dalam balutan selimut lembut.Davian melirik melalui kaca spion tengah, senyum tak pernah lepas dari wajahnya. "Akhirnya kita pulang be
Teruntuk Kaira—Kakak Iparku.Ketika kamu membaca ini, aku mungkin sedang tidak dalam keadaan yang baik-baik saja atau bahkan sudah tak bernafas di lingkup yang sama denganmu. Aku nggak berharap kamu membaca ini pada akhirnya, tapi sebagai manusia aku tidak pernah tahu apa yang akan terjadi kedepannya atau bagaimana Tuhan menggagalkan aneka rancangan rencanaku. Aku pasrah.Tapi satu yang pasti. Ketika kamu membaca surat ini, aku yakin kamu sudah berbahagia dengan laki-laki yang kamu cintai dan bisa mencintai kamu sama atau bahkan lebih besar. Dan itu..tentu saja kakak kebangganku—Davian Rajendra. Aku nggak bohong saat mengatakan bahwa Davian adalah lelaki terbaik yang bisa menemani kamu. Begitupula untuk Davian, aku yakin kamu adalah pilihan terbaik untuknya. Aku sangat mengenal bagaimana kalian berdua. Itulah mengapa aku berjuang menjodohkan kalian dan syukurnya aku berhasil, kan? Lihat bagaimana Davian menatapmu penuh dengan cinta. Juga kamu yang selalu tanpa sadar tersenyum bahag
Lorong ruang tunggu ICU terasa amat sangat dingin. Kaira masih duduk di kursi roda, berdampingan dengan Cindy yang duduk di kursi ruang tunggu sembari memandang kosong tembok yang ada dihadapannya. Suasana terasa lebih sunyi dan mencekam setelah Kaira pada akhirnya mengetahui fakta baru. Alvero kritis karena kanker?"Maaf, aku dan Alvero belum bisa menepati janji kami untuk menemani persalinanmu," buka Cindy setelah lama menutup mulutnya. Bahkan ketika Davian menitipkan Kaira padanya untuk membiarkan mereka bicara, Cindy baru bersuara selang tiga menit lamanya.Dalam selang waktu tersebut juga Kaira tidak bersuara sama sekali. Dia hanya mendengar sedikit dari Davian, selebihnya Davian bilang Kaira harus mendengarnya dari Cindy langsung. Tapi jujur saja, apa yang bisa Kaira tampilkan selain keterkejutan yang mendalam? Kaira bergeming, wajahnya terlalu datar dan tidak memberikan jawaban apapun pada Cindy. Kali ini dia hanya akan fokus mendengarkan. "Aku...aku nggak tahu harus mulai da
Kaira menggenggam erat tangan Davian saat mereka berdiri di depan ruang NICU. Hatinya bergetar melihat bayi mungil mereka yang terbaring di dalam inkubator, tubuhnya yang kecil masih dipenuhi selang dan monitor yang berbunyi lembut. Meski dokter sudah menjelaskan bahwa putra mereka harus mendapat perawatan intensif karena lahir prematur di usia kandungan 34 minggu, tetap saja sulit bagi Kaira untuk menahan air matanya.Davian melingkarkan lengannya di bahu sang istri, menguatkannya. "Dia kuat, Sayang. Lihat, dia bahkan sudah mulai menggenggam jari perawat tadi." Suaranya lembut, namun ada kebanggaan dan kasih sayang yang begitu dalam di matanya.Mata Kaira terus memandangi buah hati mereka, dadanya sesak oleh campuran emosi. "Dia masih begitu kecil..." bisiknya, suaranya nyaris patah. "Aku ingin memeluknya, Mas. Aku ingin menghangatkannya di dekapanku."Davian menenangkan dengan mengusap punggung istrinya. "Sebentar lagi, Sayang. Dokter bilang kondisinya sudah terus membaik. Dia hanya
Kaira membuka matanya perlahan, cahaya lampu kamar rumah sakit terasa sedikit menyilaukan setelah ia tak sadarkan diri entah berapa lama. Ada rasa lelah yang masih melekat di sekujur tubuhnya, tapi itu semua langsung tergantikan oleh kehangatan yang menjalar di hatinya saat melihat sosok suaminya, Davian, duduk di samping ranjangnya. Pria itu tampak begitu lelah, lingkaran hitam menghiasi bawah matanya, tetapi senyum lega yang menghiasi wajahnya saat melihat Kaira sadar membuatnya terlihat lebih lembut dari biasanya. "Kaira..." Suaranya terdengar serak, seperti seseorang yang hampir tak berani berharap. Kaira mengerjap pelan, mencoba mengumpulkan kesadarannya. Bibirnya merekah dalam senyum kecil. "Hei..." Seolah tak mampu menahan diri lebih lama, Davian langsung menggenggam tangannya, mengecupnya lembut. "Kamu baik-baik saja?" Kaira mengangguk, meski tubuhnya masih terasa lemah. "Bayinya?" "Dia masih harus berada di ruang NICU, tapi tidak akan lama lagi dia bisa berkumpul bersama