Share

Mandi di Malam Hari

Lian terperanjat kaget saat Sari menghadangnya tepat di belakang pintu. Mendengar ucapan Sari, Lian mendadak gugup. Ia seperti seseorang yang ketahuan telah mencuri.

"Apaan, sih, kamu."

Sari mengambil Gavin dari dalam gendongan Lian. Melirik tepat ke arah mata sang suami yang berusaha lari dari tatapannya. Sari melihat saat bagaimana tangan bidan Hesti mengusap lembut pundak suaminya. Rasanya, itu bukan hal yang pantas dilakukan seorang wanita lajang terhadap seorang laki-laki beristri.

"Ngapain tadi bidan Hesti kesini?"

Mendengar nama bidan cantik itu disebut, Lian makin salah tingkah. Padahal, Sari hanya ingin tahu tanpa ada nada menuduh di sana.

"Cuma lewat aja, terus mampir karena mau lihat Gavin. Kenapa, sih? Kamu kaya nuduh aku ngapain aja sama bidan Hesti. Aneh!"

Lian berlalu dari hadapan Sari. Justru, kali ini Sari yang mengerutkan kening tak mengerti karena Lian yang terlihat aneh. Tak mau ambil pusing, Sari lantas menutup pintu dan membawa Gavin ke kamar karena adzan magrib sudah mulai terdengar.

Karena masih dalam masa nifas, tentu saja Sari tak harus melaksanakan sholat. Ia memilih untuk memangku Gavin dengan duduk berselonjor di atas ranjang. Sedangkan di sampingnya, Kia tampak asik dengan buku gambarnya.

"Bu, Kia laper," keluh bocah berusia empat tahun itu. Sari kembali meruntuki dirinya sendiri yang tak becus dalam mengurus keluarganya, terlebih anak-anaknya.

"Kia laper banget? Maaf, ya, Ibu lupa belum masak. Kia minta ayah dulu, ya?"

Kia mengangguk lalu bangkit dari posisi tengkurapnya. Kaki kecilnya mengayun dengan sedikit kesulitan sebab rasa sakit yang timbul dari memar di lututnya. Dicarinya sang ayah yang ternyata baru saja keluar dari kamar mandi.

"Ayah, Kia laper," adunya membuat Lian mendengkus pelan.

"Kamu gak disuapin ibumu, ya? Ck, dasar memang si Sari. Makin hari makin gak becus aja jadi ibu."

"Tapi ibu katanya gak masak, Yah. Katanya, Kia suruh minta Ayah dulu."

"Hah?"

Tanpa menunggu sang anak menjawabnya, Lian langsung berjalan menuju meja makan kecil di sudut dapur. Dibukanya tudung saji yang sedari pagi memang sudah menelungkup di sana.

"Astaga, SARIII!" teriaknya membuat Gavin yang baru saja tertidur menjadi terkejut. Bayi itu menangis dan Sari berdecak kesal karena baru saja ia akan meletakkan Gavin di atas kasur tapi justru sang suami membuatnya terbangun.

"Apa, sih, Mas? Kita lagi di dalam rumah, gak perlu teriak-teriak."

Sari buru-buru membuka kancing dasternya, mengeluarkan sedikit bagian payudaranya hingga Gavin bisa meraup sumber kehidupannya. Namun, bayi itu seolah menolak.

"Kamu gak masak, hah? Kamu gak tahu kalau anak kamu ini kelaparan?"

Lian sedikit berteriak hingga Kia menutup kedua telinganya. Sebenarnya, Kia sudah biasa menyaksikan pertengkaran antara ayah dan ibunya. Tapi, ibunya bilang, Kia harus menutup kedua telinga jika ayah dan ibunya saling berteriak.

"Aku gak sempat, Mas. Kamu tahu sendiri, dari pagi aku udah kesakitan, perutku sakit. Siang kita ke bidan, pulang dari bidan, aku ngurusin Gavin dan Kia sendirian. Cucian numpuk, kalau bukan aku yang nyuci, siapa lagi? Kamu juga gak pernah mau bantu aku, Mas!"

Sari ikut terpancing emosi. Biasanya, ia akan diam saja saat Lian memprotes tentang dirinya. Sudah cukup selama ini ia diam saat suami serta mertuanya selalu menindasnya. Lian yang tak biasa dengan perlawanan Sari itupun memilih untuk pergi dari sana. Tak lupa, ia menggendong Kia untuk ikut pergi ke luar rumah.

Sekitar setengah jam berlalu, Gavin sudah tertidur akibat kekenyangan setelah menghabiskan satu botol penuh susu formula. Sari yang merasa tubuhnya sangat lelah pun turut membaringkan tubuhnya di samping sang anak sebelum suara pintu yang dibuka dengan kasar itu membuat ia kembali harus menegakkan badan.

"Sari! Keluar, kamu!"

Sari mendesah panjang, itu suara ibu mertuanya. Ia sangat tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Selalu seperti itu, kedatangan bu Tri ke rumah Sari selalu saja menimbulkan kegaduhan. Entahlah, bu Tri selalu bisa mencari seribu alasan untuk ribut dengan menantu pertamanya itu.

"Jangan teriak, Bu. Gavin baru saja tidur," ucap Sari masih berusaha berbicara sopan meski hatinya tengah dilanda kesal.

"Halah! Masa bodoh sama anakmu. Sekarang, coba aku tanya, kenapa anakku sampai bisa kelaparan begitu? Tahu kamu? Sekarang, suami dan anakmu itu sedang asik makan di rumahku, makan dari hasil masakan adik iparnya. Gak malu kamu sama Kamila? Kamu yang punya suami dan anak, malah Kamila yang mengurusnya!"

Ucapan bu Tri membuat dada Sari sesak. Padahal, tidak mungkin Lian meminta makan kesana jika tidak sedang dalam keadaan kepepet. Lagi pula, tadi Sari juga menyuruh Lian untuk beli bukan meminta di rumah ibunya.

"Astaghfirullah, Bu. Aku minta maaf jika kedatangan mas Lian dan Kia menjadi beban untuk Ibu dan Kamila. Aku memang sedang tidak sempat masak karena aku sedang tidak enak badan, Bu. Pekerjaan yang lain juga sudah kulakukan sebisanya."

"Ya harusnya kamu duluin perut suami sama anak kamu. Kalau sudah begini, siapa juga yang direpotin?"

"Maaf kalau mas Lian ngerepotin Ibu-"

"Bukan Lian, tapi kamu! Lian udah kasih kamu uang belanja, harusnya kamu tanggung jawab buat kasih makan enak buat suami dan anakmu. Heran, deh, kenapa juga Lian masih betah sama kamu. Lihat! Bentuk badanmu sama wajahmu itu sudah gak ada enak-enaknya buat dipandang, tahu!"

Bagai tersengat rasanya hati Sari saat bu Tri mengucapkan segala macam hinaan untuk dirinya. Sari menoleh ke arah lemari yang kebetulan berada tak jauh darinya. Ada kaca yang terpasang di bagian pintu lemari tersebut. Sari memperhatikan tubuh serta wajahnya dari cermin itu. Benar rupanya, dirinya sudah berubah cukup jauh dari tampilannya yang dulu.

"Bagus, ngaca kamu, sana! Udah gak bisa ngerawat anak, badan sendiri juga gak bisa dirawat. Lian cari perempuan lain baru tahu rasa kamu."

Setelah mengucapkan hal itu, bu Tri pergi tanpa mengucapkan salam hingga Sari sendiri tak sadar jika ibu mertuanya sudah pergi dari rumahnya.

Dengan langkah gontai, Sari berjalan menuju kamar mandi. Meski tadi sore ia sudah mandi dan keramas, tapi, kini pikirannya seolah menyuruhnya untuk melakukannya sekali lagi. Tak peduli jika saat ini jak dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Dengan gerakan pelan tapi pasti, Sari mulai menggosok bagian demi bagian tubuhnya. Sabun batang yang baru saja dibuka dari bungkusnya itu sampai berbentuk sangat pipih. Rambutnya berbusa cukup banyak. Wangi. Sari menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari mahkotanya tersebut. Setelah memastikan tubuhnya bersih dan wangi, Sari akhirnya menyudahi acara mandinya.

Saat keluar dari kamar mandi, Sari cukup terkejut saat melihat jam dinding yang menggangtung pada dinding dapurnya.

"Astaghfirullah, apa yang sudah aku lakukan?"

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status