Share

Mandi di Malam Hari

Auteur: Fitria Salim
last update Dernière mise à jour: 2023-07-31 00:12:44

Lian terperanjat kaget saat Sari menghadangnya tepat di belakang pintu. Mendengar ucapan Sari, Lian mendadak gugup. Ia seperti seseorang yang ketahuan telah mencuri.

"Apaan, sih, kamu."

Sari mengambil Gavin dari dalam gendongan Lian. Melirik tepat ke arah mata sang suami yang berusaha lari dari tatapannya. Sari melihat saat bagaimana tangan bidan Hesti mengusap lembut pundak suaminya. Rasanya, itu bukan hal yang pantas dilakukan seorang wanita lajang terhadap seorang laki-laki beristri.

"Ngapain tadi bidan Hesti kesini?"

Mendengar nama bidan cantik itu disebut, Lian makin salah tingkah. Padahal, Sari hanya ingin tahu tanpa ada nada menuduh di sana.

"Cuma lewat aja, terus mampir karena mau lihat Gavin. Kenapa, sih? Kamu kaya nuduh aku ngapain aja sama bidan Hesti. Aneh!"

Lian berlalu dari hadapan Sari. Justru, kali ini Sari yang mengerutkan kening tak mengerti karena Lian yang terlihat aneh. Tak mau ambil pusing, Sari lantas menutup pintu dan membawa Gavin ke kamar karena adzan magrib sudah mulai terdengar.

Karena masih dalam masa nifas, tentu saja Sari tak harus melaksanakan sholat. Ia memilih untuk memangku Gavin dengan duduk berselonjor di atas ranjang. Sedangkan di sampingnya, Kia tampak asik dengan buku gambarnya.

"Bu, Kia laper," keluh bocah berusia empat tahun itu. Sari kembali meruntuki dirinya sendiri yang tak becus dalam mengurus keluarganya, terlebih anak-anaknya.

"Kia laper banget? Maaf, ya, Ibu lupa belum masak. Kia minta ayah dulu, ya?"

Kia mengangguk lalu bangkit dari posisi tengkurapnya. Kaki kecilnya mengayun dengan sedikit kesulitan sebab rasa sakit yang timbul dari memar di lututnya. Dicarinya sang ayah yang ternyata baru saja keluar dari kamar mandi.

"Ayah, Kia laper," adunya membuat Lian mendengkus pelan.

"Kamu gak disuapin ibumu, ya? Ck, dasar memang si Sari. Makin hari makin gak becus aja jadi ibu."

"Tapi ibu katanya gak masak, Yah. Katanya, Kia suruh minta Ayah dulu."

"Hah?"

Tanpa menunggu sang anak menjawabnya, Lian langsung berjalan menuju meja makan kecil di sudut dapur. Dibukanya tudung saji yang sedari pagi memang sudah menelungkup di sana.

"Astaga, SARIII!" teriaknya membuat Gavin yang baru saja tertidur menjadi terkejut. Bayi itu menangis dan Sari berdecak kesal karena baru saja ia akan meletakkan Gavin di atas kasur tapi justru sang suami membuatnya terbangun.

"Apa, sih, Mas? Kita lagi di dalam rumah, gak perlu teriak-teriak."

Sari buru-buru membuka kancing dasternya, mengeluarkan sedikit bagian payudaranya hingga Gavin bisa meraup sumber kehidupannya. Namun, bayi itu seolah menolak.

"Kamu gak masak, hah? Kamu gak tahu kalau anak kamu ini kelaparan?"

Lian sedikit berteriak hingga Kia menutup kedua telinganya. Sebenarnya, Kia sudah biasa menyaksikan pertengkaran antara ayah dan ibunya. Tapi, ibunya bilang, Kia harus menutup kedua telinga jika ayah dan ibunya saling berteriak.

"Aku gak sempat, Mas. Kamu tahu sendiri, dari pagi aku udah kesakitan, perutku sakit. Siang kita ke bidan, pulang dari bidan, aku ngurusin Gavin dan Kia sendirian. Cucian numpuk, kalau bukan aku yang nyuci, siapa lagi? Kamu juga gak pernah mau bantu aku, Mas!"

Sari ikut terpancing emosi. Biasanya, ia akan diam saja saat Lian memprotes tentang dirinya. Sudah cukup selama ini ia diam saat suami serta mertuanya selalu menindasnya. Lian yang tak biasa dengan perlawanan Sari itupun memilih untuk pergi dari sana. Tak lupa, ia menggendong Kia untuk ikut pergi ke luar rumah.

Sekitar setengah jam berlalu, Gavin sudah tertidur akibat kekenyangan setelah menghabiskan satu botol penuh susu formula. Sari yang merasa tubuhnya sangat lelah pun turut membaringkan tubuhnya di samping sang anak sebelum suara pintu yang dibuka dengan kasar itu membuat ia kembali harus menegakkan badan.

"Sari! Keluar, kamu!"

Sari mendesah panjang, itu suara ibu mertuanya. Ia sangat tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Selalu seperti itu, kedatangan bu Tri ke rumah Sari selalu saja menimbulkan kegaduhan. Entahlah, bu Tri selalu bisa mencari seribu alasan untuk ribut dengan menantu pertamanya itu.

"Jangan teriak, Bu. Gavin baru saja tidur," ucap Sari masih berusaha berbicara sopan meski hatinya tengah dilanda kesal.

"Halah! Masa bodoh sama anakmu. Sekarang, coba aku tanya, kenapa anakku sampai bisa kelaparan begitu? Tahu kamu? Sekarang, suami dan anakmu itu sedang asik makan di rumahku, makan dari hasil masakan adik iparnya. Gak malu kamu sama Kamila? Kamu yang punya suami dan anak, malah Kamila yang mengurusnya!"

Ucapan bu Tri membuat dada Sari sesak. Padahal, tidak mungkin Lian meminta makan kesana jika tidak sedang dalam keadaan kepepet. Lagi pula, tadi Sari juga menyuruh Lian untuk beli bukan meminta di rumah ibunya.

"Astaghfirullah, Bu. Aku minta maaf jika kedatangan mas Lian dan Kia menjadi beban untuk Ibu dan Kamila. Aku memang sedang tidak sempat masak karena aku sedang tidak enak badan, Bu. Pekerjaan yang lain juga sudah kulakukan sebisanya."

"Ya harusnya kamu duluin perut suami sama anak kamu. Kalau sudah begini, siapa juga yang direpotin?"

"Maaf kalau mas Lian ngerepotin Ibu-"

"Bukan Lian, tapi kamu! Lian udah kasih kamu uang belanja, harusnya kamu tanggung jawab buat kasih makan enak buat suami dan anakmu. Heran, deh, kenapa juga Lian masih betah sama kamu. Lihat! Bentuk badanmu sama wajahmu itu sudah gak ada enak-enaknya buat dipandang, tahu!"

Bagai tersengat rasanya hati Sari saat bu Tri mengucapkan segala macam hinaan untuk dirinya. Sari menoleh ke arah lemari yang kebetulan berada tak jauh darinya. Ada kaca yang terpasang di bagian pintu lemari tersebut. Sari memperhatikan tubuh serta wajahnya dari cermin itu. Benar rupanya, dirinya sudah berubah cukup jauh dari tampilannya yang dulu.

"Bagus, ngaca kamu, sana! Udah gak bisa ngerawat anak, badan sendiri juga gak bisa dirawat. Lian cari perempuan lain baru tahu rasa kamu."

Setelah mengucapkan hal itu, bu Tri pergi tanpa mengucapkan salam hingga Sari sendiri tak sadar jika ibu mertuanya sudah pergi dari rumahnya.

Dengan langkah gontai, Sari berjalan menuju kamar mandi. Meski tadi sore ia sudah mandi dan keramas, tapi, kini pikirannya seolah menyuruhnya untuk melakukannya sekali lagi. Tak peduli jika saat ini jak dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam.

Dengan gerakan pelan tapi pasti, Sari mulai menggosok bagian demi bagian tubuhnya. Sabun batang yang baru saja dibuka dari bungkusnya itu sampai berbentuk sangat pipih. Rambutnya berbusa cukup banyak. Wangi. Sari menghirup dalam-dalam aroma yang menguar dari mahkotanya tersebut. Setelah memastikan tubuhnya bersih dan wangi, Sari akhirnya menyudahi acara mandinya.

Saat keluar dari kamar mandi, Sari cukup terkejut saat melihat jam dinding yang menggangtung pada dinding dapurnya.

"Astaghfirullah, apa yang sudah aku lakukan?"

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Mendadak Gila Karena Mertua   Baju Untuk Kia

    Sari turun dari mobil yang ia tumpangi bersama Damar. Seperti biasa, Sari mempersilakan Damar untuk sekadar duduk di kursi teras untuk menikmati secangkir teh buatannya."Terimakasih karena udah anterin aku hari ini ya, Mas."Damar buru-buru menelan air teh yang masih berada dalam mulutnya dan segera meletakkan cangkir teh ke atas meja."Sama-sama."Sari menyandarkan punggungnya dan menghela napas panjang. Ia sendiri tak tahu mengapa rasanya bisa selega ini. Tanpa sadar, Sari tersenyum sendiri membayangkan jika nanti saatnya Kia akan ikut bersamanya.Lamunan Sari buyar saat mendengar suara dering ponsel milik Damar. Buru-buru lelaki itu menjawab panggilan telepon untuknya."Ya, Bu?"Rupanya sang ibu yang menghubungi Damar. Sari tak ingin menguping pembicaraan ibu dan anak itu. Ia sendiri memilih untuk mengutak-atik ponsel miliknya sendiri."Aku tanya dulu ya, Bu. Bisa jadi dia sedang lelah. Kami baru saja pulang setelah berbelanja."Sari jadi merasa bahwa Damar dan ibunya tengah membi

  • Mendadak Gila Karena Mertua   Membeli Kado

    Wajah Hesti seketika berubah cemberut saat Lian membentaknya di depan umum. Dalam hati, Hesti semakin merasa bahwa ia harus segera membalas dendam pada Lian.Setelah membentak Hesti, Lian berlalu menuju bagian baju anak perempuan yang tadi disambangi oleh Sari dan Damar.Saat ini, Sari sudah berpindah tempat. Mungkin sedang mencari barang-barang lain yang ingin ia berikan pada putrinya.Seketika Lian menelan ludahnya kasar saat melihat harga yang tertera pada baju tersebut.Itu baju yang hampir sama dengan yang Sari ambil tadi. Lian tidak menyangka jika baju anak-anak seperti itu harganya bisa mencapai lima ratus ribu.Ia jadi teringat masa dimana Sari meminta uang pada Lian untuk membelikan baju untuk anaknya itu karena baju-baju milik Kia sudah banyak yang tak muat."Eh, buat apa uang itu, Lian?" tanya bu Tri saat Lian menyerahkan uang senilai dua ratus ribu pada Sari.Padahal, Sari sudah merasa sangat senang karena ia akan pergi ke pasar guna membelikan anaknya itu baju baru."Buat

  • Mendadak Gila Karena Mertua   Menguliti Lian

    Hari cepat sekali berganti. Setidaknya, itu yang dirasakan oleh Lian. Akhirnya, perceraiannya dengan Sari pun sudah sah secara hukum negara. Tuntutan Sari akan harta gono gini juga terkabul. Dalam waktu dekat, Lian harus menjual rumah itu agar hasil penjualan bisa ia bagi dengan Sari. Atau, jika Lian masih ingin mempertahankan rumah itu, Lian harus membayar separuh harga rumah pada Sari. Dan tentu saja Lian tak punya uang untuk itu.Berbeda dengan yang Sari rasakan. Selain perasaan lega karena kini statusnya sudah jelas, Sari juga merasa lebih baik karena tak ada lagi ikatan yang menyambung dirinya dan juga keluarga Lian selain Kia.Namun, Sari berjanji untuk tidak menciptakan permusuhan di antara keduanya. Bagi Sari, yang terputus darinya dan Lian hanyalah status suami dan isteri. Tapi, untuk menjadi orang tua Kia, mereka tetaplah berada di posisinya masing-masing."Udah, sih, Mas. Ikhlasin aja rumah itu. Toh, kamu bilang kalau bangun rumah itu pakai uang mbak Sari juga, kan? Berart

  • Mendadak Gila Karena Mertua   Disuruh Lamaran

    Sari dan Damar saling berpandangan. Merasa sia-sia kebohongan yang mereka buat untuk mengelabuhi orang tua Damar."Ibu gak lagi becanda, kan?"Ibu dari Damar itu tertawa. Sesekali menepuk pundak sang suami karena merasa lucu, sebab sudah berhasil menipu anaknya sendiri."Ya enggak, lah, Damar. Namira itu memang saudara jauh kita. Tepatnya, dari keluarga ayah kamu. Ya, kan, dari dulu kamu jarang kumpul sama keluarga dari ayah kamu. Kebetulan juga, Namira kuliahnya di luar negeri, dapat beasiswa kuliah di China."Damar hanya bisa menggaruk kepalanya yang mendadak terasa gatal. Gara-gara ia yang tidak terlalu dekat dengan keluarga ayahnya, apalagi saudara jauh, ia jadi mudah ditipu."Tapi gak apa-apa ya, Pak. Kita nipu kamu juga ada hasilnya, kan? Sekarang, akhirnya kamu pulang bawa perempuan juga. Seneng Ibu rasanya, Mar.""Ngomong-ngomong, sudah berapa lama kalian berhubungan?" Ayah Damar yang sedari tadi diam, akhirnya mengeluarkan suaranya.Sari melirik ke arah Damar, seakan menyuruh

  • Mendadak Gila Karena Mertua   Perjodohan Palsu

    "Ya gak usah ditanya lagi, lah, Hesti. Kalau bukan pelakor, apa namanya? Wong kamu sama Lian aja udah jalan bareng sebelum mereka sah bercerai," ucap bu Rasti membuat Hesti mengeram marah. Tapi, ia tidak ingin merusak imej sebagai seorang bidan jika harus marah-marah di depan umum."Tapi gak apa-apa, sih. Secara tidak langsung, kamu sudah menyelamatkan Sari dari mertua toksis macam bu Tri. Siap-siap aja kamu nanti, kalau gak kuat, langsung lambaikan tangan aja, ya. Jangan sampai gila kaya si Sari."Ketiga ibu itu tertawa bersama-sama. Merasa diolok-olok, Hesti sudah tak kuat terus berlama-lama disana."Ini Bu bidan, kembaliannya," ucap pemilik warung seraya menyerahkan beberapa lembaran uang pada Hesti.Tak ingin berlama-lama mendengar celotehan para ibu, Hesti lantas segera menaiki motornya dan segera pulang menuju rumah."Huuu ... malu, kan, dia. Makanya buru-buru pergi, tuh!""Iya. Profesinya mulia banget, tapi kelakuan orangnya gak ada mulia-mulianya. Ya udah yuk, Ibu-ibu, kita la

  • Mendadak Gila Karena Mertua   Mulut Comberan

    Lian berkata dengan suara yang cukup keras hingga mengambil alih atensi orang-orang yang semula sibuk dengan urusan mereka masing-masing.Kini, nyaris semua pasang mata tertuju padanya. Sari hanya bisa melongo melihat apa yang sudah Lian lakukan di tempat umum seperti ini.Sari bangkit, diikuti dengan Damar yang ada di belakangnya. Lian masih menatap tajam ke arah Sari dan secara bergantian menatap ke arah Damar."Mas, apa yang kamu lakukan? Malu didengar orang, Mas!" desis Sari yang jujur saja merasa sangat malu."Kamu malu karena kamu merasa sudah memiliki laki-laki lain sebelum kita resmi bercerai, kan? Kalau aku, untuk apa malu? Aku mengatakan hal yang benar."Sari hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar jawaban Lian. Kedua mata Sari terasa makin lembab mengingat laki-laki di hadapannya, yang dulu pernah begitu ia damba, kini berubah menjadi laki-laki tak berperasaan."Biarin aja kenapa, sih, Lian. Bener kata kamu, tuh. Dia malu karena orang-orang jadi tahu kalau dia itu perempu

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status