"Mbak Sari! Mbak Sari! Mau kemana, Mbak?"Bagaikan tuli, Sari tetap melanjutkan langkahnya menuju kebun kosong yang gelap tak jauh dari rumahnya. Tangisan Kia seakan sama sekali tak menyentuh gendang telinganya meskipun bocah itu sudah mengeluarkan suaranya sekuat tenaga."Gak mungkin aku ngikutin, kebun sana, kan, gelap banget. Mending aku kasih tahu suaminya aja."Salma, menantu dari bu Ratmi yang memang rumahnya hanya berjarak dua rumah dari rumah Sari itu melihat Sari berjalan menuju kebun kosong bersama anak perempuannya. Tadi, Salma baru saja melepas kepergian sang suami yang bekerja shift malam dan memutuskam untuk duduk-duduk sebentar di teras rumah sambil memainkan ponsel.Salma heran saat pintu rumah Sari terbuka lebar. Beberapa kali ia memanggil nama Lian, tapi tak ada yang menjawab."Duh! Mas Lian kemana, sih?"Salma meremat tangannya sendiri karena takut. Sesekali ia menoleh ke belakang, di mana arah perginya Sari tadi. Ia masih mendengar suara tangis Kia meskipun sudah t
Sandi buru-buru menggendong Kia yang masih menangis. Apalagi, ditambah dengan ia yang terjatuh sebab diam-diam Sandi menarik tubuh Sari dari belakang hingga menyebabkan Sari dan Kia terjatuh secara bersamaan."Mas, cepat bawa mbak Sari pulang!" teriak Sandi saat mendapati kakaknya itu masih terpaku di tempatnyaMungkin Lian juga sama terkejutnya.Sedangkan, Sari sudah menangis meraung dengan posisi masih duduk di atas tanah yang berumput itu. Ia meracau tidak jelas.****"Nyusahin banget isteri kamu itu Lian," gerutu bu Tri yang saat ini berada di ruang tamu rumah sang anak.Lian hanya mampu mengusap wajahnya kasar. Sari sudah tidur di kamarnya. Tadi, ia sempat pingsan ketika sampai di rumah dan mendapati kedua anaknya tengah menangis. Terutama Kia. Bocah itu sampai menolak untuk Sari dekati, membuat pukulan besar terhadap diri Sari sendiri."Ya, mau gimana lagi, Bu. Kayanya, Sari emang beneran sakit," jawab Lian lesu.Pikirannya kini benar-benar kacau. Melihat Sari yang kian hari kia
"Kamu mau kemana, Lian?" tanya bu Tri saat Lian beranjak dari duduknya "Mau ke poli kandungan sebentar, Bu. Mungkin sudah waktunya Sari dipanggil.""Kamu mau ninggalin Ibu sendirian di sini, begitu?"Wajah bu Tri sudah tampak khawatir. Ia takut jika Lian meninggalkan dirinya sendirian di ruang rawat itu. Tadi, saat bu Tri buru-buru masuk ke dalam rumah, ia tak melihat jika Kamila sedang mengepel lantai.Lantai yang masih basah membuat bu Tri terpeleset dan jatuh hingga berakhir pingsan. Lian yang memang sudah bersiap untuk pergi mengantarkan Sari itu pun segera membawa sang ibu ke rumah sakit. Ia meminta bantuan tetangganya yang memiliki mobil untuk mengantar bu Tri ke rumah sakit. Sari diminta oleh Lian ikut dengan mobil, sedangkan ia sendiri pergi dengan membawa motor. Gavin dan Kia mau tidak mau ia titipkan kepada Kamila meski awalnya adik iparnya itu keberatan.Bu Tri terpaksa dirawat karena tensi darahnya tiba-tiba naik. Kaki kirinya juga terkilir cukup parah, membuatnya kesuli
Kamila terkesiap saat mengetahui Sari sudah berdiri di hadapannya. Setelah melempar tatapan tajam kepada Kamila, Sari buru-buru berjongkok untuk menghampiri Kia yang masih menangis. Kini, tubuh anak itu pun basah sebab Kamila yang baru saja mengguyurnya dengan satu gayung penuh air."Apa yang sudah anakku lakukan sampai kamu tega guyur Kia kaya gini, Mil?"Kamila sebenarnya takut, tapi, ia berusaha untuk menutupi semua itu. Ia berdehem kecil dan memasang wajah garang di hadapan Sari."Anak kamu itu nyusahin tahu, Mbak! Cerewet banget. Minta makan, dikasih ini gak mau, itu gak mau. Malah makanan yang udah susah payah aku masakin di hancurin semuanya sama dia," ujar Kamila seraya menunjuk ke arah Kia yang masih menangis.Sari berusaha menenangkan sang anak dengan cara memeluknya, namun, apa yang ia dapati sungguh membuat hatinya berdenyut sakit. Kia menolak pelukannya dan berlari menuju rumahnya."Aku gak mau sama Ibu. Ibu jahat, mau lempar Kia ke dalam sungai."Sari mematung. Otaknya m
"Bu Hesti?"Seseorang yang disebut namanya itu pun menoleh. Bu Tri yang tadinya berwajah masam, seketika menampilkan senyum manisnya, dibarengi dengan sambutan hangat kepada anak sulungnya itu."Eh, udah balik kamu, Lian. Ini, lho, ada bidan Hesti tadi mampir ke sini. Bawain Ibu buah, sekalian disuapin pula."Hesti yang dipuji-puji itupun menampakkan senyum malu-malu. Pipinya memerah entah karena malu atau memang ia yang menggunakan perona pipi."Pak Lian, Mas Sandi," sapa Hesti dengan sedikit menganggukkan kepala."Bu Hesti, kok, tahu kalau ibu saya dirawat di rumah sakit ini?" tanya Lian penasaran. Bagaimana bisa bidan muda itu sampai di sana dan tengah menyuapi ibunya saat ini."Oh, saya tidak sengaja bertemu Bu Tri di sini. Tadi, saya habis jenguk rekan sejawat saya yang sedang sakit. Itu, rekan saya dirawat di ranjang paling ujung," jawab Hesti sembari telunjuk lentiknya mengarah ke arah di mana ranjang paling ujung berada.Bu Tri memang dirawat di ruangan kelas dua yang berisi t
Selepas magrib, Sandi memutuskan untuk pulang ke rumah. Bu Tri tidak mau jika Sandi yang menemaninya di rumah sakit. Ia ingin agar Lian yang menginap di sana. Sekalian, bu Tri juga ingin membicarakan banyak hal pada sulungnya itu tanpa gangguan si bungsu."Gimana kondisi ibu, Mas?" tanya Kamila seraya menyuguhkan secangkir kopi kesukaan Sandi."Sudah jauh lebih baik. Hanya saja, kakinya masih sulit untuk digerakkan. InsyaAllah, besok sudah boleh pulang."Kamila tak lagi menanyakan apapun tentang ibu mertuanya itu. Ia hanya fokus pada televisi di depannya sebelum ia teringat suatu hal. Kamila merapatkan diri ke arah Sandi."Mas Lian seharian ini apa gak pulang, Mas?"Sebenarnya, pertanyaan yang Kamila ajukan pada Sandi hanyalah untuk memastikan suatu hal saja. Sandi terlihat menyeruput kopi yang sudah menghangat."Pulang, kok. Tadi siang, mas Lian pulang bareng sama bidan Hesti.""Bidan Hesti? Kok, bisa?"Rupanya Kamila tak salah dengan penglihatannya. Yang ia lihat tadi siang memang b
Lian mengalami mimpi buruk sehingga membuat ia terjaga lebih cepat. Jam pada dinding menunjukkan pukul tiga pagi. Padahal, semalam ia baru saja tidur ketika jam dua belas malam."Kenapa perasaanku gak enak, ya?"Berusaha mengenyahkan berbagai pikiran buruk, Lian kembali membaringkan tubuhnya di atas tikar tipis dengan bantal kecil itu. Hingga tak lama, Lian kembali terlelap."Bu, kata dokter, nanti siang Ibu sudah boleh pulang. Nunggu cairan infusnya habis dulu.""Iya. Dan kamu jangan lupa pesan Ibu kemarin ya, Lian.""Iya, Bu," jawab Lian sedikit enggan.Pasalnya, dari kemarin sang ibu terus saja meminta Lian untuk mendekati Hesti. Rencananya, saat sudah pulang nanti, bu Tri ingin agar kakinya terus mendapatkan perawatan dari bidan muda nan cantik itu."Kamu udah urus administrasinya?""Belum, Bu. Aku mau pulang dulu sebentar. Kartu ATMku kayanya ketinggalan di rumah, Bu. Nanti aku juga sekalian mau minta patungan sama Sandi. Tanggal gajianku masih lama soalnya, Bu."Bu Tri tampak me
Lian menangis sembari memeluk tubuh Gavin yang telah kaku. Betapa terkejutnya Lian saat mendapati Gavin masih dalam posisi tidur di ranjangnya tapi dengan bibir yang sudah membiru."Ayah, adik kenapa, Yah?" tanya Kia masih dengan isakan-isakan kecil yang keluar dari bibirnya.Sebenarnya, Kia tahu apa yang terjadi pada adiknya. Tapi, anak sekecil itu tidak akan paham akibat dari sebuah kejadian. Semalam, Kia melihat saat adiknya menangis keras dan sang ibu berusaha mendiamkannya dengan cara menggendong dan memberinya susu.Namun, Gavin tak kunjung diam sampai akhirnya, Sari meletakkan Gavin kembali ke atas ranjang. Tangannya bergerak mengambil bantal besar miliknya, lalu, meletakkannya di atas tubuh Gavin.Bantal sebesar itu tentu saja mampu menutup seluruh tubuh termasuk wajah bayi yang mungil. Persis seperti malam kemarin dan Kia berusaha menolong sang adik. Namun, Sari justru mendorong tubuh Kia hingga tubuh bocah empat tahun itu terjatuh dari atas ranjang.Kia berusaha lari keluar,