LOGINKeesokan paginya, Aluna menyiapkan tiga amplop kecil. Masing-masing diberi nama: Raka, Rama, dan Rajen. Di dalamnya hanya ada uang dua ribu rupiah dua dan satu logam pecahan seribuan. Hari ini merupakan proses pembelajaran secara praktek setelah teori yang dia berikan kemarin. Ia memanggil anak-anak ke ruang tamu sebelum ketiganya berangkat ke sekolah.
“Ini uang jajan kalian untuk hari ini,” katanya dengan nada serius tapi lembut. “Boleh dipakai, tapi harus hati-hati ya. Kalau hilang, Bunda nggak akan ganti. Kalau mau beli sesuatu, dipikiran dulu.”Ketiganya menatap amplop itu dengan ekspresi kagum seolah sedang melihat harta karun.“Beneran buat kita, Bunda?” tanya Rama dengan mata berbinar.“Iya. Tapi ingat, harus bijak. Tidak boleh boros.”Rajen memegang amplopnya seperti benda suci. “Kalau aku nggak mau belanja, boleh disimpan?”“Boleh banget,” jawab Aluna senang. “Rajen pintar.”Raka langsung berdiri dan berkata banKeesokan paginya, untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, Tama tidak berangkat pagi. Biasanya, ketika matahari baru menembus sela tirai, ia sudah berdiri di depan cermin dengan jas yang rapi dan dasi yang sudah terikat sempurna. Tapi kali ini berbeda. Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar ponselnya beberapa detik, lalu menekan nomor sekretarisnya. Memberi tahu bahwa hari ini dia tidak akan pergi ke kantor.“Bilang aja saya WFH hari ini,” katanya tegas tapi tenang.Nada suaranya tegas khas seorang pemimpin, tapi di dalamnya ada kelembutan yang jarang muncul belakangan ini. Setelah menutup telepon, Tama menatap sosok istrinya yang masih berbaring.Aluna membuka mata perlahan. Wajahnya pucat, lemah, tapi masih berusaha tersenyum. Pandangan matanya sedikit kabur, seolah masih belum percaya dengan apa yang dilihatnya. Biasanya, di jam seperti ini, suaminya sudah terburu-buru merapikan dasi, memeriksa laporan di laptop, atau menjawab panggilan dari klien luar negeri. Tapi pagi itu, pr
Pukul 09.20, Aluna sudah berkeringat.Ia sempat duduk sebentar di tepi tempat tidur, tapi pandangannya langsung jatuh pada keranjang cucian di pojok kamar—penuh hingga hampir meluber.“Ya ampun…” desahnya lagi.Ia tahu bisa menundanya, tapi tidak tahan melihat tumpukan itu. Jadi, ia berdiri lagi, menyeret keranjang ke kamar mandi.Baju kecil, seragam playgroup, celana rumah, saputangan, semuanya masuk ke mesin cuci.Sementara mesin berputar, ia menata rak handuk, menyapu lantai kamar mandi, lalu mengelap cermin.Tak ada jeda. Tak ada waktu duduk.Pukul 10.10, saat akhirnya ia menatap pantulan dirinya di cermin, ia baru sadar wajahnya pucat. Rambut yang tadi diikat kini lepas sebagian, menempel di pelipis basah oleh keringat.“Kayak orang habis olahraga,” gumamnya pelan, mencoba tersenyum pada diri sendiri.Namun, senyum itu cepat pudar ketika pandangannya berkunang sejenak.Ia bersandar pada wastafel, menutup mata
“Rakaaa, jangan rebutan sendok sama Rama!” seru Aluna dari dapur sambil mengaduk bubur ayam di panci kecil. Suaranya sedikit meninggi, tapi masih terdengar lembut khas seorang ibu yang berusaha sabar di tengah kekacauan pagi yang sering terjadi.“Tapi Rama duluan, Ma!” Raka bersuara keras, wajahnya cemberut, kedua tangannya berusaha merebut sendok yang kini dipeluk Rama di dada.Rama, si kembar kedua, menjawab cepat sambil melengos, “Karena aku lapar jadi aku ambil sendoknya duluan! Raka kan masih main mobil tadi!” Ia menekankan kata “main mobil” seperti menegaskan bahwa dirinya lebih pantas mendapat jatah pertama.Rajen duduk di kursi kecil di samping meja makan, diam tapi matanya berkilat geli. Ia memang jarang ikut berdebat, lebih suka mengamati dua saudaranya yang setiap pagi seolah berlomba jadi bintang drama rumah itu. Sesekali, dia menyuap susunya sendiri menggunakan sendok, kadang miring, kadang tumpah, tapi tak pernah protes.Aluna menari
Saat bel pulang berbunyi Rajen baru menyadari kalau amplop itu hilang. Ia panik, mencari di bawah bangku, di dalam tas, bahkan di dalam kotak bekalnya. Saku celananya pun tidak luput dia rogoh tapi amplop uang itu tidak ada. Matanya mulai berkaca-kaca.Seketika, napasnya tercekat. Ia menepuk-nepuk seluruh badan kecilnya, kembali membuka tas, memeriksa kotak pensil, lalu bekal makanannya. Dua kali dan tetap nihil.Amplop itu hilang.Ia menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang mulai naik ke pelupuk. Tak berani bicara, ia hanya berjalan pelan ke pagar sekolah, matanya terus menunduk ke tanah, berharap amplop putih itu muncul di antara kerikil atau rumput. Tapi sampai suara langkah teman-temannya menghilang, ia tak menemukannya juga.Ketika Aluna datang menjemput, wajah Rajen tampak berbeda dari biasanya. Tidak ada senyum lembut atau sapaan pelan. Ia hanya menatap ujung sepatunya sendiri.Aluna langsung tahu ada yang tidak beres.“
Keesokan paginya, Aluna menyiapkan tiga amplop kecil. Masing-masing diberi nama: Raka, Rama, dan Rajen. Di dalamnya hanya ada uang dua ribu rupiah dua dan satu logam pecahan seribuan. Hari ini merupakan proses pembelajaran secara praktek setelah teori yang dia berikan kemarin. Ia memanggil anak-anak ke ruang tamu sebelum ketiganya berangkat ke sekolah.“Ini uang jajan kalian untuk hari ini,” katanya dengan nada serius tapi lembut. “Boleh dipakai, tapi harus hati-hati ya. Kalau hilang, Bunda nggak akan ganti. Kalau mau beli sesuatu, dipikiran dulu.”Ketiganya menatap amplop itu dengan ekspresi kagum seolah sedang melihat harta karun.“Beneran buat kita, Bunda?” tanya Rama dengan mata berbinar.“Iya. Tapi ingat, harus bijak. Tidak boleh boros.”Rajen memegang amplopnya seperti benda suci. “Kalau aku nggak mau belanja, boleh disimpan?”“Boleh banget,” jawab Aluna senang. “Rajen pintar.”Raka langsung berdiri dan berkata ban
“Bunda, tadi aku mau beli permen, tapi nggak bisa!” seru Raka begitu melompat ke pelukan Aluna di depan gerbang sekolah.“Eh? Mau beli permen?” Aluna mengernyit sambil memakaikan topi anaknya yang hampir jatuh. “Tapi kamu kan nggak bawa uang.”“Nah itu!” sela Rama cepat. “Katanya harus bayar dulu pakai uang. Tapi kita nggak punya. Jadi aku bilang aja nanti Mama yang bayar. Tapi ibu kantinnya ketawa.”Guru mereka, Bu Dita, yang berdiri di belakang, ikut tertawa. “Hehe, iya, Bunda. Hari ini seru sekali. Si kembar tiga ini—eh, maaf, triplets-nya Ibu—lagi belajar tentang uang jajan dari teman-teman. Tadi mereka ramai-ramai ke kantin. Tapi karena belum tahu caranya, jadi malah bingung semua.”Aluna menutup mulut, menahan tawa. “Aduh, iya Bu, mereka memang belum pernah saya kasih uang jajan. Terima kasih ya sudah dijaga.”Rajen yang sejak tadi diam malah tiba-tiba ikut bicara, “Aku kasih uang kok, Ma. Tapi uangnya kertas warna biru yang kemarin aku gambar sendiri.”Guru itu tertawa lebih ke







