Share

2. Aku Ingin Bercerai

Author: Merspenstory
last update Last Updated: 2025-03-13 14:26:25

Keesokan harinya,

Langit kelabu menaungi pemakaman kecil itu, seolah turut berduka atas kehilangan Mariana. Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi tanah merah yang masih basah oleh galian segar. Udara dingin menusuk, tapi tak sebanding dengan kehampaan yang menggerogoti hatinya.

Meski rasa sakit pasca operasi masih terasa, tetapi Mariana meneguhkan hatinya untuk mengantar bayinya ke peristirahatan terakhir.

Wanita itu duduk kaku di samping batu nisan, kedua tangannya saling mencengkeram erat di atas pangkuan. Mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah yang baru saja ditutup.

Di sanalah, di dalam bumi yang dingin itu, bayi yang seharusnya lahir dalam hitungan hari kini tertidur selamanya.

Suara ustaz terdengar khidmat saat ia membacakan ayat-ayat suci. Isak tangis pecah di antara keluarga yang hadir, tetapi Mariana sendiri hanya terdiam, tak mampu mengeluarkan suara.

‘Sayang … maafkan Mama.’ Suara itu hanya terucap dalam hati Mariana.

Tidak ada air mata lagi yang bisa Mariana tumpahkan. Semuanya terasa hampa.

Di sisi lain, Bara berdiri dengan kepala tertunduk. Wajahnya menyiratkan penyesalan, tetapi Mariana tak ingin melihatnya. Sejak di rumah sakit, ia telah berkata dengan tegas bahwa pria itu tidak lagi memiliki tempat dalam hidupnya.

Bianca tak ada di antara mereka. Mariana bahkan tak ingin tahu di mana adiknya berada. Gadis itu tidak pantas berada di sini. Tak pantas menangisi bayinya yang tidak pernah bisa lagi Mariana genggam.

Di samping Mariana, ibunya sesekali menyeka air mata dengan ujung jarinya. Sang ayah berdiri di belakang mereka, wajahnya tegas namun matanya menyimpan duka yang mendalam.

Orang tuanya belum tahu kebenaran yang sesungguhnya.

Belum tahu siapa yang telah mengkhianati Mariana.

Belum tahu bagaimana dalam satu malam, hidupnya hancur berantakan—kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan segalanya.

Dan Mariana tak tahu apakah ia sanggup memberi tahu mereka.

Pemakaman telah selesai, dan satu per satu pelayat pun bubar. Namun Mariana sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

Seorang perempuan setengah baya, ibu Mariana, menepuk pundaknya dengan lembut. “Mariana, kita pulang sekarang, hm?”

Mariana masih diam.

Pulang? Ke mana? Rumahnya sudah bukan rumah lagi.

Kamar yang telah ia persiapkan untuk bayi kecilnya dengan penuh cinta kini hanya menjadi ruang kosong yang menyimpan kepedihan. Dan kamar tidurnya bersama Bara hanya akan mengingatkannya pada pengkhianatan paling keji. Pria itu bergumul bersama adiknya tepat di atas kasur mereka.

Tanpa menjawab, Mariana hanya memandang tanah itu sekali lagi. Angin dingin menerpa wajahnya, membawa serta bisikan yang entah berasal dari mana.

Ia menggigit bibir, menahan gejolak di dadanya.

Tatapannya tetap terpaku pada tanah basah itu, seolah berharap keajaiban bisa mengembalikan bayinya.

Namun, kenyataan tak sebaik itu.

Dengan langkah lemah, ia bangkit dari posisinya. Kakinya hampir tak sanggup menapak, seakan nyawanya sendiri ikut terkubur bersama bayinya.

Hari ini, Mariana bukan hanya kehilangan anaknya.

Hari ini, ia kehilangan segalanya.

***

Usai dari pemakaman, Mariana memilih pulang ke rumah orang tuanya. Setidaknya masih ada tempat yang bisa dituju selain rumahnya bersama Bara.

Sepanjang perjalanan, Mariana menatap kosong jalanan di luar jendela mobil. Tidak ada percakapan yang terdengar di dalam kendaraan itu. Hanya deru napas yang bersahutan dalam keheningan.

Di samping Mariana, ibunya mengamati putri sulungnya itu dengan cemas. Sejak tadi malam, Mariana belum mengucapkan sepatah pun kata. Dan itu membuat ibunya merasa khawatir.

“Mariana,” panggil ibunya.

Mariana menoleh ke samping, menatap ibunya dengan pandangan kosong. Bibirnya seakan terkunci, Mariana tidak mengucapkan apa pun.

Mata ibunya tampak berkaca-kaca. “Ibu mengerti kamu merasa sangat terpukul. Tapi, kamu harus kuat ya,” ucapnya seraya menggenggam punggung tangan Mariana.

Kuat? Bagaimana ia bisa kuat di tengah semua hal yang memaksanya untuk hancur?

Tak lama kemudian, mobil yang dikendarai ayah Mariana memasuki halaman rumah. Begitu kendaraan berhenti, Mariana langsung turun dan melangkah masuk ke dalam kamarnya saat masih gadis dulu.

Mariana duduk di ujung ranjang dengan tatapan kosong. Tubuhnya masih terasa lemah, tetapi ada sesuatu yang lain—sensasi nyeri di dadanya.

Mariana menunduk. Pandangannya jatuh pada noda basah di bajunya. ASI.

Meskipun bayinya sudah tiada, tubuhnya masih mengira ada kehidupan yang harus ia beri makan. Tangannya gemetar saat menyentuh dadanya, dan tanpa bisa ditahan, tangisnya pecah lagi.

Bahkan setelah kehilangan segalanya, tubuhnya masih mengingat bahwa ia adalah seorang ibu.

Namun, kini tak ada lagi bayi yang bisa disusuinya.

“Ya Tuhan …,” lirih Mariana di sela isak tangisnya.

Ketukan pelan terdengar sebelum pintu perlahan terbuka. Di ambang pintu, ibunya berdiri sejenak sebelum melangkah masuk. Mata perempuan itu masih sembap, tetapi raut wajahnya tetap lembut saat menatap putrinya yang duduk diam di tepi ranjang.

“Mariana,” panggilnya lirih. “Di luar Bara menunggumu. Katanya dia ingin bicara.”

Mariana tidak langsung bereaksi. Ia tetap diam dengan air mata yang terus mengalir tanpa henti di pipinya.

Kepalanya terasa berat, pikirannya pun masih kacau. Perasaan sesak masih mengunci dadanya rapat-rapat.

Sang ibu melangkah lebih dekat, lalu duduk di sampingnya dengan ragu-ragu. Jemarinya menyentuh punggung tangan Mariana, mencoba memberikan sedikit kenyamanan.

“Apa kalian bertengkar?” tanya ibunya hati-hati.

Selama ini ia jarang sekali melihat Mariana mengabaikan suaminya seperti itu. Sekali pun mereka bertengkar, dengan sifat Mariana yang berhati lembut, putrinya itu bahkan masih memperhatikan Bara.

Tapi kali ini ada yang berbeda. Mariana benar-benar mengabaikan Bara, bahkan terlihat tak sudi untuk menatapnya.

Mariana masih tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, seolah kata-kata ibunya tidak sampai ke telinganya. Hening menyelimuti ruangan, hanya terdengar napas lirih di antara keduanya.

Setelah beberapa saat, Mariana akhirnya menoleh, menatap ibunya dengan mata sayu yang penuh luka. Suaranya nyaris tidak terdengar ketika ia berkata, “Aku akan menemui Bara.”

Ibunya mengangguk pelan, namun raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. Ia berdiri dan mengekori Mariana yang perlahan bangkit dari ranjang. Dengan langkah lemah, Mariana berjalan keluar dari kamar dan membiarkan ibunya mengikuti dari belakang.

Begitu tiba di ruang tengah, pandangannya langsung bertemu dengan Bara yang duduk di samping ayahnya. Pria itu tampak lelah, matanya merah seperti baru saja menangis. Namun Mariana sama sekali tidak peduli.

Ia tidak ingin mencari tahu apakah Bara benar-benar menyesali perbuatannya atau tidak. Baginya, semua itu sudah tidak ada artinya lagi. Kenyataan bahwa Bara membunuh anak mereka sama sekali tidak bisa ditepis begitu saja oleh Mariana.

Mariana berhenti tepat di depan Bara. Tanpa basa-basi, ia membuka mulut dan mengucapkan kata yang selama ini tidak pernah terpikirkan olehnya dengan lantang.

“Aku ingin bercerai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 142

    Pagi menyapa perlahan, seperti tak ingin mengganggu terlalu cepat. Kelopak mata Mariana bergerak pelan sebelum akhirnya terbuka. Ia menyipit, membiarkan cahaya masuk perlahan ke dalam pandangannya. Ranjang di sampingnya sudah kosong, tapi hangatnya masih tertinggal di seprai. Nate sudah bangun.Ia menarik selimut sedikit, duduk perlahan, dan menarik napas panjang. Masih setengah mengantuk, namun entah kenapa, hatinya terasa penuh.“Aroma manis apa ini?” gumam Mariana sambil mengucek kedua matanya.Sepersekian detik kemudian, Mariana menurunkan kedua kakinya dari ranjang.Saat ia hendak berdiri, terdengar suara langkah kecil mendekat dari arah lorong. Tertahan. Disusul bisikan pelan dan suara benda keramik yang seperti sedang berusaha seimbang di atas nampan.Tak lama kemudian, pintu kamar perlahan terbuka.Noel muncul lebih dulu, wajahnya berseri-seri. Di belakangnya, Elhan menyusul sambil hati-hati membawa nampan berisi dua cangkir dan sepiring roti panggang. Terakhir, Nate muncul.

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 141

    Langit malam dipenuhi taburan bintang saat halaman rumah keluarga Adikara mulai dipenuhi aroma panggangan dan suara tawa. Meja makan panjang di beranda belakang telah tertata rapi dengan lampu-lampu gantung kecil yang menggantung dari pohon ke pohon.Mariana menaruh mangkuk salad terakhir di ujung meja, lalu mundur dua langkah untuk memastikan semuanya siap. Terdengar suara Noel dan Elhan yang saling sahut-menyahut dari arah belakang—mereka tengah membantu Bi Sri membawa gelas, tapi sambil berebut siapa yang lebih cepat. Mariana tersenyum mendengar kegaduhan kecil itu.Di sisi lain, Nate sedang bicara dengan seseorang di telepon—katanya darurat, tapi sesekali matanya tetap mengikuti Mariana dari kejauhan.“Masih kurang apa, Na?” tanya Arsita.“Cuma tinggal tamunya yang belum datang, Ma,” jawab Mariana sambil terkekeh. Ia meletakkan serbet di kursinya, lalu merapikan piring kecil yang sedikit miring.Ada rasa puas dalam hatinya, bukan karena makanannya sempurna, tapi karena malam ini s

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 140

    Sudah hampir seminggu berlalu sejak pemakaman. Hujan sempat turun dua malam berturut-turut, menambah sendu di hati Noel yang masih memikirkan Thalia.Mariana duduk di ruang tengah, memperhatikan halaman kecil di luar jendela. Hujan telah reda, tapi suasana di rumah belum banyak berubah.Noel masih kerap terbangun di tengah malam, memanggil Thalia dalam mimpi yang tak bisa ia ingat sepenuhnya. Kadang ia menangis tanpa suara, kadang hanya memeluk guling sambil terisak pelan.Hari itu, Nate bekerja dari rumah. Ia duduk di ruang kerja dengan laptop menyala, tapi telinganya tetap awas menangkap setiap suara dari arah kamar anak-anaknya.Di kamar mereka, Noel duduk bersila di atas lantai, ia memandangi selembar kertas kosong di hadapannya. Di sebelahnya, Elhan sedang memegang krayon berwarna biru muda, siap mewarnai buku gambarnya.“Kak El… kamu bisa bantu aku nulis?” tanya Noel.Elhan segera menoleh. “Nulis apa?”“Noel belum bisa nulis. Tapi aku mau kirim surat buat Kak Thalia.”Elhan mele

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 139

    Mariana berdiri di sisi kanan dua liang lahat yang digali berdampingan. Nate berada di sebelahnya, menggendong Noel yang tak henti sesenggukan dalam pelukan, sementara tangan Mariana menggenggam erat tangan Elhan.Di hadapan mereka, jenazah Bianca dan Thalia baru saja diturunkan bersamaan. Prosesi itu dilakukan dengan sangat hati-hati oleh beberapa pria dari masjid. Dua tubuh yang selama ini tak pernah benar-benar berdamai dalam hidup, kini terbaring berdampingan, diam, dan sunyi dalam kematian.Tak banyak yang hadir hari itu. Hanya keluarga inti dan beberapa orang dekat. Mereka berdiri dalam lingkaran yang longgar, mengenakan pakaian serba putih, dan menunduk dalam keheningan yang dalam.Doa-doa dilantunkan lirih oleh pemuka agama yang berdiri di sisi liang, suaranya terdengar pelan tapi jelas, menggema di antara desir angin dan suara tanah yang mulai disendokkan ke dalam liang satu per satu.Di seberang, Armand berdiri kaku, pria tua itu tampak terpukul. Ratna tampak lebih rapuh. Ia

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 138

    Suasana pagi di rumah itu semestinya berjalan tenang. Namun entah kenapa, dada Mariana terasa berat. Ia tak tahu dari mana datangnya perasaan itu, tapi hatinya sudah gelisah sejak tadi.Di meja makan, ia sedang menyendokkan bubur hangat ke mangkuk kecil milik Noel. Bocah itu duduk manis sambil bermain dengan sendok plastik. Elhan duduk di seberang adiknya, memandangi ibunya dengan dahi sedikit berkerut.Kemudian ponsel Mariana yang diletakkan di atas meja bergetar pelan, disusul nada dering lembut. Nama yang tertera di layar membuat jantungnya langsung mencelos.Ibu.Ia menatap nama itu selama beberapa detik, bahkan sempat ragu untuk mengangkat. Tapi pada akhirnya Mariana menggeser ikon hijau dan menempelkan benda itu ke telinga.“Halo, Bu?”Suara Mariana terdengar biasa. Ia tidak ingin langsung menunjukkan keretakan yang semalam belum sempat ia pulihkan.Namun di seberang, suara ibunya langsung pecah. Isak tangis yang terdengar parau dan mengguncang. Bukan rengekan dramatis. Tapi tan

  • Mendadak Jadi Ibu Susu Anak Atasanku   Bab 137

    Setibanya di rumah, Mariana membantu Elhan turun dari mobil, sementara Nate menggendong Noel yang kembali tertidur di perjalanan.Tak ada satu kata pun terucap dari bibir Mariana. Ia hanya fokus memastikan langkah Elhan tetap stabil, meski dalam hati ia masih berusaha keras agar air matanya tidak jatuh di depan anak-anaknya—terutama Elhan yang sedari tadi terus mencuri pandang karena penasaran.“Elhan, ayo ikut Papa ke kamar,” ujar Nate pelan, menoleh ke putra sulungnya sambil mengatur posisi Noel di pelukannya.Elhan mengangguk pelan. Sebelum melanjutkan langkah, ia sempat menatap Mariana, memastikan ibunya baik-baik saja. “Ma… Elhan tidur dulu ya. Selamat malam,” ucapnya sambil tersenyum kecil.Senyum itu begitu lembut dan tulus, membuat hati Mariana terenyuh melihatnya.Mariana mengangguk, kemudian membalas senyum itu dengan lembut. Ia mengecup kening putranya singkat dan berbisik, “Selamat malam juga, Sayang. Mimpi yang indah, ya.”Setelah Nate dan Elhan berjalan ke arah kamar ana

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status