“Astaghfirullah! Apa yang kalian berdua lakukan?!”
Suara jeritan Mariana menggema di kamar tidur yang dulu menjadi saksi cintanya dengan sang suami. Namun kini, pemandangan di hadapannya menghancurkan segalanya.
Tubuh Mariana limbung, tapi ia memaksa dirinya tetap berdiri. Napasnya tersengal sementara dadanya mulai terasa sesak.
Di atas ranjang mereka, suaminya berbaring tanpa busana. Dan yang lebih menghancurkan hatinya, wanita yang bersamanya adalah Bianca—adik kandung Mariana sendiri.
Mariana menatap mereka dengan mata yang bergetar, berusaha mencari penjelasan yang sebenarnya tak lagi diperlukan. Segala sesuatu sudah terpampang jelas di hadapannya.
“Kalian … bagaimana bisa?” suaranya nyaris tak terdengar.
Darah di tubuhnya terasa beku. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah dunia yang selama ini ia kenal runtuh begitu saja. Air mata menggenang di pelupuk matanya dan mengaburkan pandangannya.
“Ka-kak ….” Bia tergagap, wajahnya pucat pasi saat buru-buru meraih selimut untuk menutupi tubuhnya.
Di samping Bianca, Bara tersentak kaget. Dengan gerakan tergesa-gesa, pria itu meraih celananya yang tergeletak di lantai lalu berlari menghampiri Mariana.
“Sayang, aku bisa jelaskan—”
“Jelaskan apa lagi, Bara?!” Mariana menyela dengan suara bergetar. “Aku melihat semuanya dengan mataku sendiri! Kalian berdua—!”
Kata-katanya terhenti di ujung lidah. Dadanya naik turun, dipenuhi rasa sesak yang tak tertahankan. Amarah bercampur dengan kepedihan mengoyak dada Mariana seperti sembilu.
Matanya kembali menatap ranjang yang berantakan. Selimut kusut, aroma tubuh mereka masih terasa di udara. Benar-benar menjijikan!
Tubuh Mariana melemah, seolah beban yang menyesakkan dadanya kini juga melumpuhkan seluruh dirinya. Lalu, tiba-tiba—
Rasa sakit luar biasa menusuk perutnya.
Mariana tersentak. Tangannya refleks mencengkeram perutnya yang membuncit. Rasa nyeri itu datang begitu kuat hingga kakinya bergetar hebat. Dan seketika itu juga, sesuatu yang hangat mengalir di antara kedua pahanya.
Darah.
Tarikan napasnya melemah sebelum akhirnya tubuhnya ambruk ke lantai.
“Kak Mariana!” Bianca menjerit panik sementara matanya membelalak sempurna.
“Sayang!” Bara hendak meraih tangannya, tetapi Mariana menepisnya dengan tatapan penuh kebencian.
“Ja-jangan sentuh aku …,” suaranya begitu lemah.
Bianca dan Bara seketika kelimpungan. Wajah mereka sama-sama dipenuhi kepanikan.
“Cepat panggil ambulans!” seru Bara pada Bianca.
Bianca segera meraih ponselnya dan menghubungi layanan darurat.
Sementara itu, Mariana menggigit bibirnya seraya menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Air mata terus mengalir dari sudut matanya, bukan hanya karena rasa sakit pada perutnya, tetapi juga luka yang jauh lebih dalam di hatinya.
Semua ini terasa seperti mimpi buruk. Mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
***
Suara sirene ambulans memecah keheningan malam, menggantikan jeritan panik Bianca dan suara Bara yang terbata-bata menjelaskan situasi kepada operator darurat. Tubuh Mariana sudah hampir kehilangan seluruh tenaganya. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan nyeri di perutnya semakin menjadi-jadi.
Dalam pandangannya yang semakin kabur, Mariana merasakan tubuhnya diangkat ke atas tandu. Suara-suara di sekelilingnya terdengar samar, tetapi ia masih bisa merasakan dinginnya udara malam menyentuh kulitnya saat mereka membawanya keluar.
Seorang petugas medis dengan sigap memasangkan masker oksigen di wajahnya, sementara yang lain bergerak cepat memeriksa tekanan darahnya.
“Tekanan darahnya turun drastis!” suara paramedis itu terdengar tegang. “Detak jantung janin juga melemah. Kita harus bergerak cepat!”
Kata-kata itu menghantam kesadaran Mariana seperti tamparan keras.
Tidak. Tidak mungkin.
Kepanikannya bercampur dengan ketakutan yang mencekam. Rasa sakit di perutnya semakin menjadi, tetapi lebih dari itu, ada sesuatu yang jauh lebih menakutkan menghantui pikiran Mariana.
Tidak boleh terjadi apa-apa pada bayinya.
Mariana berusaha mengangkat tangannya, ingin menggenggam perutnya yang terasa semakin berat. Tapi tubuhnya terlalu lemah.
Bara naik ke dalam ambulans, wajahnya tampak begitu cemas. “Sayang, bertahanlah! Aku ikut denganmu,” suaranya bergetar.
Mariana ingin menjerit, ingin menolak kehadiran pria itu. Tapi yang keluar dari bibirnya hanyalah isakan lirih. Mariana terlalu lemah untuk mengusir pria itu.
Sesampainya di rumah sakit, Mariana segera dibawa ke ruang gawat darurat. Seorang dokter perempuan datang tergesa-gesa memeriksa kondisinya.
“Kita harus segera lakukan operasi. Pasien mengalami solusio plasenta—”
Mariana tak bisa memahami sepenuhnya istilah medis yang digunakan dokter, tetapi ia tahu satu hal. Saat ini bayinya dalam bahaya.
“Kumohon … selamatkan bayiku,” Mariana berbisik lemah, air matanya mengalir membasahi pipi.
“Tim segera bersiap. Kita ke ruang operasi sekarang!”
Para perawat mendorong ranjang Mariana dengan cepat. Langit-langit rumah sakit tampak berputar dalam pandangannya yang semakin mengabur. Suara-suara mulai terdengar jauh seperti berada di ujung terowongan.
Sebelum semuanya menjadi gelap, Mariana hanya bisa berdoa.
‘Ya Allah, selamatkan bayiku.’
***
Beberapa jam kemudian,
Suara monitor detak jantung berdengung samar di ruangan serba putih itu. Aroma khas antiseptik menusuk hidung, bercampur dengan hawa dingin yang terasa menusuk hingga ke tulang.
Mariana membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, tubuhnya terasa lemah, sementara nyeri masih berdenyut di perutnya.
Ada sesuatu yang hilang. Perasaan kosong itu mencengkeram hatinya sebelum pikirannya bisa sepenuhnya sadar.
“B-bayi … bayiku …,” suaranya serak, hampir tak terdengar.
Seorang perawat yang berjaga segera menghampiri. Tatapan wanita itu penuh belas kasihan, dan itu sudah cukup bagi Mariana untuk memahami segalanya.
Tidak—
Pintu kamar terbuka, seorang dokter masuk dengan ekspresi tenang namun penuh simpati. Ia berhenti di samping ranjang, lalu menatap Mariana sejenak sebelum berbicara,
“Nyonya Mariana Cempaka, kami sudah berusaha semampu kami.”
Napas Mariana tercekat. Tangannya mencengkeram selimut erat. “B-bayi saya. Bagaimana bayi saya, Dok?”
Dokter menghela napas. “Pendarahan yang terjadi terlalu banyak. Saat tiba di rumah sakit, kondisi janin sudah sangat lemah.”
Mariana menggeleng pelan, matanya mulai basah. “Tidak ….”
Dokter melanjutkan dengan suara lembut. “Kami sudah mencoba segalanya, tapi kami tidak bisa menyelamatkannya. Saya turut berduka.”
Dunia Mariana terasa runtuh. Air matanya jatuh tanpa suara sementara tangannya meraba perutnya yang kini kosong.
Tidak ada lagi kehidupan di sana.
Bayi yang selama ini ia nantikan, yang tinggal dua minggu lagi seharusnya ia lahirkan—hilang dalam semalam. Semua harapan yang ia bangun runtuh begitu saja.
Suara pintu terbuka di sampingnya. Langkah kaki terdengar mendekat.
Mariana tak perlu menoleh untuk tahu siapa yang datang.
Bara.
Pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh penyesalan, tetapi Mariana tak ingin melihatnya. Tak ingin mendengar satu kata pun dari pria itu.
“Sayang, aku—”
“Keluar.” Suara Mariana begitu lirih tetapi juga tajam.
Bara terdiam.
“Keluar dari hidupku, Bara!” Mariana mengulangi, kali ini suaranya pecah bersama isak tangis yang tak bisa lagi ia tahan. “Kamu membunuh anak kita. Aku nggak mau melihatmu lagi.”
Isakan pilu itu memenuhi seluruh ruangan kamar. Untuk pertama kalinya, Mariana membenci Bara lebih dari apa pun.
Keesokan harinya,Langit kelabu menaungi pemakaman kecil itu, seolah turut berduka atas kehilangan Mariana. Rintik hujan jatuh perlahan, membasahi tanah merah yang masih basah oleh galian segar. Udara dingin menusuk, tapi tak sebanding dengan kehampaan yang menggerogoti hatinya.Meski rasa sakit pasca operasi masih terasa, tetapi Mariana meneguhkan hatinya untuk mengantar bayinya ke peristirahatan terakhir.Wanita itu duduk kaku di samping batu nisan, kedua tangannya saling mencengkeram erat di atas pangkuan. Mata sembabnya menatap kosong ke gundukan tanah merah yang baru saja ditutup.Di sanalah, di dalam bumi yang dingin itu, bayi yang seharusnya lahir dalam hitungan hari kini tertidur selamanya.Suara ustaz terdengar khidmat saat ia membacakan ayat-ayat suci. Isak tangis pecah di antara keluarga yang hadir, tetapi Mariana sendiri hanya terdiam, tak mampu mengeluarkan suara.‘Sayang … maafkan Mama.’ Suara itu hanya terucap dalam hati Mariana.Tidak ada air mata lagi yang bisa Marian
“Aku ingin bercerai, Bara. Aku nggak bisa lagi melihatmu tanpa merasa hancur.”Seisi ruangan seketika sunyi.Bara menegang, wajahnya langsung pucat saat menatap Mariana yang berdiri dengan ekspresi kosong. Kedua orang tua Mariana pun tak kalah terkejut mendengar perkataan putri sulung mereka itu.“Mariana,” gumam Bara tak percaya. “Kita bisa membicarakan ini. Tolong jangan buat keputusan ceroboh seperti itu sekarang.”Mariana tidak bergeming. Matanya tetap menatap lurus ke arah pria yang telah mengkhianatinya dan membuatnya terluka lebih dari apa pun.“Aku sudah memutuskan.” Suara Mariana terdengar tenang, tetapi di baliknya ada luka yang begitu dalam. “Nggak ada lagi yang perlu dibicarakan.”Bara melangkah maju, tetapi ayah Mariana langsung mengangkat tangan untuk menghentikannya. Tatapan tajam pria tua itu penuh peringatan saat menatap menantunya.“Meski kami tidak tahu apa yang terjadi. Tapi, sepertinya Mariana butuh waktu,” katanya tegas. “Jika kamu benar-benar peduli padanya, kam
Ratna—ibu Mariana—keluar dari kamar putrinya dengan langkah gontai. Matanya yang basah masih menyiratkan keterkejutan dan kesedihan yang mendalam. Saat pintu tertutup di belakangnya, ia mendapati suaminya, Armand, berdiri tak jauh dari sana.Pria tua itu mengernyit saat melihat wajah istrinya yang tampak terguncang. Dengan sigap, ia melangkah mendekat.“Ada apa, Bu? Apa kata Mariana?” tanya Armand, suara dan raut wajahnya menunjukkan kegelisahan.Ratna menatap suaminya, tetapi tak langsung menjawab. Air matanya kembali jatuh tanpa bisa ditahan. Kedua tangannya mengepal erat, berusaha menahan emosi yang begitu meluap-luap.“Sekarang di mana pria kurang ajar itu?” Suara Ratna terdengar parau, tetapi penuh amarah yang tertahan. Matanya celingukan menatap di belakang Armand, seolah-olah sedang mencari seseorang di sana.Armand semakin kebingungan. Keningnya berkerut. “Maksud Ibu, Bara?” tanyanya ragu.Ratna mengangguk tegas. Tarikan napasnya terdengar berat. “Iya, Mas. Sekarang di mana pr
Mariana duduk diam di sisi ranjang, jari-jarinya gemetar saat ia membawa botol minyak kayu putih ke dekat hidung ibunya. Harapannya hanya satu—ibunya segera sadar.“Ibu ...,” gumamnya lirih.Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan menambah ketakutan yang menggelayuti hatinya. Mariana tidak pernah melihat ibunya jatuh pingsan seperti ini sebelumnya. Dan itu membuatnya begitu takut.Saat Mariana hampir kehilangan harapan, tubuh ibunya sedikit bergerak. Kelopak mata wanita paruh baya itu bergetar sebelum akhirnya terbuka perlahan.“Ibu!” seru Mariana dengan mata berkaca-kaca. Ia buru-buru menurunkan minyak kayu putih dan meraih tangan ibunya.Ratna menatap putrinya dengan sorot mata sendu, penuh penyesalan yang begitu dalam.“Maafin Ibu ya, Sayang ...,” suaranya terdengar lemah, tapi setiap kata yang keluar membawa luka di hatinya. “Ibu gagal mendidik Bianca sampai dia berbuat seperti ini ke kamu.”Mariana mengatupkan bibirnya dengan rapat. Ia ingin berkata banyak hal, ingin mengungk
Mariana menarik napas panjang, berusaha menahan sesak yang menggelayuti dadanya. Dengan langkah mantap, Mariana berbalik dan berjalan menuju pintu. Setiap langkah yang diambil terasa berat, seolah ada beban yang menahan pergelangan kakinya.Namun, ia tidak berhenti. Ia sudah membuat keputusan, dan kali ini, ia tidak akan goyah.Tangannya baru saja menyentuh kenop pintu ketika suara berat Armand menggema di ruangan itu.“Mariana, jangan pergi,” ucapnya tegas.Tubuh Mariana menegang. Perlahan, ia menoleh ke belakang dan mendapati ayahnya berdiri dengan tatapan yang begitu tegas.“Bara dalam perjalanan ke sini,” lanjut Armand. “Kita selesaikan semuanya sekarang juga.”Tatapan Mariana tidak berubah. Luka di matanya masih begitu jelas, tapi tidak ada lagi api kemarahan di sana. Ia tidak menolak, juga tidak menyetujui.Armand mendesah pelan, lalu melangkah mendekati putrinya yang masih terluka.“Ayah minta maaf jika kamu merasa ayah terlalu ikut campur. Tapi, ayah merasa ini adalah keputusan
Suasana ruangan seketika hening. Bianca menatap Bara dengan ekspresi terkejut, meski di dalam hatinya ada kepuasan yang sulit ia sembunyikan. Sementara itu, Mariana tetap berdiri tegak, matanya dingin tanpa ekspresi.Rumah tangga yang ia bina bertahun-tahun akhirnya karam. Namun bukannya merasa hancur, Mariana justru merasakan sesuatu yang berbeda—ia merasa ringan.Beban yang selama ini menghimpit dadanya seperti dicabut paksa. Luka itu masih ada, tetapi di baliknya ada kelegaan yang sulit dijelaskan.Mariana telah memberikan segalanya demi pernikahan ini. Bekerja tanpa mengenal lelah, menekan dirinya sendiri, menutup mata terhadap berbagai tanda yang seharusnya sudah ia sadari sejak lama. Namun pada akhirnya, semua pengorbanannya hanya dibalas dengan pengkhianatan.‘Aku kehilangan suami, anak, dan adikku sekaligus. Betapa ironisnya,’ batin Mariana.Mariana menarik napas dalam, mencoba meredam guncangan di hatinya.Ia menatap Bara, pria yang pernah ia cintai dan perjuangkan.Dulu ia be
“Bella-ku yang malang!” tangis Mariana pecah.Bahunya terguncang hebat saat ia mencengkeram jemari Bella, seolah berharap ada kehangatan yang tersisa. Namun, tidak ada.“Kenapa? Kenapa harus begini?” Air mata Mariana jatuh membasahi tangan Bella yang sudah tak bernyawa.Nate hanya berdiri di sudut ruangan. Tidak ada kata yang bisa ia ucapkan. Hanya keheningan yang menyelimuti kedukaan mereka.Mariana mengangkat kepalanya dan menatap Nate yang masih berdiri di sudut ruangan.“B-Bayinya,” suaranya serak dan gemetar. “Di mana bayi Bella?”Nate mengalihkan pandangannya. “Dia selamat,” jawabnya pelan.Mata Mariana melebar, sedikit kelegaan muncul di antara kesedihannya.“Di mana dia sekarang? Aku ingin melihatnya.”Nate mengangguk, lalu tanpa banyak bicara, ia melangkah keluar ruangan. Mariana buru-buru menyeka air matanya dan mengikuti Nate dengan langkah tergesa.Setibanya di ruang perawatan bayi, Mariana melihat seorang perawat sedang menggendong seorang bayi mungil yang dibungkus selimu
Beberapa hari setelah bayi Bella diperbolehkan pulang, Mariana berusaha menikmati cutinya dan fokus pada pemulihan pasca operasi. Namun ia tidak benar-benar bisa menikmatinya. Setiap detik, kenangan tentang mendiang anaknya menghantamnya dengan keras, membuat air matanya jatuh tanpa sadar.Tadi pagi, Nate mengirimkan pesan singkat yang meminta Mariana untuk datang ke kediamannya setelah jam kerja. Ada sesuatu yang perlu mereka bahas. Katanya tentang kontrak.Saat Mariana tiba di depan rumah Nate, ia menarik napas dalam sebelum menekan bel. Tak butuh waktu lama, seorang ART membukakan pintu dan mempersilakannya masuk.Tak lama, langkah kaki terdengar dari arah ruang tengah. Nate muncul dari lorong mengenakan kemeja santai dengan lengan tergulung hingga siku. Matanya menatap Mariana dengan ekspresi serius, lalu ia memberi isyarat agar Mariana mengikutinya ke ruang kerja.“Terima kasih sudah datang,” ucap Nate begitu mereka memasuki ruang kerja. Ia berjalan menuju meja kerjanya dan berhe
Mariana menghela napas. Matanya tampak getir saat menatap Nate yang berdiri tenang di sisinya.“Maaf,” ucapnya pelan seraya menunduk. “Aku hanya … hanya ….”Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kata-kata seolah terhenti di tenggorokan, sementara pikirannya seperti benang kusut yang sulit diurai. Mariana sadar, perasaan tidak nyaman yang mengganggunya sejak tadi bukan semata karena Jeslyn, melainkan karena luka lama yang belum sepenuhnya pulih.Pernikahannya dengan Bara dulu hancur karena orang ketiga. Dan meski ia telah meyakinkan diri untuk membuka hati kembali bersama Nate, trauma itu ternyata tak pernah benar-benar pergi.Kehadiran Jeslyn di antara mereka cukup untuk membangkitkan ketakutan lama dan menggoyahkan keyakinannya.“Maaf, nggak seharusnya aku meragukanmu dan hubungan kita,” ucap Mariana lirih.Nate menunduk sedikit, lalu menarik dagu Mariana agar menatap langsung matanya. Seulas senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan itu.“Hey, dengar,” katanya lembut. “Aku tahu ad
Arsita segera berdiri saat melihat Nate menggendong Mariana lalu mendudukkan wanita itu di kursinya. Wajah wanita paruh baya itu tampak terkejut sekaligus khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada cemas.Nate mendesah pelan. Raut wajahnya serius saat memandangi ibunya. Namun, belum sempat ia membuka suara untuk menjelaskan, Jeslyn buru-buru mendekat dan bersuara dengan cepat.“Tante, aku tidak sengaja menabrak Mbak Nana sampai dia terjatuh. Aku juga sudah minta maaf padanya. Tapi dia justru mengatakan kalau aku memang sengaja.” Jeslyn bersikap manis, wajahnya tampak dibuat-buat seolah diliputi penyesalan.Mendengar itu, Mariana tersenyum tipis. Ia sudah jenuh menghadapi orang bermuka dua seperti Jeslyn.“Benar. Aku memang bilang kamu sengaja,” ucap Mariana tenang. “Karena hanya orang buta atau orang yang menyimpan niat buruk yang bisa menabrak seseorang dari jarak sedekat itu.”“Mariana,” tegur Arsita pelan, wanita paruh baya itu terlihat tidak nyaman dengan ketegangan yang m
Restoran semi outdoor itu cukup ramai siang itu. Aroma rempah lembut dan suara musik akustik mengalun dari sudut ruang, berpadu dengan udara segar dari pepohonan rindang di sekelilingnya.Mereka duduk di meja panjang di sisi teras, menghadap taman kecil yang ditata cantik. Elhan berada di kursi bayi di samping Mariana.Mariana sedang menyuapi Elhan makan siang yang dibawanya dari rumah saat suara riang terdengar mendekat dari arah samping.“Eh, ternyata ada kalian di sini!”Semua menoleh.Mariana mematung sejenak ketika melihat siapa yang datang. Jeslyn, dengan blouse putih elegan dan flare jeans, berdiri di pinggir meja sambil tersenyum manis. Beberapa wanita lain berdiri di belakangnya, teman-teman sebayanya yang sama sekali tak Mariana kenal.“Oh, Jeslyn.” Arsita tersenyum ramah. “Kebetulan sekali ….”Jeslyn terkekeh. “Tempat ini sangat viral di media sosial, Tan. Tadi aku dan teman-teman memang ingin makan siang di sini.” Lalu ia menoleh ke Nate. “Tapi ternyata kalian juga di sini
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut lewat celah tirai di ruang keluarga. Mariana duduk santai di atas karpet, bersandar ke sofa dengan pakaian rumah yang nyaman. Di sebelahnya, Elhan asyik menggigit mainan warna-warni sambil sesekali mengoceh sendiri.Tapi perhatian Mariana tertuju pada layar ponsel di tangannya. Wawancara dua hari lalu itu ia tonton lagi. Dan … entah sudah berapa kali.Di layar, Nate tampak rapi dan tampan. Setelan abu-abu gelap, rambut disisir rapi, sorot matanya tenang. Di sampingnya, pembawa acara muda duduk dengan senyum manis dan cara bicara yang luwes.Topik awal masih seputar bisnis, energi terbarukan, dan kiprah Nate sebagai CEO muda. Semuanya terdengar profesional, sampai satu pertanyaan membuat suasana sedikit berubah.“Ada satu pertanyaan terakhir, Pak Nathaniel,” ucap sang host. “Kami tahu, Anda kehilangan istri Anda beberapa waktu lalu. Banyak yang penasaran, apakah sekarang Anda sudah membuka hati lagi?”Mariana meneguk ludah dengan pelan. Napasny
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. “Moonie,” panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.“Ada yang mau kamu bicarakan, Moonie?” tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. “Nggak ada,” sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.“Mbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.”Mariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.“Jeslyn?” ulangnya memastikan.“Ya, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.”Mariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, “Tidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.”“Baik,
Mariana kembali duduk di mejanya setelah keluar dari ruang CEO. Wajahnya masih menyimpan sisa rona merah muda, tapi ekspresinya sudah kembali serius. Tangannya dengan cekatan membuka e-mail lalu mengecek agenda rapat pagi ini.Matanya fokus pada layar, tapi ponsel di sisi laptopnya tiba-tiba menyala dan mengalihkan perhatiannya. Notifikasi What$App. Dari Nathaniel Adikara.[Rapat jam 2 siang nanti fix ya. Tapi kamu yang presentasi. Aku ingin melihat kamu membuat Nusantara Power kagum.]Mariana mengetik cepat.[Kamu CEO-nya. Yang harusnya bikin mereka kagum itu kamu. Tapi oke. Biar aku urus.]Balasan Nate muncul hanya dua detik kemudian.[Kamu urus, aku kagumi. Fair kan?]Mariana terkekeh pelan di balik layar. Ia mengetik balasan terakhir sebelum kembali fokus ke pekerjaannya.[Kamu beneran kerja nggak sih?]Tak sampai semenit, notifikasi balasan kembali muncul.[Lagi tunggu kamu balas ini. Baru bisa lanjut kerja. PS: Jangan pakai lipstik merah kalau kamu tidak mau aku kehilangan fokus
Hari pertama Mbak Yanti bekerja, suasana rumah berjalan seperti biasa. Elhan baru saja bangun dan sedang bermain di lantai ruang tengah bersama Mariana saat suara bel rumah terdengar.Mariana menoleh, lalu mendengar langkah kaki Rani menuju pintu depan. Tak lama kemudian, suara Rani terdengar samar. “Masuk aja, Mbak. Mari, saya antar ke dalam.”Setelah itu, Mbak Yanti muncul di ambang ruang tengah, mengenakan kemeja putih sederhana dan celana panjang hitam. Rambutnya disanggul rapi dengan senyum hangat menghiasi wajahnya. Begitu melihat Elhan, mata wanita itu langsung berbinar.“Selamat pagi, Mbak Mariana,” sapa Mbak Yanti sopan.“Pagi. Silakan duduk, Mbak,” jawab Mariana ramah. Ia menoleh ke Elhan yang sedang menggerak-gerakkan mainan. “Elhan sayang. Ada yang mau kenalan.”Elhan menatap Mbak Yanti dengan rasa ingin tahu. Ketika Mariana menggendong dan mendekatkannya, Mbak Yanti mengulurkan tangan, membiarkan Elhan menyentuh jarinya.“Halo, Nak. Ganteng banget kamu,” ujarnya lembut.E
Mariana tak bisa menahan senyum saat menatap layar ponselnya. Tiga kata itu—Aku cinta kamu—terpampang jelas dari Nate.Kalimat itu sederhana, tapi terasa seperti mantra ajaib yang menghantam hatinya dengan lembut. Membuat pipinya memanas dan perutnya seperti dihuni ribuan kupu-kupu.Dengan wajah yang masih berbinar, Mariana memutar tubuh Elhan agar menghadap ke arahnya. Bayi lucu itu menatap polos dengan aroma bubur yang menguar dari mulutnya.Senyum Mariana makin melebar. “Elhan sayang… kamu lucu banget, tahu nggak?” ucapnya gemas sambil mencium pipi Elhan.Ia terkikik kecil, lalu menambahkan lirih dengan pipi memerah, “Persis kayak papamu.”Belum sempat Mariana melanjutkan ocehan manjanya pada Elhan, kemunculan Arsita yang begitu tiba-tiba membuat Mariana terkejut bukan main.“Selamat pagi,” sapa Arsita begitu riang. Matanya berbinar dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.Mariana beranjak berdiri, lalu membalas sapaan Arsita dengan sopan. “Pagi, Tante.”Wanita paruh baya dengan pen