Hai, maaf ya akhir2 ini jadwal update-nya sedikit kacau karena lagi hectic dan kebetulan dua hari ini juga lagi sakit. Terima kasih sudah mengikuti cerita ini, semoga betah sampai akhir ^^
Mariana menatap benda di atas meja kerja Nate—kantong plastik bening itu. Rasanya mual hanya dengan mengingat kembali bahwa seseorang yang pernah tidur di ranjang yang sama dengannya, bisa melakukan hal sejijik itu.Di seberangnya, Nate berdiri dengan tangan terkepal. Rahangnya mengeras. Matanya tajam menatap bukti fisik yang baru saja Mariana serahkan.“Ini cukup, Na. Kita bisa bawa ini ke polisi,” ucap Nate, suaranya tenang tapi dingin. Padahal di dalam sana, amarahanya bergejolak luar biasa.Mariana menggigit bibir. Ia tahu Nate benar. Tapi untuk pertama kalinya sejak ia memutuskan meninggalkan Bara, hatinya kembali digelayuti konflik. Bukan karena cinta yang tersisa—tapi karena Bianca.“Sayang ….” Mariana menarik napas. “Bisa kita tunda dulu?”Dahi Nate mengernyit. “Tunda? Kamu serius?”Mariana mengangguk pelan. “Bukan karena aku ragu. Tapi karena Bianca.”Nate menghela napas. “Dia bukan korban dalam hal ini, Mariana. Dia memilih tetap bersama pria yang sudah menyakitimu. Dia bahk
Bianca terduduk di tepi ranjang, kedua tangannya menekan perutnya yang kian membesar. Napasnya tercekat, dan air mata yang tadi sempat berhenti, akhirnya jatuh lagi.“Aku cuma ingin keluarga kecil yang utuh,” bisiknya pilu.Ia memejamkan mata, mencoba mengusir bayang-bayang Mariana yang terus menari di pelupuknya. Mariana dengan tatapan lembut, Mariana yang selalu terlihat tenang bahkan saat disakiti. Mariana yang ... selalu dicintai.Sementara dirinya? Bianca tak lebih dari bayangan. Ia merasa seperti selingan di hidup Bara—wanita yang dinikahi karena keterpaksaan, bukan karena pilihan.“Aku istrinya sekarang. Kenapa dia nggak bisa lihat itu?”Ia membuka mata, menatap lantai dengan pandangan kosong. Ada denyut di pelipisnya, tapi yang lebih menyakitkan adalah denyut di dadanya. Perasaan diabaikan, tak dipilih, meski sudah memberikan segalanya.Bianca menggenggam ujung selimut, kemudian memeluknya erat. Sesuatu di dalam dirinya terasa seperti retak. Tapi bukan retak yang membuatnya in
Keesokan paginya di ruang kerja Nate.Mariana menggenggam cangkir tehnya yang sudah mendingin. Tangannya terasa beku. Dan gemuruh di dadanya belum juga reda sejak tadi malam.Ia pikir kepindahannya ke rumah baru akan memberinya sedikit rasa aman. Tapi pagi ini, ketenangan itu kembali digerus—oleh Nate.“Aku ingin kamu melihat ini dulu,” ucap pria itu, matanya tajam menatap layar tablet di hadapannya.Mariana menoleh perlahan. Jantungnya langsung melonjak saat Nate memutar sebuah rekaman video.Gambar dari sudut gelap halaman rumah itu mulai bergerak.Seseorang muncul di layar—sosok pria berjaket gelap, topi menutupi sebagian wajahnya.Namun Mariana tak butuh waktu lama untuk mengenali siluet itu.Tubuhnya menegang. “Itu ….”“Bara,” potong Nate. “Rekaman CCTV dari rumah tetangga. Dia masuk lewat pintu samping rumahmu. Waktu rekaman menunjukkan pukul dua dini hari.”Sepuluh menit yang lalu, Nate menerima video itu dari orang kepercayaannya. Ia memang sudah menduga sesuatu sejak semalam,
Mata kedua orang tuanya membelalak seketika. Mereka saling berpandangan, kaget, tak percaya.“Aku menemukan celana dalam yang hilang di gudang rumah Bara,” lanjut Mariana. “Bianca memang bersikeras mengatakan bahwa itu miliknya, tapi aku tahu persis, itu milikku. Dan pagi ini, Pak Nathaniel menerima rekaman CCTV dari tetangga yang memperlihatkan Bara menyelinap masuk ke rumahku.”Tubuh Ratna seketika menegang. Sementara Armand hanya diam dengan rahang mengeras, dan tinjunya mengepal di atas lutut. Wajahnya tampak menahan amarah yang mulai mendidih.“Apa yang kamu bilang barusan benar, Mariana?” tanya Armand akhirnya. Mariana mengangguk pelan. “Benar, Yah. Aku nggak akan datang ke sini membawa cerita seperti ini kalau aku nggak punya bukti. Kalian bisa lihat sendiri videonya kalau mau.”Nate merogoh ponsel dari dalam saku celananya, lalu dengan tenang menyodorkannya ke arah Armand. “Ini, Om.”Armand mengambil ponsel itu dengan tangan gemetar. Ia menonton rekaman itu dalam diam. Wajahn
Beberapa hari kemudian…Nate duduk di sebuah ruangan sempit dengan cahaya temaram. Di depannya, terbentang jendela kaca dua arah yang memisahkannya dari ruangan lain—tempat di mana beberapa pria berbadan besar sedang ‘memberi pelajaran’ pada seseorang.Dari balik kaca itu, Nate memperhatikan dalam diam. Sorot matanya tajam tanpa emosi.Di luar, seorang pria yang sudah babak belur tetap mencoba memberontak meski jelas tubuhnya nyaris tak kuat berdiri.“Lepaskan aku, bangsat! Kenapa kalian menghajarku, hah?!” teriak Bara, suara seraknya menggema penuh amarah.Nate hanya tersenyum miring mendengar itu. Tidak puas, tapi cukup untuk menenangkan rasa geram di dadanya. Pria itu—Bara—baru saja menerobos masuk ke rumah Mariana dan mencuri barang-barangnya.Dan sekarang, dia ada di tempat yang seharusnya.“Siapa yang menyuruh kalian?!” Bara kembali melawan. “Suruh aja bos kalian keluar, hadapi aku langsung kalau berani!”Salah satu pria paling kekar mendekat. Ia mencengkeram kerah kemeja Bara d
Malam itu mereka duduk di balkon lantai dua saat gerimis mulai turun perlahan. Suara air jatuh di atap membuat suasana jadi tenang.Nate menyandarkan tubuh di kursi rotan. Mariana duduk di sebelahnya sambil memegang mug teh hangat. Wanita itu menarik selimut tipis ke bahunya.Lampu gantung yang menyala temaram memberi cukup cahaya untuk melihat wajah satu sama lain di bawah rinai yang turun lembut itu.“Kalau kamu kedinginan, kita bisa masuk,” kata Nate. Gerimis tidak termasuk ke dalam rencananya malam ini.Mariana menggeleng pelan, senyum di bibirnya melengkung indah. “Di sini saja. Aku suka,” sahutnya.Nate hendak menanggapi, tapi suara dering di ponsel Mariana memotong percakapan mereka.Nama ‘Ibu’ tertera di layar. Mariana sempat terdiam sebelum akhirnya mengangkat.“Halo, Bu?”“Mariana …,” suara Ratna terdengar panik dan bergetar di seberang telepon. “Tolong … Bianca … dia melahirkan, tapi ada pendarahan hebat. Dan rumah sakit kehabisan stok darahnya. Golongan darah kalian sama.
Setibanya di rumah, Nate langsung menyuruh Mariana untuk langsung pergi ke kamar dan berganti pakaian.“Cepat ganti pakaianmu dengan yang lebih hangat. Aku tidak mau kamu sampai kena flu atau demam,” ujarnya tegas tapi penuh perhatian.Mariana hanya mengangguk pelan. Dengan langkah lelah, ia menuju kamarnya dan menutup pintu rapat-rapat. Tanpa membuang waktu, ia menuruti instruksi Nate—melepas pakaian yang basah dan menggantinya dengan yang lebih tebal dan hangat.Begitu selesai, ia naik ke ranjang dan membenamkan diri di bawah selimut, membiarkan kehangatan perlahan-lahan meresap ke tubuhnya yang masih menggigil.Sekitar sepuluh menit kemudian, terdengar ketukan lembut di pintu.“Masuk,” ucap Mariana lirih.Pintu terbuka perlahan, dan Nate muncul di baliknya. Di tangannya, ada segelas susu hangat yang mengepulkan uap tipis. Ia berjalan pelan mendekati Mariana.“Minum dulu, supaya badanmu lebih hangat,” katanya seraya menyodorkan gelas itu.Mariana menerimanya tanpa banyak bicara, lal
Mariana terbangun dan merasakan kepalanya begitu berat. Sekujur tubuhnya panas, tapi ia justru menggigil kedinginan. Diliriknya jam yang berdetak di dinding—pukul dua belas malam.Dengan sisa tenaga yang ia kumpulkan, Mariana bangkit dari kasur. Langkahnya sedikit berat saat menuju laci untuk mencari obat penurun panas. Tidak ada.Ia menarik napas dalam, lalu membuka pintu dan melangkah keluar kamar. Cahaya lampu terang di koridor membuat matanya langsung terpejam dengan dahi berkerut. Mariana refleks menutupi matanya dengan telapak tangan sebentar sebelum perlahan menurunkannya kembali.“Sayang…?”Mariana langsung membuka mata saat suara Nate masuk ke telinganya dengan sopan. Pria itu tiba-tiba berdiri cukup jauh darinya dan segera melangkah mendekat, wajahnya tampak khawatir.“Ada apa? Kamu lapar?” tanya Nate, suaranya lembut tapi sigap.Mariana menggeleng pelan. “Aku mau cari obat penurun demam.”“Kamu demam?” Nate terkejut, lalu menempelkan punggung tangannya ke dahi Mariana. “Ast
Belum genap dua menit sejak pesan itu terkirim, ponsel Mariana berdering. Nama Nathaniel Adikara terpampang jelas di layar.Mariana menarik napas panjang sebelum menjawab. “Halo…?”“Moonie,” suara Nate terdengar rendah namun tajam, penuh kekhawatiran yang tak bisa ditutupi. “Kamu di mana sekarang?”“Di rumah sakit,” jawab Mariana lirih. Suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh emosi yang kembali menyeruak ke permukaan. “Ayah di ICU. Belum sadar.”“Rumah sakit mana?” tanya Nate cepat.“Rumah Sakit Sehat Bahagia.”“Aku ke sana sekarang.”“Nathaniel—”“Aku akan ke sana sekarang,” ulang Nate, tak memberi ruang untuk sanggahan. “Tunggu aku, Moonie.”Panggilan berakhir tanpa Mariana sempat menolak. Ia menatap layar ponsel yang kembali gelap, lalu menunduk, menyembunyikan wajahnya di antara jemari. Bagian dari dirinya lega karena Nate akan datang. Tapi bagian lain masih bergulat dengan rasa takut, bahwa semua ini akan menyeretnya lebih jauh ke dalam pusaran kekacauan.Sekitar tiga puluh menit
Hari-hari berlalu, dan meskipun segala sesuatunya tampak normal, ada yang berbeda dalam diri Mariana. Nate bisa merasakan perubahan itu. Setiap kali mereka berinteraksi, seperti ada jarak yang terbentang di antara mereka.Mata sang kekasih yang biasanya cerah dan penuh semangat, kini lebih sering terlihat kosong.Pagi itu, di ruang makan yang tenang, Nate memandangi Mariana dengan seksama. Wanita itu duduk di seberangnya, memegang cangkir teh dengan kedua tangan sementara matanya terfokus pada taman di luar jendela.“Moonie,” suara Nate memecah keheningan yang sempat menggantung. “Akhir-akhir ini aku perhatikan kamu tidak seperti biasanya. Kamu lebih banyak diam. Ada apa, Sayang?”Mariana menoleh pelan, terkejut. Dan untuk beberapa detik, ada kebisuan yang menggelayuti udara di sekitar mereka. Lalu dengan senyum yang hampir tak terlihat, Mariana menundukkan kepala dan mengaduk-aduk teh di dalam cangkirnya.“Aku cuma capek,” jawabnya lirih. Sebuah jawaban yang sudah Nate duga akan Mari
Nate menatap mata Mariana cukup lama. Ia tahu Mariana tidak bodoh—wanita itu cukup peka membaca perubahan suasana. Tapi Nate juga tahu, terlalu cepat membagi informasi bisa berarti menambah beban yang tak perlu. “Tidak, aku tidak menyembunyikan apa-apa,” ujar Nate. Suaranya tenang, tapi hatinya berdebar kencang. Mariana menatap pria itu beberapa detik, seakan mencoba menerawang isi pikirannya. Namun akhirnya ia hanya mengangguk pelan. “Oke,” gumamnya singkat, lalu berbalik pergi. Begitu pintu tertutup, Nate mengembuskan napas panjang. Kepalanya tertunduk, tangannya mengepal di atas meja. Ia tahu ia harus menemukan pelaku secepat mungkin. Dan yang paling penting, ia harus menjaga Mariana tetap aman. Apapun caranya. Menjelang siang, suasana kantor perlahan mereda. Mariana duduk di pantry sambil memegang cangkir berisi teh hangat. Pandangannya menerawang ke jendela kaca yang menghadap ke luar. Namun pikirannya tidak benar-benar berada di sana. Ia kembali mengingat surat dan mawar hi
Mariana menghela napas. Matanya tampak getir saat menatap Nate yang berdiri tenang di sisinya.“Maaf,” ucapnya pelan seraya menunduk. “Aku hanya … hanya ….”Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya. Kata-kata seolah terhenti di tenggorokan, sementara pikirannya seperti benang kusut yang sulit diurai. Mariana sadar, perasaan tidak nyaman yang mengganggunya sejak tadi bukan semata karena Jeslyn, melainkan karena luka lama yang belum sepenuhnya pulih.Pernikahannya dengan Bara dulu hancur karena orang ketiga. Dan meski ia telah meyakinkan diri untuk membuka hati kembali bersama Nate, trauma itu ternyata tak pernah benar-benar pergi.Kehadiran Jeslyn di antara mereka cukup untuk membangkitkan ketakutan lama dan menggoyahkan keyakinannya.“Maaf, nggak seharusnya aku meragukanmu dan hubungan kita,” ucap Mariana lirih.Nate menunduk sedikit, lalu menarik dagu Mariana agar menatap langsung matanya. Seulas senyum hangat menghiasi wajahnya yang tampan itu.“Hey, dengar,” katanya lembut. “Aku tahu ad
Arsita segera berdiri saat melihat Nate menggendong Mariana lalu mendudukkan wanita itu di kursinya. Wajah wanita paruh baya itu tampak terkejut sekaligus khawatir.“Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada cemas.Nate mendesah pelan. Raut wajahnya serius saat memandangi ibunya. Namun, belum sempat ia membuka suara untuk menjelaskan, Jeslyn buru-buru mendekat dan bersuara dengan cepat.“Tante, aku tidak sengaja menabrak Mbak Nana sampai dia terjatuh. Aku juga sudah minta maaf padanya. Tapi dia justru mengatakan kalau aku memang sengaja.” Jeslyn bersikap manis, wajahnya tampak dibuat-buat seolah diliputi penyesalan.Mendengar itu, Mariana tersenyum tipis. Ia sudah jenuh menghadapi orang bermuka dua seperti Jeslyn.“Benar. Aku memang bilang kamu sengaja,” ucap Mariana tenang. “Karena hanya orang buta atau orang yang menyimpan niat buruk yang bisa menabrak seseorang dari jarak sedekat itu.”“Mariana,” tegur Arsita pelan, wanita paruh baya itu terlihat tidak nyaman dengan ketegangan yang m
Restoran semi outdoor itu cukup ramai siang itu. Aroma rempah lembut dan suara musik akustik mengalun dari sudut ruang, berpadu dengan udara segar dari pepohonan rindang di sekelilingnya.Mereka duduk di meja panjang di sisi teras, menghadap taman kecil yang ditata cantik. Elhan berada di kursi bayi di samping Mariana.Mariana sedang menyuapi Elhan makan siang yang dibawanya dari rumah saat suara riang terdengar mendekat dari arah samping.“Eh, ternyata ada kalian di sini!”Semua menoleh.Mariana mematung sejenak ketika melihat siapa yang datang. Jeslyn, dengan blouse putih elegan dan flare jeans, berdiri di pinggir meja sambil tersenyum manis. Beberapa wanita lain berdiri di belakangnya, teman-teman sebayanya yang sama sekali tak Mariana kenal.“Oh, Jeslyn.” Arsita tersenyum ramah. “Kebetulan sekali ….”Jeslyn terkekeh. “Tempat ini sangat viral di media sosial, Tan. Tadi aku dan teman-teman memang ingin makan siang di sini.” Lalu ia menoleh ke Nate. “Tapi ternyata kalian juga di sini
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lembut lewat celah tirai di ruang keluarga. Mariana duduk santai di atas karpet, bersandar ke sofa dengan pakaian rumah yang nyaman. Di sebelahnya, Elhan asyik menggigit mainan warna-warni sambil sesekali mengoceh sendiri.Tapi perhatian Mariana tertuju pada layar ponsel di tangannya. Wawancara dua hari lalu itu ia tonton lagi. Dan … entah sudah berapa kali.Di layar, Nate tampak rapi dan tampan. Setelan abu-abu gelap, rambut disisir rapi, sorot matanya tenang. Di sampingnya, pembawa acara muda duduk dengan senyum manis dan cara bicara yang luwes.Topik awal masih seputar bisnis, energi terbarukan, dan kiprah Nate sebagai CEO muda. Semuanya terdengar profesional, sampai satu pertanyaan membuat suasana sedikit berubah.“Ada satu pertanyaan terakhir, Pak Nathaniel,” ucap sang host. “Kami tahu, Anda kehilangan istri Anda beberapa waktu lalu. Banyak yang penasaran, apakah sekarang Anda sudah membuka hati lagi?”Mariana meneguk ludah dengan pelan. Napasnya
Mariana berdiri di depan minimarket kecil tempat ia biasa menunggu. Tangannya menyelip di dalam saku celana, sementara matanya menatap jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan orang-orang yang pulang kerja.Biasanya, ia menikmati momen menunggu ini. Tapi hari ini, ada sesuatu yang mengganggunya hingga begitu gelisah.Tak lama, mobil hitam Nate berhenti perlahan di depan trotoar. Kaca jendela di sisi pengemudi terbuka. “Moonie,” panggil pria itu dengan suara lembut.Mariana membuka pintu dan masuk tanpa banyak bicara. Ia langsung mengencangkan sabuk pengaman sambil menatap lurus ke depan.Suasana di dalam mobil sempat hening. Nate melirik ke arah Mariana seraya menyalakan pendingin udara.“Ada yang mau kamu bicarakan, Moonie?” tanyanya setelah menangkap gelagat Mariana yang berbeda dari biasanya.Mariana menggeleng cepat. “Nggak ada,” sahutnya singkat.Nate tidak langsung membalas. Ia mengemudi perlahan, menyusuri jalanan kota yang mulai padat. Senja menggantung di langit, lampu-lampu mul
Menjelang sore, suasana kantor pusat Adikara Global Energy mulai lengang. Beberapa staf bersiap menyelesaikan pekerjaan hari itu, sementara Mariana masih duduk di mejanya, sedang menyempurnakan laporan akhir sebelum diserahkan ke Nate. Ia tak menyangka, ketenangan itu akan terganggu dalam hitungan menit.Panggilan dari resepsionis masuk melalui interkom di meja Mariana. Nada suara di seberang terdengar sopan namun bingung.“Mbak Mariana, ada tamu wanita mau ketemu Pak Nathaniel. Namanya Jeslyn. Dia tidak punya janji, tapi bilang ini penting.”Mariana sejenak menghentikan ketikannya. Nama itu membuat dahinya mengernyit pelan, sebelum perlahan ia bersandar di sandaran kursi.“Jeslyn?” ulangnya memastikan.“Ya, Mbak. Dia bilang hanya ingin mengantar kopi dan kue. Tapi kami agak ragu mau langsung naikkan karena tidak ada janji.”Mariana menatap layar laptopnya yang masih menyala, lalu menjawab dengan nada tenang, “Tidak apa-apa. Biarkan dia naik. Saya akan beri tahu Pak Nathaniel.”“Baik,