Aku seperti de javu. Suasana ini tidak asing. Aku pernah dua kali menyaksikannya secara langsung. Berbagai suara yang berpadu membuatku harus bersusah payah mengendalikan diri. Rasanya aku ingin pergi. Namun, tidak bisa. Aku yang lebih kuat di sini dibanding yang lain. Hubunganku dengan Papa tidak sedalam jika dibandingkan dengan banyaknya orang yang hadir. Terlebih kepada pria yang sejak tadi sudah duduk di samping jenazah yang sudah dikafani. Suara lantunan Al-Qur’an begitu nyaring terdengar. Perpaduannya dengan deruan tangis sungguh membuatku trauma. Kenanganku terlempar ke satu tahun lalu. Seingatku, saat itu Ayah hanya berpamitan untuk pergi menemui temannya. Dia bilang tidak lama. Namun, nyatanya dia malah pergi untuk selamanya. Bunda dulu juga bilang begitu. Dia bilang hanya akan ke rumah bidan untuk melahirkan calon adikku. Namun, nyatanya dia pulang dalam keadaan tak bernyawa. Orang dewasa memang sangat pintar berbohong. Aku baru saja dari rumah adik Mama yang hanya berjarak
Pemakaman sudah selesai tepat sejak pukul sembilan tadi. Sekarang, orang-orang masih ramai berdatangan. Kerabat juga masih berkumpul. Mereka mengelilingi Mama dan Aya. Mama sudah benar-benar lemah. Dia hanya bisa duduk bersandar ketika satu per satu orang menyampaikan belasungkawa. Di antara semua orang, aku sedang mencari satu pria yang belum kulihat sejak di pemakaman tadi. Dia belum memasukkan apa pun ke perutnya sejak kemarin sore. Aku sudah memaksa, tapi dia bilang nggak bisa. Katanya dia bisa muntah kalau dipaksa. Apa dia pingsan di suatu tempat? Aku keliling rumah sampai akhirnya menemukan dia di dalam kamar. Kamar ini adalah kamarnya saat dulu ketika masih tinggal bersama orang tuanya. Dia sedang duduk bersandar di kaki ranjang. Tatapannya menatap ke dinding kosong. Dinding itu sama dengan tatapan matanya. Dia benar-benar seperti orang linglung dan acak-acakan. Di tangan kirinya ada rokok yang belum dinyalakan, sedangkan tangan kanannya memainkan pemantik. Kuambil pemantik d
Aku tidak bisa lama di Bogor. Tidak ada yang tahu kalau aku memiliki hubungan dengan Mas Abi. Aku perlu melanjutkan bimbingan dan Aksa perlu melanjutkan aktivitasnya. Mama juga memintaku untuk kembali ke Jakarta. “Yang hidup harus tetap hidup. Mama minta kamu kembali ke Jakarta supaya Aksa nggak kelamaan di sini,” ucapnya. Aku mau menolak, tapi yang diucapkannya memang benar. “Mama baik-baik aja selama kamu dan Abi juga baik-baik. Mama tahu, kamu sulit menerimanya. Tapi, yang perlu kamu tahu juga, anak itu punya banyak hal yang nggak bisa ditebak. Dia butuh kamu. Dia perlu teman yang bisa memahaminya. Dan dia sudah memilihmu.” Kalimat Mama membuatku banyak berpikir. Aku tahu, belakangan ini kami semakin dekat. Namun, jika dibilang dia membutuhkanku, itu rasanya terlalu berlebihan. Dia tidak memilihku, tapi aku yang memaksa untuk masuk ke dalamnya. Dia punya Rania. Hubungan mereka dekat, bahkan Ranialah yang paling memahaminya. Mengingat ceritanya kala itu tentang Rania membuatku sera
“Periksa ke dokter aja,” ucapku ketika baru kucek suhu tubuhnya hanya turun 0,2 derajat celcius pagi ini. “Aku cuma butuh istirahat.” Aku tahu itu. Dia memang butuh istirahat. Sejak meninggalnya Papa dia seperti memaksa diri untuk menjelma jadi Super-Man. “Supaya tahu pastinya sakit apa, Mas.” Dia menggeleng. “Aku tahu tubuhku. Kamu nggak ke kampus?” Dia malah mengalihkan pembicaraan. “Nggak ada bimbingan.” “Aksa mana?” “Lagi sarapan di bawah. Mas Abi makan, ya, aku antar Aksa dulu, nanti langsung pulang.” Aku sudah meletakkan semangkuk bubur, teh hangat campur madu, dan air putih di sana. Obat penurun demam juga tinggal dia konsumsi. Kuharap dia sudah dewasa dan tidak perlu kusuapi. Saat aku menuruni tangga, terdengar bel rumah yang berbunyi. Rasanya nggak sopan bertamu di jam sepagi ini kalau nggak beneran penting? Aku sama sekali tidak merasa aneh saat membuka pintu sampai kulihat ada wanita yang mengenakan dress panjang bermotif floral berdiri di sana. Dia datang dengan eks
Aku masuk kamar Aksa, lalu menguncinya. Aku duduk di balik pintu sambil memeluk kedua kakiku yang terlipat. Aku yang salah. Aku yang bodoh. Aku yang sukarela menjatuhkan diri kepadanya. Wawa benar, harusnya aku nggak begini. Harusnya aku bisa tegas sejak awal dengan batasan-batasan kami. Aku yang mudah dirayu. Aku yang terlalu naif dan menganggap semua orang yang memperlakukanku baik, maka akan baik selamanya. Konsep hidup di dunia nggak begitu. Banyak manusia yang sengaja pura-pura baik hanya karena ingin mendapatkan sesuatu. Apa yang dia mau sampai harus berpura-pura menganggapku penting untuknya? Padahal, endingnya sudah kutahu akan seperti apa. “Una ….” Suara pintu yang terketuk dipadukan dengan panggilan namaku sama sekali tak membuatku bergeming. Itu suara Mas Abi. Sungguh, aku akan merasa lebih baik andai dia bersikap seperti awal. Bersikap kalau kami ini nggak mungkin bersama. Namun, dia malah berkebalikan. Dia malah membuat kami ini memiliki ikatan yang benar-benar spesial.
Aku tidak butuh persetujuan Mas Abi untuk pergi keluar bersama Kak Alex. Toh, dia juga tidak meminta persetujuanku untuk membawa Rania masuk ke kamar. Sekarang, di sinilah aku berada. Di sebuah kafe dekat kompleks. Di depanku ada Kak Alex yang sejak lima menit lalu masih konsisten mengaduk dan menegak minumannya. Dia masih diam. Begitu juga denganku. Aku ingin menceritakan semuanya, tapi aku sendiri bingung memulainya dari mana. Meski ini membingungkan, aku tetap perlu memulainya. Kebingunganku saat ini nggak akan sebanding dengan kebingungan Kak Alex. Mungkin dia sedang memilah kata di otaknya untuk mencari awal pembahasan yang tepat. Perlahan, tapi kucoba untuk meruntutkannya. Semua bermula dari permintaan Ibu yang mau menjodohkanku dengan Mas Harun. Pertengkaran keluargaku, hingga malam kecelakaan. Sampai pada akhirnya, kata ‘Sah’ itu terucap dan bagaimana aku menjalani hari-hariku. Aku memperhatikan gelagat Kak Alex yang sampai sekarang tidak mau melihat mataku. Dia malah memakan
Aku hanya duduk diam di kafe ini. Benar-benar diam dan mengabaikan orang yang silih berganti satu per satu. Sampai dua sahabatku datang dan langsung memelukku. Sepertinya mimik wajahku mudah sekali terbaca. Sebelum mereka datang, aku sudah berpesan ke Bik Tun bahwa tidak bisa menjemput Aksa. Aku sedang tidak mampu berakting di depannya. Anak itu pasti bisa menebak kalau aku sedang dalam keadaan yang sangat tidak baik. Batinku terguncang. Rasanya ini begitu menyakitkan untukku. “Kenapa?” Satu kata ‘kenapa’ membuatku langsung menumpahkan semuanya. Aku tidak peduli dengan pengunjung lain yang memperhatikanku. Aku juga tidak peduli saat kuyakin pegawai di sini menganggapku aneh. Ketika Sherin menanyakan ‘kenapa’, sungguh semua pertahananku luluh lantah. Ada kesakitan di dalam hati yang membuatku ingin meraung sekencangnya. Aku tidak tahu ini tangis karena apa, entah karena hubungan Mas Abi dan Rania atau karena Kak Alex. Rasanya semua sudah bercampur menjadi adonan yang sempurna untuk me
Aku sama sekali tidak beranjak dari kasur sampai matahari berganti bulan. Sampai jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh pun aku masih bergeming di kamar kos Sherin. Dua sahabatku sedang asyik nonton drama Korea. “Na, lo nggak mati, kan?” “Hampir,” jawabku asal. “Suami lo tuh nelponin Sherin.” “Siapa? Mas Abi?” “Emang lo punya suami lain lagi selain dia?” “Kenapa?” “Dia nyariin lo.” Wawa duduk di samping ranjang dan menatapku. Dia seperti mau memperagakan sesuatu. Suaranya dibuat nge-bass. “Kalau dia bangun, beri tahu untuk pulang. Aksa nggak mau tidur. Jangan biarin dia bawa motor, nanti kebut-kebutan. Suruh naik taksi atau ojek online.” “Aaaa … gue gemes.” Suara Wawa langsung kembali seperti semula. Dia memukul-mukul tubuhku yang ada di balik selimut. “Jangan tertipu,” gumamku. Mas Abi memang begitu. Kadang baik dan manis banget seperti tadi. Namun, dia juga berhasil membuatku semakin bingung dengan tujuannya selama ini. “Pulang, Na. Anak lo jangan jadi korban.” “Mmm,” ja