Hari ini aku pulang larut karena harus ke fotokopian untuk menyetak empat draft skripsi yang akan diberikan ke dosen pembimbing dan penguji. Aku nggak tahu ini pukul berapa, yang jelas sudah lewat jam sembilan malam. Tadi Aksa melakukan video call denganku. Dia minta didongengin karena aku nggak menemaninya tidur. Bayangkan, aku di fotokopian menunggu pegawai menyetak skripsi sambil membacakan kisah Nabi Nuh dengan penuh ekspresif. Sesekali aku melihat mereka yang menertawaiku. Tak apa, toh, mereka juga nggak mengenalku.Aku sudah sampai di rumah dan melihat ada mobil yang terparkir. Mobil honda jazz berwarna putih itu seperti tidak asing. Aku pernah melihatnya, tapi tidak tahu di mana. Di samping mobil itu ada seorang pria yang sedang merokok.“Cari siapa, Mas?” tanyaku ke pria itu.“Lagi nunggu Mbak Rania.”Rania? Ah, iya, mobil ini milik Rania. Aku pernah melihatnya saat dia datang ke sini. Jadi, Rania ada di dalam rumah? Mau ngapain lagi dia? Jangan bilang Mas Abi membohongiku. Ka
Besok lusa aku sidang dan sekarang pada jam sebelas siang masih di kampus. Harusnya ini hari tenang untukku menyiapkan mental. Namun, aku harus menunggu satu dosen pengujiku yang sibuknya mengalahi rektor. Dia guru besar yang aktivitasnya nggak cuma di kampus ini. Aku sedang menunggu Prof. Nanang untuk memberikan draft skripsiku beserta surat tugas.Aku duduk di kursi ruang tunggu yang berada di front office. Bosan sekali menunggu, apalagi suasananya sangat sepi. Aku tidak tahu ke mana perginya mahasiswa lain. Saat kumainkan kakiku di lantai, aku melihat ada orang yang melewatiku. Aku mengenalnya dan dia mengenalku. Namun, kami nggak saling menyapa. Kami benar-benar menjadi orang asing. Itu Kak Alex. Dia baru saja masuk ke ruang dosen. Aku pandangi punggungnya dan bergumam dalam hati menyatakan ini memang yang terbaik untuk kami.Aku tidak akan mempermasalahkan mengenai Kak Alex karena yang lebih rumit sekarang adalah si Abimayu. Sampai tadi pagi, kami masih melakukan gencatan senjata
Pesan yang tidak terkirim membuat Aksa mengira aku sudah datang ke sekolahnya tepat tiga puluh menit setelah panggilan dengan Miss Yuli. Dia begitu antusias menantiku karena kami sudah janjian untuk main. Dia nggak sabar untuk ke playzone dan makan es krim. Alhasil, dia nggak mau menungguku di dalam kelas atau taman bermain seperti biasa setelah tiga puluh menit berlalu. Dia menungguku di depan gerbang. Mulanya masih ditemani satpam yang bertugas. Sejenak satpam itu ke toilet dan bersamaan Aksa melihatku datang. Dia mengira seorang wanita yang mengendarai motor seperti milikku di seberang jalan adalah aku. Dia sudah berjingkat-jingkat sambil melambaikan tangan. Namun, orang itu langsung pergi begitu saja. Aksa yang panik karena merasa ditinggal pun langsung berlari menyeberang tanpa mempedulikan apa yang ada di samping kanan dan kirinya. Setelahnya semua orang mengerumuni jalan itu.Rangkuman cerita itu kudengar langsung dari seseorang yang datang. Aku tidak tahu siapa. Mungin aku ken
Sekarang aku hidup seperti zombi. Menapak tanah, tapi tanpa nyawa. Berpikir, tapi seperti nggak punya otak. Aku benar-benar masa bodo dengan yang terjadi padaku sekarang. Semua orang di kampus sudah tahu mengenai hubunganku dengan Mas Abi. Aku juga sudah melakukan sidang skripsi dengan ala kadarnya. Sidang ini diundur satu minggu, itu pun Mas Abi yang mengurus. Semua persiapanku sudah lenyap. Aku tidak peduli dengan penjelasanku yang kurang memuaskan. Aku seharusnya mendapatkan nilai B, tapi Prof. Nanang memberiku nilai A. Apa dia merasa bersalah? Harusnya enggak. Kan, di sini aku yang salah.Sejak kembali ke Jakarta, Ibu tinggal bersamaku di sini. Mas Abi yang membawanya. Katanya supaya aku nggak banyak melamun. Padahal, aku nggak melamun. Aku hanya tidur dalam waktu yang sangat lama. Aku tetap lelah padahal nggak melakukan apa-apa. Aneh, kan? Psikolog yang merawatku mengatakan kalau aku depresi. Dulu aku menyepelekan Rania yang harus menjalani terapi ke psikolog, sekarang aku yang m
“Di hari kematian Ayah, aku dan Ibu langsung ke rumah sakit. Di sana kami menunggu jenazah Ayah yang masih dalam perjalanan. Di UGD yang ramai, aku melihat ada anak kecil yang berdiri linglung di ujung ruangan. Dia mendekatiku dan menarik-narik bajuku. ‘Mama Papa nggak bangun lagi,’ ucapnya. Aku berjongkok dan menyejajarkan pandang. Tatapan matanya sangat polos. Aku langsung memeluknya karena kutahu kami di posisi yang sama. Hebatnya dia nggak menangis. Dia keren sekali. Ya, anak itu adalah Aksa. Sesaat kemudian keluarga Aksa datang, aku nggak ingat siapa, yang jelas Aksa langsung bersama mereka. Mungkin itu Mama sama Papa. Aku nggak sempat bertemu karena jenazah Papa sudah datang. Malam itu UGD memang ramai banget, mungkin malaikat maut sedang berbondong menjemput orang-orang baik.”Itu adalah awal pertemuanku dengan Aksa. Pertemuan pertama kami bukan di ruangan dosen, melainkan jauh dari itu. Sekarang Mas Abi masih memelukku. Dia memelukku sangat erat dan menciumi ujung kepalaku. Di
“Aku masih mau kuliah, nggak mau nikah!” “Apa kurangnya Harun? Dia punya semuanya.” Ibu menyela. Bukan tentang memiliki semuanya, tapi mengenai masa depanku. Menikah itu berarti aku harus mengabdi kepada suami. Surgaku tergantung kepadanya. Jika dia ridho, aku akan bahagia. Begitu, kan, konsepnya? Aku tahu Mas Harun dan keluarganya. Dia tidak akan membiarkan perempuan berkeliaran di luar rumah. Membayangkan aku menjadi patung di rumah itu membuatku sesak. Enggak. Ini nggak bisa dibiarkan! “Aku masih mau kuliah, Bu. Titik!” “Justru karena masih mau kuliah, kamu harus menikah dengannya. Dia bisa bayar uang semestermu yang mahal itu. Kehidupan kita udah beda!” Ibu mengatakan dengan tegas. Dia langsung berdiri dan meninggalkanku di sini. Di ruang tamu yang membuatku mematung tanpa kata. Kehidupan kami sudah beda. 180 derajat berbeda sejak satu tahun yang lalu meninggalnya Ayah. Aku tidak mungkin berhenti kuliah di semester tujuh. Skripsiku juga suda
Pak Abi membolak-balik laporanku. Sesekali matanya memicing untuk memastikan bacaan yang ada. Sudah hampir empat bulan aku menemuinya secara rutin di setiap Kamis pagi. Namun, setiap bertemu dan berhadapan dengannya seperti ini aku selalu merasa deg-degan. Ekspresi wajahnya yang tenang malah membuatnya mirip dengan psikopat berdarah dingin. Sorotan matanya yang tajam selalu sukses mengintimidasiku. Belum lagi kalau mulutnya sudah terbuka. Aura cabai langsung bisa membuatku mematung tanpa berani membantah. Bukan dia bau mulut, tapi kalimatnya sering membuatku sakit hati. Ralat. Bukan sering, tapi selalu. “Kamu mengerjakannya sambil minum obat tidur, ya?” ucap Abi ketus dengan tatapan yang tak teralih dari lembaran kertas di hadapannya. “Enggak, Pak.” “Tipo semua, untuk untk, penelitian penelilian. Gimana saya mau baca isinya kalau tulisannya nggak enak dibaca? Perbaiki itu dulu, saya nggak suka berantakan!” ujarnya. Sebagai mahasiswa yang hidupnya tergantung dengan dosen, aku tidak
Meski kukatakan tidak ingin menemui, tapi pada akhirnya aku di sini. Berdiri di depan gerbang rumah yang bertulis nama Abimayu di sudutnya. “Cepat ke sini, saya akan ganti uang transporasi. Segera!” titah dari Pak Abi memintaku untuk langsung menuju ke perumahan elit di kawasan Jakarta Selatan. Aku menekan bel yang ada di ujung pagar sebanyak dua kali sampai ada seorang wanita yang membukanya. Wanita paruh baya itu tersenyum dan memintaku untuk mengikutinya. Aku langsung mematung seketika saat kulihat ada seonggok manusia menghampiriku. Rasanya tidak sopan menyebut dosen dengan sapaan seonggok. Tapi, memang itu kenyataannya. Dengan jelas aku bisa melihat tubuhnya yang terlihat sangat kokoh dan … atletis. Astagfirullah! Ini nggak boleh Una. Buru-buru aku mengalihkan pandangan ke arah lain. Pak Abi tidak telanjang dada, hanya kaus putihnya yang agak transparan itu membuat mataku leluasa melihat bayangan-bayangannya. Gejolak di dalam diriku malah sibuk menebak bagaimana bentuk seutuhny