"Saya nggak tahu ini dosa atau enggak. Saya nggak tahu pernikahan ini benar atau enggak. Saya nggak peduli. Untuk sekarang, saya hanya perlu rumah. Rumah yang sungguhan definisi rumah. Malam itu saya bener-bener memilih untuk mati saja. Andai Bapak nggak membantu saya, pasti saya memilih untuk dipenjara. Uluran tangan mama Pak Abi membuat saya silau. Saya mau itu. Terserah setelah ini mau bagaimana. Yang jelas, izinkan saya sebentar saja bisa mengerti arti keluarga. Agar saya bisa mengingatnya dan dengan begitu bisa perlahan pergi," ucapaku. Ini pertama kalinya kami mendapatkan momen berdua. Aku dan Pak Abi baru dari KUA untuk mendaftarkan pernikahan yang akan dilangsungkan di kediaman orang tuanya, yaitu Bogor. "Kamu nggak akan suka dengan apa itu keluarga. Saya malah ingin hidup sendiri tanpa ada yang peduli sepertimu.” Tatapan matanya masih awas di kemudi mobil. "Tapi, kalau itu maumu. Baiklah. Supaya saya memiliki teman menderita tentang busuknya keluarga." Aku terdiam begitu saj
“Hamil duluan, ya?” Satu pertanyaan itu membuatku sadar kalau aku masih mengenakan kebaya berwarna putih. Aku masih di sini. Di tempat di mana aku baru melakukan sesuatu yang sakral dan mengikat. Suara itu terdengar dari seseorang yang tak kukenal. Entah itu pegawai KUA atau salah satu keluarga Pak Abi. “Enggak,” jawabku jujur. “Kok nikahnya buru-buru dan diam-diam?” Sebenarnya aku malas sekali menanggapi pertanyaan itu yang terus berulang. Rasanya lelah saja. Apa perlu aku membawa berkas bukti dari dokter yang menunjukkan selaput daraku masih utuh? Mulutku ini lagi kaku dan tidak selera berbicara panjang lebar. Kenapa, ya, orang-orang itu senang sekali mengurusi kehidupan orang lain? Entah datang dari mana, tiba-tiba aku merasakan ada yang merangkul. Ketika kumendongak ke kanan, ternyata Pak Abi. “Nggak usah cari bahan gosip,” selorohnya kepada wanita paruh baya itu. Kemudian dia menuntuntku untuk keluar KUA. Dia hanya berjalan dan
“Selera Pak Abi boleh juga,” ucapku ketika dia baru bergabung ke ruang tengah. Kuacungkan kedua jempol sambil meringis, “Cantik.” Dia tidak menjawab dan hanya menatapku tanpa ekspresi. Dia merebahkan punggungnya ke sandaran sofa. Kami sama-sama lelah. Pak Abi sih enak bisa dapat pelukan dari pacarnya, sedangkan aku dari siapa? Oh, iya, kan aku sudah dapat pelukan yang lama dari ibu mertua tercinta. “Saya tidur di mana?” tanyaku lagi. “Sesukamu asal jangan di kamar saya.” “Dih, saya juga nggak berniat ke sana. Saya tidur di kamar Aksa?” “Di mana pun asal jangan di kamar SAYA!” Pak Abi menegaskan kata saya. Aku mendecih karena kalimatnya sangat kecut. Berbeda saat tadi dia dengan pacarnya, siapa tadi namanya Rania, ya? Iya, Rania. “Saya ngapain aja di sini? Nggak enak kalau numpang makan tidur, tapi nggak ngelakuin apa-apa.” “Kerja sama sama Bik Tun tentang rumah dan bersikap seperti mamanya Aksa.” “Kalau begitu Bapak juga harus bersikap seperti papanya Aksa, dong.” “Sudah say
Meski masih sangat mengantuk, tapi aku harus tetap bangun. Ini kewajiban yang tidak bisa ditawar. Aku sudah tidak memiliki siapa-siapa, masa iya mau meninggalkan Sang Maha Pencipta? Suara azan sahut-sahutan berkumandang. Aksa yang tertidur di sampingku pun masih tampak begitu tenang. Suasana di sini remang-remang karena hanya lampu tidur yang menyala. Siapa yang mematikannya? Seingatku, semalam aku tidak sempat mematikan lampu. Jangankan mematikan lampu, pakaian dan barang-barangku saja masih berserakan. Aku keluar kamar untuk melihat situasi. Semuanya tampak tenang dan lenggang. Kamar Pak Abi yang ada di depan kamar Aksa pun tampak tidak ada kehidupan. Kuketuk kamarnya beberapa kali untuk menayakan apakah di rumah ini ada musala. Selain itu, aku juga tidak tahu arah kiblat. “Pak Abi ….” ucapku setelah mengetuk pintu. Aku menunggu untuk beberapa saat, tapi tidak ada jawaban. Apa dia masih tidur? Atau sedang salat? “Pak Abi ….” Aku sedikit menaikkan intonasi nada sura. Na
Kesibukan baruku menjadi mama muda, yaitu harus telaten mengurusi Aksa yang segala tingkah dan mood-nya membuatku kebingungan. Anak-anak memang seperti itu, kan? Apalagi di usia lima tahun yang sedang aktif-aktifnya. Untuk sekarang, anak ini masih sangat bersikap manis denganku. Dia menurut ketika jam tujuh kupaksa untuk bangun. Mau tahu apa yang membuatku kebingungan di hari Minggu yang cerah ini? Jawabannya adalah memandikan Aksa. Sudah kubilang, aku sama sekali tidak punya pengalaman mengurus anak-anak. Pada akhirnya, semua pakaian yang kukenakan basah hanya untuk memandikan anak ini. Ketika aku dan Aksa keluar kamar mandi, sudah ada Pak Abi di sana. Dia menyiapkan pakaian Aksa. “Saya malah basah semua,” keluhku kepadanya sambil menunjukkan semua pakaian yang kukenakan sungguhan basah. “For the first time dalam hidup, saya mandikan anak.” “Saya yang urus Aksa, kamu mandi dulu aja.” “Iya.” Hanya jawaban itu yang bisa kujawab karena memang aku butuh mandi. Nggak mungkin aku basah-
Di sinilah aku sekarang. Duduk di tepi kasur milik Pak Abi. Ini sungguh canggung. Sangat cangung! Dia sedang mandi. Alasan aku harus berada di kamar yang sama dengannya karena Mama dan Papa. Mereka tiba-tiba datang ke sini. Berhubung tidak mau menambah kerumitan, Pak Abi langsung menyuruhku ke sini. Selain itu, malam ini kami benar-benar hanya berdua di rumah. Mama dan Papa membawa Aksa dan Bik Tun keluar. Mereka tidak mengajakku, tidak mungkin aku tiba-tiba ikut. Bagaimanapun aku masih anggota baru di keluarga ini. Pak Abi pun memilih di rumah saja. Jika aku hanya duduk diam, otakku akan semakin memikirkan berbagai pemikiran yang membuatku semakin canggung. Kuputuskan untuk bergerak mengelilingi kamar ini. Jika hanya melihat-liat, Pak Abi nggak mungkin memarahiku, kan? Kamar ini sangat cowok kalau kubilang. Atau malah terkesan gelap. Cat dindingnya perpaduan antara abu, putih, dan ada bagian sisi yang full hitam. Semua perabotan juga berkisar di
Sejak kejadian di dapur tadi, jantungku masih terus berdebar lebih kencang dari biasa. Aku tidur miring memunggungi Pak Abi yang juga sepertinya memunggungiku. Satu kasur yang sama dengan pria benar-benar membuat jantungnya semakin tak terkendali. Kurasa ada yang sedang berpcu kuda di dalam sana. Menyebalkannya, hanya aku yang merasa seperti ini. Pria di sampingku benar-benar terlihat tenang. Aku mengubah posisi menjadi telentang. Kutatap langit-langit kamar. “Pak Abi ….” Aku memanggilnya untuk memastikan apakah dia sudah tidur atau belum. “Bapak kok bisa tidur, sih? Saya nggak bisa. Saya pindah ke lantai aja.” Ide ini tercetus begitu saja karena kurasa sumber ketidaknyamananku karena Pak Abi di sampingku. Aku yakin akan merasa lebih tenang saat semakin jauh dengannya. Tenang, lantai di kamar Pak Abi ada karpetnya, kok. Aku tidak akan kedinginan. Kamar ini didesain sangat nyaman untuknya. Lagian, juga ada sofa di dekat televisi. Tapi, kalau tidur di sana kaki
Pak Abi membuka pintu balkon kamarnya. Dia membiarkan angin malam masuk ke ruangan ini. Perpaduannya membuatku merinding, antara angin luar sekaligus AC. Kumasukkan seluruh tanganku ke balik jilbab yang kukenakan. Dia mengajakku untuk berdiri di pinggir pagar balkon. Kami menikmati suasana kompleks yang tampak tenang. Hanya ada satu atau dua kendaraan yang lewat. Langit malam kota Jakarta juga tampak suram dan mendung. Kurasa akan turun hujan. Aku menunggunya kembali melanjutkan cerita. Sedikit demi sedikit Pak Abi seperti mau menunjukkan sisi lainnya. Dia berbeda. Dia bukan Pak Abi yang kukenal ‘sempurna’ selama ini. Rasanya, dia ingin membagikan kisah pilunya kepadaku. Mungkin dia mau membagikan masalah atau malah memindahkan masalahnya untukku. “Dulu, di saat orang-orang berbondong ingin kuliah ke Jakarta, saya malah kabur ke Kalimantan Timur. Setelah itu, saya langsung lanjut S2 di Australia. Saya cuma mau pergi jauh dari rumah. Sama kayak kamu yang memili