"Selamat pagi Pak Raka." Seseorang menyambut kami saat kami baru saja memasuki area kantor yang merupakan cabang baru perusahaan Papa.Gedung ini terlihat mewah dengan bangunan baru yang gagah berdiri menjulang tinggi."Ya, Selamat pagi Pak Diki," jawab Raka seraya menerima uluran tangan seorang laki-laki kira-kira berusia 40 tahunan itu."Senang bertemu dengan Anda Pak Raka, apa ini ....""Ya, ini istri saya, Amira." Pak Diki tersenyum padaku aku pun mengangguk sambil mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada."Oke, mari saya antar ke dalam, Pak. Semuanya sudah siap, tinggal menunggu Bapak." Pak Diki mempersilahkan kami untuk masuk, kami berjalan bersama, beriringan.Aku berjalan di samping Raka, tak ada gandengan tangan layaknya pasangan suami istri lainnya. Ternyata di dalam sebuah ruangan yang cukup besar sudah ramai, semua karyawan berkumpul di sini, duduk di kursi-kursi yang berjejer rapi. Di depan sudah ada meja panjang, dimana para petinggi perusahaan dan para tamu unda
"Boleh saya duduk di sini?" tanyannya sopan, sambil melirik satu bangku lagi tak jauh dari tempatku duduk."Oh ya, silakan.""Saya Arya, salah satu manager di kantor pusat." Ia mengulurkan tangannya. Tapi aku hanya mengatupkan kedua telapak tanganku di dada. Ia pun mengerti dan tersenyum."Bagaimana ceritanya istri seorang Raka Ardiansyah calon pemimpin perusahaan, justru duduk sendiri di luar gedung begini Nona Amira?""Ehm, aku duduk di sini untuk cari udara segar, karena di dalam tadi cukup ramai, kurasa di sini, suasananya lebih nyaman."Lagi-lagi ia mengangguk tersenyum, wajahnya tak setampan Raka, tapi saat ia tersenyum ada daya tarik tersendiri. Astaghfirullah ingat Amira, kau sudah bersuami, tak pantas memuji laki-laki lain!Ah, meskipun status istri hanya sebatas status belaka, bukan istri sesungguhnya."Ehm, maaf sebaiknya saya permisi untuk kembali masuk ke dalam, khawatir Raka mencariku, permisi Pak Arya." Aku pamit dengan sopan pada laki-laki yang tengah duduk dengan sant
Aku melirik Raka yang masih terdiam, kami bersitatap beberapa detik, sepertinya ada masalah."Minum dulu teh-nya Pa," ucap Mama seraya mendaratkan bobotnya di sofa."Satu hal yang ingin Papa sampaikan pada kalian, terutama kamu Raka, ingat, pernikahan adalah sebuah hal yang sakral, dimana janji yang kamu ucapkan di hadapan penghulu, bukan hanya di saksikan oleh manusia, tapi juga di saksikan oleh Allah dan malaikat. Jadi Papa minta, kamu jangan main-main!" Papa berkata dengan lugas, sampai membuatku tertunduk, sebab merasa pernikahan yang kujalani ini tak berjalan semestinya.Mengapa Papa bicara begitu? Apakah Papa mengetahui sesuatu tentang hubungan kami? Aku dan Raka."Kamu juga harus menghargai Amira, istrimu.""Iya Pa." Raka menjawab singkat, lalu meraih cangkir teh di depannya, dan menyesapnya pelan."Di minum dulu Mir, kamu pasti capek kan, tadi habis perjalanan jauh dari Bandung ke Jakarta." Seperti biasa, Mama Rita selalu hangat.Aku pun meminum teh, lalu memakan bolen pisang
"Maaf mengganggu waktumu Mir," ucap Papa seraya bangkit dari duduknya, lalu mendaratkan bobotnya di sofa berseberangan denganku."Nggak ganggu kok Pa, lagi pula semua urusan di Kafe sudah ada yang menghandle." Aku menjawab sambil membuka susunan rantang kantong plastik putih berukuran besar, berisi makanan."Terimakasih banyak ya Mir," ucap Papa sambil tersenyum."Kita makan siang sama-sama di sini, Papa juga sudah ajak Mama, tapi katanya kepala sedikit pusing jadi Mama memilih untuk berisitirahat di rumah," sambungnya lagi."Assalamualaikum Pa." Tiba-tiba Raka memasuki ruangan ini.Ia nampak kaget melihatku ada di sini "Amira.""Ya, Papa yang meminta dia kesini dan membawakan makan siang untuk kita, ayo kita makan sama-sama. Papa penasaran dengan menu di Kafe Amira, tadinya mau datang langsung kesana, tapi tahu sendiri Papa sangat sibuk, tak sempat, jadi tak salahnya 'kan Papa minta kamu yang kesini Mir, sekali-kali biar kamu lihat kantor Papa, dan kerjaan suamimu." Papa Papa menyah
"Ini Tas kamu." Aku seperti mengenali suara orang ini."Iya benar ini tas-nya Mbak ini Mas! Alhamdulillah! Mbak ini tas-nya 'kan?!" Ibu-ibu yang sedang berdiri menemaniku menyahut. Aku yang masih dengan posisi duduk karena sejak tadi dilanda rasa cemas pun langsung mengangkat kepalaku menatap laki-laki yang suaranya tak asing bagiku."Amira," ucap laki-laki itu. Dari nada bicaranya terdengar seperti terkejut.Laki-laki itu pun membuka kaca helm full face-nya yang berwarna hitam."Arya." "Amira, ternyata Kau yang tadi di jambret? Kau tidak apa-apa?" tanyanya sambil melepas helm di kepalanya. Kini aku bisa melihat jelas wajahnya.Aku langsung bangkit berdiri, dan meraih tas yang ada di tangan ibu-ibu yang menemaniku duduk tadi."Oh jadi Mbak sama Mas ini saling kenal? Owalah, kebetulan sekali ya," ucap wanita yang sudah sangat baik menemaniku di depan supermarket ini."I–iya Bu, kebetulan Mbak ini, istrinya teman saya." Arya yang menjawab."Owh gitu. Ya sudah kalau gitu saya tinggal m
"Hai, maaf menunggu lama ya, tadi lagi lumayan ribet di dapur." Aku menghampiri Arya yang sudah duduk di salah satu bangku di Kafe.Tadi memang Mita mengatakan ada seseorang yang ingin bertemu denganku, aku sudah bisa menebak itu pasti Arya, karena memang sejak kemarin kami sepakat akan bertemu di sini. Karena aku sudah janji mentraktirnya makan siang di Kafe-ku."Iya nggak apa-apa, bisa dimaklumi. Kamu hebat ya, masih muda tapi sudah punya usaha sendiri, keren kamu Mir. Raka pasti bangga punya istri sepertimu, sudah cantik, pinter usaha," Arya menatap sekeliling area Kafe dengan pandangan takjub."Ah kamu ini berlebihan.""Ah ya, kamu mau makan apa, aku kan sudah janji akan traktir kamu makan di sini, sebentar ya.""Emma!" Aku memanggil salah satu karyawan bagian waiters untuk mendekat ke tempat dimana aku duduk berseberangan dengan Arya."Ya Mbak.""Mana buku menunya."Emma memberikan buku menu itu padaku. Dan aku langsung menyerahkan pada Arya."Ini menu yang ada di sini, silahkan
"Tumben Lo makan siang jauh banget dari kantor?" tanya Raka dengan tatapan penuh selidik."Iya tadi sekalian lewat, dari kantor Pak Hadi, dan baru kutahu, ternyata makanan di Kafe istri Lo ini ternyata sangat enak," jawab Arya dengan santai.Raka duduk di bangku yang tadi di duduki Arya."Sekarang Lo udah selesai makan kan? Sana Lo balik ke kantor, Gue masih ada urusan sama Istriku.""Ya, memang ini Gue udah mau balik ke kantor kok, ya dah, Gue duluan ya!" Arya melenggang meninggalkan kami.Aku masih duduk di bangku berseberangan dengan Raka. "Raka ada apa kemari?" tanyaku."Ingin main sebentar ke Kafe ini apa tak boleh? Arya aja boleh."Aku mengernyitkan menatap Raka yang sepertinya agak aneh. Apa dia tak suka dengan kehadiran Arya di sini? Kenapa tak suka? Toh juga perjanjian yang kita sepakati bersama tertulis tidak boleh mencampuri urusan masing-masing.Aku aja tak pernah komplen atau ikut campur dengan urusan dia."Ambilkan aku makanan, aku lapar," ucap Raka lagi."Mita!" Aku me
"Kenapa tiba-tiba Papa marah-marah?" tanyaku setelah cukup lama kami berdua sama-sama diam di dalam mobil perjalanan pulang ke rumah."Sepertinya Papa dengar pas aku bicara sama Arya di kantor tadi.""Kalian bicara apa, sampai membuat Papa marah?" tanyaku heran pasalnya kalau hanya pembicaraan biasa tentu tak 'kan membuat Papa marah. Kali ini Papa terlihat sangat murka.Raka terdiam beberapa saat."Pembicaraan urusan laki-laki. Kau tak perlu tahu," jawabnya.Aku hanya menghela napas, mendengar itu. Ada-ada saja, pembicaraan apaan itu urusan laki-laki? Sampai membuat Papa semarah itu."Sepertinya kita harus lebih kompak lagi dalam berpura-pura di depan orang tua kita, terutama Papa." Kembali aku membuang napas berat.Hah! Perasaan selama ini aku sudah berusaha semaksimal mungkin memerankan sandiwara ini.Sesampai di rumah aku langsung bergegas untuk turun dari mobil."Masuklah, aku masih ada urusan di luar, jangan lupa kunci pintunya." Sejenak aku tercengang. Mau pergi kemana dia, mala