Mendadak Jadi Pengantin Kekasih Sahabatku. Aku Amira Anggraini. Niatku datang ke pernikahan Evita–sahabatku berujung petaka. ternyata Evita kabur di hari pernikahannya. Sialnya lagi aku yang yang di suruh untuk menggantikannya, jadi Pengantin pengganti. Semua yang terjadi bagaikan mimpi buruk, sikap Raka–kekasih Evita yang kini jadi suamiku, begitu sangat dingin dan cuek. Pernikahan macam apa yang harus kujalani ini? Kenapa tiba-tiba Evita pergi di hari bahagianya? Bukankah ini adalah pernikahan impiannya? Mampukah aku bertahan menjalani pernikahan sandiwara ini? Bagaimana jika suatu saat Evita kembali datang dan melihat kenyataan jika aku telah menjadi istri Raka? Yuk baca kisah selengkapnya hanya di goodnovel. Selamat Membaca.
Lihat lebih banyakBab 1. Dikatai Perawan Tua
"Kapan kamu akan menikah, Mir?"Aku menggeleng-gelengkan kepala. Baru saja Ibu masuk ke rumah dengan wajah masam setelah membeli sayur di pedagang sayur keliling yang berhenti di depan rumah. Setelah mengempaskan dirinya di atas sofa ruang tamu, beliau langsung menanyakan hal tersebut."Itu lagi," keluku, tidak berminat menjawab pertanyaan tersebut."Ya iyalah!" Ibu langsung menyahut ketus."Kamu itu sudah 27 tahun, sebentar lagi menginjak kepala tiga! Apa kamu nggak pengin nikah?!"Meskipun Ibu tampak menggebu-gebu, aku tetap menanggapinya dengan santai."Belum ada jodohnya, Bu," jawabku."Jodoh, gundulmu! Kamunya aja yang nggak niat!" sergah Ibu, akhirnya mengamuk."Kamu itu! Dijodohkan sama anaknya Pak Lurah nggak mau, sama tentara anak Pak Mandor juga kamu tolak! Padahal mereka itu kan ganteng, mapan, kamunya aja yang selalu saja banyak alasan!"Aku diam saja dimarahi, hingga akhirnya Ibu melanjutkan dengan pertanyaan, "Kamu ini ... normal, kan?"Tatapan memincing serta nada bicara Ibu membuatku terbelalak."Astaghfirullah, Ibu!" balasku kesal."Ngomong apaan sih? Ya tentu aku normal lah! Tega banget Ibu nanyanya gitu!""Ya habisnya! Kamu seperti nggak ada rasa tertarik sama–""Assalamualaikum! Bu Salma!" Tiba-tiba seorang wanita paruh baya yang kukenali sebagai Bu Inneke, tetangga yang hobi bergosip di lingkungan ini masuk tanpa dipersilakan terlebih dahulu sembari menenteng bungkusan plastik putih."Ini udang belanjaan Bu Salma ketinggalan!""Oh." Ibu buru-buru memasang senyum dan ekspresi ramah."Makasih ya, Bu Inneke.""Sama-sama, Bu. Katanya tadi sudah dihitung," ucap Bu Inneke lagi. Lalu ia beradu pandang denganku yang masih mengenakan baju rumahan."Eh, ada Amira, nggak kerja, Mir?"Nadanya genit sekali, seakan sedang menggodaku dengan jail."Kerja, Bu. Berangkat jam sembilan." Aku tetap membalas dengan sopan, meskipun enggan mengobrol lebih lama.Di lingkungan ini, Bu Inneke terkenal suka kepo dengan urusan orang lain juga. Mungkin untuk bahan gosipnya."Owh ya, Kalau kafe milik sendiri mah enak ya, berangkat kapan saja bebas," tanggap Bu Inneke."Mau datang mau nggak terserah kita, wong punya sendiri. Semua dikerjain karyawannya."Aku hanya tersenyum tipis dan berniat masuk ke kamar lagi untuk bersiap-siap."Hebat ya kamu, Mir. Masih muda sudah sukses, punya usaha sendiri," ucap Bu Inneke lagi."Tapi jangan terlalu sibuk lho. Nanti lupa cari pasangan hidup. Masa sudah tua kok masih asyik sendiri aja. Kasihan bapak ibumu, pasti sudah mau nimang cucu."Seketika aku merasa tak nyaman dengan ucapan Bu Inneke. Mungkin inilah yang membuat mood Ibu rusak pagi-pagi dan menagihku soal pernikahan. Beliau pasti kepikiran dengan omongan Bu Inneke.Sementara itu, Bu Inneke masih melanjutkan, "Lihat tuh, teman-teman seusia kamu. Sudah pada punya anak. Sudah ada yang dua, tiga. Lha kamu, kapan?""Bu," sahutku pada akhirnya. Lama-lama gerah juga. ."Menikah itu bukan ajang perlombaan. Jadi bukan perkara siapa yang duluan, siapa yang belakangan, tapi karena semua datang dengan waktunya sendiri-sendiri."Bu Inneke berdecak. "Halah! Alasan klasik itu, Mir!" balasnya."Kamu itu jangan terlalu pemilih lah. Kamu itu mau cari yang kayak gimana lagi? Mau jadi perawan tua? Siapa yang mau, Mir!"“Aduh, Bu. Kan, bukan masalah Ibu juga,” jawabku sembari menekan perasaan dongkol di hati."Yang menikah nanti kan saya, bukan Ibu. Bu Inneke kan sudah nikah dua kali, masa mau lagi."Bu Inneke terperangah mendengar jawabanku. Wajahnya yang bulat tampak geram dan merah, tidak terima."Kamu–""Saya permisi dulu ya, Bu. Mau siap-siap," ucapku buru-buru. "Mau urus kafe, biar sukses dan nggak numpang sama suami saya nanti."Tanpa mendengar respons tetangga satu itu, aku masuk kamar. Aku tidak peduli kalau-kalau nanti aku dimarahi Ibu atau Ayah.Geram rasanya jika wanita paruh baya itu datang bertandang ke rumah. Pasti ujung-ujungnya bikin aku kesal."Nggak sopan kamu, Mir! Orang tua kasih petuah baik kok malah dikatain!" Meski begitu, aku bisa mendengar omelannya dari dalam kamar."Bu Salma, lihat nih anakmu! Pantas dia nggak laku! begini kelakuannya! Dasar perawan tua!"Mataku terpejam, mencoba mengendalikan kekesalan dan kemarahanku atas kata-kata si tetangga yang pastinya tidak hanya menyakiti hatiku, melainkan hati kedua orang tuaku yang mendengarnya.Apalagi Ibu. Beliau pasti langsung kepikiran. Selalu seperti itu, Ibu terlalu baper jika ada orang lain atau tetangga yang mulai membahas masalah jodoh untukku.Bukannya aku tak ingin menikah, tapi belum ketemu yang cocok.Masa iya aku mau asal nikah aja? Pernikahan adalah hal yang sakral dan aku ingin menikah dengan orang yang benar-benar tepat, berharap bisa menikah sekali seumur hidup, dan bersama-sama mengarungi rumah tangga sakinah mawadah wa rahmah.Apa itu salah?Meskipun aku perempuan, apa aku juga tak boleh memilih?Ah, sudahlah. Lebih baik aku segera berangkat ke kafe. Sore nanti juga aku harus berangkat ke acara kondangan pernikahan sahabatku. Aku tidak mungkin melewatkannya.Toh, calon suami tidak akan tiba-tiba muncul kalau aku cuma galau begini.Atau begitulah yang kupikirkan.*'Pengantin wanitanya tidak ada! Dia hilang!"Suasana ricuh langsung menyambutku begitu aku sampai di area rias pengantin, di belakang gedung.Seharusnya ruangan ini adalah tempat berkumpul keluarga inti sahabatku, Evita, untuk dirias dan di mana Evita sedang menunggu pengiring pengantinnya menuju pelaminan.Namun, yang ada di sini adalah ketegangan. Bahkan ibu sahabatku itu kulihat sedang tergeletak di bangku panjang–pingsan.Belum saja aku sempat bertanya, salah seorang sepupu Evita berdiri di sampingku dengan wajah panik, sibuk mencoba menelepon seseorang."Duh, gimana sih ini Evita! Angkat dong!” gerutunya. Ia tampak gusar, meskipun wajahnya pucat."Kamu di mana sih!?""Ada apa ini!?"Tiba-tiba perhatian semua orang terarah pada sesosok pria paruh baya yang baru saja datang. Pandangannya tajam menyapu kepanikan keluarga Evita di dalam ruangan–yang makin menjadi karena suaranya menggelegar.Di belakang pria itu, tampak dua sosok yang kukenali."Ayah? Ibu?" gumamku terkejut. Mereka sempat mengatakan kalau sore ini akan menghadiri acara pernikahan putra sahabat dekat mereka.Apakah ini acaranya? Jadi putra sahabat orang tuaku akan menikahi sahabatku … yang saat ini entah di mana?Astaga!"Amira!" Tidak hanya aku, Ibu dan Ayah juga sama terkejutnya. Mereka berbisik hati-hati, tampak tegang dan langsung menarikku mendekati mereka."Apa yang–""Apa maksud kalian pengantin wanitanya tidak ada!?" bentak pria yang tadi menambah ketegangan di ruangan ini, yang kukenali sebagai sahabat Ayah dan ibu. Beliau sedang berdiri berhadapan dengan ayah Evita."Bagaimana bisa dia kabur!? Kalian berniat mempermalukan kami ya!"Aku ikut tegang. Tidak berani bersuara maupun bergerak sedikit pun.Aduh, Evita. Masalah apa yang kamu sebabkan…."Ma-maaf, Besan," ucap sosok yang kukenali sebagai ayah Evita."Kami–"Sahabat ayahku mengibaskan tangannya, tidak mau dengar dan langsung berbalik pada ayah dan ibuku.Aku memperhatikan pria itu sempat tertegun saat melihatku dan bertanya, "Siapa ini?""Ini putriku, Ful," ucap ayahku pada kawannya yang belakangan kuketahui bernama Saiful itu."Namanya Amira."Pak Saiful melihatku dalam waktu yang cukup lama. Keningnya berkerut, seperti sedang berpikir.Hingga akhirnya, tiba-tiba ia bertanya, "Anakmu sudah menikah?"Ayahku tampak heran. "Belum. Dia–"Pak Saiful mengangguk.Pria paruh baya itu menatap ayahku dengan pandangan lurus dan penuh tekad."Mustafa, bolehkah aku meminta sesuatu padamu?" ucap Pak Saiful."Izinkan putrimu untuk menikah dengan putraku."Bersambung.Arya. Aku menutup pelan pintu kamar, agar Azzam tak sampai terbangun. Ya, yang datang berkunjung adalah Arya.Dia berdiri di ambang pintu dengan senyum yang tak pernah berubah, senyum yang dulu pernah menghancurkanku, namun kini terasa begitu berbeda. Di sebelahnya, seorang wanita cantik berdiri dengan tatapan penuh kasih. Wajahnya hangat dan bersahabat, membuatku merasa nyaman seketika."Selamat, Raka, Amira," ucap Arya dengan suara yang tenang tapi sedikit canggung. Raka masih terdiam menatap Arya dengan tatapan tak biasa."Ehm, Aku dengar Amira sudah melahirkan," ucapnya lagi, melihat Raka tak bergeming.Aku masih berdiri, mencoba menenangkan diriku. Bertemu Arya lagi setelah sekian lama, di saat hidupku sudah berubah begitu banyak, rasanya aneh. Dulu, aku pernah dekat walau hanya sebatas teman, dan tak kupungkiri, aku mengaguminya. Semua bentuk perhatian yang ia berikan.Dan bahkan mungkin pernah ada sedikit rasa berharap akan hidup bersamanya.Tapi kini, melihatnya di depan
Pulang dari kantor polisi kami ber-empat kembali diliputi suasana hening, sibuk dengan pikiran masing-masing."Pa, Ma, mau aku buatkan minum apa?" tanyaku begitu kami sampai di rumah."Nggak perlu Mir, kamu istirahat saja, kamu pasti capek." Mama menolak."Nggak apa-apa Ma. Cuma bikin minum doang, sekalian buat teman ngobrol. Aku buatin teh hangat aja ya Ma.""Ya sudah. Terserah kamu saja Sayang."Aku pun melenggang ke dapur, sedangkan Raka bersama Mama dan Papa duduk di ruang tamu."Mama benar-benar nggak nyangka, dengan perempuan itu, wanita seperti itu yang dulu kamu cintai? Apa pantas yang seperti itu kamu perjuangkan untuk menjadi pendamping hidup kamu, Ka! Apa kata keluarga kita? Apa kata relasi bisnis kita?! Mama nggak menuntut yang berlebihan, paling tidak seorang wanita yang mendampingi kamu itu adalah perempuan terhormat, yang mampu menjaga marwahnya, menjaga tutur katanya, karena bagaimanapun sikap istri, perilaku seorang istri itu adalah harga diri kamu sebagai suami, Ka!
Kami berdua bersama Papa dan Mama berada dalam satu mobil, menuju ke kantor polisi. Setelah tadi polisi mengabari bahwa dalang dari peristiwa kecelakaan ini telah berhasil ditangkap, kami langsung bersiap dan hendak langsung jalan ke kantor polisi.Namun siapa sangka ternyata Papa juga mendapatkan kabar yang sama dari kepolisian, jadilah Papa menjemput kami ke rumah dan bersama-sama ke kantor polisi.Di dalam mobil suasana hening, semua larut dalam pikiran masing-masing. Menerka siapa sebenarnya dalang dari semua ini.Hampir setengah jam perjalanan akhirnya kami sampai. Masih dengan bantuan satu kruk untuk menyangga tubuh bagian kanannya Mas Raka tampak bersemangat memasuki gedung kantor polisi."Bisa Mas?""Bisa. Aku bisa sendiri. Ayo kita masuk."Kami ber-empat berjalan bersisian masuk.Di dalam kami sudah di tunggu oleh Pak Kapolres Arga Setiawan."Mari silahkan duduk Pak. Pak Andi, tolong bawa kemari tahanan atas nama Evita," titahnya pada rekannya."Siap Ndan!"Aku dan Raka seket
Akan ada pelangi setelah hujan. Akan ada kebahagiaan setelah melewati pahitnya hidup, beserta ujian yang menghadang.Amira POV."Selamat pagi Pak Raka, kami sudah berhasil menemukan pelaku tabrak lari yang menimpa Bapak beserta istri bulan lalu," ucap Pak polisi melalui panggilan telepon. Kebetulan Mas Raka menyalakan loud speaker begitu melihat telepon masuk dari kepolisian. Jadi aku. Isa ikut mendengarkannya.Kini kami sedang sarapan pagi, di meja makan rumah kami. Sepulang dari rumah sakit, kami memutuskan untuk langsung pulang ke rumah. Beberapa hari ibu menginap di rumah sampai kondisiku benar-benar pulih."Alhamdulillah. Terimakasih banyak informasinya Pak." Raka mengucap syukur sambil melirik ke arahku dengan netra berbinar."Sama-sama Pak. Dan hari ini juga tim kami akan langsung melakukan penangkapan terhadap dalang utamanya.""Apa? Jadi benar dugaan kita selama ini kalau ....""Ya Pak! Mereka mengaku di suruh oleh seseorang. Dan setelah kami melakukan pemeriksaan, dan mengin
Amira Pov.Aku terbangun mendapati Raka telah tergugu pilu di sisiku.Ada apa? Kenapa Raka terlihat begitu kacau. Baru kusadari ternyata aku berada di sebuah ruangan ICU, dengan selang dan menempel di lengan dan tubuhku.Mendengar penuturan Raka, ternyata aku mengalami koma selama delapan hari lamanya. Aku kaget, benarkah aku tidur selama itu. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata aku sempat dinyatakan meninggal oleh dokter. Ya, aku mengalami ma ti suri.Berkali-kali ia mengecup jemariku, matanya sembab, terlihat sorot matanya yang teduh dan penuh cinta. Aku percaya, laki-laki yang kuperjuangkan kini ternyata benar mencintaiku. Aku benar-benar merasakan itu.Setelah beberapa jam aku sadar, aku dipindahkan ke ruang rawat. Dengan telaten ibu merawatku karena kondisi Raka juga belum sepenuhnya sembuh, ia masih harus terus melakukan terapi sampai minimal dia bisa berdiri, walau dengan alat bantu kruk.Kecelakaan yang menimpa kami beberapa waktu lalu, aku benar-benar tak tahu, Raka bi
"Kondisi Amira memburuk, Ka!"Degh!Jantungku seakan melompat dari tempatnya, mendengar kabar dari Papa."Pa! Bantu aku, aku mau ke ruangan Amira."Aku langsung berusaha bangkit, dengan dibantu Papa aku bisa turun dan beralih ke kursi roda. Dengan sigap Papa mendorong kursi roda ini menuju ke ruang ICU.Sepanjang lorong rumah sakit, jantungku berpacu cepat. Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada istriku. Papa mendorongku setengah berlari.Hingga kami sampai di depan ruang ICU, di sana sudah ada mertuaku dan Mama. Melihatku datang, mereka semua menatapku. Semua orang menatap iba padaku, ibu sudah menangis tergugu di bahu ayah. Sedangkan Mama menatapku dengan berurai air mata. Ada apa? Apa yang terjadi pada Amira?"Gimana Amira Ma? Bagaimana keadaan Amira? Apa yang terjadi?!" sentakku."Raka, sabar Nak. Sabar." Mama berucap sambil berusaha meraih tanganku."Sabar, sabar kenapa sih! Aku mau masuk! Aku mau menemui Amira!" Aku berusaha memutar kursi roda ini sendiri berusaha untuk me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen