Share

Night Mare

Jillian sudah membaca pesan Rangga, ia mengerti jika Rangga harus kerja. Terpaksa mengerti sebenarnya.

Ternyata Rangga memilih bekerja dibanding menemaninya, lalu apa bedanya dengan Daddy?

Jillian menyibak selimut yang membalut tubuhnya, menurunkan kaki untuk membasuh wajah yang matanya sembab.

Tadi ponselnya berdering tidak henti memunculkan banyak pop up notifikasi pesan.

Pasti dari ketiga sahabat Jillian.

Keluar dari kamar mandi, Jillian mencari ponselnya yang ia letakkan di atas nakas.

Benar saja, ketika Jillian membuka aplikasi pesan banyak pesan masuk dari ketiga sahabatnya mengucapkan bela sungkawa termasuk para guru dan kepala sekolah.

Mereka mengatakan akan datang selepas pembelajaran selesai.

Jillian menarik handle pintu kamar, tenggorokannya terasa haus setelah tadi menangis lalu pingsan.

Ia terlonjak ketika menemukan Kenzo duduk di sofa yang berada di depan kamarnya.

Pria itu memangku MacBook tampak sibuk mengerjakan sesuatu.

“Ngapain Om di sini?” Jillian bertanya ketus.

Dia lupa jika tadi Kenzo yang merengkuh pinggangnya agar tidak jatuh bahkan Kenzo menggendong Jillian ke mobil dan menemani Jillian selama perjalanan pulang.

Kemeja Kenzo juga masih lembab karena air mata Jillian yang menangis sambil tertidur di dadanya.

“Kamu ngelarang saya masuk kamar kamu sembarangan, jadi ya … saya duduk di sini.”

Kenzo menjawab dengan santai.

“Bukan itu! Maksud aku ngapain Om masih di rumah aku? Daddy udah dimakamin, Om mau apa lagi?”

Jillian melangkah mendekat dengan kedua tangan terlipat di depan dada membuat gundukan di dadanya yang memiliki ukuran luar biasa itu semakin tampak nyata.

“Jagain kamu,” jawab Kenzo, berdekhem lantas mengalihkan tatapannya kembali pada layar MacBook.

“Aku udah gede, enggak usah dijagain … jadi Om boleh pulang.”

Jillian mengusir terang-terangan.

“Saya janji sama pak Adolf buat jagain kamu.”

Jillian berdecak sebal seraya merotasi bola matanya malas.

“Daddy udah enggak ada, enggak akan ada yang protes kalau Om ingkar janji.”

“Sayangnya, saya pria sejati dan pria sejati enggak ingkar janji … saya juga seorang pengusaha yang ucapannya harus bisa dipegang.”

“Ya … yaa … yaaa … terserah!”

Jillian lantas pergi meninggalkan Kenzo menuruni undakan tangga.

Tunggu beberapa saat sampai tenaganya pulih baru ia akan mengajak pria itu berdebat.

***

“Jill, Om ganteng itu siapa? Kok idaman gue banget ya.” Kirana bertanya sambil menatap Kenzo yang sedang berbincang dengan Kepala sekolah dan para guru.

Tatapan mata penuh kagum dan mendamba itu membuat Callista tidak tahan mengusap wajah Kirana.

“Gue tau dia ganteng tapi enggak sampe ngiler juga donk, lo.” Callista meledek.

Tingkah kedua sahabatnya berhasil menarik kedua sudut bibir Jillian membentuk lengkung senyum meski samar.

“CEO perusahaan apalah begitu, dia klien bokap,” balas Jillian singkat tanpa mau menjelaskan jika ia pernah dijodohkan daddy dengan pria itu.

“Kenapa jadi mewakili keluarga lo? Tante Amira ke mana?” Izora buka suara.

“Tante Amira mungkin ngurusin kerjaan daddy.”

“Om pengacara lo bukannya yang suka jadi jubir keluarga lo, sekarang ke mana?” Callista bertanya.

“Enggak tahu.” Jillian menjawab singkat lagi dan jujur ia tidak peduli.

“Ya udah, enggak usah dipikirin … ada kita kok, Jill … lo tenang saja.” Kirana memeluk Jillian dari samping.

“By the way, lo bisa kali minta keringanan sama kepala sekolah biar mencabut masa skors … gimana mau belajar menghadapi ujian kalau lo di skors gini?”

Izora yang paling pintar di antara mereka memberi ide.

Tidak ada jawaban dari Jillian, ia terdiam memikirkan untuk mendapat nilai bagus agar daddynya bangga di Surga sana.

“Nanti gue bantu ngomong sama Kepala Sekolah.” Callista berjanji.

“Makasih ya, Call.” Jillian menggenggam tangan Callista.

Callista tersenyum sebelum melayangkan satu pertanyaan lagi.

“Gue enggak liat Rangga, dia ke mana?”

“Ada job pagi ini, katanya dia mau datang setelah kerjaannya selesai.”

Izora dan Callista mengangguk mengerti tapi tidak dengan Kirana yang masih belum melepaskan tatapannya dari Kenzo.

“Masa, om CEO aja bisa ada di sini nemenin anak kliennya … tapi Rangga enggak bisa,” gumam Kirana keceplosan.

“Kir, lo tahu ‘kan Rangga lagi meniti kariernya? Jadi wajar kalau dia fokus sama kerjaan.”

Jillian membalas sengit membela Rangga, seperti seorang kekasih yang mengerti Rangga dengan baik meski sudut hati kecilnya setuju dengan ucapan Kirana barusan.

“Sorry, bukan gitu maksud gue.” Kirana menggigit bibir bagian bawahnya, menyesal.

“Jill, sekali lagi Bapak dan guru-guru Alexandria mengucapkan turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya.”

Kepala sekolah sudah berdiri bermaksud untuk pamit.

Jillian yang duduk di area sofa lain tapi masih di dalam ruang tamu lantas berdiri.

“Makasih, Pak …,” jawab Jillian lemah.

“Tadi saya sudah bicara dengan pak Kenzo, beliau meminta keringanan atas hukuman skors kamu … jadi saya pikir untuk membatalkan skors kamu dari pada kamu di rumah sendirian sepeninggalan almarhum pak Adolf, bersedih memikirkan beliau … jadi lebih baik kamu kembali ke sekolah ya untuk persiapan ujian akhir.”

Jillian refleks melarikan matanya ke arah Kenzo yang berdiri tenang di samping Kepala Sekolah.

Tampang pria itu juga datar tanpa sedikit pun senyum dan tidak ada sorot canggung di matanya ketika menatap Jillian.

“Iya, Pak.”

Kepala Sekolah dan para Guru termasuk Wali Kelas Jillian pamit diikuti ketiga sahabatnya.

“Jill, kalau butuh apa-apa hubungin gue.” Callista berujar basa-basi.

Izora dan Kirana pun menganggukan kepalanya setuju.

Jika memang benar mereka sahabat sejati tentunya akan tinggal menemani Jillian melewati masa-masa terpuruknya.

Jillian memaksakan senyum untuk mengantar kepulangan mereka.

Sekarang Jillian sendiri lagi, ia telah terbiasa sendiri tapi entah kenapa sekarang rasanya menyakitkan.

Jillian berbalik untuk masuk ke dalam rumah namun tiba-tiba keningnya menabrak benda keras membuat Jillian hilang keseimbangan dan terjengkang ke belakang.

Namun, sebuah tangan kekar merengkuh pinggang Jillian membuatnya berhasil menegakan tubuh kembali.

“Oooom, ngapain di situ?” pekiknya kesal.

Ternyata benda keras yang Jillian tabrak tadi adalah dada Kenzo.

Tidak ada jawaban dari Kenzo, pria itu hanya menunjukkan ekspresi kesal terbukti dari kerutan di antara alis dan tatapan matanya yang tajam tapi satu tangannya masih melingkar di pinggang Jillian.

“Lepas ih, ngapain peluk-peluk!” Jillian berseru kesal seraya menghela kasar tangan Kenzo.

Jillian masuk ke dalam rumah membawa perasaan kesal dan jantungnya yang berdebar tidak beraturan.

Sedangkan si Om tampan menggelengkan kepala samar disertai senyum sangat tipis di sudut bibir.

***

“Rangga!”

Langkah Rangga terhenti ketika hendak menaiki anak tangga di teras rumah Jillian.

Pria itu menoleh kemudian mengembuskan napasnya dengan raut malas.

Yuda yang tadi memanggil Rangga dan baru saja turun dari mobil lantas berjalan mendekat.

“Maaf Pak … saya tahu saya enggak disukai sama semua orang yang dekat dengan Jillian tapi sekarang Jill lagi butuh saya … kalau saya enggak bisa masuk ke rumah ini maka saya yang akan bawa Jill pergi.”

Rangga mengatakannya dengan tegas penuh ancaman.

Yuda tersenyum lantas merangkul pundak Rangga dan menuntunnya duduk di kursi teras.

“Kita ngobrol dulu sebentar,” ajak Yuda hangat.

Kening Rangga berkerut waspada, tidak biasanya pria paruh baya-pengacara keluarga Guzman itu bersikap ramah.

Tapi Rangga menghargai sikap baik beliau meski ia sudah menyiapkan mental untuk menghadapi Yuda yang mungkin akan menampakkan sikap aslinya nanti.

“Jadi gini Rangga, semasa hidup … mendiang pak Adolf enggak menyukai kamu, bagi beliau—kamu adalah pengaruh buruk untuk Jill … di sini saya enggak akan menghakimi kamu, tapi saya juga sayang Jill … saya sudah anggap dia sebagai anak saya sendiri … sekarang saya tanya, apa kamu serius dengan Jill?” Yuda bertanya dengan sorot mata menuntut penuh tekanan.

Rangga berpikir cukup lama dan hal itu membuat Yuda mengetahui jika Rangga hanya singgah, dia tidak sungguh kepada Jill.

“Saya tau penghasilan saya yang tidak seberapa ini tidak akan bisa menghidupi Jill, saya harus menjadi sukses untuk membahagiakan dia … jadi, jika Pak Yuda bertanya apakah saya serius … jawabannya adalah ya, tapi saya tidak bisa menikahi Jill sekarang.”

Rangga beralasan dengan jawaban diplomatis layaknya pria dewasa bertanggung jawab.

Bibir Yuda tersenyum tipis, umurnya sudah banyak terlebih ia pengacara sehingga mudah untuk membaca karakter seseorang.

“Saya punya kenalan di Paris yang memiliki agensi model, saya bisa menitipkan kamu kepada teman saya … di sana, karir kamu bisa berkembang ….”

Tawaran itu Yuda berikan kepada Rangga hanya agar Rangga menjauh dari Jillian.

Adolf Guzman memintanya mencari tahu segala hal tentang Rangga, dan yang ia dapatkan adalah banyaknya keburukan dari pria itu.

Yuda memiliki beban moral untuk melindungi Jillian sehingga ia memutar otak mencari cara menjauhkan Jillian dari Rangga.

Dan di Paris nanti, Rangga pasti akan cepat melupakan Jillian.

Rangga mengembuskan napas panjang, ia menoleh—menatap Yuda dengan tatapan mencela.

“Apakah ini salah satu cara Pak Yuda untuk memisahkan saya dengan Jillian?”

Rangga tidak bodoh, Jillian akan mewarisi banyak harta daddynya dan jika ia menikahi Jillian—tentu tidak perlu menjadi pria sukses.

Jadi, ucapan Rangga di awal hanyalah omong kosong agar Yuda percaya jika ia adalah pria baik-baik.

“Tentu tidak, saya hanya memfasilitasi kamu agar layak bersanding dengan Jillian nantinya … tapi itu hanya tawaran, kamu boleh menerima atau menolaknya.”

Yuda beranjak berdiri, mengeluarkan kartu nama dari saku celana.

“Kamu simpan saja, siapa tahu suatu saat nanti kamu butuh.”

Yuda memberikan kartu nama kepada Rangga lantas masuk ke dalam rumah yang pintunya sudah dibuka oleh asisten rumah tangga sedari tadi.

Rangga mengikuti dari belakang, tidak segan lagi masuk ke rumah ini karena sudah tidak ada Adolf Guzman yang biasanya akan memberikan tampang masam lalu mengusirnya.

“Ranggaaaaa!” Jillian berseru, turun dari kursi makan, berhamburan memeluk Rangga.

Kenzo yang duduk di ruang televisi memerhatikan sikap manja Jillian kepada Rangga dari sela partisi yang menghubungkan antara ruang makan dengan ruang televisi.

Rangga membalas pelukan Jillian, memberikan banyak kecupan di kepalanya.

“Kamu udah makan? Makan dulu yuk ... temenin aku.”

Akhirnya Jillian memiliki alasan untuk makan, sedari tadi ia hanya mengaduk makanannya di atas piring karena tidak berselera.

Sementara itu di ruang televisi di mana sedari tadi Kenzo duduk bersama MacBook yang setia di atas pangkuan—kini mendapat partner setelah kedatangan Yuda.

“Pak Kenzo, Terimakasih telah menemani Jill … sebentar lagi Amira datang untuk menginap di sini menemani Jill.”

Kenzo mematikan daya MacBooknya sambil mengangguk menanggapi ucapan Yuda.

“Pak Kenzo,.”

Kenzo menghentikan pergerakannya yang hendak beranjak dari sofa ketika mendengar panggilan lemah dari Yuda.

Seperti ada yang ingin beliau sampaikan maka Kenzo menyerongkan tubuhnya menghadap Yuda menunggu pria paruh baya itu mengutarakan apapun yang ada di benaknya.

“Pak Adolf meninggalkan wasiat untuk Pak Kenzo.”

“Oh ya?” Raut wajah Kenzo tampak tertarik, ingin mendengar apa wasiat dari Adolf Guzman untuknya.

“Tapi akan saya bacakan nanti jika sudah waktunya.”

Kenzo menganggukan kepalanya mengerti. “Saya pulang, Pak.” Pria itu pamit.

“Apa Pak Kenzo akan datang lagi besok?”

Kenzo menunduk, pria itu tampak berpikir. Teringat pesan Adolf Guzman yang memintanya untuk menjaga Jillian.

“Ya, nanti saya akan sesekali mampir,” ujar Kenzo kemudian pergi.

Namun langkahnya berhenti sebelum meninggalkan ruang televisi, pria itu membalikkan badan menghadap Yuda kembali.

“Pak Yuda, enggak pulang sebelum pacarnya Jillian pulang, kan? Jillian sekolah pagi besok.”

Yuda menoleh ke belakang ke arah ruang makan, memastikan Jillian tidak mendengar.

“Ya, saya yang akan mengusir Rangga nanti.”

Kenzo menganggukan kepala lalu pergi tanpa berpamitan kepada Jillian.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status