Share

Lost

Di ruang makan, Jillian dan Rangga tidak makan yang sebenarnya.

Jillian duduk di atas pangkuan Rangga dengan posisi menyamping, kedua tangannya memeluk leher Rangga membuat pria itu kesulitan menyuapkan makanan padahal ia belum makan sedari siang.

“Kamu kenapa lama banget datangnya.” Jillian merengek di ceruk leher Rangga.

“Tadi abis pemotretan aku ada meeting, bahas konsep dan tema untuk project yang baru … kamu sudah makan?”

Rangga menjelaskan diakhiri pertanyaan agar Jillian bisa melepaskannya sebentar untuk menyantap makan malam.

Tapi sang kekasih yang tengah berduka enggan pergi dari atas pangkuannya.

Rangga mengusap punggung Jillian lembut sambil mengunyah makan malam yang sempat masuk ke mulut.

“Aku enggak selera.” Jillian menyahut lemah, wajahnya masih terbenam di leher Rangga.

Bagi Jillian, leher Rangga adalah tempat bersembunyi paling nyaman saat ini.

Sembunyi dari rasa perih kehilangan daddy, lari dari kenyataan yang dengan kejam menjadikannya yatim piatu, sebatang kara.

“Aku suapin ya.” Rangga membujuk.

Jillian turun dari atas pangkuan Rangga, duduk di samping pria itu membiarkan Rangga menyuapinya.

Jiallian bersedia, untuk membuat Rangga senang.

“Udah, Ga … aku kenyang.”

Baru tiga suap, Jillian mendorong tangan Rangga yang memegang sendok di depan wajahnya.

“Nanti kamu sakit, Jill … satu sendok lagi.”

Ajaibnya Jill menurut, ia membuka mulutnya.

“Udah ya, Ga.” Jillian memohon, Karen lidahnya terasa pamit dan tenggorokannya sulit menelan makanan tersebut.

Rangga mengembuskan napas, meninggalkan piring Jillian untuk menghabiskan makan malamnya.

“Rangga, kalau sudah selesai makan kamu pulang ya … Jill harus sekolah besok.”

Yuda berkata demikian setelah sosoknya berada di ruang makan.

“Biar Rangga tidur di sini ya, Om … aku butuh Rangga.” Jillian memohon.

Yuda menatap Jillian sebentar lalu berkata, “Ikut Om sebentar, Om mau bicara.”

Jillian beranjak dari kursi, mengikuti Yuda ke ruang televisi.

“Jill, Om yang bertanggung jawab atas kamu setelah daddy kamu tiada … setahu Om, daddy kamu enggak suka sama Rangga tapi Om enggak akan memaksa kamu untuk menjauhi dia, Om hanya minta kamu menghargai daddy kamu … jangan pernah bawa Rangga menginap di rumah daddy kamu, beliau bisa bangkit dari kuburnya kalau sampai itu terjadi.”

Jillian mendengkus sebal. Yuda sama saja seperti daddynya tapi karena ia sudah berjanji di depan jenazah sang daddy untuk jadi anak baik maka dengan sangat terpaksa ia akan mengikuti nasihat Yuda.

“Ya udah.”

Yuda sampai terkejut ketika Jillian merespons demikian karena biasanya gadis nakal itu akan mendebat ya.

Jillian membalikkan badannya, bermaksud untuk meminta Rangga pulang karena benar kata Yuda—jika besok ia harus sekolah.

“Jill,” panggil suara seorang wanita.

Langkah Jillian terhenti, membalikkan badannya dan mendapati Amira masuk dari pintu depan melangkah mendekat.

“Tante tidur di sini ya.” Amira memberitau.

“Terserah,” kata Jillian, membalikkan badan melanjutkan langkah menuju ruang makan di mana Rangga masih belum menyelesaikan makan malamnya.

***

“Ghenks, Sorry … kayanya gue enggak bisa ikut liburan minggu besok.”

Izora yang baru saja muncul di kantin langsung berkata demikian, wajahnya tampak lesu.

Bokongnya ia hempaskan di sofa set di mana ketiga sahabatnya sudah lebih dulu ada di sana, menunggu Izora yang saat bel berbunyi tadi langsung ke ruang OSIS untuk menyelesaikan beberapa urusan.

Pemberitahuan itu membuat Jillian lega karena ia masih memiliki waktu untuk bertanya kepada Yuda tentang harta kekayaan daddy yang diwariskan kepadanya.

“Yaaaa, kok gitu sih?” Kirana memprotes dengan raut kecewa.

“Mami sama papi enggak ngijinin, soalnya sebelum ujian … gimana kalau pergi setelah ujian aja? Ada waktu kosong ‘kan tuh sambil nunggu kelulusan?” Izora memberi ide.

“Kan dari awal gue sudah usul begitu tapi kata lo sebelum ujian aja liburannya biar otak fresh pas ujian.” Callista mencibir.

Izora menyengir lebar. “Tadinya gitu, soalnya otak gue harus fresh dulu sebelum ujian biar semua materi pelajaran masuk ke otak gue yang sudah fresh.”

“Ya udah, abis ujian aja.” Jillian setuju.

“Ya udah deh.” Meski terpaksa tapi Kirana akhirnya menyetujui.

“Oke, kalau gitu gue reschedule penerbangan kita sampai setelah ujian, ya?” kata Callista meminta persetujuan.

“Deal!!!” Ketiga sahabat Callista serempak berseru demikian.

Suasana kantin yang seperti Caffe menjadi tempat ternyaman mereka untuk berkumpul.

Pasalnya Izora dan Kirana berada di kelas IPA sementara Callista dan Jillian di kelas IPS, mereka hanya bis bertemu pada saat jam istirahat atau pulang sekolah saja.

Mereka berempat adalah pemilik satu meja yang berada di sudut kantin.

Sesungguhnya baik Jillian maupun ketiga temannya tidak pernah mengklaim meja itu adalah milik mereka tapi setiap ke kantin—mereka pasti akan duduk di sana.

Semua siswa sudah mengetahuinya sehingga saat ada beberapa siswa yang terlanjur duduk di sana, pasti akan langsung pergi jika melihat mereka atau salah satu di antara Jillian dan teman-temannya memasuki kantin.

Enggan beranjak, selama satu jam waktu istirahat mereka habiskan di sana sambil melihat cowok-cowok tampan bermain basket dan sesekali tersipu saat salah satu di antara cowok-cowok itu melirik ke arah mereka.

Mereka berpencar masuk ke kelas masing-masing ketika bell berbunyi tanda jam istirahat telah usai.

Mata pelajaran Sosiologi di jam terakhir ini salah satu yang paling Jillian benci setelah PPKN.

Jillian berusaha keras memperhatikan guru yang sedang mengajar di depan kelas menggunakan proyektor di tengah kantuk yang mendera hanya demi janjinya kepada daddy.

“Jill, tadi bu Eva berpesan katanya kamu ke ruangannya setelah jam pelajaran selesai.”

Bu Silvy-guru Sosiologi menyampaikan pesan yang diterimanya dari bu Eva sebelum ia mengajar di kelas itu.

“Iya, Bu.” Jillian menjawab cepat.

“Mau ngapain ya Bu Eva, Jill?”

Callista yang duduk di meja sebelahnya, bertanya.

Jillian mengangkat bahunya, ia sendiri tidak tahu apa alasan wali kelas memanggilnya.

Tapi ia memiliki firasat pasti tentang nilai atau absensi karena Jillian seringkali bolos hanya untuk bisa bertemu Rangga di apartemennya.

Beberapa jam kemudian bell berbunyi dua kali tanda jam mata pelajaran telah berakhir.

Jillian memasukkan buku-bukunya ke dalam tas tidak lupa dengan MacBook dan alat tulis.

“Jill, gue duluan ya … ada acara keluarga.” Callista tampak terburu-buru pamit.

“Oke, hati-hati ya Call.”

“Kamu sama pak Ujang, kan?” Callista menyempatkan bertanya memperlihatkan perhatiannya.

“Yup,” balas Jillian cepet memaksakan senyum dampak dari hatinya yang sedikit kecewa.

Callista keluar kelas lebih dulu, langkah kakinya cepat seperti sedang terburu-buru.

Ia pikir sepulang sekolah bisa berkumpul bersama para sahabatnya, Jillian tidak ingin kembali menangis jika tiba di rumah.

Ia butuh seseorang yang mau mengajaknya bicara tentang apapun untuk melupakan daddy.

Tapi masih ada Izora dan Kirana, Jillian akan mengajak mereka ke Caffe seperti yang biasa merek lakukan hingga hari beranjak petang.

Tapi kemudian Jillian ingat jika bu Eva menunggunya sepulang sekolah, Jillian bergegas keluar dari kelas menuju ruangan bu Eva dengan jemari sibuk menulis pesan singkat di room chat grup untuk memberitau Izora dan Kirana jika ia bertemu bu Eva sebentar.

Jillian terlalu percaya diri kedua sahabatnya yang lain mau menemaninya melewati masa berat awal kepergian daddy.

Tok …

Tok …

Jillian mengetuk sebanyak dua kali pintu ruangan bu Eva kemudian membuka benda itu perlahan.

Kedua alisnya terangkat tatkala melihat Kenzo di dalam sana duduk di depan meja bu Eva.

Jillian mematung dengan ekspresi bingung diambang pintu, menerka-nerka apa yang tengah dilakukan Kenzo di sekolahnya atau lebih tepatnya di ruangan bu Eva-sang wali kelas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status