Share

Trouble Maker

“Menurut kamu Kenzo itu gimana?” Adolf Guzman bertanya pada putrinya yang diam saja selama sarapan pagi.

“Enggak gimana-gimana,” sahut Jillian malas.

“Jadi ….” Adolf Guzman menjeda dan Jillian tidak berminat baik menyelesaikan sarapannya maupun mendengar pernyataan kelanjutan sang daddy.

Jillian beranjak dari kursi makan. “Jill pergi, Dad.”

“Jil,” panggil Adolf Guzman menghentikan pergerakan Jillian yang tengah berjalan menjauh.

Jillian menunggu tanpa bersedia membalikan badannya.

“Mau ya Jill … menikah dengan Kenzo … dia pria baik, Jill … dia bertanggung jawab dan—“

“Dad!!” Jillian membalikkan badannya.

“Daddy enggak liat baju apa yang dipakai Jill? Ini seragam SMA, Dad!”

Jillian mencubit kemeja sekolahnya di bagian kerah.

“Umur Jillian masih belasan, Daddy itu dimana sih pikirannya? Jillian enggak mau nikah sama siapapun sekarang, Dad ….”

Jillian pergi sambil menghentakan sepatu Gucci-nya di sepanjang lorong hingga tiba di pintu utama.

Masuk ke dalam kabin mobil di bagian belakang dari pintu yang di buka pak Ujang, melempar tas dengan kasar ke jok di sampingnya—Jillian menghentakan kaki karena kesal.

Kesal karena Daddy memaksanya menikah dan kesal karena setelah tadi ia kembali bertengkar dengan Adolf Guzman—bingung bagaimana cara menagih ijin dan uang jajan untuk liburan.

“Pak Ujang,” panggil Jillian lembut karena membutuhkan pertolongannya.

“Ya Non?”

Pak Ujang melirik Jillian dari kaca spion tengah.

“Pak, mobil Ferrari hadiah ulang tahun Jill yang ke tujuh belas tahun ‘kan jarang dipake tuh ….” Jillian menjeda.

“Iya, Non … kenapa jarang dipake?” Pak Ujang menanggapi.

“Jakarta macet, gimana mau kebut-kebutan pakai mobil itu … jadi, dari pada enggak dipake, Pak Ujang bisa jualin enggak?”

“Bisa Non, Pak Ujang punya kenalan or—“ Kalimat Pak Ujang terhenti karena tahu maksud dari Jillian sebenarnya.

Ingin menjual sport car tersebut tanpa sepengetahuan Adolf Guzman.

“Apa Pak Adolf sudah setuju kalau Non Jill jual mobil itu?”

Gelengan kepala dan senyum manis menjadi jawaban Jill atas pertanyaan Pak Ujang.

Pak Ujang mengembuskan napas pelan. “Sudah kuduga,” batinnya bicara.

“Kalau begitu nanti Pak Ujang dibilang penadah, Non … Pak Ujang enggak berani, ah … Non Jill, ijin dulu sama Daddy.”

“Pak Ujang, enggak asyik!” seru Jill merajuk dengan nada rendah.

“Non Jill lagi butuh uang ya?”

“Iya, Pak Ujang … Jill mau liburan.”

“Butuh uang berapa Non? Siapa tahu Pak Ujang bisa bantu.”

“Sebelas Milyar,” jawab Jill pelan.

“Ya Tuhan, Noooooon.”

***

Setelah tidak berhasil membujuk Pak Ujang untuk menjual mobil Ferari-nya—Jill memikirkan cara kembali bagaimana agar bisa mendapatkan uang sejumlah sebelas Milyar untuk liburan.

Ia melamun menatap jendela sepanjang mata pelajaran Sejarah.

Sebuah Hellikopter mendarat di atap gedung kelas sepuluh yang berada di samping gedung di mana Jillian berada sekarang, rooftop gedung itu memang sebuah landasan Heli.

Lidah Jillian berdecak. “Si Bima pasti lupa bawa tas lagi ke sekolah,” gumam Jillian.

Benar saja, Bima teman sekolahnya dari kelas IPA berlari memburu pria berpakaian safari yang baru turun dari Hellikopter membawa tas sekolah.

Pria yang merupakan ajudan ayahnya Bima itu kembali naik ke dalam Hellikopter setelah urusannya selesai.

Pemandangan tersebut sudah tidak aneh lagi di sekolah yang menerapkan kurikulum Internasional dengan biaya fantastis.

Tidak ada beasiswa sehingga di sekolah itu semua sama—hanya anak-anak dari para orang kaya Negri ini saja yang bersekolah di sana.

“Jill, Pak Seno udah ngeliatin lo dari tadi sambil nerangin … lo jangan ngelamun terus.”

Callista yang duduk di meja sebelahnya memberitau disertai sikutan di lengan Jillian.

Jillian mengalihkan tatapannya dari jendela ke papan tulis di mana Pak Seno sedang mencoret-coret benda tersebut dengan spidol, entah menuliskan apa Jillian sudah tidak peduli lagi.

Benaknya masih tentang bagaimana cara mendapatkan sejumlah uang untuk liburan.

Sebuah pop up notifikasi pesan masuk membuat Jillian harus menunduk menatap ponselnya di bawah meja.

Jillian membuka aplikasi pesan, bibirnya seketika tersenyum tatkala menemukan pesan masuk dari Rangga.

Rangga : Sayang, jadi nginep ‘kan?

Astaga, Jillian lupa meminta ijin kepada daddy. Kadung kesal karena sang daddy terus saja memaksanya agar segera menikah.

Rangga cukup lama memandang layar ponselnya, melihat status Jillian yang sedang mengetik kemudian pesan Jillian masuk ke ruang chat mereka.

Jillian : Jadi.

Satu kata itu yang Jillian ketik sedari tadi sambil berpikir.

Meski satu kata tapi mampu membuat Rangga tersenyum lebar, berbanding terbalik dengan perasaan Jillian yang resah dan gundah.

Pikirannya kini terbagi antara ijin untuk menginap dan uang jajan liburan.

Kepala Jillian pusing mencari cara bagaimana mendapatkan dua ijin tersebut.

***

Adolf Guzman menatap Kenzo lamat-lamat, sorot mata sayunya menunjukkan bila pria itu sedang menahan sakit ditambah wajah yang pucat dan punggung yang sedari tadi bersandar pada kursi kebesarannya di balik meja kerja.

Biasanya Adolf Guzman akan menerima tamunya termasuk Kenzo di sofa set yang berada di tengah ruangan tapi ketika Kenzo masuk tadi ke ruangan Adolf Guzman—pria keturunan Inggris itu tidak beranjak sedikit pun.

“Ken,” panggil Adolf Guzman parau.

“Ya, Pak?” sahut Kenzo cepat.

Ia tidak memiliki banyak waktu sebenarnya, datang ke sini karena sangat menghormati Adolf Guzman padahal bukan untuk urusan bisnis.

“Jillian masih tidak mau menikah, bisa tidak kamu membuat Jillian jatuh cinta sama kamu?”

Apakah Adolf Guzman lupa jika dalam hubungan asmara itu ada dua orang yang berlakon?

Ia meminta Kenzo untuk membuat Jillian jatuh cinta pada Kenzo tapi tidak sekalipun menanyakan apakah Kenzo juga telah mencintai Jillian?

Kenzo menunduk, memutus tatapan penuh permohonan Adolf Guzman.

Kenzo mengembuskan napasnya berat. “Pak, saya baru sekali berbincang dengan putri Bapak … bagaimana saya mau membuat Jillian jatuh cinta jika saya sendiri belum merasakan apa-apa terhadap Jillian … begini saja, Pak … saya akan membantu Bapak untuk mengarahkan Jillian menjadi pribadi yang lebih baik lagi … disela-sela waktu sibuk saya, saya akan mencoba mendekati Jillian sebagai seorang kakak bukan pria yang akan menikahinya.”

Kenzo sedang melakukan negosiasi. Jika bukan karena Adolf Guzman sangat berjasa mengajarinya segala hal dalam bisnis—ia tidak akan mungkin mau mengurus gadis nakal dan pembangkang seperti Jillian.

Adolf Guzman tersenyum lebih lebar, pria itu mengulurkan tangannya yang bergetar.

Kenzo balas mengulurkan tangan, menjabat tangan Adolf Guzman yang kini menggenggamnya sangat erat.

“Saya titip putri saya satu-satunya kepadamu, Kenzo … saya mohon, jaga dia sebaik-baiknya.”

Suara lemah dan pendar nanar di mata Adolf Guzman sungguh membuat Kenzo iba sekaligus iri karena ia tidak memiliki ayah yang mencintainya seperti Adolf Guzman mencintai Jillian.

Kenzo mengangguk bersama sebuah senyum tipis, ia tidak terpaksa membantu Adolf Guzman, anggap saja ini adalah balas budi kepada pria yang berjasa dalam hidupnya.

Kenzo menganggap jika negosiasinya berhasil dengan Adolf Guzman.

Ia tidak perlu menikahi Jillian dan akan mencoba mendekati Jillian untuk membimbingnya menjadi gadis baik-baik yang bisa membanggakan Adolf Guzman.

Setelah basa-basi sebentar, Kenzo meninggalkan gedung kantor Adolf Guzman untuk kembali melanjutkan jadwalnya hari ini bertemu klien.

Masih ditempatnya duduk, Adolf Guzman menerima pesan dari sang putri.

Jillian : Dad, aku mau nginep di rumah Callista ngerjain tugas kelompok … ada Izora dan Kirana juga.

Jillian tidak sedang meminta ijin tapi memberitau. Ia harus menekan gengsinya, menghubungi Adolf Guzman setelah pertengkaran pagi tadi hanya agar bisa menginap di apartemen Rangga.

Adolf Guzman : sayang, bagaimana kalau Callista dan dua teman kamu yang lain yang menginap di rumah kita? Akan Daddy sediakan makanan dan minuman, biar Daddy nanti yang meminta ijin kepada orang tua teman-teman kamu agar mengijinkan mereka menginap di rumah kita.

Seakan memiliki firasat jika Jillian berbohong—Adolf Guzman malah memberikan ide demikian.

Lidah Jillian berdecak sebal, alasan apa lagi yang harus diberikan Jillian agar Adolf Guzman mengijinkannya menginap malam ini.

Terdengar berisik dari luar toilet di mana Jillian sedang berada sekarang.

Jillian yang sedang berpikir di dalam salah satu biliknya menjadi terganggu.

“Photographer-nya ganteng gilaaaaa … sumpah! Gue enggak konsen selama pemotretan di Bandung kemarin,” ucap seorang gadis bernama Natasha-teman sekolah Jillian.

Ah, tidak. Sesungguhnya Natasha adalah musuh bebuyutan Jillian semenjak kelas sepuluh.

Mereka selalu bersaing dalam hal fashion, kekayaan orang tua dan popularitas tapi tidak untuk prestasi.

Dan Natasha ini memang seorang model dan bintang ikan berkat koneksi ayahnya.

Dengkusan sebal dan tatapan malas Jillian hanya bisa dinikmati Jillian sendiri karena Natasha dan dua orang sahabatnya bernama Rianti dan Gabby tidak mengetahui jika Jillian sudah lebih dulu ada di sana.

“Terus, lo minta nomor teleponnya?” Rianti yang bertanya sambil memulas liptint di bibir.

“Ya gue minta laaah, gue enggak akan melewatkan pria tampan kaya si Rangga itu.”

Tubuh Jillian menegang, detak jantungnya menambah tempo debaran.

Dia tidak salah dengar, kan?

Tadi dengan jelas Natasha menyebut nama Rangga dan sebelumnya menyebut kata photographer?

Memangnya ada berapa banyak nama Rangga yang menjadi photographer?

“Lo udah hubungin dia?” Giliran Gabby yang bertanya sambil memulas bedak di wajahnya.

“Dia donk yang harus hubungin gue, ya masa cewek yang nyosor duluan … tapi gue tahu kok dari gelagatnya kalau dia naksir gue … cara dia Benerin rambut gue … terus pas Benerin kerah baju gue biar lebih turun ….” Natasha menjeda dengan netra menatap langit-langit dan senyumnya yang tampak tersipu.

“Ujung jarinya nyentuh bagian atas payudara gue … dia minta maaf dan tersenyum sambil menjilat bibir bawahnya, Oh My Ghooossshhh … rasanya gue pengin banget rebahan dengan dia ada di atas gue.” Natasha mengakhiri ucapannya dengan pekikan tawa gemas sambil mengentak kedua kaki.

Brak!!!!

Suara pintu yang terpelanting membentur pintu di bilik sebelahnya membuat ketiga gadis yang sedang berdiri di depan wastafel langsung berjenggit lalu berbalik dengan menunjukkan tampang terkejut.

“Dasar murahan lo!!!” seru Jillian seraya menyenggol pundak Natasha ketika melewatinya untuk menuju pintu keluar.

Natasha yang tidak terima dengan umpatan Jillian itu menarik tangan Jillian hingga membalikkan badan dan membuat mereka saling berhadapan.

“Apa lo bilang?” hardik Natasha dengan suara lantang.

“Murahan atau Bitch atau lon—“

Plak!

Kalimat Jillian terhenti oleh tamparan Natasha yang sedang tersulut emosi.

Jillian yang sudah sangat emosi sebelumnya karena menganggap pria yang sedang dibicarakan Natasha adalah Rangga-kekasihnya langsung menjambak rambut Natasha.

Keduanya terlibat aksi jambak-jambakan lalu saling cakar sampai berguling-guling di lantai toilet yang selalu bersih.

Rianti dan Gabby panik melihat perkelahian tersebut berusaha menolong Natasha dengan mengeroyok Jillian dan bukannya melerai mereka.

Kini posisi Jillian jelas kalah, satu lawan tiga.

Jillian berusaha meronta ketika dua tangannya di tahan oleh Rianti dan Gabby sedangkan Natasha memukul wajahnya dengan kepalan tangan.

“Jiiilll!!” seru Izora histeris yang baru saja masuk ke dalam toilet.

Mengambil kesempatan dari lengahnya Natasha dan dua anteknya karena kedatangan Izora—Jillian langsung membalas setiap pukulan Natasha tadi, menarik kemeja sekolahnya hingga butiran kancing berserakan di lantai.

“Ada apa ini???” Suara Pak Yusman yang menggelegar menghentikan setiap pergerakan di toilet perempuan.

Mereka semua memejamkan matanya sekilas merutuki kedatangan sang Guru BK.

“Jillian … Natasha, ke ruangan saya sekarang!” Pak YUsman berseru memerintah lantas pergi menyisakan hening yang mencekam.

Ini adalah perkelahian Natasha dan Jillian yang keseribu kali mungkin jika bisa dihitung semenjak masuk SMA Alexandria ini.

Sekarang mereka sudah berada di penghujung kelulusan tapi tidak sedikitpun mengindahkan setiap teguran.

Gawatnya, dalam perkelahian terakhir di depan kepala sekolah dan guru BK juga orang tua—Jillian dan Natasha berjanji tidak akan berkelahi dan jika mereka berkelahi maka mereka bersedia untuk mengulang pendidikan kembali di kelas dua belas.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Bintang ponsel
parah yaa ank yg dibesar kan dgn gemerlap uang jdi spt itu hrs nya dia bersyukur bukan mlh marah sama dady nya n jd kacau hdp nya, pdhl dia smua punya tgl jdi anak yg nurut tpi bgtulah hdp krg bersyukur
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status