Share

Spoiled

“Pak … ada telepon dari kepala sekolahnya Jill.”

Amira memberitau melalui sambungan interkom disambut embusan napas panjang Adolf Guzman.

“Sambungkan, Mir.” Suara lemah itu memerintah.

“Baik Pak.”

Setelah nada tunggu maka tersambung lah Adolf Guzman dengan kepala sekolah Jillian yang memintanya datang ke sekolah sekarang juga.

Memaksakan diri, dengan tubuhnya yang lemah—Adolf Guzman pergi ke sekolah Jillian.

Turun dari mobil, Adolf Guzman melangkah gontai menuju ruang kepala sekolah.

Ancaman kepala sekolah yang mengatakan jika Jillian tidak bisa lulus tahun ini karena pertengkaran dengan teman sekolahnya menjadi beban tersendiri bagi Adolf Guzman.

Bukan beban tentang rasa malu karena anaknya tinggal kelas tapi justru khawatir akan merusak mental Jillian.

Putrinya akan bersedih dan rendah diri juga mungkin harus menanggung malu karena teman-temannya yang lain melanjutkan ke jenjang perkuliahan sementara Jillian harus tetap mengulang di kelas dua belas.

“Jill,” panggil Adolf Guzman dengan raut cemas menatap putrinya yang terdapat lebam di pelipis dan luka sobek di bibir.

Jillian mendongak dengan sorot mata defensif, ia menduga jika daddy akan memarahinya.

“Kamu enggak apa-apa, sayang?”

Ternyata tidak, Adolf Guzman malah mengkhawatirkannya tapi Jillian gengsi untuk terlihat lemah apalagi memohon kepada daddy agar membereskan masalah ini.

Kedua tangan daddy membingkai wajah Jillian yang kemudian di tepis Jillian dengan menelengkan kepala.

“Ke UKS ya, biar daddy yang urus masalah ini sama pihak sekolah …,” ucapnya lemah.

Jillian bergeming, memalingkan wajah sambil melipat tangan di dada.

“Pak Adolf, mari ke ruangan saya … ada yang perlu saya bicarakan,” ajak Kepala Sekolah dari ambang pintu.

Adolf Guzman meninggalkan putrinya di depan ruangan Kepala Sekolah, di dalam sana sudah ada ibu dari Natasha yang menatap Adolf dengan sorot mata tajam menghunus siap menguliti Adolf hidup-hidup.

Pria tua itu pasrah, kenyang dengan makian. Adolf Guzman akan meminta maaf dan mengganti kerugian apapun yang diderita oleh korban dari putrinya.

Dua jam lamanya Adolf Guzman berdiskusi dengan Kepala Sekolah, Guru BK dan ibunda dari Natasha.

Lengkingan suara ibu dari musuhnya Jillian itu terdengar hingga radius seratus meter.

Wanita sosialita yang selalu berpakaian nyentrik, tidak terima putrinya babak belur dihajar Jillian.

Tidak sekalipun Jillian merasa bersalah bahkan hatinya merasa puas telah menghajar Natasha dan membuat daddynya harus menyelesaikan masalah ini.

Jillian tau daddy pasti bisa membuat Kepala Sekolah mengijinkannya ikut ujian kelulusan.

Merupakan sebuah aib bagi sekolah bergengsi ini jika ada muridnya yang tinggal kelas, bukan?

Jillian menyunggingkan sebuah seringai, menengadahkan kepala lalu memejamkan mata merasakan hembusan angin menerpa wajah hingga menerbangkan surainya.

Suara pintu yang dibuka dari dalam membuat Jillian menghentikan aktivitasnya.

Mata Jillian menangkap sosok daddy keluar dari ruang Kepala Sekolah dengan ekspresi datar.

“Puas kamu, Jill? Sekarang apa lagi? Mau bagaimana lagi kamu merendahkan daddy di depan semua orang?”

Berbanding terbalik dengan ekspresi Adolf Guzman ketika datang tadi, sekarang daddynya tampak berang.

Jillian tidak tahu apa saja yang mereka diskusikan di dalam sana.

Jillian tidak menjawab, ia beranjak dari kursi lalu menyampirkan tasnya di pundak.

Sedang malas berdebat karena bibirnya pun sobek sehingga membuatnya sulit membuka mulut.

“Jilll!” Adolf Guzman berseru memanggil putrinya yang mulai menarik langkah menjauh.

“Jill, dengar Daddy dulu, kalau anak Daddy sendiri enggak menghargai Daddy bagaimana Daddy mau dihargai oleh karyawan Daddy di kantor … Jilll!!!”

Langkah Adolf Guzman terseok menyusul Jillian.

“Daddy mau Jill hormati? Tapi Daddy enggak pernah peduli sama Jill, Daddy selalu memaksakan kehendak contohnya tentang perjodohan … Jill yang sudah merasa kehilangan sosok Daddy sekarang merasa sesak karena permintaan Daddy itu, Jill benci Daddy! Kenapa sih Daddy enggak nyusul mommy aja biar Jill bisa hidup tenang!”

Jillian membentak Adolf Guzman di tengah-tengah pelataran parkir.

Saat itu suasana lengang karena para siswa masih berada di kelas melakukan sesi pembelajaran.

Sementara Jillian dan Natasha mendapat skor selama satu minggu untuk merenungi perbuatan mereka.

Adolf Guzman tertohok dengan ucapan sang putri, raut sendu membayangi wajahnya dengan pendar nanar menatap Jillian.

Bibir Adolf bergetar dampak dari menahan buliran kristal yang telah membendung di pelupuk mata.

“Jillian benci Daddy!!” Jillian berteriak kemudian membalikan badan berlari melewati gerbang depan.

Jillian menghentikan taksi yang kebetulan melintas, masuk ke dalamnya dengan tergesa sebelum driver daddy berhasil mengejar.

***

Pertengkarannya dengan sang daddy di sekolah membuat Jillian memiliki alasan untuk kabur dari rumah dan menginap di apartemen Rangga.

Kebetulan ia juga di skors selama satu minggu sehingga bisa memiliki banyak waktu bersama kekasihnya.

Taxi yang ditumpangi Jillian berhenti tepat di depan loby apartemen Rangga.

Dengan perasaan sedih bercampur senang—Jillian melangkah melintasi loby untuk tiba di depan pintu lift.

Jillian tentu memiliki akses ke apartemen Rangga, ia juga tau passkey pintu apartemen kekasihnya.

Ketika membuka pintu, kegelapan yang menyambut Jillian di apartemen tersebut.

Jillian menyalakan lampu dan mendapati apartemen itu kosong.

“Gimana sih, katanya suruh nginep tapi orangnya enggak ada,” gerutu Jillian.

Menghempaskan tubuhnya di sofa, Jillian merogoh tas mencari ponsel.

Baru ia sadari ada satu pesan masuk dari Rangga.

Rangga : Sayang, aku ada meeting mendadak, kamu tunggu di apartemen sebentar nanti aku pulang bawa makan malam untuk kamu. Love You.

Jillian mengembuskan napas, bersandar nyaman pada sofa empuk di depan televisi lalu memejamkan mata.

Tanpa terasa Jillian tertidur pulas di sofa selama beberapa jam.

Matahari telah terbenam berganti sang rembulan ketika Rangga tiba di apartemen.

Pria dengan tatto di lengan itu tersenyum melihat sang kekasih tertidur di sofa.

Meletakan paperbag berisi makan malam di meja bar dapur—Rangga lalu menghampiri Jillian yang masih terlelap di sofa.

Rangga duduk menghadap Jillian dengan melipat satu kakinya di atas sofa.

Matanya meneliti wajah Jillian yang terdapat memar dan sudut bibir yang terluka.

Kening Rangga mengkerut dalam karena rasa ingin tahu.

Tubuhnya ia condongkan untuk dapat mengecup bibir Jillian bermaksud membangunkannya.

Sekali, dua kali Jillian tidak bereaksi sampai ketika Rangga menggigit bibir bawah Jillian sedikit kencang barulah sang kekasih mengerjap terkejut

“Ranggaaaa,” rengeknya setelah benar-benar bangun dari mimpi..

Rangga merentang kedua tangan, wajahnya tampannya semakin tampan saja ketika tersenyum lebar.

Jillian mencondongkan tubuhnya masuk ke dalam pelukan Rangga.

“Kangen, kamu.” Jillian mengusel di dada Rangga.

“Aku juga kangen kamu, sayang.” Rangga mengecup kepala Jillian sebanyak tiga kali lalu menjauhkan tubuhnya demi menatap wajah cantik sang kekasih.

“Wajah kamu kenapa?” Rangga bertanya lantas melabuhkan kecupan di setiap memar dan luka Jillian di wajahnya.

“Berantem sama bitch,” jawab Jillian kesal.

“Aku obati dulu ya.”

Rangga tidak terkejut karena terlalu paham dengan karakter kekasihnya.

Ketika sedang bersamanya pun—Jillian kerap kali terlibat pertengkaran.

Seperti yang terjadi bulan lalu ketika mereka berada di nightclub dan seseorang menyerobot meja mereka begitu saja, Jillian tidak terima dan langsung melayangkan bogemnya pada salah satu perempuan yang merebut meja mereka.

Rangga kembali membawa kotak berisi obat-obatan dan pertolongan pertama pada luka, dengan tekun pria itu mengobati Jillian yang netranya memaku wajah tampan sang kekasih.

“Laper enggak?” Rangga pun bertanya setelah selesai mengobati Jillian.

“Bangeeet.” Jillian menjawab dengan nada manja.

“Makan malem dulu, yuk!”

Rangga sambil beranjak membawa Jillian ikut serta ketika mengatakannya membuat dadanya dan dada Jillian yang besar beradu, memancing hasrat pria itu.

“Aku beli makanan kesukaan kamu.” Dengan bangga Rangga berujar.

Sushi? Dari restoran Sushi yang terkenal enak dan harganya yang mahal?

Jillian begitu bahagia, merasa dicintai Rangga karena dibelikan sushi dari restoran favoritenya.

Sungguh receh bahagianya Jillian jika bersama Rangga.

“Kamu baru dapet bonus ya?” sambung Jillian menebak.

Rangga tertawa pelan menanggapi pertanyaan Jillian.

“Iya, Job di Bandung kemarin.” Rangga menyahut.

Tapi kalimat itu berhasil menghilangkan nafsu makan Jillian, bibirnya berubah cemberut.

“Lho … kenapa? Sayang!”

Rangga menahan tangan Jillian yang hendak pergi menjauh.

“Lepas!” Jillian berseru menghela tangan Rangga.

“Hey, kamu kenapa?” Rangga menarik kedua tangan Jillian membuat tubuh mereka saling berhadapan.

Ia lingkarkan kedua tangan Jillian di pinggangnya sementara kedua tangannya kini melingkar di pundak Jillian, mengungkung sang gadis agar tidak pergi.

“Salah satu model dalam pemotretan itu ada yang bernama Natasha?” tanya Jillian ketus.

Rangga tampak berpikir. “Kenapa memang?” alih-alih menjawab—Rangga malah balas bertanya.

“Jawab dulu!” Jillian menghentakan kakinya gemas.

“Aku enggak tahu, sayang … ada lima belas model dalam pemotretan kemarin dan aku enggak perhatiin nama setiap model itu.”

“Bohong! Kata Natasha kalian malah bertukar nomor ponsel.”

Mata Jillian memicing curiga.

Dan Rangga baru ingat memang ada salah satu model yang bertukar ponsel dengannya tapi ia lupa nama.

“Natasha? Dia ngadu sama kamu?” Rangga menebak.

“Enggak, aku dengar dia ngomong gitu ke teman-temannya terus katanya kamu megang payudara dia waktu benerin kerah banjunya pas lagi Photo shoot.”

“Enggak mungkin lah sayang, dia pasti udah teriak dan nampar aku.”

Meski nada Jillian ketus menginterogasi Rangga, tapi kedua tangannya masih melingkar posesif di pinggang pria itu.

“Masalahnya dia itu bitch!” Jillian mengumpat.

“Aku enggak ngerasa kalau aku menggoda para model, buat apa? Aku punya pacar yang lebih cantik dan montok di banding mereka yang tubuhnya tipis-tipis kaya papan penggilesan … tapi kalau mereka yang suka sama aku, aku bisa apa? Yang penting aku enggak ngelayanin mereka ‘kan, sayang?”

Jillian mengurai rantai tangan di pinggang Rangga, melengos pergi karena kesal Rangga begitu percaya diri.

“Mungkin si Natasha itu bohong untuk membuat teman-temannya terkesan saja, sayang.”

Rangga menyusul Jillian ke ruang televisi sambil membawa sushi makan malam mereka.

Dan ajaibnya, Jillian percaya dengan ucapan Rangga.

Jillian percaya jika Rangga setia, Jillian percaya Rangga tidak pernah menggoda para model dan Jillian percaya jika apa yang dikatakan Natasha di toilet tadi hanya halusinasinya gadis itu belaka.

“Jadi, Natasha itu teman sekolah kamu dan kamu abis berantem sama dia?” tebak Rangga tepat sasaran terbukti dari anggukan kepala Jillian.

“Siapa yang menang?” tanya Rangga menggoda.

“Aku lah.” Jillian menjawab bangga.

“Hebat, itu baru Ayangnya aku … makan yuk, sayang … berkelahi menguras tenaga.”

Rangga mendekatkan satu potong sushi ke depan mulut Jillian menggunakan sumpit.

Jillian membuka mulutnya tapi masih memberi tatapan tajam yang sesungguhnya hanya pura-pura belaka.

Setelah suapan ketiga, Jillian sudah melunakkan nada suaranya dan melembutkan garis senyum.

Rangga dengan sabar menyuapi Jillian hingga semua sushi habis berpindah ke perut mereka.

Pria itu juga mengambil air mineral botol dari dalam kulkas dan beberapa minuman kaleng kesukaan Jillian.

Rangga benar-benar memperlakukan Jillian seperti seorang ratu.

“Mau ke mana, sayang?” Rangga bertanya ketika Jillian hendak berdiri.

“Mandi, aku belum mandi sore ….”

“Enggak usah, sini duduk lagi.”

Rangga menarik tangan Jillian hingga duduk di atas pangkuan dan tubuh mereka saling berhadapan dengan kedua lutut Jillian berada di samping paha Rangga.

Erangan kecil meluncur dari bibir Rangga setiap kali Jillian menggerakan bokongnya mencari kenyamanan duduk di atas pangkuan sang kekasih.

Rangga menarik tengkuk Jillian dan menempelkan kening mereka.

“Jangan dulu mandi, nanti juga kotor lagi.” Suara serak Rangga menghasilkan senyum tipis di bibir Jillian.

Kepala Rangga mendongak mempertemukan bibir mereka, melumat lalu mengulum bibir bagian atas Jillian sementara Jillian melakukan hal yang sama pada bibir bawah Rangga.

Rasa perih sempat menyerang karena luka di sudut bibir Jillian tapi lama-lama kebas karma lumatan Rangga.

Kedua tangan Rangga tidak tinggal diam, menyentuh dengan gerakan sensual dari mulai lutut hingga bokong Jillian membawa rok pendek seragam sekolah Jillian ikut serta.

Sekarang, jarak bagian inti Jillian dengan milik Rangga yang telah menegang hanya berjarak kain berenda tipis dan celana pria itu saja.

Masih dengan pagutan penuh damba, Rangga mampu membuat Jillian melayang dan tidak peduli jika butir kancing kemejanya telah terbuka semua karena ulah dari jemari Rangga.

Rangga menarik turun kemeja Jillian yang kemudian jatuh di pertengahan lengan.

Bibir Rangga meninggalkan bibir Jillian, menggantinya dengan kecupan di sepanjang rahang lalu terus ke leher dan memberikan gigitan kecil di sana.

“Ah … Rangga.”

Jillian hilang kendali saat titik sensitifnya dikuasai Rangga.

Kecupan demi kecupan kini menyerang dada Jillian.

Rangga melepas kemeja Jillian lalu tangannya masuk ke dalam thank top hitam, melepas kaitan bra di dalam sana.

Pria itu lantas mengangkat tubuhnya lalu membawa Jillian berbaring di sofa.

Sesaat Rangga berlutut untuk melepas kaos hitam yang ia kenakan, melempar sembarang lalu menarik tank top dan melepaskan bra Jillian membebaskan dua gundukan besar yang begitu ia rindukan.

Tanpa bersedia menunggu detik berlalu, Rangga langsung mengarahkan bibirnya pada pundak di dada Jillian yang telah mengeras.

Jillian menyukainya, terbukti dari desahan dan dadanya yang membusung seakan mempersilahkan Rangga untuk menikmatinya.

Lagu Cool for The summer milik Demi Lovato mengalun memecah konsentrasi Jillian dan Rangga.

Got My mind on your body and your body on My mind.

Got a taste for The Cherry, I just need To ta ke a bit.

Rangga menjauhkan bibirnya dari puting Jillian, demi menatap wajah sang kekasih.

“Abaikan aja, terusin …,” pinta Jillian, matanya telah berkabut hasrat.

Rangga adalah tersangka utama yang berhasil membawa Jillian melewati batasan selama satu tahun ini.

Setelah panggilan entah dari siapa itu berhenti berdering dan akhirnya Jillian juga Rangga bisa melanjutkan aktivitas panasnya—panggilan berikutnya masuk.

Jillian yang terganggu—meraih ponselnya dari atas meja.

Nama Amira-sekertaris daddynya yang muncul di layar.

Jillian mematikan ponselnya lalu melempar alat komunikasi canggih itu ke atas meja.

Kembali larut oleh cumbuan Rangga yang telah selesai menanggalkan setiap kain di tubuh Jillian.

Rangga berlutut di depan Jillian yang menekukan kakinya dengan posisi masih berbaring di atas sofa.

Dibelainya bagian inti Jillian dengan ibu jari, pria itu lantas merendahkan tubuh.

Detik berikutnya Jillian merasakan kehangatan memanjakan di bawah sana.

Belaian lidah Rangga begitu lihai mengobrak-ngabrik Jillian.

“Rang … ga, aaah.”

Jillian memanggil nama Rangga hanya agar Rangga lebih memperdalam lagi menusukkan lidah ke bagian dalam intinya.

“Lebih enak kalau aku masukin, sayang.”

Mata Jillian yang terpejam pun akhirnya terbuka, deru napasnya membuat dada Jillian kembang kempis menggerakkan dua gundukan besar indah itu.

Jillian menggigit bibir bagian bawahnya, pernyataan Rangga tadi layaknya sebuah bujuk rayu yang sulit Jillian tolak.

Ia telah terbelenggu hasrat dan merasa basah di bawah sana.

Siap untuk Rangga masuki.

Anggukan samar diberikan Jillian sebagai ijin kepada Rangga.

Rangga tersenyum penuh kemenangan, mengecup bibir Jillian sekilas kemudian membebaskan miliknya dari celana jeans dan boxer.

“Lemesin, sayang … jangan ditahan biar kamu enggak sakit.”

Sepertinya Rangga adalah spesialis memerawani gadis sampai hapal bagaimana Jillian harus mengkondisikan tubuhnya menerima pria itu.

Jillian mengangguk, persetan dengan rasa sakit karena yang ia inginkan sekarang adalah Rangga berada di dalam dirinya.

“Aku masuk ya.” Rangga meminta ijin, masih dengan posisi tubuhnya yang menegak.

Jillian mengangguk, memejamkan mata ketika merasakan milik Rangga menyentuh permukaan celah sempitnya di bagian bawah.

Tell me if it’s wrong, if it’s right. I don’t care.

I can keep a secret, can you?

Lagu Demi Lovato kembali terdengar dari ponsel Jillian.

Jillian spontan menegakan tubuh, menatap horor ke arah ponsel yang ia yakin telah ia matikan.

Lantas menoleh ke depan menatap Rangga yang terlihat kecewa menahan sakit menekan hasrat.

“Sebentar,” kata Jillian lalu meraih ponsel dari atas meja.

Dokter Agung.

Jillian tidak bisa untuk tidak mengabaikan panggilan telepon dari nama itu.

“Hallo Dok,” jawab Jillian cepat.

“Jill, kamu di mana? Ke rumah sakit sekarang!” Ada nada marah penuh penekanan di sana.

“Daddy kenapa?” tanya Jillian penuh kekhawatiran.

Ia langsung tahu jika sedang terjadi sesuatu dengan daddynya jika sudah menyangkut dokter Agung.

Bayangan bertahun-tahun lalu terlintas begitu saja bagaikan kaset kosong ketika daddy dilarikan ke rumah sakit setelah pingsan di tengah-tengah rapat di kantornya.

Saat itu mommy masih ada memeluk Jillian yang menangis melihat daddy dimasukkan ke ruang operasi.

Awal dari divonisnya Adolf Guzman mengidap penyakit jantung itu nyaris meruntuhkan dunia Jillian kecil.

Dan beberapa kali daddynya harus dilarikan ke rumah sakit setiap kali ia membuat onar bertengkar di nightclub hingga berurusan dengan kepolisian.

“Maaf Jill, Daddy kamu enggak bisa saya selamatkan.”

Suara dokter Agung tenggelam bersama ribuan rasa bersalah dan penyesalan yang mulai menghantam Jillian begitu dahsyat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status