Share

Bab Tujuh

last update Huling Na-update: 2023-11-10 05:14:21

Ibu Pov

**************

"Bagas, kamu tahu kalau Kalila hamil?" tanyaku pada Bagas yang berada di seberang telepon.

"Eh, Mbak nanti aku telpon lagi, ya. Sekarang ada tamu." Bagas segera mengakhiri panggilan.

"Gas, tunggu. Bagas, halo. Halo, Gas ...." Berkali kupanggil pun percuma. Panggilan sudah terputus.

Sikap Bagas cukup untuk menunjukkan bahwa ia mengetahui sesuatu tentang bayi Kalila. Dan aku yakin akan hal itu. 

"Mbak, Mbak, ada apa?" sentak Ima, sedikit membuatku terjingkat.

"Im, kayaknya Bagas tahu sesuatu tentang bayi Kalila," ungkapku.

"Masa, sih, Mbak? Emang Mas Bagas tadi bilang apa?"

"Bagas tanya, apa Kalila udah lahiran? Itu artinya dia tahu, kan, kalau Kalila hamil?" Ima pun mengangguki kata-kataku. "Dan Mbak juga yakin pasti Bagas tahu siapa ayah dari bayi itu," sambungku.

"Terus, sekarang rencana Mbak apa?"

"Im, sepertinya kita gak perlu tanya teman-teman Kalila. Mbak yakin Bagas tahu lebih banyak soal Kalila. Kamu bawa mobil?"

"Bawa."

"Kalau begitu, antar Mbak ke Apartemen Kalila. Biar Mbak kasih tahu suami Mbak dulu."

"Ya udah, ayo. Sekalian aku jenguk Kalila sama bayinya."

Kami pun mengakhiri pembicaraan di resto tersebut. Kemudian memutuskan untuk kembali ke Apartemen dengan diantar oleh Ima.

**********

Ima membelokkan mobilnya menuju basement Apartemen. Kemudian memarkirnya di sana. Kami pun bergegas turun dari mobil dan melanjutkan langkah dengan menggunakan lift menuju lantai 18.

Sebelumnya, aku dan Ima sudah sepakat untuk tidak sedikit pun menyinggung soal Bagas di depan Kalila. Biar nanti aku yang akan bicara dengan suamiku saat kami hanya berdua. 

Seperti biasa, Bi Resti yang bertugas membukakan pintu ketika ada yang membunyikan bel. Wanita baya itu, selalu saja memasang gelagat waspada setiap kali berhadapan denganku maupun suamiku. Bicara juga sangat hati-hati seperti sedang menutupi sesuatu.

Namun, aku tak berniat menggali informasi darinya. Karena, aku yakin Kalila sudah mengunci rapat-rapat bibir Bi Resti dan memaksanya untuk bersikap seolah tidak tahu apa-apa.

"Loh, Mbak, yang tadi siapa?" tanya Ima, keheranan.

"Itu ARTnya Kalila," jawabku apa adanya.

"Astaga, Kalila punya ART? Bukannya Apartemen ini sewaan? Terus, emang gajinya cukup buat bayar semua itu?" Rentetan pertanyaan itu, lolos tanpa hambatan dari mulut adik kandungku.

"Aku juga gak tahu, Im. Kan, aku udah cerita ke kamu, kalau Kalila sekarang banyak berubah. Dia gak mau lagi terbuka padaku atau pada ayahnya. Selama kami di sini, dia juga lebih banyak diam." Ima memasang pendengarannya dengan tajam saat aku bicara dengan setengah berbisik.

Kulihat juga, ia mengedarkan pandangan, memerhatikan setiap detail ruangan beserta segala isi dari Apartemen ini. Kurasa pikiran Ima pasti sama sepertiku ketika baru memasuki tempat ini.

"Apartemen ini besar sekali, Mbak. Maaf-maaf, ya, Mbak, aku kok kayak gak percaya kalau Kalila sanggup bayar sewa Apartemen ini. Ditambah lagi ada ART segala. Maaf aja, ini sih. Bukan maksudku menyepelekan Kalila." Ima, menyatakan rasa tak percayanya dengan apa yang dimiliki Kalila saat ini.

Aku pun terdiam. Bukan karena tersinggung, tetapi aku pun berpikiran sama dengan Ima. 

"Bukan apa-apa, ya, Mbak, soalnya aku juga tahu berapa perkiraan gaji seorang staff. Bukannya sombong juga, Mbak sendiri tahu Mas Amar juga punya perusahaan. Dia punya karyawan, punya sekretaris, punya asisten. Ya, meskipun perusahaan tempat kerja Kalila lebih besar, terus atasannya juga baik, tapi aku yakin kalau masalah gaji gak akan jauh beda."

Ya, benar yang dikatakan Ima. Meskipun aku tidak tahu pasti berapa gaji seorang asisten direktur, tapi aku juga tidak yakin kalau bisa memenuhi gaya hidup Kalila saat ini. 

"Kamu benar, Im. Aku juga sempat berpikir begitu. Tapi, yang namanya Ibu sama anak, pasti berusaha gak berburuk sangka. Biar gimana juga, Kalila itu anakku," ujarku.

"Iya, aku ngerti, Mbak."

"Oh ya, Im, kamu kenal sama atasan Kalila itu?" Mendadak teringat dengan nama yang Ima sebutkan tadi.

"Ya kenal lah, Mbak. Dia, kan, rekan bisnis Mas Amar juga. Masa Mbak lupa? Yang rekomendasikan Kalila ke Pak Haryadi juga, kan, Mas Amar. Ya, udah pasti kenal. Kita juga sering ketemu kalau ada undangan acara-acara perusahaan. Aku juga kenal sama istrinya. Namanya Salma. Dia itu sekretarisnya Pak Haryadi. Sampe sekarang juga masih jadi sekretarisnya."

Terlalu antusias dengan pembicaraan, aku sampai lupa mempersilahkan Ima duduk. Bukan hanya aku, Ima sendiri pun seperti tak menyadari jika sedari tadi dirinya hanya berdiri sambil meneliti setiap sudut yang tertangkap oleh pandangannya.

"Duduk dulu, Im. Biar Mbak kasih tahu Kalila sama suami Mbak, kalau kamu datang."

Setelah memastikan Ima dalam posisi nyaman. Aku segera menuju kamar tamu, dimana suamiku kemungkinan besar berada.

"Yah, di depan ada Ima," kataku setelah pintu terkuak dan menampakkan suamiku yang sedang berkutat dengan laptopnya.

"Apa? Ima ke sini?" Suamiku terlihat kaget.

"Iya, dia mau jenguk Kalila," jelasku.

"Bu, aku malu banget kalau harus ketemu Ima."

"Kenapa harus malu? Ima juga ngerti, kok. Lagian kalau Ayah gak mau nemuin Ima, yang ada Ima yang ngerasa gak enak. Dia kira Ayah marah karena Ima gak mau bantuin Kalila."

Suamiku sejenak merenungi kata-kataku, hingga kemudian setuju menemui Ima. Karena, sesungguhnya semua yang terjadi pada Kalila itu di luar prediksi kami semua. Sebagai orang tua, kami juga tak luput menasihati Kalila hampir setiap saat. Agar ia bisa menjadi manusia yang berakhlak baik. Meski pada kenyataannya justru sebaliknya.

**********

"Apa kabar, Mas," sapa Ima, ketika aku dan suamiku sudah berada di depannya.

"Alhamdulillah, baik," jawab suamiku. Kemudian lanjut berbasa-basi bertanya kabar keluarga masing-masing. 

"Saya minta maaf atas apa yang terjadi pada Kalila. Saya tahu kesalahannya sedikit banyak akan membuatmu malu di hadapan keluargamu. Terutama suamimu," ucap suamiku, pada akhirnya harus mengakui jika apa yang terjadi pada Kalila adalah sebuah kesalahan besar.

"Gak usah minta maaf, Mas. Ini bukan salah Mas Ridwan, bukan salah Mbak Ira juga. Lagian semua udah kejadian begini, mau diapain lagi. Aku juga merasa bersalah, karena kemarin mengabaikan Kalila. Seharus-"

"Sstt ... Udah, Ima. Gak usah diterusin." Potongku, tak ingin Ima larut dalam rasa bersalahnya.

Usai saling bertegur sapa dan menyampaikan beberapa patah kata, aku beranjak menuju kamar Kalila. Memberitahunya akan kunjungan Ima.

"Lila, ada Tante Ima di depan. Dia mau jenguk bayimu," seruku, ketika melihat Kalila sedang menggendong bayinya.

"Tante Ima?" tanyanya, memastikan. Tak jauh beda dengan suamiku tadi. Aku pun mengangguk sambil menyentuh pipi kemerahan bayi Arla.

Tiba-tiba raut wajah Kalila berubah. Matanya mulai memerah, menunjukkan kilatan amarah.

"Lila gak mau ketemu Tante Ima."

"Lila!" peringatku, ketika ia bersuara dengan geramnya.

"Kenapa?" Kalila menatap nyalang padaku. "Lila berhak bersikap begini. Dan Tante Ima pantas menerimanya. Kalau bukan karena dia, Lila gak akan seperti ini, Bu," pekik Lila, dengan lantang.

______________________________________

Bersambung

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Empat (Ending)

    Resepsi pernikahan yang nyaris batal itu, akhirnya digelar. Jika saat akad nikah Kalila dan Ilham mengenakan baju pengantin khas Sunda, kali mereka memakai konsep Internasional.Acara tersebut digelar secara outdoor, dan didukung dengan cuaca cerah yang membuat segalanya berjalan dengan apik dan sempurna.Para tetamu yang terdiri dari keluarga, kerabat, juga rekan-rekan serta sahabat, baik dari Ilham maupun Kalila, terus berdatangan dan bergantian bersalaman sambil memberi ucapan selamat, pun mendoakan segala kebaikan untuk rumah tangga mereka.Tak cuma itu, masing-masing dari mereka juga tak mau ketinggalan dengan sesi foto bersama. Momen penting tersebut, sangat sayang untuk tidak diabadikan. Tak hanya menggunakan kamera profesional, mereka juga memakai ponsel pribadi untuk bisa segera dipajang di sosial media yang mereka miliki."Mbak, kita belum foto berdua," cerocos Kirana, yang tiba-tiba berdiri memben

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Tiga

    Tersedu meresapi pilu, Kalila tak kuasa membendung butiran yang menggenangi parasnya yang sendu.Kondisi terburuk dari kesehatan sang Kakek mau tak mau mencuatkan besarnya rasa bersalah dirinya karena, telah tega meninggalkannya."Maafin Lila, Kek. Gara-gara Lila, Kakek jadi begini," lirihnya, di antara isakan yang tak lagi mampu ia tahan.Beberapa saat sebelumnya, Kalila segera dibawa masuk oleh suaminya. Setelah ia memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan sekadar bayangan.Namun sebelumnya, Ilham sempat merengkuh tubuh ringkih yang belum benar-benar pulih. Akhirnya rindu itu terobati dengan hadirnya sang kekasih. Meski setelahnya ia merasa batinnya teriris perih, begitu mengetahui seseorang yang berdiri di belakang wanita terkasih."Jangan, Nak. Jangan minta maaf sama Kakek. Kakek sakit bukan karena kamu. Kakek sudah tua, ini sudah sewajarnya. Tapi, kamu. Kamu menderita karena Kak

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Dua

    Hari-hari berlalu tanpa kabar yang pasti. Pencarian telah dilakukan dengan berbagai cara. Teman, saudara, dan juga para kerabat sudah disambangi satu demi satu, untuk mendapatkan informasi.Dari dalam kota hingga ke luar kota, mereka kunjungi. Mana tahu ada salah satu yang dijadikan Kalila tempat sembunyi. Terhitung sudah 10 hari, Kalila tak juga kembali.Demi menebus kesalahannya, Ima juga meminta Amar mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari Kalila. Namun, wanita itu bak hilang tanpa kerana. "Mas Ilham mau kerja?" tanya Ina, ketika menikmati sarapan bersama.Si bungsu sudah menginap beberapa hari karena kesehatan ayah mereka yang kian menurun pasca kepergian cucu kesayangannya. "Iya," jawabnya singkat."Mas Ilham yakin?" Ilham menoleh, menyadari keraguan dari nada bicara sang adik. "Cuma ngecek aja. Aku masih mau cari Kalila lagi,

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Satu

    Tanpa pikir panjang Ilham segera berlari menyusuri setiap lorong rumah sakit yang menuju pintu keluar. Dalam benaknya, Kalila yang sakit tak mungkin secepat itu bisa pergi.Bahkan hingga kakinya menapaki gerbang yang dijaga oleh beberapa security, lelaki berhidung bangir itu tak sekalipun mendapati apa yang ia cari.Tertinggal cukup jauh, Mbak Susi menyusul dengan terengah-engah."Mbak Susi tunggu di sini, saya ambil mobil dulu," pekik Ilham, dengan panik.Mbak Susi kesulitan bicara. Hanya mampu menganggukkan kepala. Napasnya terputus-putus saking lelahnya.Hanya butuh 2 menit saja bagi Ilham memindahkan mobilnya dari area parkir menuju gerbang keluar. Lelaki dengan kemeja biru tua itupun berseru, menyuruh sang ART memasuki kendaraannya.Layaknya berpacu di arena balap, Ilham mengemudi tanpa kendali. Tak peduli banyaknya umpatan dan makian yang ia dapat dari penggun

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh

    Tanpa menunggu jawaban istrinya, Ilham gegas mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan tempat Kalila dirawat. Beberapa langkah di depannya, orang tua Kalila rupanya sudah tiba untuk melihat kondisi putri sulung mereka."Keadaan Lila gimana, Ham?" tanya Ira, gurat kecemasan begitu kentara memenuhi wajahnya."Masuk aja, Mbak," sahut Ilham, menunjuk ruang rawat istrinya dengan ekor matanya.Wanita lembut itu segera memasuki ruangan yang telah ditunjukkan menantunya.Sementara suaminya tengah memandang Ilham dengan tatapan yang aneh. "Kamu mau kemana?" tanyanya, kemudian."Aku ada urusan sebentar, Mas." Jawaban yang tak memuaskan menurut Ridwan. "Urusan? Urusan apa malam-malam begini?" Pria baya itu memicingkan mata, curiga."Mas, aku mohon jangan curigai aku seperti itu. Aku buru-buru, nanti kalian semua juga tahu." Lelaki ber

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Tiga Puluh Sembilan

    "Ada apa sebenarnya dengan Tante Ima? Kenapa semua orang bungkam di depanku? Kenapa aku tidak boleh tahu tentang keberadaannya? Kenapa?" Tatapan Ibu dari satu anak itu nyalang."Sayang, kamu tenang dulu. Kita omongin ini baik-baik, ya." Ilham memegang pundak Kalila, mencoba menenangkannya. Sayangnya, Kalila malah menepisnya."Kalian tahu sesuatu tentang wanita itu. Dan kalian merahasiakannya dariku. Aku tahu apa alasannya. Karena, selama ini kalian masih tetap tidak percaya sama aku, kan?" Tawa hambar mengiringi tiap kata yang meluncur dari bibirnya."Sayang, dengar dulu. Kami lakuin ini juga demi menjaga perasaan kamu—""Enggak, Om Ilham pasti bohong. Om juga bohong kalau selama ini percaya sama aku. Om gak pernah mempercayai aku. Gak ada yang percaya aku, semua orang selalu bilang aku pembohong. Aku penggoda, aku murahan, aku hina, aku ...." Runtuh sudah pertahanannya kala itu. But

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status