Share

Bab Enam

Penulis: Yuliana Lathif
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-20 07:57:19

Ibu Pov

*****************

"Bu, itu di kamar Adek bayi ada kiriman stroller dari Bapak."

"Bapak? Bapak siapa?" sambarku, secepat kilat begitu mendengar Bi Resti bicara.

"Bu, Bi Resti kan belum selesai bicara. Ibu dengar dulu, dong," tegur Kalila, meraih lenganku agar kembali duduk.

Napasku masih naik turun merasakan emosi membakar jiwaku yang dipenuhi beragam tanya. Tak jauh beda denganku, suamiku pun yang semula duduk bersandar pada sofa, kini sudah dalam posisi tegak.

"Anu, Bu, maksud saya dari Bapak Haryadi."

Haryadi? Siapa dia? Seperti tidak asing di telingaku.

"Pak Haryadi itu atasan Lila, Bu. Ibu ingat, kan? Lila sering cerita." Pandangan Kalila kembali tertuju pada Bi Resti. "Pak Haryadi ke sini sama siapa, Bi?" tanyanya kemudian.

"Sama istri dan anaknya yang kecil. Mereka kira Ibu sudah pulang. Tapi, nanti mereka mau datang lagi," papar Bi Resti.

Kepalaku rasanya mau pecah, memikirkan semua masalah ini. Rasanya aku begitu sulit memercayai apapun yang tersuguh di hadapanku. Semua begitu penuh teka-teki. Sedangkan Kalila sendiri sampai detik ini masih enggan memberi penjelasan apapun.

"Jangan-jangan kau punya hubungan dengan bosmu itu," tuduh suamiku.

Sontak aku pun ternganga mendengarnya. Namun demikian, tudingannya tentu beralasan. Apalagi lelaki sepertinya begitu perhatian. Sampai-sampai segera menjenguknya begitu tahu Kalila kemarin hendak melahirkan.

"Enggak, Yah. Itu gak mungkin," bantah Kalila, secara langsung.

"Kalau kalian gak ada hubungan, gak mungkin dia seperhatian itu. Jangan bermain-main dengan pria beristri, Kalila!" Suamiku bersikukuh menuduh Kalila sebagai selingkuhan Bosnya.

"Yah, Bu Salma itu istri Pak Haryadi sekaligus sekretarisnya. Jadi gak mungkin Lila jadi selingkuhan Pak Haryadi. Mereka berdua sama-sama atasan Lila. Mereka memang orang baik dan sangat perhatian. Kalau bukan mereka yang jadi Bos Lila, Lila pasti sudah dipecat. Karena masalah ini."

"Lalu siapa ayah dari bayi kamu? Cepat katakan!" Emosi suamiku kembali membara. 

Kilatan amarah nampak jelas dari matanya. Perdebatan pun tak dapat dihindari. Sekalipun aku berusaha membujuknya agar tenang, tapi tetap saja sulit memadamkan api emosi yang terlanjur membakar.

"Cukup, Yah! Berhenti menanyakan ayah dari bayiku. Karena, sampai kapanpun Kalila gak akan mau bilang!" Kalila berteriak keras pada ayahnya. Kemudian segera berlalu pergi meninggalkan kami dengan langkahnya yang masih terseok.

Kami pun kembali terduduk. Bersama-sama mengatur napas dan mengendalikan detak jantung masing-masing. Juga terlarut dalam pikiran sendiri-sendiri.

Kalilaku telah banyak berubah hanya dalam waktu singkat. Lima bulan terakhir kami tidak berjumpa. Kini justru dipertemukan dalam kondisi yang jauh dari perkiraan. 

Rindu kami akan sosoknya yang ceria dan manja, seolah hilang seketika tergerus oleh besarnya rasa kecewa. 

Putri sulungku yang begitu suka meletakkan kepalanya di pangkuan ayahnya, bahkan belum sekalipun mencium punggung tangannya sejak kedatangan kami kemarin.

Kedekatan dan kehangatan yang biasa tercipta saat kami bersama. Terganti dengan jarak yang Kalila bentangkan dalam sebuah rahasia. 

Di tengah penat dan peningnya kepala, aku kembali teringat dengan Ima. Walau bagaimanapun, tujuh tahun terakhir ini Kalila lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Tentunya sedikit banyak Ima tahu siapa saja teman atau pun orang yang dekat dengan Kalila. Siapa tahu dari sana kami bisa mengetahui siapa pria yang menghamili Kalila.

Namun, dari sekian banyak tanya yang tak menemui jawabnya. Ada satu hal yang bisa kusimpulkan. Ayah dari bayi Kalila bukan orang biasa. Aku sangat yakin akan hal itu dari begitu sulitnya Kalila menyebut siapa lelaki itu sebenarnya.

Segera kuraih ponsel untuk menghubungi Ima dan mengajaknya bertemu di suatu tempat. Meski tak tinggal di Jakarta, kami terbilang sering ke kota besar ini. Karena, berasal dari kota ini. Jadi, kami masih memiliki kerabat di sini. Keluargaku pun akan datang ketika ada acara penting di sini. Oleh karena itu, aku cukup tahu beberapa tempat di kota ini.

**********

Tiga hari kemudian aku dan Ima bertemu di sebuah resto tempo dulu yang masih mempertahankan jati dirinya, di tengah banyaknya cafe modern yang kekinian.

Sementara itu, suamiku menolak ajakanku bertemu Ima. Ia masih belum berani menemui adikku itu. Rasanya dia seperti tak punya muka di depannya. Mengingat anak gadisnya yang telah mencoreng nama baik keluarga.

"Mbak, aku minta maaf hari itu, aku marah-marah sama Mbak. Jujur aku juga kaget waktu Kalila telpon aku minta di antar ke rumah sakit. Aku bener-bener gak bisa mikir saat itu." Ima memulai percakapan, sambil menunggu pesanan kami datang.

"Gak apa-apa, Im. Mbak ngerti, kok. Yang kamu bilang itu benar. Kamu pasti bakal malu di depan keluarga suamimu. Apalagi mereka itu keluarga terhormat. Mbak juga gak mau reputasi keluarga  kita jadi buruk di mata keluarga Amar. Gara-gara masalah Kalila. Mbak gak keberatan kalau kamu merahasiakan masalah ini dari suamimu dan keluarganya. Mbak rasa itu lebih baik."

"Iya, Mbak. Makasih atas pengertiannya," ucap Ima. "Kapan-kapan aku akan menjenguk Kalila," imbuhnya lagi.

"Oh, ya, suamimu ke mana? Dia belum tahu masalah ini, kan?" Aku bertanya pada adikku.

"Mas Amar masih di Singapur. Biasalah dia masih sibuk dengan bisnisnya. Kalau gak ke luar negri yang ke luar kota. Dia juga belum tahu masalah ini. Dan aku gak akan kasih tahu dia," jawab Ima.

"Ya sudah, sepertinya itu lebih baik."

Obrolan kami sejenak terjeda oleh kedatangan pramusaji yang membawa pesanan makanan dan minuman untukku dan Ima.

"Terima kasih, Mbak," ucap Ima pada pramusaji tadi, sebelum kembali meninggalkan kami.

Kami pun menikmati santap siang kami dengan tenang. Karena, setelah ini kami akan kembali membahas tentang Kalila.

"Im, kamu tahu gak siapa aja orang yang dekat dengan Kalila? Mungkin kita bisa cari informasi dari mereka," tanyaku usai menghabiskan makanan dan bercerita singkat bahwasannya Kalila sama sekali tidak ingin mengatakan siapa pria yang sudah menghamilinya.

Sebelum Ima sempat menjawab, ponsel memekik menghentikan percakapan kami. Rupanya, Bagas, adik dari suamiku yang tinggal di Bogor memanggil.

"Ya, Gas," sapaku setelah panggilan terhubung.

"Mbak, aku telpon Mas Ridwan, kok, gak diangkat-angkat," keluh Bagas yang menanyakan suamiku.

"Mbak juga gak tahu, Gas. Mbak lagi di luar ini. Mas Ridwan di tempat Kalila," jawabku.

"Loh, Mbak Ira sama Mas Ridwan di Jakarta?" tanyanya kemudian.

"Iya," balasku, jujur. Akan tetapi, tak menjelaskan keperluanku di sini.

"Emang ada acara apa di Jakarta? Apa Kalila udah lahiran?"

____________________________________

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Empat (Ending)

    Resepsi pernikahan yang nyaris batal itu, akhirnya digelar. Jika saat akad nikah Kalila dan Ilham mengenakan baju pengantin khas Sunda, kali mereka memakai konsep Internasional.Acara tersebut digelar secara outdoor, dan didukung dengan cuaca cerah yang membuat segalanya berjalan dengan apik dan sempurna.Para tetamu yang terdiri dari keluarga, kerabat, juga rekan-rekan serta sahabat, baik dari Ilham maupun Kalila, terus berdatangan dan bergantian bersalaman sambil memberi ucapan selamat, pun mendoakan segala kebaikan untuk rumah tangga mereka.Tak cuma itu, masing-masing dari mereka juga tak mau ketinggalan dengan sesi foto bersama. Momen penting tersebut, sangat sayang untuk tidak diabadikan. Tak hanya menggunakan kamera profesional, mereka juga memakai ponsel pribadi untuk bisa segera dipajang di sosial media yang mereka miliki."Mbak, kita belum foto berdua," cerocos Kirana, yang tiba-tiba berdiri memben

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Tiga

    Tersedu meresapi pilu, Kalila tak kuasa membendung butiran yang menggenangi parasnya yang sendu.Kondisi terburuk dari kesehatan sang Kakek mau tak mau mencuatkan besarnya rasa bersalah dirinya karena, telah tega meninggalkannya."Maafin Lila, Kek. Gara-gara Lila, Kakek jadi begini," lirihnya, di antara isakan yang tak lagi mampu ia tahan.Beberapa saat sebelumnya, Kalila segera dibawa masuk oleh suaminya. Setelah ia memastikan bahwa apa yang dilihatnya bukan sekadar bayangan.Namun sebelumnya, Ilham sempat merengkuh tubuh ringkih yang belum benar-benar pulih. Akhirnya rindu itu terobati dengan hadirnya sang kekasih. Meski setelahnya ia merasa batinnya teriris perih, begitu mengetahui seseorang yang berdiri di belakang wanita terkasih."Jangan, Nak. Jangan minta maaf sama Kakek. Kakek sakit bukan karena kamu. Kakek sudah tua, ini sudah sewajarnya. Tapi, kamu. Kamu menderita karena Kak

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Dua

    Hari-hari berlalu tanpa kabar yang pasti. Pencarian telah dilakukan dengan berbagai cara. Teman, saudara, dan juga para kerabat sudah disambangi satu demi satu, untuk mendapatkan informasi.Dari dalam kota hingga ke luar kota, mereka kunjungi. Mana tahu ada salah satu yang dijadikan Kalila tempat sembunyi. Terhitung sudah 10 hari, Kalila tak juga kembali.Demi menebus kesalahannya, Ima juga meminta Amar mengerahkan orang-orang kepercayaannya untuk mencari Kalila. Namun, wanita itu bak hilang tanpa kerana. "Mas Ilham mau kerja?" tanya Ina, ketika menikmati sarapan bersama.Si bungsu sudah menginap beberapa hari karena kesehatan ayah mereka yang kian menurun pasca kepergian cucu kesayangannya. "Iya," jawabnya singkat."Mas Ilham yakin?" Ilham menoleh, menyadari keraguan dari nada bicara sang adik. "Cuma ngecek aja. Aku masih mau cari Kalila lagi,

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh Satu

    Tanpa pikir panjang Ilham segera berlari menyusuri setiap lorong rumah sakit yang menuju pintu keluar. Dalam benaknya, Kalila yang sakit tak mungkin secepat itu bisa pergi.Bahkan hingga kakinya menapaki gerbang yang dijaga oleh beberapa security, lelaki berhidung bangir itu tak sekalipun mendapati apa yang ia cari.Tertinggal cukup jauh, Mbak Susi menyusul dengan terengah-engah."Mbak Susi tunggu di sini, saya ambil mobil dulu," pekik Ilham, dengan panik.Mbak Susi kesulitan bicara. Hanya mampu menganggukkan kepala. Napasnya terputus-putus saking lelahnya.Hanya butuh 2 menit saja bagi Ilham memindahkan mobilnya dari area parkir menuju gerbang keluar. Lelaki dengan kemeja biru tua itupun berseru, menyuruh sang ART memasuki kendaraannya.Layaknya berpacu di arena balap, Ilham mengemudi tanpa kendali. Tak peduli banyaknya umpatan dan makian yang ia dapat dari penggun

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Empat Puluh

    Tanpa menunggu jawaban istrinya, Ilham gegas mengambil langkah lebar meninggalkan ruangan tempat Kalila dirawat. Beberapa langkah di depannya, orang tua Kalila rupanya sudah tiba untuk melihat kondisi putri sulung mereka."Keadaan Lila gimana, Ham?" tanya Ira, gurat kecemasan begitu kentara memenuhi wajahnya."Masuk aja, Mbak," sahut Ilham, menunjuk ruang rawat istrinya dengan ekor matanya.Wanita lembut itu segera memasuki ruangan yang telah ditunjukkan menantunya.Sementara suaminya tengah memandang Ilham dengan tatapan yang aneh. "Kamu mau kemana?" tanyanya, kemudian."Aku ada urusan sebentar, Mas." Jawaban yang tak memuaskan menurut Ridwan. "Urusan? Urusan apa malam-malam begini?" Pria baya itu memicingkan mata, curiga."Mas, aku mohon jangan curigai aku seperti itu. Aku buru-buru, nanti kalian semua juga tahu." Lelaki ber

  • Mendadak Punya Cucu   Bab Tiga Puluh Sembilan

    "Ada apa sebenarnya dengan Tante Ima? Kenapa semua orang bungkam di depanku? Kenapa aku tidak boleh tahu tentang keberadaannya? Kenapa?" Tatapan Ibu dari satu anak itu nyalang."Sayang, kamu tenang dulu. Kita omongin ini baik-baik, ya." Ilham memegang pundak Kalila, mencoba menenangkannya. Sayangnya, Kalila malah menepisnya."Kalian tahu sesuatu tentang wanita itu. Dan kalian merahasiakannya dariku. Aku tahu apa alasannya. Karena, selama ini kalian masih tetap tidak percaya sama aku, kan?" Tawa hambar mengiringi tiap kata yang meluncur dari bibirnya."Sayang, dengar dulu. Kami lakuin ini juga demi menjaga perasaan kamu—""Enggak, Om Ilham pasti bohong. Om juga bohong kalau selama ini percaya sama aku. Om gak pernah mempercayai aku. Gak ada yang percaya aku, semua orang selalu bilang aku pembohong. Aku penggoda, aku murahan, aku hina, aku ...." Runtuh sudah pertahanannya kala itu. But

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status