Share

Bab Enam

Ibu Pov

*****************

"Bu, itu di kamar Adek bayi ada kiriman stroller dari Bapak."

"Bapak? Bapak siapa?" sambarku, secepat kilat begitu mendengar Bi Resti bicara.

"Bu, Bi Resti kan belum selesai bicara. Ibu dengar dulu, dong," tegur Kalila, meraih lenganku agar kembali duduk.

Napasku masih naik turun merasakan emosi membakar jiwaku yang dipenuhi beragam tanya. Tak jauh beda denganku, suamiku pun yang semula duduk bersandar pada sofa, kini sudah dalam posisi tegak.

"Anu, Bu, maksud saya dari Bapak Haryadi."

Haryadi? Siapa dia? Seperti tidak asing di telingaku.

"Pak Haryadi itu atasan Lila, Bu. Ibu ingat, kan? Lila sering cerita." Pandangan Kalila kembali tertuju pada Bi Resti. "Pak Haryadi ke sini sama siapa, Bi?" tanyanya kemudian.

"Sama istri dan anaknya yang kecil. Mereka kira Ibu sudah pulang. Tapi, nanti mereka mau datang lagi," papar Bi Resti.

Kepalaku rasanya mau pecah, memikirkan semua masalah ini. Rasanya aku begitu sulit memercayai apapun yang tersuguh di hadapanku. Semua begitu penuh teka-teki. Sedangkan Kalila sendiri sampai detik ini masih enggan memberi penjelasan apapun.

"Jangan-jangan kau punya hubungan dengan bosmu itu," tuduh suamiku.

Sontak aku pun ternganga mendengarnya. Namun demikian, tudingannya tentu beralasan. Apalagi lelaki sepertinya begitu perhatian. Sampai-sampai segera menjenguknya begitu tahu Kalila kemarin hendak melahirkan.

"Enggak, Yah. Itu gak mungkin," bantah Kalila, secara langsung.

"Kalau kalian gak ada hubungan, gak mungkin dia seperhatian itu. Jangan bermain-main dengan pria beristri, Kalila!" Suamiku bersikukuh menuduh Kalila sebagai selingkuhan Bosnya.

"Yah, Bu Salma itu istri Pak Haryadi sekaligus sekretarisnya. Jadi gak mungkin Lila jadi selingkuhan Pak Haryadi. Mereka berdua sama-sama atasan Lila. Mereka memang orang baik dan sangat perhatian. Kalau bukan mereka yang jadi Bos Lila, Lila pasti sudah dipecat. Karena masalah ini."

"Lalu siapa ayah dari bayi kamu? Cepat katakan!" Emosi suamiku kembali membara. 

Kilatan amarah nampak jelas dari matanya. Perdebatan pun tak dapat dihindari. Sekalipun aku berusaha membujuknya agar tenang, tapi tetap saja sulit memadamkan api emosi yang terlanjur membakar.

"Cukup, Yah! Berhenti menanyakan ayah dari bayiku. Karena, sampai kapanpun Kalila gak akan mau bilang!" Kalila berteriak keras pada ayahnya. Kemudian segera berlalu pergi meninggalkan kami dengan langkahnya yang masih terseok.

Kami pun kembali terduduk. Bersama-sama mengatur napas dan mengendalikan detak jantung masing-masing. Juga terlarut dalam pikiran sendiri-sendiri.

Kalilaku telah banyak berubah hanya dalam waktu singkat. Lima bulan terakhir kami tidak berjumpa. Kini justru dipertemukan dalam kondisi yang jauh dari perkiraan. 

Rindu kami akan sosoknya yang ceria dan manja, seolah hilang seketika tergerus oleh besarnya rasa kecewa. 

Putri sulungku yang begitu suka meletakkan kepalanya di pangkuan ayahnya, bahkan belum sekalipun mencium punggung tangannya sejak kedatangan kami kemarin.

Kedekatan dan kehangatan yang biasa tercipta saat kami bersama. Terganti dengan jarak yang Kalila bentangkan dalam sebuah rahasia. 

Di tengah penat dan peningnya kepala, aku kembali teringat dengan Ima. Walau bagaimanapun, tujuh tahun terakhir ini Kalila lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Tentunya sedikit banyak Ima tahu siapa saja teman atau pun orang yang dekat dengan Kalila. Siapa tahu dari sana kami bisa mengetahui siapa pria yang menghamili Kalila.

Namun, dari sekian banyak tanya yang tak menemui jawabnya. Ada satu hal yang bisa kusimpulkan. Ayah dari bayi Kalila bukan orang biasa. Aku sangat yakin akan hal itu dari begitu sulitnya Kalila menyebut siapa lelaki itu sebenarnya.

Segera kuraih ponsel untuk menghubungi Ima dan mengajaknya bertemu di suatu tempat. Meski tak tinggal di Jakarta, kami terbilang sering ke kota besar ini. Karena, berasal dari kota ini. Jadi, kami masih memiliki kerabat di sini. Keluargaku pun akan datang ketika ada acara penting di sini. Oleh karena itu, aku cukup tahu beberapa tempat di kota ini.

**********

Tiga hari kemudian aku dan Ima bertemu di sebuah resto tempo dulu yang masih mempertahankan jati dirinya, di tengah banyaknya cafe modern yang kekinian.

Sementara itu, suamiku menolak ajakanku bertemu Ima. Ia masih belum berani menemui adikku itu. Rasanya dia seperti tak punya muka di depannya. Mengingat anak gadisnya yang telah mencoreng nama baik keluarga.

"Mbak, aku minta maaf hari itu, aku marah-marah sama Mbak. Jujur aku juga kaget waktu Kalila telpon aku minta di antar ke rumah sakit. Aku bener-bener gak bisa mikir saat itu." Ima memulai percakapan, sambil menunggu pesanan kami datang.

"Gak apa-apa, Im. Mbak ngerti, kok. Yang kamu bilang itu benar. Kamu pasti bakal malu di depan keluarga suamimu. Apalagi mereka itu keluarga terhormat. Mbak juga gak mau reputasi keluarga  kita jadi buruk di mata keluarga Amar. Gara-gara masalah Kalila. Mbak gak keberatan kalau kamu merahasiakan masalah ini dari suamimu dan keluarganya. Mbak rasa itu lebih baik."

"Iya, Mbak. Makasih atas pengertiannya," ucap Ima. "Kapan-kapan aku akan menjenguk Kalila," imbuhnya lagi.

"Oh, ya, suamimu ke mana? Dia belum tahu masalah ini, kan?" Aku bertanya pada adikku.

"Mas Amar masih di Singapur. Biasalah dia masih sibuk dengan bisnisnya. Kalau gak ke luar negri yang ke luar kota. Dia juga belum tahu masalah ini. Dan aku gak akan kasih tahu dia," jawab Ima.

"Ya sudah, sepertinya itu lebih baik."

Obrolan kami sejenak terjeda oleh kedatangan pramusaji yang membawa pesanan makanan dan minuman untukku dan Ima.

"Terima kasih, Mbak," ucap Ima pada pramusaji tadi, sebelum kembali meninggalkan kami.

Kami pun menikmati santap siang kami dengan tenang. Karena, setelah ini kami akan kembali membahas tentang Kalila.

"Im, kamu tahu gak siapa aja orang yang dekat dengan Kalila? Mungkin kita bisa cari informasi dari mereka," tanyaku usai menghabiskan makanan dan bercerita singkat bahwasannya Kalila sama sekali tidak ingin mengatakan siapa pria yang sudah menghamilinya.

Sebelum Ima sempat menjawab, ponsel memekik menghentikan percakapan kami. Rupanya, Bagas, adik dari suamiku yang tinggal di Bogor memanggil.

"Ya, Gas," sapaku setelah panggilan terhubung.

"Mbak, aku telpon Mas Ridwan, kok, gak diangkat-angkat," keluh Bagas yang menanyakan suamiku.

"Mbak juga gak tahu, Gas. Mbak lagi di luar ini. Mas Ridwan di tempat Kalila," jawabku.

"Loh, Mbak Ira sama Mas Ridwan di Jakarta?" tanyanya kemudian.

"Iya," balasku, jujur. Akan tetapi, tak menjelaskan keperluanku di sini.

"Emang ada acara apa di Jakarta? Apa Kalila udah lahiran?"

____________________________________

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status