"Aku kira hanya namanya saja yang sama, ternyata itu benar kamu," ujar pria yang kini berdiri dengan gagah dihadapan Felicia.
Felicia tak menjawab, ia bahkan kini hanya menunduk. Tak berani menatap. Namun, satu hal yang tiba-tiba menjadi pertanyaan dalam benak Felicia adalah darimana pria ini tahu keberadaannya. "Long time no see and i see you not better ...." "Mau apa kamu ke sini?" Tanya Felicia menyela, memberanikan diri. Felicia tak berlama-lama bersinggungan dengan mantan kekasihnya ini. Felicia masih sangat mengingat jelas bagaimana dahulu ibunya menentang hubungan mereka hingga mengancam ibu panti, tempat dimana Felicia dibesarkan dan berlindung, sebelum akhirnya ia bertemu Daniel dan diperjuangkan. Pria tampan dengan tinggi 180 sentimeter, bernama Arya Kavi Hutomo itupun mengangkat satu sudut bibirnya, tersenyum sinis. "Aku ingin memberikan imbalan padamu, karena telah memberikan ASI pada anakku!" Tukasnya, tegas dan mampu membuat Felicia seketika mendongakkan pandangannya. Seketika jantung Felicia kembali berdetak kencang, takdir macam apa ini. Mengapa dunia begitu kecil. Bertahun-tahun Felicia berusaha menghindari pria ini dan semua tentangnya. Namun, mengapa kini seperti kebetulan dipertemukan kembali dalam kondisi sama-sama kehilangan. Felicia masih diam seribu bahasa, sementara Kavi gemas sendiri melihat sikap mantan kekasihnya yang masih saja sama seperti tujuh tahun lalu, saat awal mereka bertemu. "Berapa aku harus membayarmu?" Pancing Kavi lagi, sarkas. Ia ingin memancing emosi Felicia. "Aku tidak terbiasa mendapatkan keuntungan tanpa membayar dengan nilai yang sesuai." Imbuhnya lagi semakin berusaha melukai hati Felicia, yang diam-diam meneteskan air mata. "Mbak Fel, udah balik? Gimana, pompa ASI-nya ada?" Suara Nola berhasil mengalihkan fokus Felicia dan Kavi bersamaan, hingga keduanya kini menatap ke arah yang sama. "Ah, maaf. Ada tamu?" Nola seketika menutup mulut dengan kedua tangannya. Sungkan. "Bukan ... Hmm, Dia adalah orang tua dari bayi yang tadi aku susui," terang Felicia, canggung dan gugup. "Wah! Jadi, ASI Mbak Fel di donasikan?" Takjub Nola. Felicia tersenyum dan mengangguk. Sebenarnya, ia sangat menikmati perannya sebagai ibu susu pada bayi laki-laki tadi. Entah, bagaimana hatinya ikut menghangat, seolah Dante lah yang sedang ia beri ASI. "Aku rasa itu lebih baik, daripada di buang percuma," lanjut Nola, sembari melangkah masuk dan menuju ranjangnya. Mengabaikan Kavi yang kini berdiam di sudut ruangan. "Fel, bisa kita bicara di luar?" Ajak Kavi, tak tahan, hingga memilih menyela percakapan Felicia dan Nola. Membuat Nola seketika diam dan merebahkan tubuh di atas ranjangnya sendiri, sembari memperhatikan interaksi Felicia dan Kavi berikutnya. Felicia menatap Kavi sejenak, lalu menggeleng. Ia tak ingin lagi bersinggungan dengan mantan kekasihnya tersebut. Kavi mengerutkan dahinya, bingung. "Aku mau bahas soal yang tadi." Kembali Kavi, menjelaskan. "Sebaiknya, Mas langsung berhubungan dengan pihak rumah sakit. Karena, aku melakukannya melalui prosedur rumah sakit," balas Felicia, sembari menarik selimut dan bergerak membelakangi Kavi. Sementara itu, Kavi menggeleng dan mendengus kesal dengan sikap Felicia yang benar-benar tak habis dipikirnya. Sejak tiga tahun lalu, Felicia berhasil membuatnya bertanya-tanya tentang alasan perubahan sikapnya yang menjadi seperti sekarang ini. Padahal, Kavi ingat betul selama menjalin hubungan dengannya. Felicia adalah sosok yang menyenangkan, meski memang introvert. Felicia meninggalkan Kavi begitu saja, dengan tiba-tiba menghilang dan beberapa saat kemudian justru mengirimkan surat undangan pernikahannya. "Kita benar-benar perlu bicara, Fel!" Tegas Kavi dengan nada menggeram dan tinggi di ujung kalimatnya. "Maaf, aku lelah Mas." Balas Felicia dengan posisi membelakangi Kavi. Namun, jelas dapat terdengar suaranya berubah gemetar, menahan tangis. Membuat Kavi seketika, terdiam dan memilih tak melanjutkan desakannya. Langkah Kavi menjauh, untuk sementara memang sebaiknya menghindar dan mengawasi Felicia dari jauh. Namun, Kavi bersumpah demi apapun kali ini ia tidak akan melepaskan Felicia dengan alasan apapun juga. Bagi Kavi, 3 tahun menghilangnya Felicia, bukanlah hal yang mudah. Apalagi, Kavi tidak pernah tahu alasan apa sebenarnya yang membuat wanita yang sudah ia pacari sejak masih berseragam putih abu-abu itu tiba-tiba mengirimkan surat undangan pernikahan, lalu menghilang. Daun pintu ruang perawatan kelas tiga itu pun akhirnya kembali tertutup dengan suara yang nyaris selembut angin sepoi-sepoi. Hanya menyisakan bunyi klik di akhir. Seketika semua yang terbaring di tiga ranjang tersebut, menyibakkan selimut dan menoleh ke arah pintu secara bersamaan. Membuat Nola dan Rosa terbahak, sementara Felicia sendiri memasang ekspresi lega, seraya menghapus jejak air mata yang sempat mengalir sebelumnya. "Galak banget!" "Mantan pacar, ya, Mbak?" Nada suara tanya Nola kali ini terdengar lirih. Sadar, bahwa suasana hati rekan sekamarnya itu tak baik-baik saja. Felicia mengangguk pelan. Sebenarnya ia malas bila harus mengulik kembali kisah masa lalunya dengan Kavi. Ia tak ingin kerja kerasnya berdamai dengan nasib selama tiga tahun ini sia-sia. "Istirahat Mbak, biar cepat pulih. Jangan terlalu dipikirkan." Rosa memberi saran. Tak tega melihat ekspresi Felicia yang tak baik-baik saja. Sekali lagi Felicia mengangguk pelan, lalu memilih menutup matanya perlahan, meski kini isi kepalanya kembali memutar kenangan, alasan mengapa ia harus meninggalkan Kavi. Tiga tahun lalu ibu pengurus panti yang telah membesarkannya. Divonis terkena kanker ovarium stadium tiga. Saat itu juga panti dalam masa habis kontrak hingga membutuhkan banyak biaya untuk menyelesaikan kedua masalah itu dalam satu waktu yang sama. Hingga Felicia dan beberapa anak panti yang sudah dewasa berusaha keras mencari donatur. Entah darimana hingga akhirnya Ratna, ibunya Kavi tahu, bahwa Felicia membutuhkan banyak uang untuk semua itu hingga secara pribadi datang dan menemui Felicia bersama Daniel. Ratna berjanji akan membantu kesulitan Felicia saat itu dengan syarat, Felicia mau menikah dengan Daniel, meninggalkan Kavi. Alasan klise yang Felicia cukup sadar diri adalah, strata ekonomi mereka yang begitu berbeda. Felicia hanyalah anak yang dibesarkan di panti asuhan tanpa pernah tahu siapa kedua orang tua kandungnya, membuat Felicia memang tak pantas untuk Kavi. Ratna datang dengan penawaran yang sangat Felicia butuhkan. Setidaknya, sebagai bentuk ucapan terima kasihnya pada ibu panti yang sudah mau merawatnya sejak bayi, di saat bahkan orang tua yang melahirkannya justru tak menginginkannya, membuangnya begitu saja. Felicia merasa pengorbanannya kali ini adalah hal baik untuk semuanya. Lagipula, Kavi juga pantas mendapatkan wanita yang lebih baik. Meski cintanya pada Kavi jelas sangat besar. Saat itu, Ratna langsung memberikan kesepakatan akan menyerahkan uang yang Felicia butuhkan, tatkala Felicia dan Daniel telah resmi menjadi suami-istri. Ya, Daniel adalah calon suami yang sudah disiapkan oleh Ratna. Daniel adalah salah satu pegawai Ratna yang setia dan rela melakukan apapun dengan alasan yang tak jauh berbeda darinya. Hutang budi. Ratna juga tak mengizinkan Felicia mengatakan sepatah katapun sebagai ucapan perpisahannya pada Kavi, selain sebuah surat undangan yang dititipkan langsung pada Ratna untuk diserahkan padanya. Felicia tahu Kavi pasti sangat terluka dan kecewa padanya. Namun, kala itu tak ada pilihan lain. Felicia juga berpikir tak akan mampu bertahan dalam rumah tangga bersama Kavi, bila Ratna tak pernah merestui mereka. Dering suara ponsel Felicia tiba-tiba saja berbunyi begitu nyaring. Sebuah nomor yang tak di kenal masuk berulang kali, membuyarkan lamunan Felicia. Hingga, detik selanjutnya berganti dengan masuknya sebuah pesan dalam aplikasi hijau miliknya. "Felicia, kita harus bicara!""Mas?" Felicia cukup terkejut dengan kehadiran Kavi di pagi buta. "Ada apa?" "Richie gimana?" Felicia mengejar Kavi dengan pertanyaan-pertanyaan dan rasa penasarannya. "Kamu butuh susu untuk Richie?" Bukannya menjawab pertanyaan Felicia untuk kesekian kalinya itu, Kavi justru melemparkan tubuhnya di atas sofa yang berhadapan langsung dengan televisi berukuran besar itu. Napasnya berat, tampilannya juga sangat kusut. "Mas!" Felicia kembali menyeru, kali ini bahkan dengan nada tinggi. "Kamu kenapa?" "Hhhh." Sekali lagi Kavi mengesah berat. Napasnya seolah benar tertahan di dalam dadanya, sulit untuk di bebaskan. Terpenjara bersama dengan isi kepala yang semakin kacau. Felicia ikut mengesah, menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat Kavi yang terlihat sangat kacau kali ini. "Mau kopi?" Tawar Felicia akhirnya, sembari berjalan tanpa menunggu jawaban Kavi. Ia tahu, saat ini pria yang pernah menjadi cinta pertamanya itu sedang tak bisa di ajak bicara. "Felicia, pul
"Fel!" Kavi kembali menyerukan namanya. "Ngelamun?" Imbuhnya sembari menaik-turunkan tangannya di depan wajah Feli yang kini terlihat gugup. "Hmm, ya, ..., kenapa?" "Ck! Emang beneran ngelamun? Kenapa?" "Apanya yang kenapa?" "Kamu kenapa, Fel?" Kavi memutar bola matanya malas. Feli menggeleng. "Gak apa-apa, emang kenapa? Kamu tadi bilang apa?" "Hmm, kamu mau gak, ikut aku ketemu sama temenku itu." Kavi kembali mengulang pertanyaannya. Feli kembali hening, ia belum yakin bertemu dengan orang-orang di dekat Kavi saat ini. "Masalah itu, kita bicarakan nanti ya. Ini sudah malam dan Richie baik-baik saja. Aku juga ingin istirahat," ujar Felicia mengalihkan pembicaraan. "Hmm, oke deh, kalau gitu. Sampai ketemu esok, ya." Kavi lalu mematikan sambungan telepon mereka dan bersiap membersihkan diri dan beristirahat.***Sementara itu di apartemennya, Felicia tak benar-benar tidur. Tubuhnya benar rebah di atas ranjang. Namun, matanya tak kunjung terpejam. Pikirannya masih berkelana, men
Kavi bergegas meninggalkan apartemen. Dengan kecepatan tinggi mobilnya membelah jalanan malam, setelah sang ibu memberikan kabar bahwa Richie putranya mendadak demam, panas tinggi. Padahal tadi pagi semuanya masih baik-baik saja.Tiba di rumah keluarganya, Kavi menerobos masuk ke dalam dan berlari menaiki anak tangga menuju kamar Richie yang telah di periksa oleh dokter keluarga. "Gimana, Fer?" Kavi langsung menyerang Feri sahabatnya yang juga dokter anak itu dengan pertanyaan. Feri yang tengah berbincang dengan Ratna itupun kini membalikkan tubuhnya, menatap langsung ke arah Kavi. "It's oke. Cuma kayaknya ada masalah sama botol susu-nya yang kurang steril atau proses menghangatkan susu. Jadi buat dia kembung. Tapi, tenang aja, aku bakal periksa secara keseluruhan di rumah sakit nanti dari hasil darah yang aku ambil tadi," terang Feri, sejelas-jelasnya. Tak ingin sahabatnya itu semakin panik dan khawatir. Kavi mengangguk lemah dan kembali melangkah mendekati tempat tidur Richie.
Sementara itu di sepanjang perjalanan Rizka terus mengingat-ingat wajah wanita yang tadi bersama dengan mantan menantunya. Wajah yang sangat tak asing menurutnya. "Kenapa, Ma?" Hasto, suaminya bertanya. Sejak masuk ke dalam mobil, ekspresi wajah Rizka memang tak dapat menutupi rasa penasarannya. Rizka menatap sekilas suaminya sebelum kembali menghadap jendela dan menjawab. "Aku bertemu Kavi dengan seorang wanita di restoran tadi." Hasto hening sejenak, dahinya sesat berkerut. Namun, kemudian justru tersenyum tipis. "Terus, masalahnya?" Tanya Hasto seolah itu bukan masalah besar. "Maksud Mas?" Rizka balik bertanya dengan nada yang jelas tak suka. "Putri kita belum empat puluh hari dan dia sudah bersama dengan perempuan lain?" Marah Rizka tak terima. "Bisa saja itu rekan bisnisnya atau ...." "Cih! Rekan bisnis apa? Aku memperhatikan gelagatnya sebelum akhirnya aku memutuskan untuk menegur dan menghampiri. Kavi begitu perhatian, tatapannya pada perempuan itu jelas lebih hangat d
Kavi seketika bangkit dari tempat duduknya, terkejut dengan kehadiran sang mantan ibu mertua yang kini berdiri dengan tatap penuh selidik dihadapannya. "Ma-ma?" Kavi terbata menyapa wanita bergaun emerald. "Hmm." "Ini temen aku, Ma." Terang Kavi dengan nada suara yang lebih stabil. Riska, menatap lekat Felicia yang kini menunduk dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Wajahnya yang sendu mengingatkannya pada seseorang. Riska seolah tidak asing dengan Felicia. "Duduk, Ma. Kita makan bareng?" Tawar Kavi santun, seraya menarik satu juga kursi di sisinya, berhadapan dengan Felicia yang semakin resah. "Hmm, gak usah. Mama mau langsung pulang. Tadi ke sini, cuma pengen beli dessert aja." Tolak Riska tanpa mengalihkan pandangannya pada Felicia. "Ah, ya." "Richie apa kabar Kav?" "Baik, Ma. Sehat." "Hmm, syukurlah. Sesekali kamu bawa lah dia ke rumah. Jangan lupakan kalau Mama ini juga neneknya." "Iya, Ma." "Hmm, bawa saat peringatan kematian Sylvi." "Iya,
"Ada lagi?" Tanya Kavi, lembut. Memastikan bahwa semua kebutuhan Felicia yang sebagian besar merupakan makanan ringan dan bahan makan sehat itu memenuhi trolley yang mereka bawa. Felicia menggeleng malu. Tersirat senyum yang dikulum, menandakan rasa bahagia dan sungkan yang jelas berbaur menjadi satu dalam debaran jantungnya yang kini berirama tak beraturan. "Buah, sayur, daging, ikan segar, Snack, sereal, susu, perbumbuan duniawi," Kavi mengecek kembali isi keranjang dorongnya itu, untuk Felicia simak kembali. "Udah Mas, udah cukup," ujar Felicia, menghentikan tangan Kavi yang masih hendak menambah isi keranjang mereka dengan makanan ringan kesukaan Felicia. "Sekalian, buat stok! Kamu bilang kalau menyusui gampang laper? Nanti kalau gak di isi bisa masuk angin, dong. Terus ASI-nya jadi campur angin, Richie ikut gak nyaman," ucap Kavi yang seketika kembali menyadarkan Felicia, bahwa perhatian Kavi padanya saat ini semata-mata hanya untuk kebutuhan putranya, Richie. Felicia yang t