Kavi kembali melangkahkan kakinya ke ruang perawat, setelah Felicia tak dapat ia ajak bicara. Sepertinya, satu-satunya jalan mencari informasi tentang Felicia memang hanya dengan bertanya pada para perawat yang menyimpan datanya.
"Pak Arya?" Seru perawat senior bernama Kumala tersebut dengan sopan. Ya, dikalangan kolega bisnisnya Kavi memang lebih dikenal dengan panggilan Arya. Kavi mengangguk, lalu tersenyum tipis di detik berikutnya. Sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan dengan nada datar dan penuh wibawa, seolah ini memang pertanyaan formal yang sepantasnya ia tanyakan. "Saya ingin detail informasi tentang ibu susu, Richie!" Kumala mengangguk, tanpa banyak pertanyaannya. Ia cukup paham bagaimana menangani perintah Kavi. "Segera, Pak!" Kavi mengangguk kali ini, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan tersebut. Membuat para perawat yang ada di sana kikuk sekaligus canggung dengan kehadirannya. Ya, bagaiman mungkin mereka akan tenang-tenang saja bila salah satu pemegang saham rumah sakit ini tengah duduk dengan tatapan yang begitu tajam di sudut ruangan. "Cakep, sih. Tapi, ...." "Hush! Jangan coba-coba ...." "Leher kamu nanti bisa pindah ke betis loh, kalau macem-macem." Bisik-bisik para perawat yang terus menatap Kavi dengan kagum sekaligus takut. Wajah rupawan, tubuh atletis, dengan padu padan outfit yang casual, sungguh membuat Kavi terlihat begitu sempurna. "Aku rela deh, jadi ibu tiri Richie." Tiba-tiba salah satu perawat kembali terdengar berujar genit. Membuat beberapa rekannya yang mendengar memutar bola mata malas. "Sayangnya Richie gak rela, punya ibu tiri kayak kamu, Nur!" Sela perawat dibarengi tawa tertahan yang lainnya. Membuat Kavi yang sedari tadi duduk tanpa ekspresi itu pun menoleh tajam ke arah para suster yang tengah membicarakannya. "Mati kita, woi!" Para perawat itu hendak kabur saat Kavi beraksi ingin bangkit dari kursinya, sementara arah pandangannya masih tertuju pada sekelompok perawat yang membicarakannya. Namun, beruntung Kumala telah menyelesaikan tugas Kavi dengan mencetak semua data pribadi Felicia tanpa terkecuali. "Ini data yang ada di data base pasien atas nama Moana Felicia, ibu susu Richie tadi," terang Kumala. Kavi hening sejenak, sembari memperhatikan tangan Kumala yang masih memegang map biru di tangannya. "Hmm, baiklah. Terima kasih, Mala." Ucap Kavi, menerima. Lalu, membuka dan membacanya sekilas, sebelum akhirnya melangkah pergi meninggalkan ruang perawat tersebut dengan sejuta rasa yang menyaru dalam hatinya. Ya, diantara marah, kesal, kecewa, yang selama ini bersarang dalam hatinya. Kavi jelas masih penasaran dengan alasan yang Felicia, yang tiba-tiba menikah dengan pria lain. Kavi membuka maaf tersebut, membaca sekilas, lalu menekan angka-angka pada layar telepon genggamnya, melakukan panggilan beberapa kali. Namun, tak kunjung tersambung. Hingga akhirnya memutuskan mengirimkan pesan singkat untuk Felicia baca. "Felicia, kita harus bicara!" Kavi melihat tanda centang yang kini telah berubah warna menjadi biru. Artinya, Felicia sudah membaca pesannya. Namun, tak kunjung membalas. Membuat Kavi gemas dan segera mengetik pesan baru. "Aku Kavi, ini tentang anakku!" Dalihnya, menarik empati Felicia. "Tolonglah, aku butuh bantuanmu." Kavi putus asa dan memilih sedikit merendah demi belas kasih seorang Felicia. Kavi kenal betul mantan kekasihnya itu. Sedikit keras kepala, memang. Namun, hatinya cukup mudah tersentuh bila menyangkut tolong menolong. "Ada apa?" Benar saja, meski terkesan ketus dan dingin, akhirnya Felicia membalas. Kavi tersenyum tipis, perangkapnya berhasil. Ia akan segera mengambil kesempatan ini untuk membuat Felicia kembali terhubung dengannya dan mengungkap semua rasa penasarannya secara perlahan. "Bisa kita bertemu? Bicara secara langsung." Kavi kembali membalas dengan pesan singkat. "Tidak! Katakan saja via chat ini," balas Felicia, cepat. Bukannya marah, kali ini Kavi justru tertawa kecil, hingga suaranya terdengar. Sesuatu yang tak pernah terjadi selama tiga tahun terakhir ini. "Ck! Kamu memang tidak pernah benar-benar berubah Fel," gumam Kavi, sumringah. "Hmm, oke! Kalau begitu, aku tidak akan sungkan dan basa-basi lagi." Jawab Kavi. "Ya, cepat katakan. Aku ingin istirahat." Balas Felicia, yang Kavi tahu mulai penasaran dan kesal. "Aku ingin kamu jadi ibu susu anakku secara eksklusif!" Sambut Kavi, membalas. Felicia tak langsung menjawab, membuat percakapan online itu sesaat hening dan Kavi mulai kebingungan kembali. "Aku akan membayar dengan harga yang tinggi," tawar Kavi, terus berusaha membujuk dan janji. Sementara itu Felicia yang membaca pesan tersebut pun mulai bimbang. Di satu sisi ia senang membantu, bahkan seharusnya ia tak menerima bayaran. Namun, sisi lainnya saat ini berbisik ia butuh uang itu untuk menyambung kehidupannya setelah keluarga suaminya mengusir ia dari rumah mereka. "Berapa harga yang kamu mau?" Desak Kavi kembali dengan pesan singkat bertubi-tubi. "Hmm, sebaiknya kita bicarakan secara langsung!" Felicia membalas dan sontak membuat Kavi, berjingkrak girang. Tak sadar bahwa saat ini beberapa pasang mata menatapnya sembari menggeleng-gelengkan kepala. "Oke, sekarang?" Kavi, tak sabar. "Tidak! Aku ingin istirahat dulu. Malam nanti akan aku hubungi," balas Felicia akhirnya. "Hmm, baiklah. Aku akan menunggu," jawab Kavi, sumringah. Meski nyatanya dalam hati, ia begitu tak sabar menantikan malam dah bertemu dengan wanita yang sempat menjadi pujaan hatinya itu. Kavi mengalihkan pandangannya pada pergelangan tangan yang dilingkari jam tangan rolex seharga ratusan juta tersebut, setelah memastikan Felicia telah membaca pesannya yang terakhir. "Ah, masih ada 5 jam lagi. Sebaiknya aku minta Romi, memeriksa informasi ini!" Gumam Kavi, bersemangat. Bergegas, menghubungi sahabat sekaligus sekretaris pribadinya tersebut. Tak butuh waktu yang lama untuk Kavi, mendapati jawaban dari panggilannya pada Romi yang memang di tugaskan 24 jam terjaga untuknya. "Rom! Dimana?" "Dihatimu!" Balas Romi, tegas. Meski tetap saja terdengar menggelikan. "Dih, ogah!" "Ya, di basemant lah. Nungguin Anda, Bapak Arya Kavi Hutomo, CEO Nusantara Raya, yang terkaku sejagat negeri ...." "Sst ... berisik, ih! Ada tugas ini," sela Kavi, tak ingin mendengar kejengkelan Romi. Ya, wajar saja asisten sekaligus sahabatnya itu jengkel, mengingat ia berjanji hanya sebentar memeriksa keadaan Richie, di rumah sakit ini. Namun, nyatanya hampir satu jam, ia tak kunjung kembali. "PR apalagi? Kita harus segera ke rumah utama, Kav. Ibu ratu udah nunggu," Romi mengingatkan dengan nada gusar. "Ck, nanti aku yang handle Mami. Kamu kerjakan aja dulu, perintahku yang satu ini." Kavi, berkeras dengan rencananya. Meski tahu betul bagaimana watak sang ibu. "Gini aja deh, Kav. Damai-damai kita ya, kamu jelasin apa tugas baruku, terus ... Kamu naik taksi online ke rumah ibu ratu." Romi memberikan ide briliannya. Romi tak ingin mencari masalah dengan seorang Ratna Dwina Hutomo. Bisa-bisa masa depannya kaan menjadi taruhan, bila mencoba melawan dan tak mematuhi perintahnya. Apalagi ini menyakut Kavi, putra semata wayangnya. Pewaris tunggal keluarga Radihardja Hutomo. Kavi terdengar mengesah berat, ia paham posisi Romi. Tapi, juga tak ingin rencananya gagal. "Oke, sepakat!" "Good! So, apa tugasku?" " Periksa foto yang aku kirim itu. Dalam waktu 5 jam kedepan, aku mau informasi yang akurat dan terpercaya!" "Laksanakan!"Kavi seketika bangkit dari tempat duduknya, terkejut dengan kehadiran sang mantan ibu mertua yang kini berdiri dengan tatap penuh selidik dihadapannya. "Ma-ma?" Kavi terbata menyapa wanita bergaun emerald. "Hmm." "Ini temen aku, Ma." Terang Kavi dengan nada suara yang lebih stabil. Riska, menatap lekat Felicia yang kini menunduk dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Wajahnya yang sendu mengingatkannya pada seseorang. Riska seolah tidak asing dengan Felicia. "Duduk, Ma. Kita makan bareng?" Tawar Kavi santun, seraya menarik satu juga kursi di sisinya, berhadapan dengan Felicia yang semakin resah. "Hmm, gak usah. Mama mau langsung pulang. Tadi ke sini, cuma pengen beli dessert aja." Tolak Riska tanpa mengalihkan pandangannya pada Felicia. "Ah, ya." "Richie apa kabar Kav?" "Baik, Ma. Sehat." "Hmm, syukurlah. Sesekali kamu bawa lah dia ke rumah. Jangan lupakan kalau Mama ini juga neneknya." "Iya, Ma." "Hmm, bawa saat peringatan kematian Sylvi." "Iya, Ma." "Kav, Sylvi belum
"Ada lagi?" Tanya Kavi, lembut. Memastikan bahwa semua kebutuhan Felicia yang sebagian besar merupakan makanan ringan dan bahan makan sehat itu memenuhi trolley yang mereka bawa. Felicia menggeleng malu. Tersirat senyum yang dikulum, menandakan rasa bahagia dan sungkan yang jelas berbaur menjadi satu dalam debaran jantungnya yang kini berirama tak beraturan. "Buah, sayur, daging, ikan segar, Snack, sereal, susu, perbumbuan duniawi," Kavi mengecek kembali isi keranjang dorongnya itu, untuk Felicia simak kembali. "Udah Mas, udah cukup," ujar Felicia, menghentikan tangan Kavi yang masih hendak menambah isi keranjang mereka dengan makanan ringan kesukaan Felicia. "Sekalian, buat stok! Kamu bilang kalau menyusui gampang laper? Nanti kalau gak di isi bisa masuk angin, dong. Terus ASI-nya jadi campur angin, Richie ikut gak nyaman," ucap Kavi yang seketika kembali menyadarkan Felicia, bahwa perhatian Kavi padanya saat ini semata-mata hanya untuk kebutuhan putranya, Richie. Felicia yang t
Kavi hendak meletakkan telepon genggamnya setelah memastikan Felicia baik-baik saja di apartemen tersebut. Namun, saat telepon genggam itu baru saja bersentuhan dengan meja nakas di sisi tempat tidurnya tiba-tiba berdenting dan bergetar, menandakan sebuah notifikasi kembali masuk. "Mas, aku takut!" Isi pesan balasan dari Felicia. Sesaat Kavi terhenyak, lalu tersenyum simpul setelahnya. Seperti dugaannya, wanita itu nyatanya belum berubah. Felicia masih sama penakutnya di tempat baru. "Aku ke sana?" Tawar Kavi masih dengan ekspresi sumringah. Penuh harap, kalau-kalau Felicia memintanya menemani. Sedetik, dua detik, pesannya tak kunjung dibalas, membuat Kavi yang tadinya sumringah, kini mulai mengerutkan dahi. Tak sabar."Gak usah, ini sudah mau pagi." Akhirnya Felicia membalas. Membuat semangat Kavi runtuh. "Hmm, ya sudah kalau begitu. Kamu coba tidur ya." "Iya." "Fel!" Kavi kembali mengirim pesan. "Telepon aja kalau ada apa-apa ya. 24 jam, hapenya gak aku silent." "Hmm, iya, M
"Kenapa kamu gak ajak aja ibu susu Richie tinggal disini, Kav?" "Dia juga butuh privasi, Mi." "Tapi kita kan jadi repot harus sedia suster lagi." Kavi mengesah pelan, tak langsung menjawab. Ratna memang sangat rewel. Ibunya ini tak ada habisnya mengeluh. "Lebih repot lagi kalau gak ada ibu susu yang sesuai untuk Richie, Mam." Radhi menyela. "Sudahlah, hal-hal kecil seperti itu jangan selalu Mami jadikan sumbu pertengkaran. Hal yang paling penting saat ini, Richie bisa terpenuhi kebutuhan ASI-nya sementara Kavi bisa fokus bekerja mengurus perusahaan." Ratna memutar bola matanya malas. Suaminya ini memang semakin hari semakin tak sejalan dengannya. Apalagi sejak Ratna diketahui menyusun rencana perpisahan Kavi dan kekasihnya yang bernama Felicia. Radhi benar-benar marah pada Ratna, karena nyaris membuat Kavi depresi dan bunuh diri. "Daddy hanya ingin berpesan, agar kamu benar-benar memperhatikan kesehatan ibu susu Richie. Asupannya, harus benar-benar kamu perhatikan agar Richie j
"Apartemen ini aku beli atas nama kamu. Jadi, jangan sungkan!" Terang Kavi, sembari mempersilakan Feli masuk ke dalam hunian dengan tipe duplex tersebut.Felicia seketika menghentikan langkahnya, tatkala Kavi memberitahukan status kepemilikan tempat tinggal barunya ini. "Namaku?" Beo Felicia tak percaya. Bola matanya yang cokelat itu bahkan ikut terbelalak karena terkejut. Kavi mengangguk santai dan terus melangkah dengan satu tangan menenteng tas pakaian milik Felicia, sementara yang satunya masuk ke dalam saku celananya. "Apartemen ini akan menjadi milikmu, sebagai salah satu kompensasi yang aku berikan karena kamu sudah menyusui Richie." "Tapi Mas, apa ini tidak berlebihan?" Kavi kembali menggeleng. "Berlebihan gimana? Kamu menyusui Richie untuk menjamin masa depannya. Ini, belum ada apa-apanya di bandingkan dengan itu semua."Langkah Kavi terus membawa Felicia menuju sebuah kamar di lantai satu apartemen tersebut. Belum banyak dekorasi yang berubah, karena apartemen ini bar
"Terlambat?" Suara Ratna menyambut sang putra yang baru beberapa langkah memasuki ruang makan keluarga dengan 12 kursi di sana. "Gimana kondisi Richie? Kapan kamu bawa pulang?" Kali ini pertanyaan ayahnya yang terdengar khawatir. Kavi tak langsung membalas, ia memberikan salam dan kecup hangat terlebih dahulu pada kedua orang tuanya, lalu menarik kursi tepat di sisi kanan sang ayah. "Richie baik-baik saja," jawab Kavi, seraya mengangkat cangkir kopi yang telah tersaji dihadapannya. "Syukurlah, Daddy begitu mencemaskannya." "Hmm.""Bagus kalau begitu. Bawa Richie pulang saat acara 40 harian Vani," ujar Ratna yang lebih seperti perintah. "Ya, Mami benar Vi, keluarga Hasto pasti akan senang melihat cucu mereka." Radhi menimpali. Kavi mengangguk. "Hmm, aku mengerti." "Lalu, apa kamu sudah mendapatkan ibu susu untuk Richie? Usahakan untuk tidak memberikan susu formula hingga usianya 2 tahun, Vi." "Kalau bisa, biarkan ibu susu Richie tinggal bersama kita, agar segala nutrisinya dap