WARNING AREA 21+ 🔥🔥🔥 (Harap Bijak dalam memilih bacaan) Moana Felicia, 24 Tahun. Kehilangan suami dan putranya yang berusia 4 bulan saat kecelakaan di perjalanan wisata tahunan dari perusahaan sang suami. Hingga akhirnya, ia di usir oleh keluarga Daniel, karena dianggap pembawa sial. Tanpa bekal satu sen pun, Felicia dalam kekalutan. Hingga akhirnya ia kembali dipertemukan dengan mantan kekasihnya Arya Kavi Hutomo, di masa abu-abu yang selama bertahun-tahun ia coba hindari, di rumah sakit tempat Felicia, dirawat. Arya yang masih menyimpan rasa kecewanya pada Felicia, nyatanya harus menahan semua kebenciannya itu karena putranya yang piatu membutuhkan ASI milik Felicia. Bagaimana selanjutnya. Simak dan nantikan terus bagian dari "Mendadak, jadi Ibu Susu Bayi Mantanku."
View More"Brak!"
Suara gaduh dari koper berwarna magenta itu membuat seisi ruangan terkejut dan menajamkan sorot mata ke satu titik yang sama, yaitu 'Moana Felicia.' Wanita berusia 24 tahun yang sehari lalu resmi menjadi janda setelah suami dan putra pertama mereka meninggal dalam kecelakaan bus pariwisata yang membawa mereka liburan akhir tahun dari perusahaan Daniel, suaminya. Kali ini. "Ambil barang-barangmu itu dan jangan pernah kembali ke rumah peninggalan Daniel!" Hardik Sandra, ibu mertua Felicia yang selama ini memang secara terang-terangan tak pernah menyukainya. "Dasar pembawa sial!" "Kehadiranmu dalam keluarga kami, benar-benar hanya membawa malapetaka." "Padahal sedari awal aku sudah mengatakan pada Daniel agar tak mempersunting-mu menjadi istri. Namun, anak nakal satu itu, memang tak pernah mau menuruti apa kataku!" Sembari terisak Sukma terus mengomel, mengolok-olok Felicia. Tak peduli di dalam kamar tersebut ada pasien lain yang butuh ketenangan. "Sudahlah Ma, jangan begini terus. Nanti Mama yang sakit." Pujuk Dania, kakak ipar Felicia. "Dengarkan aku baik-baik ya, Fel! Setelah hari ini, kau bukan siapa-siapa keluarga Winata. Seluruh harta bendamu, sudah kami bereskan dan ada dalam koper itu. Jadi, jangan mengusik keluarga kami lagi, paham!" Suara Dania kali ini tak kalah menggelegar. Membuat jantung Felicia semakin berdetak tak karuan. "Ayo, Ma. Kita pergi sekarang, sebelum tekanan darah Mama semakin naik," ajak Dania, lagi. Sembari, menuntun Sandra yang masih terus menangis terisak dan mengumpat tak jelas. Seolah dunianya runtuh di tinggal Daniel. Padahal, yang Felicia tahu. Ibu mertua dan suaminya itu nyaris tak pernah akur, karena Sandra selalu saja merongrong Daniel untuk memberikan uang, memenuhi kebutuhan tersier sang ibu tersebut. Felicia tak banyak bersuara, ia hanya mampu diam tatkala mantan mertua dan iparnya itu tantrum di hadapannya seperti tadi. Ia, paham betul bila membantah hanya akan membuat suasana semakin tidak kondusif di ruangan ini dan ia akan lebih malu, dengan pasien yang lain. "Yang sabar ya, Mbak. Beruntung, sudah gak punya mertua begitu lagi, ya," ujar penghuni ranjang sisi sebelah kanan Felicia, penuh empati. "1001 mertua waras, zaman sekarang ya, Mbak," sahut penghuni ranjang sisi kiri, mengimbuhi. Kesal. Felicia tersenyum geli melihat komentar keduanya. Namun, ia cukup bersyukur rekan sekamarnya adalah orang-orang berhati lembut yang mengerti keadaannya. Alih-alih menatapnya sama hina seperti yang mantan mertua dan iparnya lakukan beberapa waktu lalu. "Perkenalkan Mbak, namaku Nola." Ujar pasien di sisi kanan Felicia. "Aku Rosa," sahut sisi kiri. "Aku, Felicia." Jawab Felicia, sumringah. Keramahan sikap kedua rekan sekamarnya itu pun seketika mampu meredakan rasa takut Felicia, karena sikap tamu tak diundangnya tadi. "Turut berduka cita untuk suami dan anaknya ya, Mbak." "Mbak harus tetap semangat!" Ucap mereka kembali, bergantian menghibur. "Terima kasih, Mbak Nola dan Mbak Rosa," balas Felicia, dengan senyum kecil menghias di wajah. "Mbak berdua, sakit apa ya, kalau aku boleh tahu?" Tanya Felicia, akhirnya. Mereka bisa tahu kondisiku, karena mungkin mereka mendengar penjelasan dokter saat visit beberapa waktu lalu. Sementara, aku tak tahu apa-apa tentang mereka karena mereka lebih dulu menghuni ruangan ini. "Aku terkena kista di rahim, dua hari lalu di operasi," jawab Rosa, tanpa beban. "Kalau aku, demam typhoid. Maklum saja, aku masih tinggal di rumah mertua. Jadi, semua pekerjaan asisten rumah tangga, aku yang mengerjakan." Keluh Nola, lirih. Felicia yang mendengar ikut merasa iba. Mengenang kembali betapa dulu Daniel begitu mencintainya, hingga mereka tak harus tinggal di rumah keluarga besarnya. "Mbak Fel, itu ASI mu sepertinya luber, bajumu sampai basah!" Seru Rosa mengejutkan Felicia yang masih khusyuk mendengar cerita Nola. Felicia pun langsung mengalihkan pandangannya pada dadanya yang memang sedari tadi terasa nyeri. Produksi ASI miliknya memang terbilang baik bahkan kadang berlebih. "Aku akan mencoba meminjam pompa ASI di pusat suster, atau siapa tahu ada bayi yang membutuhkan," ujar Felicia, sembari turun dari ranjang perawatannya dengan sangat hati-hati. "Hati-hati, Mbak," ucap Rosa, khawatir. Felicia pun mengangguk, lalu terus melangkah keluar ruangan dengan jarum infus yang masih menancap di punggung tangan kirinya, sementara cairan saline menggantung di atasnya, terpaut dengan tiang besi yang kini ikut ia dorong. Melewati lorong rumah sakit yang sepi tanpa alas kaki. Rumah sakit tempat Felicia dirawat ternyata termasuk rumah sakit kelas A di kota ini. Tak sedikitpun ada aroma karbol apalagi anyir amis seperti pada rumah sakit umumnya. Tenang, bersih, terang. Kesan mistis seperti di film horor yang pernah ia lihat jauh dari penggambaran itu. Felicia tiba di ruangan pusat suster berada. Beberapa orang berseragam khas rumah sakit tersebut, terlihat sangat sibuk. Samar Felicia dengar, beberapa suster bahkan terlihat panik. "Sepuluh menit lagi, bayi itu harus minum, Nur!" Rengek, suster lainnya yang frustrasi. "Jadi, gimana dong! Kita harus nyari ASI kemana lagi untuk bayi sultan itu?" Balas yang satunya tak kalah panik. Sampai-sampai, kehadirannya benar-benar tak disadari mereka. "Kalian tahu Pak Arya, kan? Kita bisa di pecat semua, kalau sampai anaknya dehidrasi atau berar badannya kurang!" Ungkap yang lainnya. "Permisi?" Ucap Felicia, lembut. Ia takut menganggu kesibukan para suster yang sepertinya tertekan. Sejenak hening, semua perawat tersebut menatap Felicia dengan ekspresi beragam. Kaget, bingung, kesal, dan lainnya. Namun, salah satu dari mereka segera menyadari bahwa Felicia adalah salah satu pasien kelas 3 mereka. "Ya, Bu. Ada yang bisa di bantu?" Tanyanya, seraya melangkah mendekat. Felicia mengangguk pelan. "Maaf, apa rumah sakit ini memiliki alat pompa Asi?" "Pompa ASI?" Beo perawat tersebut tak percaya. Lalu, detik kemudian arah tatapannya jelas mengarah pada dada Felicia yang basah. "Kumala! Tolong ambilkan pompa Asi," serunya bersemangat, membuat Felicia kaget. Namun, tidak bagi para perawat lain yang diam membisu dan justru tak bergeming. "Ck! Kok, malah pada bengong sih? Ibu ini loh, mau pinjam pompa Asi," ujarnya kesal kali ini dan bergerak sendiri ke dalam sebuah ruangan yang mungkin di sanalah pompa Asi itu berada. "Ibu baru melahirkan?" Tanya salah satu perawat lainnya, penuh keingintahuan. Felicia menggeleng. "Anak saya justru baru saja meninggal dan dikebumikan beberapa jam lalu." Jawab Felicia, seraya menundukkan pandangannya. Air matanya seketika menetes. Ia ingin berusaha kuat. Namun, bahasan tentang putranya masih begitu menyedihkan untuk dijelaskan. Perawat itu segera menutup mulut dengan kedua tangannya, merasa bersalah dengan pertanyaannya barusan. Ia pun melangkah mendekat. "Maaf, Bu. Saya tidak bermaksud ...," "Ini pompanya, Bu. Kalau boleh tahu, bayi ibu yang mana? Bolehkah kami ...," "Dessy!" Tegur, perawat yang sebelumnya bertanya. "Anak saya sudah meninggal, tapi ASI saya masih terus keluar, jadi saya butuh pompa untuk membuangnya." Felicia menjelaskan kembali. Lalu menerima pompa ASI tersebut. Sejenak ruangan itu hening. Para perawat saling berpandangan, hingga perawat bernama Dessy itu kembali bersuara. "Maaf, Bu. Kalau boleh ..., jangan di buang. Ada seorang bayi di sini yang membutuhkan ASI ibu," jujurnya penuh harap. "Dessy!" Tegur perawat lain. Takut bila Felicia tersinggung. Felicia diam sejenak, sembari menatap Dessy dengan tatapan penuh. "Sebagai Ibu, saya rasa ibu tidak akan keberatan," Dessy kembali mensugesti. Berusaha penuh meyakinkan Felicia. Felicia berpikir kembali. Sebenarnya, apa yang perawat itu bilang ada benarnya. ASi nya tak akan sia-sia dan buah dadanya itu pun tak akan merasa sakit. "Bayi itu baru lahir kemarin, Bu. Namun, ibunya meninggal saat persalinan dan Ayahnya ingin bayinya hanya mendapatkan ASI, bukan susu formula." Kali ini perawat bernama Kumala yang memberikan penjelasan. "Stok ASI kami dari pendonor yang biasa menjualnya ke rumah sakit ini sedang habis," imbuhnya lagi penuh harap. "Kami akan membayar setiap mililiter yang Ibu berikan," timpal perawat lainnya. Felicia yang memang sangat membutuhkan uang untuk menyambung hidup setelah keluar dari rumah sakit inipun, merasa mendapatkan jalan keluar. "Boleh ya, Bu?" Dessy kembali membujuk. Felicia tersenyum lembut, lalu akhirnya mengangguk. "Baiklah, saya akan mengumpulkannya." Wajah tegang yang tadinya ditampilkan oleh para perawat itupun seketika berubah menjadi lega dan sumringah. "Terima kasih, Bu. Kami akan segera mengambil sample untuk memeriksa kandungan air susu ibu." Kumala berkata dengan penuh semangat, sembari membawa Felicia ke ruang khusus, untuk memompa ASI-nya. ... Felicia kembali ke dalam ruang perawatannya setelah mendapatkan dua kantong ASI. Dadanya yang tadi terasa sakit itupun kini terasa lebih baik. Felicia pun bersyukur karena nyatanya setelah di periksa ASI miliknya sangatlah baik, sehingga layak untuk menjadi donatur tetap rumah sakit, yang artinya beberapa waktu ini ia akan mendapatkan pemasukan dari menjual ASI-nya sembari mencari pekerjaan lainnya, setelah keluar dari rumah sakit. Felicia baru saja hendak naik ke atas ranjang perawatannya saat suara pintu kamarnya kembali terdengar di buka. Awalnya Felicia mengira, salah satu dari rekan sekamarnya yang masuk. Karena, hanya ada Rosa yang sedang tidur, sementara kasur Nola, kosong. Felicia membalikkan tubuh hendak bertanya. "Darimana La?". Namun, ternyata ia justru mendapati sosok yang sudah lama sekali tak ia temui. "Kamu?" ..."Ada lagi?" Tanya Kavi, lembut. Memastikan bahwa semua kebutuhan Felicia yang sebagian besar merupakan makanan ringan dan bahan makan sehat itu memenuhi trolley yang mereka bawa. Felicia menggeleng malu. Tersirat senyum yang dikulum, menandakan rasa bahagia dan sungkan yang jelas berbaur menjadi satu dalam debaran jantungnya yang kini berirama tak beraturan. "Buah, sayur, daging, ikan segar, Snack, sereal, susu, perbumbuan duniawi," Kavi mengecek kembali isi keranjang dorongnya itu, untuk Felicia simak kembali. "Udah Mas, udah cukup," ujar Felicia, menghentikan tangan Kavi yang masih hendak menambah isi keranjang mereka dengan makanan ringan kesukaan Felicia. "Sekalian, buat stok! Kamu bilang kalau menyusui gampang laper? Nanti kalau gak di isi bisa masuk angin, dong. Terus ASI-nya jadi campur angin, Richie ikut gak nyaman," ucap Kavi yang seketika kembali menyadarkan Felicia, bahwa perhatian Kavi padanya saat ini semata-mata hanya untuk kebutuhan putranya, Richie. Felicia yang t
Kavi hendak meletakkan telepon genggamnya setelah memastikan Felicia baik-baik saja di apartemen tersebut. Namun, saat telepon genggam itu baru saja bersentuhan dengan meja nakas di sisi tempat tidurnya tiba-tiba berdenting dan bergetar, menandakan sebuah notifikasi kembali masuk. "Mas, aku takut!" Isi pesan balasan dari Felicia. Sesaat Kavi terhenyak, lalu tersenyum simpul setelahnya. Seperti dugaannya, wanita itu nyatanya belum berubah. Felicia masih sama penakutnya di tempat baru. "Aku ke sana?" Tawar Kavi masih dengan ekspresi sumringah. Penuh harap, kalau-kalau Felicia memintanya menemani. Sedetik, dua detik, pesannya tak kunjung dibalas, membuat Kavi yang tadinya sumringah, kini mulai mengerutkan dahi. Tak sabar."Gak usah, ini sudah mau pagi." Akhirnya Felicia membalas. Membuat semangat Kavi runtuh. "Hmm, ya sudah kalau begitu. Kamu coba tidur ya." "Iya." "Fel!" Kavi kembali mengirim pesan. "Telepon aja kalau ada apa-apa ya. 24 jam, hapenya gak aku silent." "Hmm, iya, M
"Kenapa kamu gak ajak aja ibu susu Richie tinggal disini, Kav?" "Dia juga butuh privasi, Mi." "Tapi kita kan jadi repot harus sedia suster lagi." Kavi mengesah pelan, tak langsung menjawab. Ratna memang sangat rewel. Ibunya ini tak ada habisnya mengeluh. "Lebih repot lagi kalau gak ada ibu susu yang sesuai untuk Richie, Mam." Radhi menyela. "Sudahlah, hal-hal kecil seperti itu jangan selalu Mami jadikan sumbu pertengkaran. Hal yang paling penting saat ini, Richie bisa terpenuhi kebutuhan ASI-nya sementara Kavi bisa fokus bekerja mengurus perusahaan." Ratna memutar bola matanya malas. Suaminya ini memang semakin hari semakin tak sejalan dengannya. Apalagi sejak Ratna diketahui menyusun rencana perpisahan Kavi dan kekasihnya yang bernama Felicia. Radhi benar-benar marah pada Ratna, karena nyaris membuat Kavi depresi dan bunuh diri. "Daddy hanya ingin berpesan, agar kamu benar-benar memperhatikan kesehatan ibu susu Richie. Asupannya, harus benar-benar kamu perhatikan agar Richie j
"Apartemen ini aku beli atas nama kamu. Jadi, jangan sungkan!" Terang Kavi, sembari mempersilakan Feli masuk ke dalam hunian dengan tipe duplex tersebut.Felicia seketika menghentikan langkahnya, tatkala Kavi memberitahukan status kepemilikan tempat tinggal barunya ini. "Namaku?" Beo Felicia tak percaya. Bola matanya yang cokelat itu bahkan ikut terbelalak karena terkejut. Kavi mengangguk santai dan terus melangkah dengan satu tangan menenteng tas pakaian milik Felicia, sementara yang satunya masuk ke dalam saku celananya. "Apartemen ini akan menjadi milikmu, sebagai salah satu kompensasi yang aku berikan karena kamu sudah menyusui Richie." "Tapi Mas, apa ini tidak berlebihan?" Kavi kembali menggeleng. "Berlebihan gimana? Kamu menyusui Richie untuk menjamin masa depannya. Ini, belum ada apa-apanya di bandingkan dengan itu semua."Langkah Kavi terus membawa Felicia menuju sebuah kamar di lantai satu apartemen tersebut. Belum banyak dekorasi yang berubah, karena apartemen ini bar
"Terlambat?" Suara Ratna menyambut sang putra yang baru beberapa langkah memasuki ruang makan keluarga dengan 12 kursi di sana. "Gimana kondisi Richie? Kapan kamu bawa pulang?" Kali ini pertanyaan ayahnya yang terdengar khawatir. Kavi tak langsung membalas, ia memberikan salam dan kecup hangat terlebih dahulu pada kedua orang tuanya, lalu menarik kursi tepat di sisi kanan sang ayah. "Richie baik-baik saja," jawab Kavi, seraya mengangkat cangkir kopi yang telah tersaji dihadapannya. "Syukurlah, Daddy begitu mencemaskannya." "Hmm.""Bagus kalau begitu. Bawa Richie pulang saat acara 40 harian Vani," ujar Ratna yang lebih seperti perintah. "Ya, Mami benar Vi, keluarga Hasto pasti akan senang melihat cucu mereka." Radhi menimpali. Kavi mengangguk. "Hmm, aku mengerti." "Lalu, apa kamu sudah mendapatkan ibu susu untuk Richie? Usahakan untuk tidak memberikan susu formula hingga usianya 2 tahun, Vi." "Kalau bisa, biarkan ibu susu Richie tinggal bersama kita, agar segala nutrisinya dap
Kavi kembali melangkahkan kakinya ke ruang perawat, setelah Felicia tak dapat ia ajak bicara. Sepertinya, satu-satunya jalan mencari informasi tentang Felicia memang hanya dengan bertanya pada para perawat yang menyimpan datanya. "Pak Arya?" Seru perawat senior bernama Kumala tersebut dengan sopan. Ya, dikalangan kolega bisnisnya Kavi memang lebih dikenal dengan panggilan Arya. Kavi mengangguk, lalu tersenyum tipis di detik berikutnya. Sebelum akhirnya melontarkan pertanyaan dengan nada datar dan penuh wibawa, seolah ini memang pertanyaan formal yang sepantasnya ia tanyakan. "Saya ingin detail informasi tentang ibu susu, Richie!" Kumala mengangguk, tanpa banyak pertanyaannya. Ia cukup paham bagaimana menangani perintah Kavi. "Segera, Pak!" Kavi mengangguk kali ini, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan tersebut. Membuat para perawat yang ada di sana kikuk sekaligus canggung dengan kehadirannya. Ya, bagaiman mungkin mereka akan tenang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments