Setelah sampai pada jembatan kecil, dan membuat Sisi sedikit ngeri. Karena di bawahnya, adalah kali yang airnya deras namun jernih, Sisi agak sedikit takut.
“Pegangan yang erat, Si!” seru Maya sambil meraih tangan Sisi, dan mereka bebarengan bergandengan tangan hingga sampai di ujung jembatan. Sisi tidak berani melihat ke bawah.
Sesampai di ujung jembatan, Sisi bernafas lega. Membayangkan arus deras di bawah jembatan yang ia lalui bersama Maya tadi. Ditambah, jembatannya sempit dan agak bergoyang-goyang membikin dada Sisi berdegup. Karena mereka kan membawa tas yang cukup berat, juga ransel yang Sisi dan Maya bawa di pundak mereka.
“Sampai juga.” Maya membetulkan posisi ranselnya dan tas goddie bagnya yang ia tenteng lumayan berat.
“Itu, rumah Damar!” seru Maya tiba-tiba. Sontak membuat Sisi langsung menyimak. Tentu saja itu yang sejak tadi ia tunggu-tunggu, yaitu melewati rumah Damar.
“Yuk, kita mampir dulu sebentar saja ke sana," ajak Maya. Sisi mengekor saja, tanpa berkata apa-apa.
Mereka sampailah di depan rumah Damar. Nampak di situ seorang pemuda sedang mencabuti rumput-rumput liar yang tumbuh di halaman depan rumahnya, tanpa menyadari ada dua gadis cantik yang hendak mendekatinya. Namun, keburu Damar lebih dulu menyadari ada yang berjalan ke arahnya, ia pun menoleh.
“Hei kalian!” Damar langsung saja menyapa.“Maaf lagi berantakan, ni.”
“Tidak apa-apa, Mar, kami cuma mau pamit nih. Mau ke Jakarta, sudah cukup libur cutinya,” Maya nyengir simple.“Oh iya, aku sampai lupa,” kata Damar sembari bergegas meletakkan aritnya meminggirkannya ke pojokan tembok dekat teras.
“Bisa aku mengantar kalian sampai naik angkot?” tawar Damar. Maya menggeleng pasti.
“Tidak usah, Mar, kami bisa sendiri kok." Sahut Maya segera. Dengan senyumannya.
“Baiklah kalau begitu, kamu hati-hati ya, Si...” Langsung suara itu menyetrum hati Sisi yang sejak tadi memperhatikan gerak-gerik Damar mengobrol dengan Maya. Dengan senyuman penuh arti buat Sisi.
Ternyata dia tidak lupa mengucapkan kata untukku, bathin Sisi.
“Iya!” Sisi mengangguk. Sisi tersipu amat malu, ada sepintas dipikirannya untuk meminta nomor telepon Damar.
"Pesan hati-hatinya buat Sisi aja, nih?" Maya menyelutuk, sembari mengedipkan sebelah matannya ke arah Sisi.
“Aku boleh minta nomormu?” ternyata Damar lebih dulu memintanya. Sisi terlambat, dan membuat Sisi mengawang-awang. Namun senang hatinya.
"Waduh, bisa telepon-teleponan, nih," kembali Maya menggoda.
Segera Sisi mengeluarkan telepon genggamnya, dari dalam tas selempang kecilnya yang berwarna merah jambu. Untuk memberikan nomornya kepada Damar. Tanpa perdulikan Maya yang masih menggodanya, dengan senyuman khasnya.
Akhirnya, Sisi merasa lega mendapatkan nomor handphone Damar, setidaknya ia bisa menghubungi Damar kapan saja. Meskipun mereka terpisah antara Jakarta-Bandung.
“Terima kasih ya,” ucap Damar kepada Sisi, setelah ia mencatat nomor Sisi dan menyimpan di handphonenya.
“Sama-sama," Sisi membalas.
“Ya sudah yuk, mari Damar kami duluan ya, salam buat ibumu, ya.” Maya menarik lengan Sisi. Karena kalau tidak begitu ini akan lama, sepertinya Maya paham sekali. Mereka berdua saling menyimpan perasaan. Biarlah, Maya setuju-setuju saja. Biar Sisi bisa melupakan sosok Rio yang sudah membuat hatinya sakit.Rio memang harus menuruti pesan dari Almarhum papanya untuk menikahi Cecilia, dan Rio menuruti. Sisipun sama sekali tidak memaksa, merengek Rio untuk tidak menuruti pesan papanya sebelum meninggal.
Sisi tahu diri. Walau teramat sakit, Sisi berusaha kuat. Meski selalu masih terlihat murung di kantor. Makanya Maya mengajaknya ambil cuti untuk sekedar refreshing, demi melihat Sisi yang terlihat berubah menjadi pendiam. Dan selalu tidak mood jika diajak bercanda.
Dan, syukurlah setelah ini Maya merasa berhasil membuat Sisi melupakan Rio barang sekejap. Lihat saja, sekarang sepertinya Sisi terpikat dengan Damar, dan Damarpun Maya lihat sepertinya juga menyukai Sisi.
Tentu sajalah, Sisi itu sangat manis. Lelaki mana yang tidak menyukainya. Dengan rambut panjangnya yang lurus, hidung mungilnya, bibir tipisnya, juga bicaranya yang lembut. Dan yang pasti Sisi sangat pemalu. Jadi tidak mungkin dia memulai duluan menunjukkan menyukai Damar. Sebelum Damar yang lebih dulu suka Sisi. Dan Damar, nampaknya menaruh hati pada Sisi. Maya tahu sekali itu.
“Maafkan aku Si, aku sudah berjanji pada Papa, beliau ingin sekali aku kelak bisa menikah dengan Cecilia, dan meneruskan usaha Papa, karena aku ini anak lelaki penerus satu-satunya yang beliau harapkan."
Sisi kaku terdiam mendengarkan penjelasan Rio yang membuat hatinya amat sakit.
“Aku mencintaimu, Si, tapi maafkan aku. Ini semua bukan keinginanku.” Rio terus bicara, sementara Sisi tetap pada posisi diam. Rio meremas jemari Sisi, tanpa memberi kesempatan Sisi untuk mengeluarkan suaranya. Tanpa menunggu dan melihat Sisi mulai menangis, Rio langsung saja beranjak dari tempat duduknya dan berlalu dari Sisi.
Sama sekali tidak punya hati, dia langsung saja meninggalkannya sendiri menangis di Kafe itu menahan sakit hatinya. Serta, suara lirih Sisi yang memanggil namanya. Tetapi, Rio sudah jauh.
Sakit sekali rasa yang Sisi alami saat itu. Dengan sekuat tenaga Sisi berusaha kuat. Mencoba mengerti dengan perjodohan ini.
Hari menegangkan bukan hanya hari ini saja. Bagi Sisi, kemarin dan sebelum-sebelumnya tetaplah sama. Sisi perlahan seolah menghindari Damar.Cowok itu sepertinya datang sangat awal sekali. Laksana pegawai teladan. Maya belum kelihatan. Dia biasanya beberapa menit sebelum jam kerja dimulai baru sampai. Terkadang itulah kebiasaannya."Pasti nungguin Maya."Suara yang Sisi sudah tidak asing lagi, mengejutkannya."Oh, Hai Delon. Ngagetin," ujar Sisi santai. Agar sekalian tidak membuat Delon merasa aneh dengan sikapnya pagi ini."Iya, aku nunggu Maya." Sisi menjawab dengan tenang.Delon mendekati Sisi. Melihat gerak-geriknya, sepertinya dia mencari celah waktu untuk bisa ngobrol dengan Sisi. Sisi mengibaskan rambut lurus nan lembutnya."Kamu udah sarapan?" tanya Delon. Dari pertanyaannya, sepertinya dia mengajaknya ke kafetaria.Sembari memberi senyuman Sisi menjawab pertanyaan Delon yang dirasanya hanya selingan untuknya."Sudah. Aku sarapan roti," ucapnya.Delon hanya tertunduk saja. Terli
"Apakah menurutmu Rio sudah menjadi masa lalumu, Si?" tanya Maya, suatu hari. Hari ini kebetulan libur kerja. Dan mereka berdua menyempatkan waktu untuk sekedar berjalan-jalan saja. "Aku tidak bisa menjawab sekarang, May. Aku pun masih bingung." Sisi memainkan sedotan minuman soda susu. "Aku hanya merasa ingin menjauhi dia, semua sebenarnya demi kebaikan aku dan dia," ucap Sisi lirih. "Kami berpisah baik-baik, dan terencana. Juga demi almarhum Papanya Rio." "Meskipun itu buatku amat menyakitkan." Sisi menunduk lesu. Sisi diam sesaat. Tidak meneruskan ucapannya kembali. Malahan melanjutkan menyeruput soda susunya. Sisi sudah lelah jika harus merefresh ulang hal yang itu-itu terus. Apakah hidupnya akan terus dihantui oleh sosok Rio? Sedangkan dirinya bersikeras untuk melupakan lelaki itu. Hingga akhirnya bertemu Damar, yang membuatnya nyaman. Serta dapat melupakan Rio. Namun masalah baru yang lebih parah kembali muncul. Sisi semakin terpojok tak dapat berkutik. Semua flashback. Yan
Segerap rasa, Sisi tuangkan dalam sepi. Sisi tau, dia sedang dalam posisi tak beraturan. Nyatanya, ia yang harus mengalami ini semua. Keinginannya ingin menjauhi Rio. Tetapi, malahan bayangannya terus menguntit. Bahkan manusianya ada di depannya. Seperti waktu itu, yang seharusnya dia hanya bertemu dengan Damar, tetapi dia dikagetkan oleh sosok Rio kembali. Yang ada tepat di samping Damar. Sisi yang memendam rasanya untuk Damar. Begitupun dia tau persis, Damar memang menaruh hati untuknya juga. Sisi pun begitu sadar, jika dia cukup lama menahannya. Itu dikarenakan, dia mengetahui tak sengaja, kalau Rio bersaudara dengan Damar. Kaget? Sangat. Itulah kenapa Sisi sampai sekarang masih tidak bisa menunjukkannya pada Damar. "Aku bingung May, kenapa Rio seolah tidak suka aku mengenal Damar?" Sisi meringkukkan badannya di atas ranjang di kamar Maya. Maya menarik napasnya panjang. Dan menghembuskanya. "Kenapa bisa ya, Damar bersaudara dengan Rio?" Maya mikir keras. Menggaruk-garuk kepalany
"Maaf, sudah nunggu lama."Sisi buru-buru menoleh ke belakang. Meski terkejut, dia tau itu suara Damar.Namun seketika, justru kaget itu dobel. Dia hampir terperanjat. Malahan, sudah terjadi. Sisi hampir ingin menghentikan sendiri detak jantungnya. Karena apa yang dia lihat sangat membuatnya shock."Kau, kau. Ah! Aku belum lama di sini. Aku...," Sisi menghentikan suaranya. Lalu menarik napas cepat, dan menghembuskannya segera. Sebenarnya gugup itu sudah nampak di diri Sisi."Biasa, Si. Macet di jalan. Oh ya, mana Maya?"Damar tak sadar sudah menyelamatkan Sisi, dengan ungkapannya. Hingga gugupnya tak nampak. Sisi menggangguk."Aku tidak mengajaknya. Dia pulang sendiri sepertinya." Sisi menjawab, berjuang untuk bersikap lebih tenang.Mereka berdua, duduk tepat di depan Sisi. Dengan begitu santai. Lalu, Damar memanggil pelayan. Pelayan langsung menghampirinya."Capucinno Panas sama, ehm, kau pesan apa, Rio?""Sepe
Suasana kantor seperti biasa saja. Tidak ada sedikitpun yang berbeda. Itu bagi Sisi. Ia mengetuk-ngetuk bolpointnya. Pikirannya melayang ke mana-mana. Hingga sampai pada kata-kata Maya yang mengatakan, agar ia menawarkan lowongan pekerjaan di kantor kepada Damar."Si, bagaimana kalau kamu tawarkan saja kepada Damar?" Kata- kata yang selalu diingat Sisi dan menempel terus. Karena ia tidak tahu harus bagaimana. Setahunya, latar pendidikan Damar tidak sesuai dengan pesyaratan yang diminta.Apakah aku terlalu jahat dan mempunyai pandangan seperti itu? Sisi bertanya pada dirinya sendiri.Maya saja bisa seyakin itu? Sisi masih penuh dengan renungan. Perang berkecamuk di kepalanya."Heh!"Tetiba suara yang sangat dikenalnya, sudah membuatnya terkejut. Dari lamunan sesaat itu."Ngapain sih? Mata ke sana terus? Bengong ya, kamu?" Maya memiring-miringkan kepalanya memandangi dekat wajah Sisi."Bikin kaget aja sih, May?""Duh, maaf lo
Sisi masih memandangi rangkaian bunga, pemberian seseorang misterius. Sambil mengamatinya. Lalu tersenyum. Bunga itu tidak ada nama pengirimnya. Mawar berwarna putih bercampur merah jambu, lalu dihiasi daun-daun hijau yang masih segar. Belum layu. Bunganya diletakkan di vas bening, berisikan air. Sisi lalu terlihat tersenyum sangat lebar."Aku tahu, dari siapa bunga ini," gumamnya menerka sendiri."Damar," ucapnya lirih. Menebak dengan yakin. Tidak ketinggalan senyumnya terbit.Ternyata seorang Damar yang pemalu itu, bisa juga romantis. Batin Sisi. Lalu, ia berusaha meraih ponselnya, untuk menelepon Damar. Namun, tetiba ia mengurungkan niatnya."Kalau aku telepon dia, nanti gak seru lagi. Bukan surprise namanya." Sisi.mengurungkan niatnya."Lagipula, ia tidak memberikan nama pengirim. Ia tidak mau aku tahu. Walau, aku sudah tahu." Sisi senyum-senyum sambil memeluk ponsel ke dadanya.Sisi menaruh kembali ponselnya di atas meja. Dan berbaring. Karena sebe