Home / All / Mengandung Bayi Bos / Part 1 - Diusir Abah

Share

Mengandung Bayi Bos
Mengandung Bayi Bos
Author: Zidney Aghnia

Part 1 - Diusir Abah

Author: Zidney Aghnia
last update Last Updated: 2021-09-04 01:57:48

 

Plak!

 

Sebuah tamparan keras dari tangan seorang ayah mendarat di pipiku. Membuat pipi ini panas rasanya. Rambutku berantakan dan penglihatanku gelap rasanya. Aku menundukkan kepala karena bulir bening mulai menetes sampai suara isakanku mungkin terdengar oleh Abah. Aku takut akan kemarahan Abah, belum lagi emosi Bang Umar yang kadang bisa melebihi Abah saat kemarahannya memuncak.

 

Testpack siapa ini?!”

 

Aku bergeming saat ditanya Abah.

 

“Jawab, Rimar! Dengan siapa kamu melakukannya?!” Abah mengguncangkan bahuku, tetapi aku hanya menggeleng karena aku benar-benar tidak tahu siapa dia.

 

“Mana ada orang hamil tidak tahu bapaknya! Memangnya, kamu tidur dengan banyak lelaki?” pekik Ayah.

 

“Ri-rimar, ti-tidak tahu, Bah. Rimar … benar-benar tidak tahu. Rima juga bukan anak seperti itu, Bah. Tolong percaya sama Rimar ....“ Jawabanku tergagap.

 

Aku benar-benar tidak mengenal orang yang sudah merenggut keperawananku, yang kutahu hanya satu. Dia tampan tapi menjijikkan.

 

“Minggat kamu dari rumah! Jangan pulang sampai kamu ketemu siapa bapak dari anak dalam kandungan kamu! Abah tidak sudi keluarga kita jadi aib!”

 

“Ampun, Bah. Jangan usir Rimar. Rimar mau tinggal di mana?” Aku berlutut memegangi kaki Abah yang tertutup sarung. Memohon agar Abah masih berbaik hati.

 

Abah melepas kakinya dari genggamanku, lalu melangkah ke kamar mandi. Aku pun tersungkur tak berdaya di lantai. Detik berikutnya, aku melihat kaki Abah lagi di hadapanku. Apakah Abah mengubah niatnya untuk tidak jadi mengusirku?

 

Lantas, seember air ditumpahkan tepat di atas kepalaku. Sudah tak bisa dibedakan lagi, mana air mata dan mana air yang ditumpahkan. Setelah air habis, dilemparkannya ember itu ke kamar mandi, lalu Abah berjalan menarik paksa lenganku ke luar rumah dan menyungkurkanku ke lantai. Pintu dibantingnya sampai terdengar suara keras dan setelah itu terdengar suara pintu dikunci.

 

Aku menangis sesenggukan di teras rumah. Beberapa orang yang lewat memandangku terheran-heran dalam kedinginan dengan rambut dan baju yang basah kuyup. 

 

***

 

Aku Rimar, nama panjangku Marimar. Entah kenapa Almarhum Umi dulu memberiku nama itu, katanya supaya aku secantik artis favoritnya, tetapi kenyataannya nihil. Tak ada sedikit pun serbuk kecantikannya menurun padaku. Tentu saja, itu karena aku anak Umi dan Abah, bukan anak Gustavo, hah!

 

Aku bungsu dari tiga bersaudara. Umi sudah meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. Lalu, hidupku tiba-tiba berubah karena seorang lelaki yang tidak kukenal sama sekali.

 

Awal kejadian, saat itu aku sedang mendapat giliran shift dua sebagai housekeeper. Waktu aku sedang merapikan kamar untuk tamu yang akan menginap, tiba-tiba pintu kamar terkunci. Kukira itu teman yang tadi sedang membantu, karena memang dia izin keluar untuk merapikan kamar lain.

 

Aku hampir selesai memasang sprei, tapi tiba-tiba aku terkesiap saat ada yang memelukku dari belakang. Tidak mungkin itu Nita yang memelukku karena tubuhnya tinggi, besar, dan berisi.

 

“Ayo, Sayang. Kita buat anak yang banyak.”

 

Degh!

 

Anak? pikirku. 

 

“Tu-tunggu!” Aku melepas tangan yang tadi memelukku dan menjauh darinya.

 

“Mau ke mana?! Sini kamu!” 

 

Hanya dengan satu langkah besar, dia menarik tanganku dan membanting tubuhku ke tempat tidur. 

 

“Tidak! Tolooong!” Air mata mengalir begitu saja saat dia menarik paksa kemeja kerjaku. Aku gemetaran. Aku berusaha teriak, tetapi tak ada yang mendengar.

 

Aku lupa kalau itu adalah kamar VIP. Kamar yang sangat luas. Jarak dari ranjang sampai ke pintu saja cukup jauh. Jadi, kemungkinannya kecil kalau ada yang mendengar teriakanku.

 

Dia membekap mulutku, langsung saja kugigit tangannya.

 

Plak!

 

Sebuah tamparan malah menyakiti pipiku. “Tu-tuan, tolong jangan lakukan ini!”

 

“Diam kau, Sari! Ini yang kamu mau. Aku akan membuktikan kalau aku tidak mandul!” Dia menahan kedua tanganku dengan erat.

 

Bagaimana ini? Aku tidak bisa bergerak. Seluruh tubuhku dikuasainya! Aku berkeringat, ketakutan memenuhi seluruh pikiranku. Sesaat aku teringat berita-berita yang beredar tentang gadis yang diperkosa lalu dibunuh.

 

“Tidaaak. Toloong jangan sakiti aku, Tu-tuaaan.” Aku menangis dalam bekapannya, tapi dia tak menggubrisnya. Aku berusaha menggeleng-gelengkan kepala agar mulutku terlepas. Sayang, tenaganya terlalu kuat bagi gadis bertubuh mungil sepertiku.

 

Air mata mengalir dengan deras. Malam itu menjadi malam yang hina bagiku. Jelas. Karena keperawananku hilang begitu saja oleh lelaki yang matanya merah dan tajam. Mulutnya berbau alkohol. 

 

Dalam beberapa jam, aku menangis di ranjang yang sudah kupersiapkan untuk tamu yang sudah merusak sebagian hidupku itu. Aku menunggu sampai dia tertidur agar aku bisa cepat-cepat lari dari kamar itu.

 

***

 

Beberapa minggu berlalu, aku selalu terbayang kejadian hina itu. Aku mengalami trauma saat bertemu pria yang tak kukenal. Aku mengalami tekanan saat berada sendirian di dalam kamar. Aku takut; takut kejadian itu berulang. Aku takut menceritakannya pada keluargaku; termasuk Abah. Abah tidak segan-segan menghukum orang jika ada yang melukai keluarganya. Di desaku, semua mengenal watak Abah. Karena itu, tidak ada yang berani mengganggunya.

 

Suatu pagi, aku merasakan mual-mual yang tidak biasa. Sehari, dua hari, sampai seminggu berlalu. Aku masih sering muntah-muntah dan yang menambah keyakinan pada ketakutan itu adalah, aku telat datang bulan sampai dua minggu lamanya.

 

Diam-diam aku pergi ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Aku berharap semoga saja tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Nahas—pelan-pelan dua garis merah memanjang. Pelupuk mataku memanas dan aku menahan isak tangis di kamar mandi. Aku mengatupkan mulut rapat-rapat agar tak terdengar ke luar. Karena pagi itu, Abah dan kakakku sedang makan di ruang makan tepat di seberang pintu kamar mandi.

 

Aku ingin menyembunyikan kejadian memalukan itu dari keluarga. Namun, terlambat. Abah tidak sengaja menemukan hasil testpack di kamar mandi yang lupa kubuang. Betapa bodohnya aku!

 

Bagaimana dengan calon anak dalam perutku? Kalau dia lelaki, aku sedikit lega. Bagaimana kalau dia perempuan? Aku khawatir akan masa depannya. Aku takut membuatnya malu karena terlahir sebagai anak tanpa nasab.

 

Aku harus segera mencari lelaki itu dan membuatnya bertanggung jawab. Aku harus pergi ke hotel untuk menyelidiki data pribadinya. Siapa pun dia, aku tak peduli!

 

Awas saja sampai aku menemukannya! 

 

Lihat saja ... kalau dia berani mengelak atau pun menghindar. Aku akan mengacak-acak sarang burungnya yang kotor! 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Verren Ren
kalau berniat meminta pertanggung jawaban kenapa harus kabur ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 49. Selesai

    “Saya menceraikanmu, Rimar.”“Sergio!” pekik Mama.Mas Gio menghela napas dalam-dalam, lalu diembuskannya dengan keras. Aku yang masih menunduk, melihat sepasang sepatu yang dipakainya melangkah menuju pintu. Mataku yang berurai air mata terus melirik mengikuti suara entakannya sampai aku tak melihat sosoknya lagi hanya dalam hitungan detik. Pintu pun kembali tertutup rapat. Dia pergi.“Huh, baguuus. Dari dulu, kek!” sindir Lisa sekonyong-konyong, tetapi aku tak menggubrisnya sama sekali.“Rimaar?”Panggilan Mama membuyarkan lamunanku.Aku segera berdiri sambil berusaha menyeka air mata dengan tanganku, kemudian menghampiri Mama yang sudah menantiku.“Iya, Ma,” jawabku sambil terisak. Suaraku pun berubah jadi serak.Aku duduk di kursi bulat di samping Mama. Beliau menarik tanganku lalu diusap-usapnya dengan lembut.“Rimar, kamu yakin sama keputus

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 48. Gugatan Cerai Kedua

    “Sari, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku akan melayangkan gugatan cerai ke pengadilan secepatnya.”Mbak Sari hanya memandang Mas Gio dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. Mungkin, situasi seperti itu yang sudah lama diharapkan olehnya. Sementara itu, windu hanya berdiri tanpa pergerakan di tempatnya tersungkur tadi.“Te-terima kasih, Mas.” Mbak Sari menghapus kristal bening yang hampir menetes di sudut matanya.“Mulai sekarang aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan semua yang berkaitan tentang kamu.”“Mas?” Aku memanggilnya dengan lirih.“Ya?”“Tolong ceraikan aku juga!”Mas Gio mengerutkan dahi. “Rimar, saya menceraikan Sari bukan kamu,” katanya dengan tatapan mata menyalang.“Aku tahu. Makanya, sekarang juga aku minta Mas ceraikan aku.”“Tapi, kenapa?”“Aku gak bisa lagi hidup

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 47. Gugatan Cerai

    “Mas?”“Pak Sergio?”Dokter Arin menatap Mas Gio, kemudian menatap bergantian lelaki yang datang bersama Mbak Sari.“Ada apa ini?!” Mas Gio menghampiri Mbak Sari dan menarik tangannya: memaksa untuk bangun dari perbaringan. Dengan berat hati, Mbak Sari mengikuti paksaan Mas Gio.“Maaf, kalau ini Pak Sergio, lalu Anda siapa?!” tanya Dokter Arin menyelisik pria tak dikenal yang ia sangka Mas Gio.Kedua mata Mas Gio dan Dokter Arin menyiratkan kilatan amarah. Lantas, Dokter Arin meletakkan dengan kasar alat yang tadi dipegangnya ke nampan tempat peralatan medisnya.“Sari, jelaskan apa yang kamu lakukan!” Mbak Sari tetap bergeming meskipun Mas Gio mengguncang-guncang tubuhnya.Karena Mbak Sari tetap diam, akhirnya lelaki yang tengah berpakaian kasual tersebut bertanya pada Dokter Arin. Dokter pun menjelaskan kalau Mbak Sari sedang melakukan operasi kecil untuk melepas KB Implan.

  • Mengandung Bayi Bos   Part 46. Memergoki Mbak Sari

    Tiba-tiba, aku merasakan getaran dari ponsel yang kutaruh di saku celana. Siapa yang meneleponku di waktu Subuh? Segera kutarik ponsel dari saku, ternyata Mas Gio yang menelepon.“Halo, assalamau’alaikum, Mas.”“Halo, dengan Nyonya Sergio?”Nyonya? Siapa ini? Lalu, ke mana Mas Gio? Siapa yang mengambil ponselnya?“Iya, benar. Ini siapa?”“Saya dari M2 Club Malam mau mengabari kalau Tuan Sergio pingsan.”“Pingsan? Terus ada siapa di sana, Mas? Teman atau seseorang yang menemaninya?”“Tidak ada, Nyonya. Tadi Tuan hanya datang sendiri dan minum banyak sampai akhirnya pingsan.”“Baik, tolong jaga dia, ya, Mas. Saya segera ke sana. Terima kasih.”Setelah menutup sambungan telepon, aku segera melipat mukena dan bergegas pergi ke Club M2. Aku tidak tahu di mana lokasinya dan harus ke arah mana kalau pergi dengan angkutan umum. Sebaiknya, a

  • Mengandung Bayi Bos   Part 45. Diskotik

    Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He

  • Mengandung Bayi Bos   Part 44. Korban Perasaan

    Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status