"Dia siapa, Sayang?"
"Duduklah. Aku akan memperkenalkannya."Wanita dengan dress panjang rumahan dan modis itu kembali duduk setelah mengecup pipi Mas Gio. Aah, silakan saja. Aku tak akan cemburu sedikit pun."Perhatian, tolong dengarkan semuanya." Suara Mas Gio tampak berat dan jantan."Dia siapa, Kak? Pembantu baru, ya?" celetuk seorang gadis yang paling muda di antara yang lainnya.Enak saja aku dibilang pembantu. Walaupun penampakanku memang terlihat jauh dari apa yang ditampakkan mereka. Setidaknya, jangan melihat orang dari penampilan. Lagi pula, aku tidak jelek-jelek amat, hanya kekurangan polesan cushion bermerk.Hmm, sepertinya, aku harus menyiapkan kelapangan hati saat tinggal di sini."Semuanya, perkenalkan. Ini Marimar, istri keduaku.""Apa? Dia siapa, Gio?" tanya wanita paruh baya dengan pakaian muslimah dan cantik."Ini ... istri kedua Gio, Ma," ucapnya memperjelas statusku. "Emm ... kenalkan, itu mamaku, itu Sari—istriku, Lisa—adikku, Kak Haris—Kakakku, dan di sampingnya, Kak Ayu—istri dari Kak Haris."Mas Gio menunjuk satu persatu setiap orang yang ada di ruangan itu. Namun, mereka tidak menatapku dan hanya sibuk dengan urusannya masing-masing. Rasanya, aku seperti pecundang."Apa maksudmu, Mas?" Istri pertama Mas Gio menghampiri kemudian menghardik keras. "Jawab, Mas! Kenapa aku nggak tahu sama sekali? Ada apa ini sebenarnya?" Dia mengguncang lengan Mas Gio untuk meminta kejelasan.Melihat Mas Gio tak menjawab, dia jalan mendekatiku."Hei, kamu pelakor! Pergi kamu dari sini! Aku tak sudi dimadu denganmu!" Wanita bernama Sari itu memandangku tak suka dari ujung kepala sampai ujung kaki."Maaf, saya bukan pelakor seperti yang kamu kira," ujarku dengan sopan."Kalau bukan, kenapa kamu bisa jadi istri kedua suami saya! Kamu pasti menggoda dia, 'kan? Atau kamu guna-guna suami saya biar mau sama kamu! Ngaku kamu!" Dia berbicara dengan nada emosi sambil menarik kerudung yang menutupi kepalaku."Aaargh ... bukan, Mbak. Sumpah! Saya nggak menggoda dia sama sekali.""Kamu banyak alasan! Mana ada maling ngaku!" Mbak Sari mengangkat tangannya dan bersiap untuk memukulku. Aku cepat-cepat membuang muka dan menunduk untuk menghindarinya. Namun, setelah beberapa detik, aku tak merasakan apa pun yang menyentuh diriku. Dengan perlahan, aku kembali menoleh. Ternyata, Mas Gio menahan lengan Mbak Sari."Sudah, Sari. Dengarkan penjelasanku dulu. Ini semua salahku. Bukan salahnya."Akhirnya, dia bisa membelaku dan mau mengakui kesalahannya."Sari, kemari sebentar," pinta mama Mas Gio untuk duduk di sampingnya."Gio, coba kamu jelaskan semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi?" lanjut mamanya."Ehm. Begini ... Ma. Waktu ada acara kantor bulan lalu. Setelah acara, semuanya minum-minum dan hampir semuanya menginap di hotel. Malam itu, Gio mabuk berat, dan ....""Dan apa?!" Mbak Sari menyela."Tenang dulu, Sari," bujuk mama mertuaku pada Mbak Sari."Gio melakukan kesalahan di kamar hotel ... dan sekarang Rimar hamil karena Gio.""Tunggu dulu, siapa dia dan kenapa dia bisa ada di sana sama kamu, Mas?""Dia, pegawai hotel yang sedang merapikan kamarku, Sari. Entah bagaimana aku bisa melakukan itu dengannya. Aku tidak ingat semua, kecuali wajahnya ini." Mas Gio melirikku."Jadi, waktu kamu nggak pulang. Kamu malah enak-enakan sama wanita tukang bersih-bersih ini? Keterlaluan kamu, Mas! Kamu sering marah-marah karena tiga tahun ini aku belum juga memberikan anak. Tapi, kamu malah menghasilkan anak dari wanita murahan ini!"Dadaku bergemuruh hebat, lantas beristigfar. Rasanya aku ingin mencabik-cabik mulutnya yang tanpa saringan itu. Akan tetapi, di sini sedang banyak orang dan aku pasti akan kalah kelak."Tidak begitu, Sari. Ini kecelakaan dan murni karena kesalahanku. Aku benar-benar melakukannya secara tidak sadar. Lagi pula, mana aku tergoda dengan wanita seperti dia." "Terus kenapa kamu harus bawa dia ke sini, Mas?!""Sari, bagaimana pun aku harus bertanggung jawab atas perbuatanku. Tidak lama, kok.""Tidak lama? Maksudnya?""Dia hanya akan tinggal di sini sampai dia melahirkan. Setelah itu, aku akan menceraikannya dan membiarkan dia membawa anaknya.""Tetap saja, Mas—""Sari, tolong, ya? Aku lelah. Aku sedang tidak mau berdebat lagi! Dan tolong hargai keputusanku!"Mbak Sari menatapku sinis. Kemudian, dia menghentakkan kaki dan pergi meninggalkan kami sambil mendengkus kesal. "Sariii ...? Sari ...?" panggil Mas Gio."Sudah, Gio. Biarkan dia sendiri dulu. Kalau dia sudah tenang, kamu bisa membicarakannya lagi nanti," ucap mamanya. "Lisa, masuk ke kamarmu! Dan Haris, pulanglah! Biarkan Gio mengurus rumah tangganya sendiri. Emm ... Gio. Nanti Mama mau bicara sama kamu."Mas Gio hanya menjawab dengan anggukan sambil melonggarkan dasinya.Setelah semua beranjak pergi, ruangan yang tadinya ramai menjadi sepi. Mas Gio masih berdiri mematung sedang memikirkan sesuatu.Kakiku pegal sekali menunggu Mas Gio. Aku tidak tahu harus apa dan pergi ke mana? Atau ... di mana kamarku?Setelah beberapa menit, akhirnya Mas Gio mengeluarkan suara."Oh,ya, kamarmu di sana." Mas Gio menunjuk salah satu kamar dan rupanya, kamarku persis di depan kamar yang dimasuki Mbak Sari tadi.Tanpa menunggu lagi, aku langsung berjalan ke kamar itu sembari menarik satu koper dan satu travel bag yang kubawa dari rumah.Dia tidak membantuku sama sekali. Padahal jelas, aku susah payah membawa barang-barang ini sejak keluar dari mobil tadi. Sampai-sampai aku kerepotan sendiri membawanya.Sabar, Rimar. Pelan-pelan. Yaa ... pelan-pelan aku akan membuatnya mengemis cinta sampai dia memohon dan bertekuk lutut di hadapanku. Aku akan mengambil sedikit dari apa yang dia miliki sebagai jaminan masa depan anakku nanti. Baru setelah itu, aku akan melepaskannya.Tunggu saja waktunya, Sergio Ibrahim!"Marimar,""Iya, Tuan."Pria berkumis tipis itu menarik kedua tanganku, mengusapnya dengan halus. Perlahan ia mengangkatnya, mendekatkannya, lalu mengecup tanganku seraya tersenyum simpul. Aku tersipu.Di sebuah meja makan bundar dalam sebuah restoran mewah dengan dekorasi berwarna emas, kami duduk menanti pesanan. Tak ada siapa pun di sana selain para pegawai restoran karena tempat itu khusus di-bookingolehnya.Ia menarik kursi yang aku duduki sampai berada persis di sampingnya. Lengannya melingkari pinggang mungilku. Hmm, jantung rasanya bertalu-talu dengan keras.Aku duduk malu-malu dalam sandaran dadanya yang berbentuk seperti bar cokelat. Ia mengangkat daguku lima sentimeter ke atas. Aku segera menunduk malu karena pandangan kami saling berpautan."Silakan dinikmati hidangannya, Tuan dan Nyonya Sergio." Para pelayan bergegas pergi setelah menyapa kami dan meletakkan banyak sekali menu di atas
"Kamu tidak usah sok suci di rumah ini! Karena kamu tidak lebih dari benalu!"Ucapannya itu membuat hatiku memanas. Aku menatapnya dan semakin membuat rasa mualku memuncak sampai akhirnya tak bisa kutahan lagi."Aaaaaaaaaakkkkkkkhhh ...." Mbak Sari berteriak kaget.Ia melonjak kaget dan membulatkan matanya penuh. Kulihat, wajahnya pelan-pelan menoleh ke arahku. Penuh emosi yang tersulut. Memang hanya dia yang emosi? Salah siapa memancing macan hamil?"Ma-maaf—""Kamu ...?!"Plak!Pipiku mendapat cap tangannya dengan keras. Lebih keras daripada tamparannya Abah beberapa waktu lalu, tetapi hatiku lebih sakit mendengar kata-katanya sepagian itu."Maaf, Mbak. Saya ... saya tidak sengaja.""Dasar wanita kotor! Kamu benar-benar menjijikan, tau!" pekiknya."Maaf, Mbak. Itu ... itu keluar begitu saja." Aku menyeka aliran air yang hendak keluar dari ekor mata. Aku berinisiatif
Ojekonlineyang kusewa berhenti di depan rumah megah berlantai dua. Aku segera turun dan lekas membayar tunai jasanya, kemudian berjalan pelan sambil memandangi rumah di depanku.Seakan masih tak percaya jika aku menjadi bagian dari keluarga pemilik rumah ini. Apalagi bermimpi menjadi seorang madu, tak pernah terlintas sedikit pun.Di teras rumah, aku melihat Bi Yuna sedang menyapu. Ia langsung menghampiri begitu menyadari kepulanganku."Nyonya, tadi Nyonya besar menitip pesan agar Nyonya Rimar menemuinya di kamar kalau sudah pulang.""Baik, Bi. Terima kasih, ya. Saya permisi masuk dulu."Mama pasti mau membicarakan hal yang tadi pagi disampaikannya. Aku masuk ke kamar untuk bersih-bersih sebelum menemui mamanya Mas Gio. Setelah selesai, aku segera melangkah menuju kamar yang terletak di lantai atas.Lantai dua hanya dihuni oleh mamanya Mas Gio dan Lisa—adiknya. Sebelum menaiki tangga, Mbak S
Jangan lupa subscribe & rate bintang 5 ya 😇____________________________________________Aku bisa pulang setelah menginap selama semalam di rumah sakit. Dokter bilang, aku tidak diperbolehkan bekerja selama seminggu. Baiklah, aku bisa sedikit bersantai.Mas Gio keluar dari mobil begitu saja tanpa menungguku. Jadi, aku harus jalan sendiri ke dalam, begitu? Padahal, aku membayangkan kalau Mas Gio membopongku seperti kemarin atau minimal memegang tanganku sampai kamar."Istirahatlah," ketusnya."Tuan, mau ke mana?""Saya harus bekerja. Emh... hati-hati dengan kehamilanmu," sahutnya sambil menggaruk dahi yang tidak gatal, kemudian dia berlalu meninggalkanku sendirian di kamar yang luas. Kamar dengan dekorasi yang elegan.Tidak adakah sedikit perasaan ingin menemaniku di kamar? Aku ini sedang mengandung anaknya. Aku butuh perhatian khusus dari seseorang.Aku terkejut ketika ponselku berdering ker
"Apa yang Mbak pasang di situ?" Aku menunjuk perutnya, "sampai Mbak tidak bisa hamil?"Mbak Sari membulatkan mata dengan sempurna. Dia tercengang karena ucapanku yang pasti tak akan disangkanya."Kamu? Jangan bicara sembarangan, ya!""Tentang apa? IUD?" Aku menantangnya. Terlintas di pikiranku kalau hanya IUD yang bisa mencegah kehamilan tanpa diketahui siapa pun."IUD atau apalah itu. Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan." Dia menjawabnya dengan penuh percaya diri."Emm ... baiklah."Terus saja seperti itu, Mbak. Aku akan mencari tahu apa yang kamu sembunyikan dan hiduplah dengan baik untuk saat ini."Ada lagi yang mau dibicarakan? Kalau tidak, silakan keluar dari kamar ini. Dan ... terima kasih sudah membuat saya bisa beristirahat."Aku l
Sampai beberapa hari kemudian, aku masih penasaran. Siapa pria yang ditemui Mbak Sari? Apa Mas Gio mengetahuinya?Aku ingin menanyakan pada Mas Gio, apakah dia merokok atau tidak? Tidak, jangan sekarang. Huh, banyak sekali teka-teki yang dimainkan Mbak Sari.Mulai dari wanita yang akan disingkirkan, rencana rahasianya, apa yang ada di dalam perutnya, dan terakhir pria yang ditemuinya.Ya, ampun. Apa aku harus berperan sebagai detektif abal-abal. Conan ... bantulah aku menyelesaikan deduksi ini."Kenapa melamun?"Aku terkesiap saat mendengar pertanyaan itu."Ah ... emm ... Pak Adit, selamat pagi." Aku menunduk malu."Pagi-pagi sudah melamun. Lihat lantai itu sampai tipis dari tadi di pel enggak pindah-pindah.""Ooh ...." Aku terkekeh. "Ma-maaf, Pak.""Sudah sarapan?""Sudah, Pak. Saya sudah sarapan.""Baiklah. Saya tinggal, ya? Jangan melamun lagi, nanti kerasukan
Alangkah kagetnya ketika aku ke luar kamar. Kebetulan, aku melihat Mbak Sari masuk dan maskernya terlepas. Wajah itu, tepatnya di sekitaran pipi membiru dan ada bekas luka di sudut bibir. Aku melirik ke kakinya, sama-sama membiru. Cepat-cepat dia memakai maskernya lagi saat menyadari kehadiranku.Ada apa dengannya?Dia tergesa-gesa untuk masuk ke kamar. Aku berhasil menahan lengannya."Mbak?""Lepas!" hardiknya."Mbak, ada yang bisa saya bantu?" Aku bertanya baik-baik, siapa tahu dia butuh tempat berbagi."Lepas kubilang!" Dia menyingkirkan tanganku. "Jangan ikut campur urusan saya!"Dia masuk kamar tapi berhenti sebentar sebelum menutup pintu. "Anggap tadi kau tidak melihat apa pun!" Dia memperingatkan.Aku masih berdiri di antara kamar kami. Mem
Mbak Sari membelalak karena melihat Mas Gio menangkap tubuhku dari belakang. Sama halnya dengan Mas Gio yang terkejut melihat wajah istri pertamanya yang lebam. "Sari!" tegur Mas Gio yang keheranan. Apa Mas Gio mendengar ucapanku tadi? Semoga saja tidak, karena aku belum menyelidiki apa pun tentang Mbak Sari. "Kenapa wajahmu?" Mas Gio melepas genggamannya dari tubuhku begitu saja dan hampir membuatku terjatuh kedua kalinya. Ia mengambil langkah untuk menghampiri istri tuanya. Aku menepuk jidat. Nasib istri yang tak diakui, dilirik pun tidak. Aku ditangkapnya mungkin karena tadi kebetulan terjatuh di hadapannya. Pada akhirnya, p