Share

Part 6 - Kecipratan

"Marimar,"

"Iya, Tuan."

Pria berkumis tipis itu menarik kedua tanganku, mengusapnya dengan halus. Perlahan ia mengangkatnya, mendekatkannya, lalu mengecup tanganku seraya tersenyum simpul. Aku tersipu.

Di sebuah meja makan bundar dalam sebuah restoran mewah dengan dekorasi berwarna emas, kami duduk menanti pesanan. Tak ada siapa pun di sana selain para pegawai restoran karena tempat itu khusus di-booking olehnya.

Ia menarik kursi yang aku duduki sampai berada persis di sampingnya. Lengannya melingkari pinggang mungilku. Hmm, jantung rasanya bertalu-talu dengan keras.

Aku duduk malu-malu dalam sandaran dadanya yang berbentuk seperti bar cokelat. Ia mengangkat daguku lima sentimeter ke atas. Aku segera menunduk malu karena pandangan kami saling berpautan.

"Silakan dinikmati hidangannya, Tuan dan Nyonya Sergio." Para pelayan bergegas pergi setelah menyapa kami dan meletakkan banyak sekali menu di atas meja.

Lelaki dengan rambut disisir rapi ke belakang di sampingku mengambil gelas kaca yang berisi minuman berwarna merah. Ia memutarnya sebentar, lalu hendak meminumkannya padaku. Mulutku sedikit terbuka ....

Byuurrr!

"Bangun! Jangan jadi wanita malas kalau di sini!"

Seketika, aku terbangun karena megap-megap setelah mendapati guyuran air membasahi sebagian tubuhku ke atas. Aku melirik gembor (tempat menyiram tanaman) di tangannya. Ya, ampun, memangnya aku bunga mawar. Ternyata, tadi cuma mimpi. Syukurlah, sebab rasanya tidak mungkin dia melakukan hal seperti di mimpi tadi.

"Jam berapa sekarang, Mbak?"

Mbak Sari yang melipat tangan di depan dada tak menjawab. Dia hanya memutar bola matanya, lalu berjalan ke arah jendela. Mbak Sari membuka gorden dengan kasar. Sinar matahari langsung menghalangi pandanganku.

Astaghfirullahal'adzhiim! Aku kesiangan. Aku belum terbiasa dengan kamar di rumah itu. Kamar dengan ranjang yang besar dan empuk.

Mataku berkeliling mencari letak jam dinding. Ternyata, posisinya tepat di atas sandaran ranjangku.

"Ya, Allah, sudah jam setengah tujuh."

"Nikmat, ya tidur di rumah baru? Wajar, sih. Kamu pasti belum pernah tidur di atas ranjang mahal."

"Iya, Mbak," jawabku asal.

Aku cepat-cepat beranjak dari tempat tidur dan merapikannya. Setelah itu mengambil handuk dan beberapa peralatan mandi dari koper.

"Mau ke mana kamu?"

"Sa-saya mau siap-siap kerja, Mbak. Takut terlambat."

"Oh, ya. Sebelum bersih-bersih hotel di sana, tolong kamu bersih-bersih rumah ini dulu!"

"Ta-tapi, Mbak? Bukannya sudah ada yang bersih-bersih di sini?"

"Memang ada. Tapi mulai saat ini, dia saya tugaskan hanya membersihkan kamar saya, Mama, dan kamar Lisa."

Waktu sudah lewat dari jam setengah tujuh. Sepertinya, aku bisa selesai sebelum jam setengah delapan sampai aku berangkat kerja.

"Ba-baik, Mbak, tapi ... tolong izinkan saya mandi dulu."

Mbak Sari menunjuk dengan wajahnya, mengisyaratkan bahwa dia mengizinkanku mandi dulu.

"Terima kasih, saya permisi."

Aku berjalan ke luar kamar mencari posisi kamar mandi. Tak jauh, aku melihat keberadaan ibu mertuaku. Ia berjalan semakin mendekat.

"Cari apa, Nak?"

"Saya, cari kamar mandi ...."

"Kamu lurus ke sana. Di samping ruang makan, sebelah kirinya itu kamar mandi." Ia memberi tahuku.

"Te-terima kasih." Aku membungkukkan badan sebelum berjalan melewatinya. Ngomong-ngomong, ibu mertuaku sepertinya orang baik. Dari cara bicaranya sangat keibuan. Ekspresi wajahnya selalu memancarkan senyuman yang tulus.

Aah, itu dia kamar mandinya, tapi pintunya tertutup. Sepertinya, ada orang di dalam. 

Tak sampai lima menit menunggu, pintu terbuka. Pria tinggi berbadan atletis berdiri di balik pintu. Ia memakai handuk putih sambil mengacak-acak rambutnya. Aku langsung menutup mata dengan tangan dan menyadarkan diri saat tadi mataku terus memandanginya.

Ah, aku belum terbiasa walaupun aku sudah pernah melihat isinya. Aku mengintip dari bawah tangan, ia sudah keluar dari kamar mandi dan melewatiku.

Baru saja aku hendak melangkah, tapi Lisa tiba-tiba menabrakku dan menyerobot masuk.

"Aku dulu!" Dia menyunggingkan bibir sebelum menutup pintu dengan keras. Dasar anak bau kencur!

"Bi, maaf. Apa ada kamar mandi lain selain ini?" Aku bertanya pada ART yang lewat.

"Ada satu di kamar Nyonya Hasna ." Hah, aku tidak mungkin memakai kamar mandi di sana. "Dan satu lagi, di dekat kamar saya," sambungnya.

Mataku berbinar. "Kalau begitu, saya mandi di sana saja."

Setelah mandi, aku mengerjakan salat yang tadi sempat kesiangan dilanjut salat Duha. Lalu, aku mengambil sapu dan mulai bersih-bersih rumah.

Di tengah kegiatanku itu, aku merasakan mual-mual yang hebat. Aku langsung berlari ke wastafel dan mengeluarkan cairan. Pagi itu, aku belum sarapan. Jadi, tidak ada makanan yang keluar.

Aku merasakan lemah di perut. Kepalaku pusing dan sedikit sempoyongan. Tiba-tiba ada tangan yang memijat tengkukku dengan lembut.

"Kamu baik-baik saja? Pasti capek, ya?"

Aku menoleh sekilas dengan menyipitkan mata.

"Rimar baik-baik saja, Nyonya."

"Jangan panggil Nyonya. Panggil Mama, ya?"

Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Ma."

"Ayo sarapan dulu, semuanya sudah menunggu."

"Tapi, ini—"

"Sudah, tinggalkan saja. Ada Bi Yuna nanti yang mengerjakan."

"Ba-baik, Ma." Aku mengikuti mama mertuaku berjalan.

Di meja makan, semua sudah berkumpul. Mereka melirikku dengan tatapan tak suka. Sementara itu, aku bingung memilih kursi karena tersisa tiga kursi kosong di sana.

"Rimar, duduklah di samping Sari," ucap ibu mertuaku.

Aku langsung mengikuti perintahnya.

"Enak, ya. Mulai sekarang hidup enak," tutur Mbak Sari sinis.

"Jangan-jangan, hamilnya bohongan, tuh, Kak? mengada-ada!" celetuk lagi adiknya Mas Gio.

"Astaghfirullah. Enggak ada saya berpura-pura soal kehamilan ini, Dek."

"Bisa jadi, Lis. Mungkin saja itu bukan anak Mas Gio, tapi anak dari lelaki lain."

"Siapa yang mau disentuh dengan lelaki yang bukan suami sendiri? Apalagi suami orang lain. Bersentuhan fisik dengan lelaki lain pun saya menghindarinya." Aku berbicara dengan nada emosi. Aku ini sedang hamil. Karena itu, mood-ku mudah naik dan turun. Aku jadi lebih sensitif.

Aku melihat Mas Gio hanya berdehem. Aku memakluminya karena aku memang bukan bagian yang diharapkan di rumah ini. 

"Lisa, Sari, sudah. Mama enggak suka ada yang berbicara saat di meja makan. Bagamainapun Rimar sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Kalian harus menerimanya, mengerti?" Mama Mas Gio berbicara tegas membuat Lisa dan Mbak Sari terdiam.

Semuanya memulai makan, aku hanya mengambil sedikit nasi goreng dengan kerupuk. Nasi goreng di rumah ini beda rasanya dengan di rumahku. Padahal sama-sama nasi goreng, tapi kenapa rasanya sangat enak? Saat itu, aku sedang tak berselera makan karena menahan mual, tetapi karena nasi goreng itu aku memakannya dengan sangat lahap.

Mas Gio sudah selesai makan, kemudian Mbak Sari ikut berdiri untuk memperbaiki dasi Mas Gio. Lantas, Mas Gio mengecup keningnya sebelum berangkat ke kantor.

Aku yang baru menyelesaikan makan langsung bangkit dari kursi untuk menahan kepergian Mas Gio dan Mbak Sari yang akan mengantarnya ke depan.

"Ada apa?" tanya Mas Gio.

"Aku, cuma mau mencium tangan suamiku sebagai bentuk hormat."

"Oh, tidak usah. Kamu tidak perlu melakukannya denganku."

"Tapi, aku takut berdosa."

Mas Gio menatapku sambil memikirkan ucapanku. Namun, Mbak Sari mendekatiku seakan ingin memberi tahu sesuatu.

"Kamu tidak usah sok suci di rumah ini! Karena kamu tidak lebih dari benalu!"

Tiba-tiba saja rasa mualku memuncak dan tak bisa kutahan lagi.

"Aaaaaaaaaakkkkkkkhhh ...." Mbak Sari berteriak kaget.

Bersambung

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Heran padahal orang kaya kok kamar mandi nya gantian,emang nya di dalam kamar gada kamar mandinya? syukurin tuh nenek lampir di muntahin Marimar...jahat sih sama mama nya jadi di kerjain si debay di perut hahahaha
goodnovel comment avatar
sandranovia80
orkay kamar mandi kok rebutan ya hmmmm
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status