Home / All / Mengandung Bayi Bos / Part 6 - Kecipratan

Share

Part 6 - Kecipratan

Author: Zidney Aghnia
last update Last Updated: 2021-09-04 02:29:41

"Marimar,"

"Iya, Tuan."

Pria berkumis tipis itu menarik kedua tanganku, mengusapnya dengan halus. Perlahan ia mengangkatnya, mendekatkannya, lalu mengecup tanganku seraya tersenyum simpul. Aku tersipu.

Di sebuah meja makan bundar dalam sebuah restoran mewah dengan dekorasi berwarna emas, kami duduk menanti pesanan. Tak ada siapa pun di sana selain para pegawai restoran karena tempat itu khusus di-booking olehnya.

Ia menarik kursi yang aku duduki sampai berada persis di sampingnya. Lengannya melingkari pinggang mungilku. Hmm, jantung rasanya bertalu-talu dengan keras.

Aku duduk malu-malu dalam sandaran dadanya yang berbentuk seperti bar cokelat. Ia mengangkat daguku lima sentimeter ke atas. Aku segera menunduk malu karena pandangan kami saling berpautan.

"Silakan dinikmati hidangannya, Tuan dan Nyonya Sergio." Para pelayan bergegas pergi setelah menyapa kami dan meletakkan banyak sekali menu di atas meja.

Lelaki dengan rambut disisir rapi ke belakang di sampingku mengambil gelas kaca yang berisi minuman berwarna merah. Ia memutarnya sebentar, lalu hendak meminumkannya padaku. Mulutku sedikit terbuka ....

Byuurrr!

"Bangun! Jangan jadi wanita malas kalau di sini!"

Seketika, aku terbangun karena megap-megap setelah mendapati guyuran air membasahi sebagian tubuhku ke atas. Aku melirik gembor (tempat menyiram tanaman) di tangannya. Ya, ampun, memangnya aku bunga mawar. Ternyata, tadi cuma mimpi. Syukurlah, sebab rasanya tidak mungkin dia melakukan hal seperti di mimpi tadi.

"Jam berapa sekarang, Mbak?"

Mbak Sari yang melipat tangan di depan dada tak menjawab. Dia hanya memutar bola matanya, lalu berjalan ke arah jendela. Mbak Sari membuka gorden dengan kasar. Sinar matahari langsung menghalangi pandanganku.

Astaghfirullahal'adzhiim! Aku kesiangan. Aku belum terbiasa dengan kamar di rumah itu. Kamar dengan ranjang yang besar dan empuk.

Mataku berkeliling mencari letak jam dinding. Ternyata, posisinya tepat di atas sandaran ranjangku.

"Ya, Allah, sudah jam setengah tujuh."

"Nikmat, ya tidur di rumah baru? Wajar, sih. Kamu pasti belum pernah tidur di atas ranjang mahal."

"Iya, Mbak," jawabku asal.

Aku cepat-cepat beranjak dari tempat tidur dan merapikannya. Setelah itu mengambil handuk dan beberapa peralatan mandi dari koper.

"Mau ke mana kamu?"

"Sa-saya mau siap-siap kerja, Mbak. Takut terlambat."

"Oh, ya. Sebelum bersih-bersih hotel di sana, tolong kamu bersih-bersih rumah ini dulu!"

"Ta-tapi, Mbak? Bukannya sudah ada yang bersih-bersih di sini?"

"Memang ada. Tapi mulai saat ini, dia saya tugaskan hanya membersihkan kamar saya, Mama, dan kamar Lisa."

Waktu sudah lewat dari jam setengah tujuh. Sepertinya, aku bisa selesai sebelum jam setengah delapan sampai aku berangkat kerja.

"Ba-baik, Mbak, tapi ... tolong izinkan saya mandi dulu."

Mbak Sari menunjuk dengan wajahnya, mengisyaratkan bahwa dia mengizinkanku mandi dulu.

"Terima kasih, saya permisi."

Aku berjalan ke luar kamar mencari posisi kamar mandi. Tak jauh, aku melihat keberadaan ibu mertuaku. Ia berjalan semakin mendekat.

"Cari apa, Nak?"

"Saya, cari kamar mandi ...."

"Kamu lurus ke sana. Di samping ruang makan, sebelah kirinya itu kamar mandi." Ia memberi tahuku.

"Te-terima kasih." Aku membungkukkan badan sebelum berjalan melewatinya. Ngomong-ngomong, ibu mertuaku sepertinya orang baik. Dari cara bicaranya sangat keibuan. Ekspresi wajahnya selalu memancarkan senyuman yang tulus.

Aah, itu dia kamar mandinya, tapi pintunya tertutup. Sepertinya, ada orang di dalam. 

Tak sampai lima menit menunggu, pintu terbuka. Pria tinggi berbadan atletis berdiri di balik pintu. Ia memakai handuk putih sambil mengacak-acak rambutnya. Aku langsung menutup mata dengan tangan dan menyadarkan diri saat tadi mataku terus memandanginya.

Ah, aku belum terbiasa walaupun aku sudah pernah melihat isinya. Aku mengintip dari bawah tangan, ia sudah keluar dari kamar mandi dan melewatiku.

Baru saja aku hendak melangkah, tapi Lisa tiba-tiba menabrakku dan menyerobot masuk.

"Aku dulu!" Dia menyunggingkan bibir sebelum menutup pintu dengan keras. Dasar anak bau kencur!

"Bi, maaf. Apa ada kamar mandi lain selain ini?" Aku bertanya pada ART yang lewat.

"Ada satu di kamar Nyonya Hasna ." Hah, aku tidak mungkin memakai kamar mandi di sana. "Dan satu lagi, di dekat kamar saya," sambungnya.

Mataku berbinar. "Kalau begitu, saya mandi di sana saja."

Setelah mandi, aku mengerjakan salat yang tadi sempat kesiangan dilanjut salat Duha. Lalu, aku mengambil sapu dan mulai bersih-bersih rumah.

Di tengah kegiatanku itu, aku merasakan mual-mual yang hebat. Aku langsung berlari ke wastafel dan mengeluarkan cairan. Pagi itu, aku belum sarapan. Jadi, tidak ada makanan yang keluar.

Aku merasakan lemah di perut. Kepalaku pusing dan sedikit sempoyongan. Tiba-tiba ada tangan yang memijat tengkukku dengan lembut.

"Kamu baik-baik saja? Pasti capek, ya?"

Aku menoleh sekilas dengan menyipitkan mata.

"Rimar baik-baik saja, Nyonya."

"Jangan panggil Nyonya. Panggil Mama, ya?"

Aku tersenyum dan mengangguk. "Iya, Ma."

"Ayo sarapan dulu, semuanya sudah menunggu."

"Tapi, ini—"

"Sudah, tinggalkan saja. Ada Bi Yuna nanti yang mengerjakan."

"Ba-baik, Ma." Aku mengikuti mama mertuaku berjalan.

Di meja makan, semua sudah berkumpul. Mereka melirikku dengan tatapan tak suka. Sementara itu, aku bingung memilih kursi karena tersisa tiga kursi kosong di sana.

"Rimar, duduklah di samping Sari," ucap ibu mertuaku.

Aku langsung mengikuti perintahnya.

"Enak, ya. Mulai sekarang hidup enak," tutur Mbak Sari sinis.

"Jangan-jangan, hamilnya bohongan, tuh, Kak? mengada-ada!" celetuk lagi adiknya Mas Gio.

"Astaghfirullah. Enggak ada saya berpura-pura soal kehamilan ini, Dek."

"Bisa jadi, Lis. Mungkin saja itu bukan anak Mas Gio, tapi anak dari lelaki lain."

"Siapa yang mau disentuh dengan lelaki yang bukan suami sendiri? Apalagi suami orang lain. Bersentuhan fisik dengan lelaki lain pun saya menghindarinya." Aku berbicara dengan nada emosi. Aku ini sedang hamil. Karena itu, mood-ku mudah naik dan turun. Aku jadi lebih sensitif.

Aku melihat Mas Gio hanya berdehem. Aku memakluminya karena aku memang bukan bagian yang diharapkan di rumah ini. 

"Lisa, Sari, sudah. Mama enggak suka ada yang berbicara saat di meja makan. Bagamainapun Rimar sudah menjadi bagian dari keluarga ini. Kalian harus menerimanya, mengerti?" Mama Mas Gio berbicara tegas membuat Lisa dan Mbak Sari terdiam.

Semuanya memulai makan, aku hanya mengambil sedikit nasi goreng dengan kerupuk. Nasi goreng di rumah ini beda rasanya dengan di rumahku. Padahal sama-sama nasi goreng, tapi kenapa rasanya sangat enak? Saat itu, aku sedang tak berselera makan karena menahan mual, tetapi karena nasi goreng itu aku memakannya dengan sangat lahap.

Mas Gio sudah selesai makan, kemudian Mbak Sari ikut berdiri untuk memperbaiki dasi Mas Gio. Lantas, Mas Gio mengecup keningnya sebelum berangkat ke kantor.

Aku yang baru menyelesaikan makan langsung bangkit dari kursi untuk menahan kepergian Mas Gio dan Mbak Sari yang akan mengantarnya ke depan.

"Ada apa?" tanya Mas Gio.

"Aku, cuma mau mencium tangan suamiku sebagai bentuk hormat."

"Oh, tidak usah. Kamu tidak perlu melakukannya denganku."

"Tapi, aku takut berdosa."

Mas Gio menatapku sambil memikirkan ucapanku. Namun, Mbak Sari mendekatiku seakan ingin memberi tahu sesuatu.

"Kamu tidak usah sok suci di rumah ini! Karena kamu tidak lebih dari benalu!"

Tiba-tiba saja rasa mualku memuncak dan tak bisa kutahan lagi.

"Aaaaaaaaaakkkkkkkhhh ...." Mbak Sari berteriak kaget.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Heran padahal orang kaya kok kamar mandi nya gantian,emang nya di dalam kamar gada kamar mandinya? syukurin tuh nenek lampir di muntahin Marimar...jahat sih sama mama nya jadi di kerjain si debay di perut hahahaha
goodnovel comment avatar
sandranovia80
orkay kamar mandi kok rebutan ya hmmmm
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 49. Selesai

    “Saya menceraikanmu, Rimar.”“Sergio!” pekik Mama.Mas Gio menghela napas dalam-dalam, lalu diembuskannya dengan keras. Aku yang masih menunduk, melihat sepasang sepatu yang dipakainya melangkah menuju pintu. Mataku yang berurai air mata terus melirik mengikuti suara entakannya sampai aku tak melihat sosoknya lagi hanya dalam hitungan detik. Pintu pun kembali tertutup rapat. Dia pergi.“Huh, baguuus. Dari dulu, kek!” sindir Lisa sekonyong-konyong, tetapi aku tak menggubrisnya sama sekali.“Rimaar?”Panggilan Mama membuyarkan lamunanku.Aku segera berdiri sambil berusaha menyeka air mata dengan tanganku, kemudian menghampiri Mama yang sudah menantiku.“Iya, Ma,” jawabku sambil terisak. Suaraku pun berubah jadi serak.Aku duduk di kursi bulat di samping Mama. Beliau menarik tanganku lalu diusap-usapnya dengan lembut.“Rimar, kamu yakin sama keputus

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 48. Gugatan Cerai Kedua

    “Sari, mulai saat ini kamu bukan istriku lagi. Aku akan melayangkan gugatan cerai ke pengadilan secepatnya.”Mbak Sari hanya memandang Mas Gio dengan tatapan kosong dan ekspresi datar. Mungkin, situasi seperti itu yang sudah lama diharapkan olehnya. Sementara itu, windu hanya berdiri tanpa pergerakan di tempatnya tersungkur tadi.“Te-terima kasih, Mas.” Mbak Sari menghapus kristal bening yang hampir menetes di sudut matanya.“Mulai sekarang aku tidak peduli lagi dengan urusanmu dan semua yang berkaitan tentang kamu.”“Mas?” Aku memanggilnya dengan lirih.“Ya?”“Tolong ceraikan aku juga!”Mas Gio mengerutkan dahi. “Rimar, saya menceraikan Sari bukan kamu,” katanya dengan tatapan mata menyalang.“Aku tahu. Makanya, sekarang juga aku minta Mas ceraikan aku.”“Tapi, kenapa?”“Aku gak bisa lagi hidup

  • Mengandung Bayi Bos   Bab 47. Gugatan Cerai

    “Mas?”“Pak Sergio?”Dokter Arin menatap Mas Gio, kemudian menatap bergantian lelaki yang datang bersama Mbak Sari.“Ada apa ini?!” Mas Gio menghampiri Mbak Sari dan menarik tangannya: memaksa untuk bangun dari perbaringan. Dengan berat hati, Mbak Sari mengikuti paksaan Mas Gio.“Maaf, kalau ini Pak Sergio, lalu Anda siapa?!” tanya Dokter Arin menyelisik pria tak dikenal yang ia sangka Mas Gio.Kedua mata Mas Gio dan Dokter Arin menyiratkan kilatan amarah. Lantas, Dokter Arin meletakkan dengan kasar alat yang tadi dipegangnya ke nampan tempat peralatan medisnya.“Sari, jelaskan apa yang kamu lakukan!” Mbak Sari tetap bergeming meskipun Mas Gio mengguncang-guncang tubuhnya.Karena Mbak Sari tetap diam, akhirnya lelaki yang tengah berpakaian kasual tersebut bertanya pada Dokter Arin. Dokter pun menjelaskan kalau Mbak Sari sedang melakukan operasi kecil untuk melepas KB Implan.

  • Mengandung Bayi Bos   Part 46. Memergoki Mbak Sari

    Tiba-tiba, aku merasakan getaran dari ponsel yang kutaruh di saku celana. Siapa yang meneleponku di waktu Subuh? Segera kutarik ponsel dari saku, ternyata Mas Gio yang menelepon.“Halo, assalamau’alaikum, Mas.”“Halo, dengan Nyonya Sergio?”Nyonya? Siapa ini? Lalu, ke mana Mas Gio? Siapa yang mengambil ponselnya?“Iya, benar. Ini siapa?”“Saya dari M2 Club Malam mau mengabari kalau Tuan Sergio pingsan.”“Pingsan? Terus ada siapa di sana, Mas? Teman atau seseorang yang menemaninya?”“Tidak ada, Nyonya. Tadi Tuan hanya datang sendiri dan minum banyak sampai akhirnya pingsan.”“Baik, tolong jaga dia, ya, Mas. Saya segera ke sana. Terima kasih.”Setelah menutup sambungan telepon, aku segera melipat mukena dan bergegas pergi ke Club M2. Aku tidak tahu di mana lokasinya dan harus ke arah mana kalau pergi dengan angkutan umum. Sebaiknya, a

  • Mengandung Bayi Bos   Part 45. Diskotik

    Dalam perjalanan ke rumah sakit itu, Mas Gio menghubungi Mbak Sari. Ia hanya menceritakan bahwa papanya diciduk polisi, tetapi tidak menceritakan detail kejadian yang terjadi.“Kamu kenal Pak Akala?” tanya Mas Gio sambil menyetir. Kulihat peluh berembun di sekitar dahi sampai membasahi rambutnya yang menutupi. Matanya terlihat berat seperti menahan kantuk. Dia pasti sangat kelelahan, belum satu masalah selesai sudah datang masalah baru.“Hah? Ti-tidak,” ucapku berbohong.“Terus, kenapa dia sampai membuatmu jadi korban?” Benar juga, dia pasti penasaran kenapa sampai Pak Akala membuatku menderita. Padahal, di rumah itu ada beberapa orang ART yang bisa saja dia jadikan korban. Namun, saat itu jelas sekali kalau dia sedang menunggu seseorang, yang tidak lain adalah aku.“Hmm, sebenarnya ....” Tekadku maju-mundur untuk menjelaskan pada Mas Gio. Apa lebih baik aku menceritakan semuanya saja?“He

  • Mengandung Bayi Bos   Part 44. Korban Perasaan

    Baru saja akan berbelok ke arah pintu masuk, ada dua orang berpakaian serba hitam seperti lelaki sebelumnya, mereka berusaha mengadangku. Sial! Dari mana munculnya kedua orang itu? Mana tubuhnya besar-besar semua, lebih besar dibanding pria yang menodongkan pistol ke arahku.Aku berpikir keras ke mana lagi harus berlari? Aku tidak tahu banyak mengenai rumah besar itu. Ah, benar. Pintu belakang! Baru saja aku membalikkan badan, Pak Akala dan pengikutnya sudah berada di belakangku. Sementara itu, para ART histeris dan berusaha berteriak karena mengkhawatirkanku.Tidak! Hal yang kutakutkan akan segera terjadi, saat itu juga aku berada di antara mereka yang terus berjalan semakin dekat. Bahkan, aku tidak bisa mencari celah untuk bisa melarikan diri dari keempat pria itu. Satu hal yang lebih kucemaskan bukanlah diriku, melainkan calon anakku.Saat napasku terengah-engah, irama jantungku kembali berdegup kencang. Tetesan keringat pun menyapu kening dan mengaliri pelip

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status