Mahanta melepaskan pitingannya dari kedua sahabatnya lalu ganti memeluk Ziana yang masih kebingungan. Ditariknya paksa tubuh perempuan itu masuk kembali ke dalam kamar tanpa memperdulikan bagaimana kedua tamunya.“Apa-apaan kamu?” sentak Ziana agar Mahanta melepaskan pelukannya.“Gila ya kamu! Ngapain kamu keluar nggak pakai daleman gini?!” bentak Mahanta balik.“Siapa yang nggak pakai daleman?!”Tanpa bisa dicegah, Mahanta menyentuh seluruh tubuh Ziana untuk memastikan sendiri kalau perempuan itu memang sudah memakai pakaian dalamnya sebelum keluar kamar. Sentuhan Mahanta tidak berhenti meskipun pria itu sudah merasakan pakaian dalam Ziana dibalik piyama tebal yang dipakainya. Menyentuh Ziana seperti ini membuat bagian intinya menegang lagi.“Maha, berhenti... ja-jangan,” lirih Ziana kegelian.“Sebentar saja, sayang. Aku tegang,” bisik Mahanta lalu menciumi leher Ziana dengan brutal.“Ekhem! Kalau mau main, minimal pintunya ditutup dong!” seru Arjuna dari luar kamar. Pria itu sengaja
“Nggak usah mikirin dia. Apa kamu nggak mau ketemu Om Tomo dan Tante Juwita?”Senyum cerah seketika menghiasi wajah Ziana. Perempuan itu merasa sangat bahagia karena bisa bertemu lagi dengan dua orang yang sangat baik itu. “Mereka kesini juga? Dimana? Maha, antar aku kesana.”“Coba kita cari kesana ya.”Mahanta menuntun Ziana melewati beberapa tamu undangan yang masih mengantri untuk bisa masuk ke dalam ballroom. Keduanya memasuki ballroom dengan mudah karena anak buah Hasan membuka jalan untuk mereka. Saat Mahanta mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Tomo dan Juwita, seseorang memanggil Ziana.“Ziana sayang,” panggil Juwita yang sudah melihat mereka lebih dulu.“Bu Juwita,” sahut Ziana lalu berjalan mendekati wanita paruh baya itu sambil menarik tangan Mahanta.Juwita menyambut ramah kedatangan Ziana dan langsung memeluk perempuan itu dengan erat. “Kangen banget sama kamu. Kenapa kamu nggak mampir ke rumah kami?”“Ziana lagi ngidam, tante. Dia nggak bisa sering-sering keluar,”
Ziana merasa sedikit mual mencium aroma parfum mahal disekitarnya, dan memutuskan pergi ke toilet untuk menyegarkan diri. Tapi sebelum masuk ke toilet, perempuan itu melihat ada lorong yang tembus sampai ke balkon di belakang ballroom. Alih-alih ke toilet, Ziana memutuskan melangkah menuju balkon itu. Pilihannya tidak salah karena pemandangan kota di malam hari sejauh mata memandang membuat Ziana tidak bisa mengalihkan pandangannya. Ziana berjalan sampai ke pinggir balkon, sembari menyapu pemandangan indah yang jarang dilihatnya itu. “Bagus sekali,” ucapnya kagum. “Indah ‘kan?” Ziana menoleh cepat saat mendengar suara bariton di belakangnya. Kewaspadaannya sedikit berkurang saat melihat pria yang dikenalnya berada di balkon yang sama. “Pak Jay, apa kabar? Sedang apa Bapak disini?” “Kabar baik, Na. Menurut kamu, aku ngapain disini?” Ziana memperhatikan penampilan Jay dengan setelan jas dan hair do yang lain dari biasanya. Sadarlah ia kalau Jay juga diundang ke acara pesta ulang t
“Capek banget ya bicara sama kamu. Bebal banget. Apa Maha juga secapek ini ya? Karena itu dia ninggalin kamu dan lebih nyaman denganku?”“Kamu! Dasar jalang sialan!”Ziana menelan salivanya melihat sorot kemarahan di mata Sherena. Perempuan itu berhasil memancing emosi Sherena yang tidak bisa lagi berdiam di tempatnya. Dengan higheelsnya, Sherena melangkah cepat mendekati Ziana. Tangannya terangkat ke atas siap menampar pipi Ziana seperti sebelumnya. “Aaa...!” jerit Ziana sambil menutupi wajahnya dengan tangannya. Akibatnya tamparan Sherena hanya mengenai tangan Ziana.“Jalang gila! Murahan! Menjauh dari Maha! Sialan!”Sherena yang sudah gelap mata, terus memukuli dan mencakar bagian tubuh Ziana yang bisa dicapainya. Tubuh Ziana membungkuk melindungi perutnya agar tidak terkenal pukulan Sherena. Sesekali Ziana meringis kesakitan karena pukulan Sherena cukup kuat untuk standar seorang wanita.“Berhenti! Menjauh dari Ziana!”Juwita yang mencari keberadaan Ziana, mendengar jeritan dari
“Aku juga tidak tahu pastinya, om. Yang jelas saat aku sampai di balkon, aku lihat Sherena sedang mendorong Ziana dan tante Juwita sudah lemas di lantai. Om, aku takut terjadi sesuatu dengan kandungan Ziana,” ucap Mahanta lirih.“Dokter belum memberitahu apapun, Maha. Kita masih punya harapan. Om akan menyelidiki hal ini.”Mahanta mengangguk mempercayakan masalah itu pada Tomo. Satu-satunya yang Mahanta pikirkan saat ini adalah keselamatan Ziana dan bayinya.Tak lama dokter Kavya datang dan langsung masuk ke ruang perawatan tanpa bicara pada Mahanta. Dari raut wajahnya, Mahanta bisa menebak kalau dokter Kavya sudah tahu tentang kondisi Ziana.“Kenapa lama sekali?” gumam Mahanta membuat Tomo menepuk pundaknya.“Tenanglah, Maha. Meskipun hatimu sedang cemas, pikiranmu harus tetap tenang.”“Nggak bisa, om. Bagaimana kalau__”“Jangan mendahului takdir Tuhan dengan mengatakan asumsi yang membuat pikiranmu semakin buruk. Apa kamu lupa kalau belahan jiwa om juga ada di dalam sana?”Mahanta m
“Sherena. Wajahmu?” Nenek Darisa memperhatikan tisu di tangannya yang berganti warna seperti lebam di wajah Sherena. Meskipun bingung dengan apa yang dilihatnya, tapi nenek Darisa tidak seheboh sebelumnya.Mahanta dan Lintang yang puas melihat kebohongan Sherena nyaris terbongkar, memulai rencana berikutnya. Mahanta meraih tisu di tangan nenek Darisa. “Kamu belum cuci muka ya? Kok wajahmu kotor gini?”Lintang yang keluar dari kamar mandi dengan handuk basah di tangannya, mendekat lalu menyodorkan handuk itu pada Mahanta. “Cepat dibersihkan. Bisa-bisa infeksi kalau lukanya kotor,” ucapnya dengan wajah serius.“Benar juga. Sherena, biar Maha membantumu. Cepat, Maha,” ucap nenek Darisa.Sherena semakin panik karena Mahanta dan Lintang berdiri di sisi brankarnya. Kedua tangannya dipegang dengan kuat oleh kedua pria kekar itu. Sementara Mahanta mulai mengusap wajahnya dengan handuk basah itu.“Jangan! Lepasin!” jerit Sherena yang tidak diindahkan oleh Mahanta dan Lintang.Mahanta terus men
“Kamu mau mandi juga, sayang?” tanya Mahanta sambil menaikturunkan alisnya menggoda Ziana.“Aku bisa mandi sendiri. Jangan macam-macam, Maha,” tegur Ziana sembari memukul lengan pria itu.“Kamu belum boleh turun dari brankar, Ziana. Dokter Kavya bilang kamu harus bedrest. Istirahat total.”“Tapi aku baik-baik saja. Gimana caranya ke toilet kalau harus bedrest?”“Aku gendong. Kamu nggak boleh jalan. Sekarang ya?”Ziana terpaksa menahan malu dihadapan Tomo dan Juwita ketika Mahanta menggendongnya masuk ke kamar mandi. Hasrat ingin pipisnya sudah diujung tanduk dan tidak ada pilihan lain bagi Ziana. Saat Mahanta dan Ziana sibuk dengan urusan mereka di kamar mandi, Lintang menepati ucapannya untuk datang lagi. Kedua tangannya tampak membawa beberapa paper bag.“Om, tante. Ini sarapannya. Dimana Maha dan Ziana?”Belum sempat Tomo menjawabnya, terdengar jeritan tertahan Ziana dari dalam kamar mandi. Sontak Lintang menunjuk ke arah kamar mandi sambil melebarkan matanya menatap Tomo. Anggukan
“Wah, gila kamu! Aku memang jomblo tapi bukan berarti incaranku istri orang,” omel Lintang tidak terima.“Siapa tahu. Namanya juga kepepet. Atau kau memang sukanya yang seperti itu?” tanya Mahanta semakin curiga.“Ngaco. Semakin banyak kita tahu informasi, semakin cepat kita mengungkap semua ini. Bukankah kau juga ingin menyingkirkan Sherena dari jalanmu?”Mahanta tidak bisa menyangkal tentang hal yang dikatakan Lintang. Setelah sekian lama berpacaran dengan Sherena, Mahanta ingin mengakhiri semuanya. Tapi Sherena tidak pernah bisa disingkirkan dengan mudah. Mahanta harus sangat berhati-hati agar Ziana tetap aman.“Kau benar. Kumpulkan semua informasinya. Akan sangat bagus kalau kita dapat buktinya juga. Tapi ingat, Lintang. Kau harus berhati-hati. Terutama pada sahabat kita.”“Maksudmu Arjuna? Apa yang membuatmu curiga?”“Jay bukan satu-satunya orang yang mendekati Sherena saat itu. Apa kau lupa?”Lintang terdiam mengingat kejadian beberapa tahun yang lalu. “Kenapa kalian bertiga bis