Amarah di hati Bram kembali menguar mengingat aib yang sudah ditorehkan putrinya. Dia hampir menangis karena rasa marah dan rindu bercampur menjadi satu. Putri yang sangat disayanginya pergi karena dia usir.Salah satu sudut hati Bram juga merasa bersalah. Dia tidak bisa menjaga putrinya dengan baik, sehingga dia harus menanggung aib. Dia merasa lalai saat diberi tanggung jawab oleh Tuhan untuk menjaga seorang putri."Ayo, Pak, jalan!"Seruan dari penumpang menyadarkan Bram. Dia segera memasukkan dompet ke saku celananya. Saat menoleh ke belakang, ternyata penumpang sudah penuh.Bram mulai melajukan angkotnya meninggalkan terminal. Dia harus fokus bekerja karena tidak hanya membawa nyawanya saja, tetapi juga nyawa banyak orang yang menjadi penumpangnya.***Kinanti memasak di kamar kos Kayla. Dia membuat oseng kangkung dan dadar telur untuk makan mereka berdua. Gadis itu sudah berpesan pada kekasih kakaknya untuk tidak membeli makan di luar.Selesai memasak, dia teringat jika belum me
Seorang ibu menarik bahu Kinanti kasar. Wajah ibu itu tampak sangat membenci Kinanti. Kinanti hanya diam, tidak menyahuti ibu itu."Kamu lagi bunting, ya?" tanya ibu yang menarik bahu Kinanti. "Kayaknya iya. Liat aja perutnya! Masa iya perutnya buncit, tapi badannya kurus kering kayak orang cacingan!" tuding ibu yang lain. "Cacingnya laki-laki kalau buncitnya begitu, Bu," sahut yang lainnya."Tapi kayaknya dia masih ingusan, kok bunting?" tanya ibu pertama."Ya mungkin kayak anak-anak jaman sekarang itu loh, Bu. Gara-gara suka nonton film," sahut ibu kedua. Ibu pertama mendekati Kinanti. "Kamu sudah nikah?" tanyanya."Nikah kayane belum, Bu. Tapi kawine uwes," cibir ibu kedua dengan dialek Jawa yang sangat khas. "Loh, loh, loh! Anak muda jaman saiki, wong tuone piye, toh?" tanya ibu ketiga yang juga berdialek Jawa."Mungkin orang tuanya sibuk kerja. Jadi kagak sempet merhatiin anaknya," sahut ibu keempat. "Kamu itu masih bocah! Belum waktunya bikin anak! Mau dikasih makan apa ana
"Berapa kali bapak katakan, jangan jeluyuran pulang malam! Kamu itu sudah kelas tiga, beberapa bulan lagi kamu akan ujian! Kamu harus lebih rajin belajar agar bisa mendapatkan nilai yang bagus. Kamu harus contoh Kendra yang bisa mendapatkan beasiswa kuliah," omel Bram saat anak perempuannya pulang setelah magrib."Kinan habis kerja kelompok, Pak. Ada tugas dari guru biologi," dalih Kinanti membela diri."Sudah, Pak. Ini waktu magrib, tidak enak pada tetangga." Dewi, ibu Kinanti, datang dari dapur melerai suami dan anak perempuannya. "Ini kopinya," ucapnya seraya menyajikan segelas kopi hitam di depan suaminya."Kinan beneran habis kerja kelompok, Bu. Kinan enggak bohong," ucap Kinanti."Ibu percaya anak ibu enggak bohong. Sekarang kamu mandi, solat lalu makan," ucap Dewi membelai rambut panjang Kinanti. Kinanti berlalu ke kamarnya."Kamu selalu membela anak-anakmu. Jangan terlalu percaya pada mereka karena bisa saja mereka sedang berbohong," omel Bram pada istrinya."Lalu, kita harus
Kinanti meringkuk di atas ranjang kecilnya. Gadis itu menangis tanpa suara. Bagian inti tubuhnya terasa sakit, tetapi hatinya jauh lebih sakit. Dia tidak menyangka, jika Evan tega berbuat keji padanya.Dia sudah menganggap Evan seperti kakaknya sendiri. Namun, pemuda itu sudah merenggut harta yang dia jaga selama ini. Harta yang selalu dia banggakan karena tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk melakukan hal itu sebelum menikah. Bagaimana nasibnya nanti? Apakah akan ada yang mau menikah dengan dirinya yang sudah tidak perawan?"Aku berjanji aku akan kembali setelah menyelesaikan kuliahku. Aku akan melamarmu dan menikahimu. Aku mencintaimu. Aku minta maaf karena sudah melakukannya, tapi percahalah jika aku akan kembali untukmu."Perkataan Evan sebelum keluar dari kamarnya masih terngiang di telinga. Kinanti tidak bisa memejamkan mata lagi setelah petaka itu. Suara kokok ayam sudah menyapa indera pendengarannya. Semburat kemerahan pun sudah tampak di ufuk timur."Kinan, kok belum b
"Wi, kamu kenapa? Masuk angin?" tanya Bram di depan pintu kamar mandi. "Dewi!""Ada apa, Bang? Kenapa kamu manggil aku di kamar mandi?" Bram berbalik saat mendengar suara isterinya dari belakang tubuh. Pria itu mengerutkan kening melihat istrinya mengambil gelas di rak. Dia lalu menoleh kembali ke kamar mandi. "Kamu dari mana?" tanyanya heran."Kehabisan gula pas mau bikin kopi buat Abang. Jadi, aku ke warung beli gula," jawab Dewi."Lalu, siapa yang di kamar mandi? Kinan?""Kinan tadi sudah ke kamar mandi.""Tapi ....""Huek! Huek! Huek!"Bram dan Dewi saling pandang. Suara yang didengar Bram kembali berbunyi. "Kinan?" Bram dan Dewi saling melempar tanya dengan tatapan heran. Kinanti keluar dari kamar mandi dengan wajah sembab. Gadis itu baru saja memuntahkan isi perutnya yang belum sarapan. Wajahnya pucat melihat kedua orang tuanya berada di depan pintu kamar mandi."Kamu kenapa, Nan?" tanya Dewi. Bram tidak mengajukan tanya, tetapi sorot matanya sangat tajam pada Kinanti."Sepert
Kinanti menundukkan kepala sedalam-dalamnya. Gadis itu tidak berani menatap sang ibu yang tengah menatap tajam padanya. Air mata sudah tidak mampu dia bendung lagi. Bahu gadis itu berguncang dengan napas yang terasa sesak.Dewi berdiri dengan tatapan tajam pada putrinya. Bukan kemarahan yang sarat pada sorot mata wanita itu. Namun, kekecewaan dan rasa tidak percaya membuat hatinya terluka. Sebuah kalender meja berada dalam genggamannya.Kecurigaan Dewi membuat wanita itu memasuki kamar Kinanti saat putrinya sedang muntah di kamar mandi. Dia sangat terpukul melihat kalender meja di kamar Kinanti yang tidak ada lingkaran merah di bulan itu. Tanggal yang dilingkar merah bulan sebelumnya sudah terlewat dua minggu yang lalu."Apa artinya ini, Kinan?" tanya Dewi dengan suara bergetar seraya mengangkat tangan yang memegang kalender.Kinanti menjatuhkan diri di depan ibunya. Dia bersimpuh di kaki wanita yang sudah melahirkannya itu. Tangis penyesalan tidak berhenti meski dia tahu tidak ada ar
"Atau kau tidak akan bisa melihatnya lagi," desis Bram pada Dewi."Apa maksud kamu, Bang?" tanya Dewi dengan suara bergetar."Aku lebih suka melihat Kinanti mati daripada menerima aib ini," geram Bram."Bang! Istighfar, Bang!" seru Dewi."Daripada menanggung malu. Jika bukan dia yang mati, aku yang akan mati!"Mata Dewi membulat sempurna. Wanita itu tidak menyangka sang suami akan mengatakan hal itu. Hal yang seharusnya tidak boleh diucapkan oleh orang tua untuk anak mereka.***Evan beranjak dari ranjang menuju pintu apartemen saat mendengar bel pintu berbunyi. Dia membukakan pintu untuk tamunya. Seorang gadis berdiri di depan pintu dan langsung masuk ke apartemennya."Keluar, yuk!" ajak April."Aku gak bisa," tolak Evan."Kenapa? Kamu sering banget nolak ajakanku, Van." April mengerucutkan bibirnya. "Aku sedang gak enak badan, perutku mual dan kepalaku pusing," dalih Evan."Perasaan kamu belakangan ini sering banget pusing dan mual.""Namanya juga sakit.""Periksa dong, Van.""Kamu
Kinanti merasakan sakit di perutnya. Namun, tidak ada darah yang keluar dari organ intimnya yang menandakan terjadinya keguguran. Dia mengerang kesakitan seorang diri. Kebenciannya pada Evan semakin bertambah sejalan dengan kebenciannya pada janinnya."Kamu dan ayah kamu itu sama-sama jahat! Kalian sudah membuatku menderita!" teriak Kinanti lalu menangis. Semua penderitaan yang dialaminya membuat dia sangat membenci janin itu dan juga Evan. Akibat perbuatan sahabat kakaknya itu dia sekarang harus menanggung malu karena hamil di luar nikah. Dia juga harus meninggalkan sekolahnya karena tidak ingin mendapat malu jika sampai ketahuan oleh pihak sekolah dan teman-temannya.***"Bangun! Bangun! Jangan tidur di depan tokoku!"Suara bentakan itu membangunkan Kinanti dari tidurnya. Bukan tidur nyaman dengan mimpi indah. Melainkan tidur meringkuk karena kedinginan. Gadis itu tidur beralaskan kardus yang keras."Cepat bangun! Jangan tidur di sini nanti daganganku tidak laku!" Ibu pemilik toko