Share

7. Aku Tidak Ingin Bayi Ini

"Kenapa Ibu menolong saya?" tanya Kinanti pada wanita yang menolongnya.

Saat Kinanti akan terjun dari besi pembatas jembatan, seorang wanita yang baru pulang dari bekerja sebagai petugas kebersihan hotel menolongnya. Kinanti kini berada di rumah petak yang dikontrak wanita itu. Dia melihat ada tiga orang anak antara usia 2 sampai 6 tahun.

"Karena saya manusia, dan sesama manusia harus saling tolong menolong. Jangankan terhadap manusia lain, pada hewan pun kita sebaiknya menolong jika hewan itu sedang kesulitan," jawab wanita itu. "Siapa namamu?"

"Kinanti, Bu."

"Kenapa kamu ingin melakukan perbuatan dosa itu? Kamu tau 'kan jika bunuh diri itu dosa?"

"Aku sudah berdosa karena hamil di luar nikah. Apa bedanya jika aku melakukan dosa lagi dengan bunuh diri?" Tersirat nada kebencian dalam suara Kinanti.

"Istighfar, Neng. Ingat sama Tuhan. Jika kamu sudah melakukan dosa, jangan menambah dosa lagi dengan perbuatan dosa yang lain."

"Tapi bayi ini sudah membuatku menderita, Bu. Dia membuatku disiksa dan diusir oleh ayahku sendiri. Dia sudah membuatku kehilangan masa depan karena putus sekolah. Dia juga membuatku menjadi gelandangan di jalanan." Kinanti menangis sejadi-jadinya mengingat nasibnya.

Wanita itu memeluk Kinanti erat. Dia membiarkan Kinanti meluapkan perasaannya lewat tangisan. Sebelah tangan wanita itu membelai lembut punggung Kinanti.

"Aku gak mau bayi ini, Bu. Aku juga gak pernah berpikir untuk melakukan perbuatan itu sebelum nikah. Aku dipaksa, Bu," ucap Kinanti di antara tangisnya.

"Denger, Neng. Hidup memang kejam, tapi jangan pernah melampiaskan kekejaman hidup pada raga yang tak berdosa. Meski anak yang Neng kandung itu hasil dari perbuatan dosa, entah itu berzina atau diperkosa, tapi Tuhan sudah menitipkan anak itu pada Neng. Jangan menambah dosa dengan membunuhnya dan bunuh diri. Itu gak akan menyelesaikan masalah, Neng," ucap wanita itu saat tangis Kinanti mulai reda.

"Aku gak salah karena aku dipaksa, tapi kenapa aku yang menderita sementara dia tetap menjalani hidup bahagia?"

"Siapa yang sudah melakukan ini pada Neng? Kenapa Neng gak bilang pada keluarga kalau Neng dipaksa?"

"Mereka pasti gak akan percaya, Bu. Mereka juga pasti akan terpukul dan kecewa jika mengetahui siapa pelakunya."

"Apa pelakunya orang yang dekat dengan keluarga Neng?"

Kinanti mengangguk. "Dia sahabat kakakku yang sudah seperti anak oleh orang tuaku."

"Di mana laki-laki itu? Kenapa Neng gak minta tanggung jawab padanya?"

"Dia kuliah di luar negeri, Bu. Sejak ketauan hamil dan diusir, aku gak bawa apa pun dari rumah, kecuali pakaian yang dilempar bapak saat mengusirku." Kinanti sesenggukan. "Dia mengatakan setelah kuliah akan menikahiku."

"Apa dia mengatakan jika dia mencintai Neng?"

Kinanti mengangguk. "Tapi ini bukan cara mencintai yang benar, Bu. Dia sudah menodaiku bahkan membuatku terhina seperti ini."

" Ibu mengerti. Kamu yang sabar." Wanita itu mengusap kepala Kinanti.

***

"Ada apa, Evan?" tanya dosen yang sedang memberikan materi di kelas Evan.

"Maaf, Pak. Saya ke toilet sebentar," ucap Evan yang segera keluar kelas.

Evan menuju toilet kampus. Dia membasuh wajah di wastafel toilet. Bayangan wajah Kinanti selalu terlintas dalam ingatan. Gadis itu juga selalu hadir dalam mimpinya.

"Tunggu aku pulang, Kinan," gumam Evan.

Perut Evan kembali bergejolak. Setiap bangun tidur pagi dia pasti memuntahkan isi perutnya. Kali ini, dia pun muntah di toilet kampus. Dia merasa tersiksa selama beberapa bulan ini.

"Apa kau sakit?" tanya seorang pria yang mungkin dari kelas lain.

"Aku baik-baik saja," jawab Evan.

***

"Apa kamu sudah menemukan Kinan, Ken?" tanya Dewi saat Bram belum pulang.

Dewi akan menanyakan tentang putrinya jika Bram sedang menarik angkot. Dia tidak ingin ada pertengkaran lagi di rumahnya karena menanyakan tentang Kinanti. Wanita itu hanya bisa berdoa agar putrinya baik-baik saja di luar sana.

"Belum, Bu. Sepertinya Kinan sudah meninggalkan ibu kota," jawab Kendra yang sudah mencari sang adik ke mana-mana.

"Ya Tuhan! Lindungi putriku," ucap Dewi dalam doa.

"Lusa aku mau mengantar Kayla ke Bogor, Bu."

"Kamu gak kerja?"

"Hari itu aku libur, Bu."

"Jangan lupa tengak-tengok di jalan! Siapa tau kamu liat Kinan," ucap Dewi berpesan.

"Iya, Bu."

***

"Kamu tuh sakit apa sih, Van?" tanya April.

April mendatangi apartemen Evan setelah diberi tahu Mark. Dia mengompres kening Evan karena demam. Evan juga bolak-balik ke kamar mandi karena muntah-muntah.

Evan pernah mengalami hal itu saat baru sebulan berada di Kanada. Namun, setelah periksa ke dokter, dia bisa menjalani hari seperti biasa. Hanya saja dia akan muntah setiap bangun tidur di pagi hari.

"Aku gak tau," jawab Evan tanpa membuka mata.

"Periksa ke dokter lagi, yuk!" ajak April yang khawatir.

"Nanti ajalah. Aku bener-bener pusing buat jalan," tolak Evan.

"Aku mau keluar, ada janji bareng temen-temen, Van. Kalau kamu gak mau periksa, aku gak tenang nanti," desak April.

"Kalau mau pergi, pergi aja. Aku gak apa-apa."

"Ya udah, kamu hati-hati di sini ya."

April berusaha mencium Evan, tetapi pria itu memalingkan wajah. Dia selalu menghindar setiap kali April ingin memeluk atau menciumnya. April akhirnya memilih pergi dengan perasaan kesal. Dia akan bersenang-senang bersama teman-temannya.

Sejak dulu Evan tidak menyukai April. Sifat gadis itu yang suka pesta dan berfoya-foya membuat Evan semakin tidak menyukainya. Selama tinggal di Kanada, hampir setiap minggu April mengadakan pesta bersama teman-temannya. Tidak jarang gadis itu pulang dalam keadaan mabuk.

Tengah malam Evan merasa sangat haus. Seharian dia berada di atas ranjang karena lemas. Dia keluar kamar karena tidak ada air di kamarnya. Dia mendengar suara orang meracau tidak jelas. Dia yakin jika itu adalah April yang pulang dalam keadaan mabuk.

Awalnya Evan tidak tertarik untuk melihat, tetapi saat mendengar suara pria, diapun mengintip dari lubang pintu tempat untuk melihat siapa yang datang. Dia melihat April bersama Frank, teman kuliah April. Mereka berciuman sebelum masuk ke apartemen April.

"Mama ingin menjodohkanku dengan gadis seperti itu. Yang benar saja," oceh Evan seraya berlalu ke dapur.

***

Mentari pagi sudah menyapa insan di muka bumi. Pancaran sinarnya menerobos melewati celah gorden kamar. Kicau burung menjadi alunan musik yang indah di pagi hari.

Seorang gadis menggeliat di dalam lilitan selimut lembut. Dia menguap lalu menoleh ke samping. Seorang pria masih terlelap di sampingnya. Gadis itu mencari keberadaan ponselnya untuk melihat jam. Matanya melebar seketika melihat angka yang tertera di layar ponselnya.

"Frank, bangun! Cepat pergi dari sini!" perintah gadis itu terkesan mengusir.

"Kenapa aku harus pergi? Aku masih ingin di sini. Kita ulangi lagi?" tanya pria bernama Frank.

"Tidak, Frank!" tolak gadis itu. "Sebentar lagi Evan pasti akan datang ke sini!" Gadis itu mulai panik. Dia mengabaikan keadaan tubuhnya yang tanpa penutup lalu berlari ke kamar mandi.

"Aku tidak peduli Evan akan datang ke sini atau tidak." Frank mengejar gadis itu lalu menariknya ke ranjang. "Ayolah, April!"

April kembali pasrah di bawah tubuh Frank. Pasangan itu kembali mereguk nikmat di pagi hari setelah semalam melewati malam panjang bersama. Saat sedang berpacu dalam nikmat, April menahan gerakan Frank di atas tubuhnya.

Mereka berdua saling pandang saat mendengar bunyi bel pintu apartemen April.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status