Akhirnya setelah mendapatkan persetujuan Gladys, Arnesh menyuruh anak buahnya untuk mempersiapkan pernikahan disalah satu KUA yang masih berada disekitaran sana.Tak lupa, membawa saksi, untuk menyaksikan bahwa mereka suami istri sekarang. Gladys tremor, dia gemetar karena sudah menyandang istri dari seorang Dokter muda, Arnesh Aryawadhana. Ah, ralat, istri kedua maksudnya."Jangan tegang seperti itu, Glad. Santai aja. Aku nggak bakalan minta hakku kok," celetuk Arnesh, tersenyum gemas pada Gladys yang masih malu dan tegang bersama dengannya.Mata Gladys membola. "Anda jangan macam-macam, Pak Arnesh!" katanya. Masih menggunakan bahasa formal, lantaran masih sungkan dan juga Arnesh lebih tua darinya.Mereka berdua seperti kakak beradik ketimbang suami istri, karena perbedaan keduanya cukup jauh, hanya terpaut 11 tahun.Arnesh tertawa. "Bercanda. Aku nggak bakalan macam-macam, sekalipun iya, kamu 'kan istriku."Istri keduanya mendengus, mengalihkan pandang ke sembarang arah.Sikap Gladys
Gladys hanya diam bergeming, dia duduk lesehan beralaskan tikar. Menunggu pesanan makanan agar segera sampai, karena ia sangat lapar dan perutnya meronta makan.Bunyi cipratan air sayup-sayu terdengar, menandakan Arnesh belum selesai membersihkan diri. Gladys mengusap perut, tak tahan, sedari tadi perutnya terasa keroncongan."Glad ..." Gladys tersentak, saat Arnesh memanggilnya.Wanita muda itu dengan cepat menoleh malas. "Kenapa?" tanyanya.Arash menongolkan wajahnya dibalik pintu kamar mandi. "Kau punya handuk?""Punya, hanya satu," balas Gladys seadanya.Dia tidak tahu, kenapa Arnesh bertanya seperti itu. "Boleh pinjam?""Sebentar, Pak."Sepasang mata Gladys membeliak. Selain harua berbagi ranjang, ya kali harus berbagi handuk juga? Astaga, Gladys tidak habis pikir.Ia menyambar handuk miliknya, berjalan ragu ke kamar mandi berukuran sempit dan kecil. Mengulurkan tangan, memberikannya pada sang suami.Sayangnya, tangan Arnesh tidak bisa menggapai, lantaran Gladys terlalu jauh untuk
Apa yang terjadi malam tadi, Livya melupakannya begitu saja. Dia tidak mau memperpanjang masalah, biarlah dia memendam apa yang dirasakan, ini lebih baik. Livya meringis, menahan sakit dibagian pangkal pahanya.Arnesh menoleh sekilas, lalu lanjut melahap saran yang dibuatkan asisten rumah tangga."Maaf bangun telat, Mas. Jadi nggak sempat buatkan kamu sarapan," cicit Livya.Mengangguk singkat, Arnesh tetap menyuapkan sesuap nasi goreng ke dalam mulutnya. "Nggak papa, aku nggak suka sama masalan kamu. Jadi nggak perlu repot-repot," tukasnya.Livya tersenyum paksa, karena memang Arnesh tidak suka dengan masakannya. "Kapan-kapan ke rumah orang tuaku yuk, Mas. Kamu ditanyain mulu sama mereka. Katanya suruh mampir.""Ya, aku usahakan." Senyuman Livya mengembang, ada seciul harapan yang suaminya ucapkan barusan. Dalam artian, Arnesh setuju."Mas, hari ini aku mau jalan bersama teman-temanku," kata Livya."Terus?" tanya Arnesh malas. Dari dulu dia memang tidak ingin tahu soal kegiatan Livya.
Malam hari, Gladys sudah pulang dari tempat kerja. Dia memegangi perutnya yang terasa lapar. Berhubung hari gajihan masih lama, Gladys harus menahan diri melewati masa ngidamnya.Gladys harus bisa menghemat demi bertahan hidup, menjalani kerasnya kehidupan di ibu kota. Meski kerja di Hotel yang gajinya tak seberapa, hanya cukup untuk biaya makan dan bayar kontrakan saja.Dia terduduk, memegangi kedua lututnya, manik matanya berkaca-kaca. Menjalani kehamilan dengan begitu sulit. Saat tahu dirinya berbadan dua, Gladys sulit menerima kenyataan yang ada membuat hidupnya terlunta-lunta."Tahan ya, Nak. Jangan ingin sesuatu dulu. Mama lagi nggak punya uang," isak Gladys.Untung saja dia masih waras, mempertahankan nyawa yang tumbuh di rahimnya. Digugurkan pun bayi ini tidak berdosa.Gladys menatap sisa makanan kemarin malam, yang masih ada di plastik. Gladys membukanya, ia memakannya tanpa tahu basi atau tidaknya.Perutnya terasa sakit, menahan lapar selama beberapa jam lamanya. Andai saja
Arnesh tertidur dengan posisi duduk. Dia terserang kantuk, saat membujuk Gladys yang mengunci diri di dalam sana. Wajah rupawannya terpejam, betah tidur meski di posisi yang tak nyaman.Di kamarnya, Gladys meringis kesakitan. Merasakan perutnya mules dan sakit secara bersamaan."Awh, s-sakit," Ia merintih kesakitan.Bangkit berdiri, menuju kamar mandi untuk menuntaskan hajatnya. Tidak tahu kenapa, Gladys mules yang tak biasa. Dia membuka pintu, terkejut saat melihat sang suami sedang tidur."Dokter Arnesh?" gumamnya.Tidak memperdulikan itu, Gladys buru-buru ngibrit.Gladys pikir, setelah membuang hajat sekali dia akan lega. Rupanya tidak, rasa mulas itu berangsur lama sampai akhirnya Gladys bolak-balik entah keberapa kalinya."Pak ...." Gladys memanggil Arnesh, meminta bantuan karena tubuhnya sudah terkulai di lantai. "Pak Arnesh!" Lagi, ia memanggil dengan menaikkan nada.Arnesh terbangun, dia berjingkat saat melihat Gladys menahan sakit dan memegangi perut. Tak ayal, Arnesh mengham
Di atas brankarnya, Gladys hanya bisa diam dan berbaring. Dia tidak dibiarkan banyak bergerak, Arnesh akan menegurnya. Berhubung ini bukan ruangan VVIP, Gladys seruangan dengan pasien lainnya.Dia hanya bisa memperhatikan Arnesh yang sedang memeriksa. Aneh, Gladys jadi tertarik untuk menoleh, tepatnya ke arah Dokter Arnesh yang manangani seorang anak kecil.Gladys menatap lekat, betapa rupawannya Dokter Arnesh. Entah kesialan atau keberuntungan ia bertemu dan dinikahi Dokter tampan nan muda itu."Ini pasti bawaan Baby yang mau lihat Papanya," monolog Gladys pada dirinya sendiri.Rasa sakit dan mulasnya sedikit berkurang, berkat penanganan Dokter tampan yang menjadi suaminya.Di tempat Arnesh berdiri, ia mengangkat wajah. Tadinya ingin memastikan Gladys, tapi istri kecilnya tengah menatap ke arahnya. Wajah yang tak tertutup masker itu tersenyum tipis, lekas Gladys berbalik dan memunggungi."Dok, apakah anak saya sudah diperbolehkan pulang?" tanya Ibu pasien, yang sudah beberapa hari in
Kaki jenjang Dokter Arnesh melangkah, menuju ruangan kerjanya. Saat membuka pintu, dia melihat seorang wanita cantik tengah duduk dan bermain ponselnya.Dokter Arnesh membuka stelan kerjanya dan menyampirkan di kursi, dia duduk berhadapan dengan Livya yang menatapnya cemas."Kamu kenapa nggak pulang, Mas? Aku khawatir tahu," kata Livya, jarinya menaut disela-sela jari sang suami.Sembari bersandar, Dokter Arnesh tidak menolak dan berwajah datar, beda dengan sekali saat sedang bersama Gladys."Aku bukan anak kecil, Liv. Nggak perlu kamu khawatirkan," timpal Arnesh.Rasa senang Livya bertemu dengan suaminya kentara, bisa ditebak dari raut wajahnya begitu cerita, padahal Arnesh abai-abai saja."Kangen, pengen peluk," pinta Livya, manja.Tidak suami pada umumnya yang suka dengan sikap manja istrinya. Justru Arnesh malah sebaliknya, dia risih."Gerah," elak Arnesh. Namun tetap saja Livya tidak mendengarkan, seolah menulikan pendengaran dan duduk di pangkuan suaminya.Livya memang begini, l
Arnesh merasakan hal tak biasa, ketika melewati perjalanan bersama dengan Gladys. Seperti senang, tapi Arnesh juga tidak tahu apa yang terjadi. Padahal sikap Gladys cuek-cuek saja padanya.Depan gapura gang, keduanya berhenti. Lantaran mobil tidak bisa masuk ke sana."Kamu nggak usah turun, warga desa sedang ramai-ramainya jam segini," kata Gladys, melarang Arnesh turun.Lantaran di desanya, biasa ramai karena warganya banyak yang pulang kerja."Kan bisa pakai masker, Glad. Kamu emang kuat ngangkut belanjaan?" tanya Arnesh, yang masih ingin ikut dengan Gladys.Gladys menghunuskan tatapan tajam. "Tetap saja mereka akan bertanya, aku nggak mau mereka tahu!"Lagi, Arnesh hanya bisa pasrah saja. Biarpun Gladys cuek dan ketus, setidaknya wanita itu tidak mendiamkannya dan diam saja.Ia juga sudah bilang kepada Livya akan pulang sore, lain waktu Arnesh akan berkunjung ke kediaman istri keduanya.Tangan Arnesh merogoh saku, membawa dompet dan memberikan uang berwarna merah kepada Gladys. Dia