Share

10. Rencana Gavin

Gavin tercenung di depan meja kerjanya. Awangnya berkelana, teringat pada seraut wajah yang nyatanya timbul tenggelam dalam ingatannya. Ia tidak sepenuhnya melupakan raut itu.

'Gadis itu? Office girl yang waktu itu?'

Lelaki itu lantas meraih ponsel dan mendial satu nomor. Setelah menunggu beberapa saat, suara yang familiar terdengar dari seberang.

Halo?”

“Aldo, ke kantor gue sekarang. Gue butuh informasi.”

Kenapa nggak langsung tanya aja ada apa?”

“Sekarang.”

Gavin matikan ponselnya, kemudian menyandarkan punggung pada kursi kerja. Kembali berpikir-pikir kemungkinan yang paling tidak mungkin. 

Sepuluh menit kemudian, Aldo membuka pintu ruangannya tanpa mengetuk dulu.

“Ada apaan?” tanya pria itu, masih menyisakan raut kesal pada wajahnya.

“Al, lo inget nggak sama perempuan panggilan yang lo cariin buat gue, kira-kira empat atau lima tahun yang lalu?”

Aldo sontak ternganga. Gavin menyuruhnya datang segera saat jam-jam sibuk, hanya untuk menanyakan pertanyaan yang tidak masuk akal seperti ini? Bahkan tanpa basa-basi terlebih dulu?

“Vin, gue juga punya kesibukan. Bisa-bisanya lo suruh gue dateng hanya buat nanyain masalah ini?”

“Jawab aja!”

“Ya nggak inget, lah! Lima tahun yang lalu itu berapa banyak perempuan yang udah gue sewa, Gavin!”

“Sial!” Gavin mengerang dan mengacak rambutnya dengan frustasi. 

“Apa sih? Kenapa tiba-tiba tanya hal yang nggak jelas begini?” protes Aldo, tak habis pikir.

Gavin berdecak kesal. “Gue nggak mau tau, pokoknya lo cari tau siapa orangnya yang malam itu tidur sama gue. Waktu itu gue lagi mabuk, jadi nggak begitu ingat sama wajahnya, dan apa aja yang gue lakuin sama dia.”

“Astaga, Gavin, lo ini kesurupan apa gimana, sih?”

“Gue kasih waktu sampai besok. Sekarang menyingkir dari hadapan gue!”

Aldo melontarkan berbagai sumpah serapah sebelum meninggalkan ruangan besar yang sejuk itu. Menyisakan Gavin sendirian yang masih bergelut dengan pemikirannya sendiri.

Tentang gadis kecil yang ia temui di tepi pantai, yang demi apapun sangat mirip dengan dirinya, kemudian ibu si gadis kecil yang –Gavin yakin– adalah office girl yang menuntut pertanggungjawaban kepadanya lima tahun yang lalu.

Gavin harus menelusuri benang merah di antara kejadian-kejadian ini.

Suara ponsel yang berdering kemudian, membuyarkan lamunan Gavin. Pria itu meraih benda pipih yang tadi ia lemparkan ke sembarang arah setelah menelepon Aldo.

Kali ini panggilan datang dari nomor asistennya.

“Halo?”

Pak, saya sudah dapat beberapa informasi yang anda inginkan. Nama pemilik rumah sekaligus restoran itu adalah Maulina. Berusia awal lima puluhan. Tinggal bersama seorang perempuan berusia dua puluh enam tahun yang bernama Inara Kanina, dan putri tunggal Inara yang berusia lima tahun, Aylin Rosetta. Inara adalah single parent dan bukan anak Maulina. Dia besar di panti asuhan kota.

Gavin menyeringai di balik ponsel yang menempel di telinganya. Mencari sekedar informasi seperti ini, tentu saja bagi pria itu sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan.

“Selidiki tentang si Inara itu. Semua hal yang berkaitan dengannya,” perintahnya kemudian.

Baik, Pak. Saya akan hubungi lagi sesegera mungkin.”

Gavin meletakkan ponsel di atas meja, sesudahnya. Ia menghela napas dengan pandangan menerawang langit-langit ruangan.

“Hanya tinggal menunggu informasi dari Aldo. Kalau dugaanku tidak keliru, dan perempuan office girl yang waktu itu memang tidak hanya membual tentang kehamilan yang dia ributkan, maka besar kemungkinan gadis kecil di pantai itu berhubungan darah denganku. Dia anakku?”

Dua kata yang terakhir itu terdengar menggelikan. Gavin belum pernah berpikir sejauh memiliki anak, namun desakan dari ibunya yang akhir-akhir ini semakin gencar, sungguh membuatnya muak.

“Kalau aku bisa membuktikan semuanya, maka aku tidak perlu menikah dengan Jessica untuk mendapatkan pewaris yang sah. Perempuan bernama Inara itu tidak akan keberatan menukar anaknya dengan beberapa miliar rupiah, kan?”

Hari sudah cukup malam saat suara bel pintu apartemen berdentang. Aldo muncul di baliknya ketika Gavin membukakan pintu.

“Sebaiknya lo bawa sesuatu yang berharga kalo berani datang ke sini,” kata Gavin dengan nada datar, sementara Aldo berdecih. Pria itu melemparkan tubuhnya ke atas sofa tanpa menunggu dipersilahkan. Kemudian menarik keluar ponselnya.

“Gimana?” tagih Gavin.

“Gue nggak yakin, jujur aja waktu itu gue juga nggak terlalu ingat. Gue cuma ingat dapat tawaran dari salah satu orang kepercayaan. Dia bilang itu barang baru.” Aldo menyerahkan ponselnya, sementara Gavin menerima dengan raut wajah keberatan –Aldo menyebut barang baru dengan ringan sekali, padahal yang sedang ia bicarakan adalah manusia. 

Gavin melihat dengan seksama foto dalam layar ponsel itu. Kedua alisnya sontak terpaut.

Dugaannya tepat. Foto dalam ponsel itu adalah Inara Kanina.

“Lo bener-bener yakin ini orangnya, kan?”

“Vin, gue cari informasi seharian sampai kerjaan kantor terbengkalai!”

Gavin mengangguk dengan puas. Semua potongan informasi terhubung dengan sempurna.

“Sekarang gue tanya, ngapain lo cari-cari informasi tentang perempuan sewaan lima tahun yang lalu, yang bahkan entah dia masih hidup apa enggak?”

Pertanyaan itu membuat Gavin melayangkan pandangan tajamnya.

“Dia masih hidup. Gue baru aja ketemu dia beberapa minggu yang lalu, makanya gue minta informasi dari lo buat mastiin kebenarannya.”

“Kebenaran apalagi, hah?”

“Dia mengandung dan melahirkan anak gue, Al.”

“Ha?”

“Besok pagi-pagi, gue akan balik ke tempat itu. Gue harus pastikan sekali lagi dengan tes DNA. Kalau terbukti anak kecil itu memang anak kandung gue, gue akan bawa dia pulang. Dengan begitu, gue nggak perlu menikah sama Jessica, karena sudah punya pewaris yang sah.”

Aldo benar-benar kehabisan kata-kata. Ia hanya terpaku dengan mata terbelalak, tidak paham sama sekali dengan lelucon yang temannya itu sampaikan.

“Anak? Pewaris yang sah?”

*

Maulina mengendap-endap di antara para wisatawan yang mengunjungi pantai. Ia menatap awas kepada mobil SUV hitam yang terparkir tak jauh dari sana. Pasalnya, beberapa hari belakangan ini wanita itu agak terlalu sering melihat mobil itu di dekat restorannya. Para penumpangnya tampak tertutup dan mencurigakan. Lina sangat khawatir para pria itu memiliki rencana jahat.

Namanya Inara Kanina?

Jantung Lina mencelos saat ia mendengar sepotong nama dalam percakapan lirih para pria penumpang SUV.

Ya, laporkan segera kepada bos. Nama anaknya Aylin Rosetta. Informasi ini sedang ditunggu, jadi sebaiknya dilaporkan sesegera mungkin. Bos ingin ada tindakan segera.”

Sepenggal percakapan itu cukup menjadi bukti bahwa keselamatan Inara sedang terancam. Maka, wanita itu segera berlari pulang untuk menemui Inara.

“Kemasi barangmu segera, agar kalau sewaktu-waktu kamu harus pergi, kamu sudah siap,” sengal Lina sesampainya di rumah. Ia menemui Inara di dapur.

“Kenapa aku harus pergi, Bu?” Yang lebih muda bertanya dengan kerutan halus di dahi.

“Ibu mencuri dengar dari sekelompok orang yang bawa mobil bagus. Beberapa hari ini mereka berkeliaran di sekitar pantai. Mereka menyebut nama kamu dan Aylin, katanya akan melaporkan informasi ini ke orang yang mereka sebut bos. Ibu nggak ngerti Inara, tapi sepertinya ini hal yang serius.”

Inara tertegun sesaat, berusaha mencerna kata-kata wanita yang sudah ia anggap ibu sendiri ini. Detik berikutnya, pemahaman itu sekonyong-konyong menghantam kepalanya dengan telak.

“I-Ibu nggak salah dengar, kan?”

“Nggak Ra, Ibu dengar dengan jelas sekali. Ibu takut mereka bermaksud jahat.”

Gavin Devano Sanjaya. Nama itu terlintas begitu saja dalam benak Inara. Siapa lagi yang mungkin melakukan ini, kan? Apalagi, Gavin sudah sempat melihatnya ketika datang tempo hari. Ternyata Inara salah besar jika berpikir Gavin tidak mengingat dirinya dan pergi begitu saja.

“Aku harus bawa Aylin pergi, Bu.”

“Inara, Ibu nggak tahu apa-apa. Memangnya siapa mereka? Kenapa Aylin harus dilibatkan?”

Perempuan muda itu menelan saliva dengan pahit. “Ingat lelaki yang datang pagi-pagi ke sini? Yang Ibu katakan seperti orang kaya? Besar kemungkinan, itu adalah orang yang mencariku dan Aylin.”

“Tapi kenapa, Ra? Memangnya kamu mengenal dia?”

“Dia ….” Inara mengernyit menahan nyeri yang tiba-tiba memenuhi dadanya. “Adalah ayah biologis Aylin, Bu. Orang yang sudah menghancurkan masa depanku.”

“Ya Tuhan ….” Lina terkesiap, “Inara ….”

“Aku harus pergi dari sini sebelum orang itu datang lagi, Bu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status