Share

9. Bertemu

**

Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu.

Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri.

Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini?

“Mama? Mama!”

Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar.

“Mama, kok malah diam?”

“Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila.

“Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Berdiri terus nanti kakinya capek.”

Inara sungguh berharap bisa berpindah ke situasi yang manapun selain yang ini. Ia kembali menoleh dengan enggan ke arah pria yang masih berdiri di tempat.

“Silakan duduk, Pak,” ucapnya dengan jengah. Masih berusaha ramah meski rasanya ingin menghilang saja. “Apa anda ingin memesan sesuatu?”

Sementara itu, Gavin yang masih dilanda kebingungan, hanya bisa mengangguk dan mengambil tempat duduk yang terdekat. Pria itu biasanya akan protes keras dengan pelayanan publik yang kurang ramah, namun kali ini ia terlalu tenggelam dalam rasa terpana.

“Emm … menu sarapan?”

“Silakan tunggu sebentar.”

Inara hanya mengatakan itu sebelum berbalik meninggalkan Gavin tanpa sepatah pun kata lagi. Bahkan ia tidak ambil pusing dengan pelayanannya yang di bawah standar kali ini. Inara terlalu terkejut dan bahkan ia pikir dirinya bisa pingsan jika terus berada di bawah pandangan mata Gavin yang seperti itu.

Beberapa saat kemudian, perempuan itu kembali lagi bersama nampan berisi menu, yang ia letakkan dengan canggung di atas meja Gavin.

“Silakan, selamat menikmati,” ucapnya basa-basi tanpa memandang kepada lelaki itu . “Aylin, ayo ke belakang.”

“Tapi, Ma, Aylin mau temani Om makan. Omnya baik.”

“Aylin, ke belakang.”

Gadis cilik itu tak beranjak, dan justru terlihat merajuk.

“Apakah kita pernah bertemu?”

Demi Tuhan! Mengapa harus pertanyaan semacam itu? Inara mendesis kecil sementara menarik tangan putrinya agar bergerak. Gadis cilik itu tetap menampakkan raut keberatan, namun Inara tidak bisa menunggu lagi.

“Tidak, tidak pernah. Saya permisi.”

“Tapi aku seperti tidak asing denganmu. Dengan kalian–”

“Anda salah orang, maaf. Saya permisi.”

Gavin tertegun dengan sikap perempuan itu. Namun sekali lagi, ada sesuatu yang membuatnya mengurungkan niat melontarkan kata-kata pedas. Terutama saat melihat wajah si gadis cilik yang sesekali masih menoleh kepadanya.

Inara tidak menunggu kata-kata lanjutan untuk membawa putrinya menjauh dari meja tersebut, meski Aylin sendiri kelihatannya menolak pergi. 

Inara merasa kelewat shock, sebab setelah lima tahun yang ia jalani dengan susah payah, bisa-bisanya hari ini semesta semudah itu mempertemukan kembali dirinya dengan pria yang telah memberinya luka paling hebat dalam hidupnya.

“Ibu, nanti tolong Ibu saja yang mengantar bill-nya ke pelanggan yang itu, ya,” pintanya kepada Lina –pemilik tempat itu– setelah berada di dapur.

Lina adalah adik Ibu Yanti, yang menerima Inara dan Aylin dengan tangan terbuka saat pertama kali perempuan itu datang dalam keadaan kacau balau. Lantas Lina membantu merawat dan membesarkan Aylin seperti cucunya sendiri.

“Itu?” Lina mengintip Gavin melalui tirai pintu dapur. “Kok tumben, Ra? Memangnya itu siapa?”

“Nggak apa-apa kok. Cuma pelanggan biasa. Ibu aja yang ambil. Ya? Ah, dan kalau semisal dia nanyain namaku. tolong jangan kasih tahu ya, Bu?”

“Apa sih, kok aneh?” Lina mengerutkan dahi. Benar, mana bisa yang begini tidak mencurigakan? Namun, sekali lagi Inara hanya menggeleng.

“Nanti aku cerita kalau dia sudah pulang.”

Apa yang dianggap aneh oleh Lina, nyatanya jelas terjadi. Ketika ia menghampiri meja Gavin untuk memberikan bill, pria itu bertanya dengan lugas.

“Apakah perempuan yang tadi itu adalah ibu anak kecil yang juga di sini, Bu?”

Gelagapan, Lina ingat bahwa Inara tidak briefing masalah ini. Maka ia menjawab apa adanya. 

“Ah, itu? Benar, Pak. Itu tadi Putri dan cucu saya. Apakah ada pelayanannya yang kurang memuaskan? Saya mohon maaf.”

“Tidak,” jawab Gavin pendek, “Boleh saya tahu siapa namanya?”

“P-putri saya? Putri saya namanya Yanti.” Sebab terlalu gugup, maka Lina menyebut nama apapun yang terlintas dalam benaknya kala itu. 

Gavin mengerutkan dahi dan tampak tidak percaya, namun pria itu tak mengatakan apapun. Bahkan selepas membayar tagihan menunya, ia segera meninggalkan tempat tanpa menoleh lagi.

“Sudah pergi?” sambut Inara saat Lina kembali ke dapur. “Dia nggak tanya apa-apa kan, Bu?”

Lina meletakkan nampan berisi piring kotor ke dalam wastafel sebelum beralih kepada Inara. “Benar, dia memang tanya siapa namamu. Ibu jawab saja namamu Yanti, karena itu yang kepikiran.”

“Ada tanya yang lain lagi selain itu, Bu?”

“Nggak ada. Memangnya siapa sih dia? Kenalan kamu kah? Kelihatannya seperti orang kaya, ya?”

Inara terkekeh masam mendengar itu. Setengahnya ia merasa lega, sebab ternyata Gavin memang benar-benar tidak ingat kepadanya. Lebih baik memang seperti itu, kan? Jadi Inara bisa melanjutkan hidup dengan tenang.

“Inara, Ibu tanya, dia siapa? Apakah kamu mengenalnya?”

Pertanyaan itu membuat Inara menoleh sekilas kepada Aylin yang sedang sibuk dengan kerang-kerangnya di ambang pintu belakang. Gadis kecil itu sedang merajuk, sebab Inara melarangnya keluar menemui Gavin lagi tadi.

“bukan siapa-siapa. Hanya kenalan lama, Bu. Nggak penting juga, kok.”

Inara tersenyum. Benar, baginya Gavin memanglah bukan siapa-siapa. Ia justru bersyukur pria itu tidak mengingatnya.

*

Sementara itu, Gavin yang baru saja meninggalkan resort tempat ia liburan singkat, kini telah berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Pria itu tampak menghubungi seseorang lewat ponselnya.

“Aku sudah mengirim foto dan titik lokasi. Tolong kau selidiki pemilik tempat itu. Laporkan padaku segera, informasi sekecil apapun yang berhasil kau dapatkan.”

Itu saja, lalu gavin mengakhiri panggilannya.

Kemudian, ia beralih kepada supirnya yang bekerja dalam diam. “Carikan villa atau resort yang berada tidak jauh dari lokasi pantai yang tadi. Kirimkan foto dan harganya kepadaku.”

“Baik, Pak. Akan saya laksanakan segera,” jawab si supir. Melirik sekilas melalui kaca spion, dan mendapati wajah bosnya yang terlihat keruh.

Gavin sedang menatap ke luar jendela, memandang kelebatan-kelebatan lanskap di luar mobil dengan pandangan kosong.

Aku hanya penasaran. Lelaki itu membatin dalam diam. Tapi meski begitu, tetap akan aku cari tahu kebenarannya. Apakah seperti apa yang aku pikirkan?

*** 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status