Share

9. Bertemu

last update Last Updated: 2023-10-17 12:28:50

**

Inara masih berdiri di tempatnya. tak bergerak sedikitpun, seakan kedua kakinya tertancap ke dalam lantai tempat ia berpijak saat ini. Kedua bola matanya yang bergetar memandang lurus kepada entitas tampan yang juga sedang memandang dirinya itu, hanya saja bedanya, manusia rupawan itu memandang dengan wajah seperti berusaha mengingat sesuatu.

Tidak salah lagi. Itu Gavin Devano Sanjaya, mantan atasannya, CEO SR Corp yang namanya tersohor ke seantero negeri.

Inara merasa pembuluh darahnya mendadak menyempit. Apa yang dilakukan lelaki itu di sini?

“Mama? Mama!”

Tarikan kecil pada ujung blusnya membuat Inara kembali tersadar.

“Mama, kok malah diam?”

“Aylin, kamu dari mana saja? Kenapa sudah keluar rumah pagi-pagi begini?” Inara mengalihkan perhatian kepada putri kecilnya untuk menetralkan degup jantung yang menggila.

“Aylin main. Cuma main, kok.” Gadis cilik yang ternyata bernama Aylin itu membalas pandangan dengan takut-takut. “Ja-jadi, apa boleh Omnya duduk? Kasihan, Mama. Berdiri terus nanti kakinya capek.”

Inara sungguh berharap bisa berpindah ke situasi yang manapun selain yang ini. Ia kembali menoleh dengan enggan ke arah pria yang masih berdiri di tempat.

“Silakan duduk, Pak,” ucapnya dengan jengah. Masih berusaha ramah meski rasanya ingin menghilang saja. “Apa anda ingin memesan sesuatu?”

Sementara itu, Gavin yang masih dilanda kebingungan, hanya bisa mengangguk dan mengambil tempat duduk yang terdekat. Pria itu biasanya akan protes keras dengan pelayanan publik yang kurang ramah, namun kali ini ia terlalu tenggelam dalam rasa terpana.

“Emm … menu sarapan?”

“Silakan tunggu sebentar.”

Inara hanya mengatakan itu sebelum berbalik meninggalkan Gavin tanpa sepatah pun kata lagi. Bahkan ia tidak ambil pusing dengan pelayanannya yang di bawah standar kali ini. Inara terlalu terkejut dan bahkan ia pikir dirinya bisa pingsan jika terus berada di bawah pandangan mata Gavin yang seperti itu.

Beberapa saat kemudian, perempuan itu kembali lagi bersama nampan berisi menu, yang ia letakkan dengan canggung di atas meja Gavin.

“Silakan, selamat menikmati,” ucapnya basa-basi tanpa memandang kepada lelaki itu . “Aylin, ayo ke belakang.”

“Tapi, Ma, Aylin mau temani Om makan. Omnya baik.”

“Aylin, ke belakang.”

Gadis cilik itu tak beranjak, dan justru terlihat merajuk.

“Apakah kita pernah bertemu?”

Demi Tuhan! Mengapa harus pertanyaan semacam itu? Inara mendesis kecil sementara menarik tangan putrinya agar bergerak. Gadis cilik itu tetap menampakkan raut keberatan, namun Inara tidak bisa menunggu lagi.

“Tidak, tidak pernah. Saya permisi.”

“Tapi aku seperti tidak asing denganmu. Dengan kalian–”

“Anda salah orang, maaf. Saya permisi.”

Gavin tertegun dengan sikap perempuan itu. Namun sekali lagi, ada sesuatu yang membuatnya mengurungkan niat melontarkan kata-kata pedas. Terutama saat melihat wajah si gadis cilik yang sesekali masih menoleh kepadanya.

Inara tidak menunggu kata-kata lanjutan untuk membawa putrinya menjauh dari meja tersebut, meski Aylin sendiri kelihatannya menolak pergi. 

Inara merasa kelewat shock, sebab setelah lima tahun yang ia jalani dengan susah payah, bisa-bisanya hari ini semesta semudah itu mempertemukan kembali dirinya dengan pria yang telah memberinya luka paling hebat dalam hidupnya.

“Ibu, nanti tolong Ibu saja yang mengantar bill-nya ke pelanggan yang itu, ya,” pintanya kepada Lina –pemilik tempat itu– setelah berada di dapur.

Lina adalah adik Ibu Yanti, yang menerima Inara dan Aylin dengan tangan terbuka saat pertama kali perempuan itu datang dalam keadaan kacau balau. Lantas Lina membantu merawat dan membesarkan Aylin seperti cucunya sendiri.

“Itu?” Lina mengintip Gavin melalui tirai pintu dapur. “Kok tumben, Ra? Memangnya itu siapa?”

“Nggak apa-apa kok. Cuma pelanggan biasa. Ibu aja yang ambil. Ya? Ah, dan kalau semisal dia nanyain namaku. tolong jangan kasih tahu ya, Bu?”

“Apa sih, kok aneh?” Lina mengerutkan dahi. Benar, mana bisa yang begini tidak mencurigakan? Namun, sekali lagi Inara hanya menggeleng.

“Nanti aku cerita kalau dia sudah pulang.”

Apa yang dianggap aneh oleh Lina, nyatanya jelas terjadi. Ketika ia menghampiri meja Gavin untuk memberikan bill, pria itu bertanya dengan lugas.

“Apakah perempuan yang tadi itu adalah ibu anak kecil yang juga di sini, Bu?”

Gelagapan, Lina ingat bahwa Inara tidak briefing masalah ini. Maka ia menjawab apa adanya. 

“Ah, itu? Benar, Pak. Itu tadi Putri dan cucu saya. Apakah ada pelayanannya yang kurang memuaskan? Saya mohon maaf.”

“Tidak,” jawab Gavin pendek, “Boleh saya tahu siapa namanya?”

“P-putri saya? Putri saya namanya Yanti.” Sebab terlalu gugup, maka Lina menyebut nama apapun yang terlintas dalam benaknya kala itu. 

Gavin mengerutkan dahi dan tampak tidak percaya, namun pria itu tak mengatakan apapun. Bahkan selepas membayar tagihan menunya, ia segera meninggalkan tempat tanpa menoleh lagi.

“Sudah pergi?” sambut Inara saat Lina kembali ke dapur. “Dia nggak tanya apa-apa kan, Bu?”

Lina meletakkan nampan berisi piring kotor ke dalam wastafel sebelum beralih kepada Inara. “Benar, dia memang tanya siapa namamu. Ibu jawab saja namamu Yanti, karena itu yang kepikiran.”

“Ada tanya yang lain lagi selain itu, Bu?”

“Nggak ada. Memangnya siapa sih dia? Kenalan kamu kah? Kelihatannya seperti orang kaya, ya?”

Inara terkekeh masam mendengar itu. Setengahnya ia merasa lega, sebab ternyata Gavin memang benar-benar tidak ingat kepadanya. Lebih baik memang seperti itu, kan? Jadi Inara bisa melanjutkan hidup dengan tenang.

“Inara, Ibu tanya, dia siapa? Apakah kamu mengenalnya?”

Pertanyaan itu membuat Inara menoleh sekilas kepada Aylin yang sedang sibuk dengan kerang-kerangnya di ambang pintu belakang. Gadis kecil itu sedang merajuk, sebab Inara melarangnya keluar menemui Gavin lagi tadi.

“bukan siapa-siapa. Hanya kenalan lama, Bu. Nggak penting juga, kok.”

Inara tersenyum. Benar, baginya Gavin memanglah bukan siapa-siapa. Ia justru bersyukur pria itu tidak mengingatnya.

*

Sementara itu, Gavin yang baru saja meninggalkan resort tempat ia liburan singkat, kini telah berada di dalam mobil untuk perjalanan pulang. Pria itu tampak menghubungi seseorang lewat ponselnya.

“Aku sudah mengirim foto dan titik lokasi. Tolong kau selidiki pemilik tempat itu. Laporkan padaku segera, informasi sekecil apapun yang berhasil kau dapatkan.”

Itu saja, lalu gavin mengakhiri panggilannya.

Kemudian, ia beralih kepada supirnya yang bekerja dalam diam. “Carikan villa atau resort yang berada tidak jauh dari lokasi pantai yang tadi. Kirimkan foto dan harganya kepadaku.”

“Baik, Pak. Akan saya laksanakan segera,” jawab si supir. Melirik sekilas melalui kaca spion, dan mendapati wajah bosnya yang terlihat keruh.

Gavin sedang menatap ke luar jendela, memandang kelebatan-kelebatan lanskap di luar mobil dengan pandangan kosong.

Aku hanya penasaran. Lelaki itu membatin dalam diam. Tapi meski begitu, tetap akan aku cari tahu kebenarannya. Apakah seperti apa yang aku pikirkan?

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   163. Semuanya Baik-Baik Saja

    **Inara masih cemberut dan sedikit kesal kepada Aldo sampai beberapa saat kemudian ia kembali ke kediaman orang tuanya. Ia tidak pulang ke rumah setelah menjemput Aylin dan Alaric pulang sekolah. Justru membawa kedua buah hatinya ke sana, sebab sang suami masih belum pulang dari perjalanan bisnis. Kemungkinan tengah malam nanti baru akan sampai di rumah, jadi Inara malas di rumah sendirian.Yeah, Inara masih melanjutkan marahnya kepada sang kakak setelah beberapa saat waktu berlalu. Nah, alih-alih merasa sang adik childish, Aldo justru gembira melihat Inara cemberut sepanjang waktu begitu. Menurutnya itu sangat menggemaskan.“Aku bukan anak kecil yang harus kamu awasi ke mana-mana,” sungut Inara ketika Aldo masih juga bertanya mengapa dirinya marah.“Aku kan hanya khawatir. Karena Gavin juga lagi nggak ada, makanya aku gantiin dia buat jagain kamu.”“Ya tapi nggak perlu segitunya kali, Om. Kamu berharap aku beneran jambak-jambakan sama Jessica, begitu?”Aldo terkikik lagi. Ini menyen

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   162. Dia Sudah Berubah

    **Inara melajukan mobilnya dengan tenang. Ya, memang sedikit was-was, namun entah bagaimana ia juga merasa tenang kali ini. Mungkin karena saat ini, ia merasa sudah memiliki lebih banyak dukungan untuk menghadapi Jessica. Dan lagi, bukankah kali ini Riani sudah berada di pihaknya? Tidak mungkin kan kalau mertuanya itu kembali keukeuh menjodohkan Gavin dengan Jessica secara tiba-tiba.Sangat amat tidak mungkin.Maka, Inara tersenyum lebar kala ia sampai di pintu gerbang mansion milik Riani. Sang mertua sudah berada di halaman, sedang mengobrol bersama sekuriti yang berjaga. Ia buru-buru mendekat saat Inara menekan klakson mobilnya sekali.“Maaf, aku jadi meminta kamu untuk ini.” Riani berujar seraya membuka pintu mobil dan masuk. “Rendra lagi dalam perjalanan dinas sama Gavin. Sementara aku nggak begitu senang pakai supir yang lain. Lebih baik aku sama kamu saja.”Lagi, Inara tersenyum. Entah harus merasa tersanjung atau bagaimana. Apakah maksudnya Riani menganggapnya supir yang baik,

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   161. She's Back?

    **“Sepertinya aku nggak dulu sih, Inara.”Nah, kata-kata itu akhirnya menjadi beban yang menggelayuti pikiran Inara hingga berhari-hari ke depan. Sudah tidak ada lagi permasalahan berat yang Inara hadapi. Ia juga sudah kembali aktif bekerja, menerima projek-projek desain interior dari klien. Pun Gavin, yang kembali sibuk di kantor. Sekarang sedang berkutat dengan pembukaan beberapa kantor cabang asuransi di kota-kota besar lainnya. Life goes on, hidup berjalan sebagaimana mestinya setelah segala drama yang sudah terjadi.Hanya saja satu hal yang yang membuat perempuan itu sering terdiam berlama-lama ; Sang kakak yang kian menua, namun belum menemukan rekan pendamping seumur hidup.Dan ternyata sepertinya Salsa pun tidak ada harapan. Padahal sebenarnya Inara sudah senang sekali saat Aldo menyatakan ketertarikan kepada perempuan itu.“Kenapa kamu yang pusing? Aku aja nggak pusing,” kata Aldo ringan sekali. Siang ini pria itu sedang mengganggu kerja sang adik di kediaman keluarganya. S

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   160. Usaha Menyatukan

    **Ini adalah hari yang hangat, di mana dua keluarga berbaur sekaligus. Matahari sudah hampir menggelincir menuju ufuk barat, menyambut senja yang sebentar lagi akan tiba. Pasangan suami istri Bagaskara serta putra sulung mereka, sedang bercengkerama di halaman belakang kediaman Gavin yang sejuk dan luas. Tentu saja ada Inara, Gavin, dan kedua putra putri mereka di sana. Oh, ditambah pula kucing besar putri sulung Gavin yang sekarang ukurannya semakin mengkhawatirkan.“Baby, bisakah makhluk itu kamu kemanakan dulu, begitu? Ini agak menyeramkan Sayang, kalau makhluk sebesar itu berguling-guling bersama kita.” Riani berujar sembari menunjuk Kimmy, yang memang sedang berguling-guling manja di atas rerumputan. Aylin sedang menggaruk-garuk perutnya yang gembul. “Oma takut kalau-kalau dia khilaf dan mencakar kita semua, begitu.”“Kimmy nggak akan mendekati siapapun kecuali Aylin yang suruh,” tukas si bocah tanpa sedikitpun beranjak dari tempatnya semula. “Iya kan, sayang? Kimmy sayang, who’

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   159. Memang Lucu

    **“Serius, Inara. Kamu mau ngapain sih ketemu sama Salsa? Bukannya dia sudah minta maaf? Masih haruskah ketemu segala?”“Aku yang mau ketemu sama dia, kenapa kamu yang panik begitu?”Inara terkekeh pelan ketika ia bersiap-siap akan berangkat bertemu dengan Salsa siang ini. Dan lucu saja rasanya melihat sang suami yang panik sendiri, padahal ia sendiri tidak kenapa-kenapa. “Tapi, kan–”“Sudahlah, aku nggak apa-apa, Pa. Aku ketemu sama Salsa juga bukan mau cari masalah, kok. Toh, dia sendiri juga sudah setuju, kan?”“Siapa yang mau ketemu sama Salsa?”Sepasang suami istri itu sontak menoleh ke ambang pintu rumah ketika sebuah suara turut bergabung tanpa diminta. Aldo berdiri di sana dengan wajah tertarik.“Kenapa kamu setiap hari ke sini? Apakah kamu nggak punya rumah sendiri?” Inara menunjuk lelaki itu dengan mata memicing.“Astaga, begitukah caramu bersikap kepada kakak satu-satunya?” Aldo menimpali dengan gestur terluka. Ia justru menyelonong masuk dan menghempaskan pantat di singl

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   158. Rencana Bertemu

    **Inara melambaikan tangan kepada putra dan putrinya yang sudah berada di dalam mobil sebelum keduanya menghilang bersama Rendra di balik pintu gerbang rumah. Hari ini memang Rendra yang mengantar sekolah. Alaric dan Aylin sendiri yang meminta diantarkan oleh orang kepercayaan Gavin itu. Tidak mau diantar oleh Mama atau Papa mereka. Entah ada rahasia kecil apa yang kedua anak itu akan bagi di dalam mobil.Sementara Inara sendiri kemudian kembali ke dalam rumah, dan mendadak saja rasa bimbang menghampiri benaknya. Teringat si kecil Alaric yang beberapa hari belakangan ia dengar sering berbagi cerita dengan kakaknya perihal ‘Tante’. Entah siapa tante yang Al maksudkan. Sebab setiap Inara bertanya, baik Alaric maupun Aylin selalu hanya mengatakan bukan siapa-siapa, hanya orang lewat.“Apakah Gavin tahu sesuatu tentang ini?” Inara bertanya-tanya kepada dirinya sendiri sementara kembali melangkah ke dalam kamar untuk mencari suaminya.Pria itu ada di sana. Baru saja selesai mandi dan masi

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   157. Permintaan Maaf Salsa

    **“ … Tapi kenapa Om nggak suruh Tantenya nunggu aku sebentar? Kan aku masih mau ngobrol sama Tantenya.”“Halah bocil! Udah dibilang nggak boleh ngobrol sama orang asing. Lagian kamu tuh mau ngobrolin apa sih sama orang tua?”Gavin menengok sekilas ketika suara ribut-ribut terdengar memasuki ruangan depan rumahnya. Pria itu menunggu hingga si empunya suara muncul ke ruang tengah di mana dirinya berada saat ini.“Lagi berantem masalah apalagi kalian berdua?” Pria itu segera menyahut begitu bayangan Aldo muncul di ambang pintu yang mempartisi ruang depan dengan ruang tengah.“Loh, lo ada di rumah? Tumben banget?” Aldo meletakkan tas sekolah Alaric di atas sofa, sebelum menghempaskan tubuhnya di sana juga.“Pulang sebentar buat nengokin Inara, habis ini balik ke kantor. Gue tanya, kenapa kalian berdua ribut-ribut?”Aldo baru saja akan memelototi Alaric untuk memberi bocah itu isyarat agar diam. Namun si kecil sudah keduluan berujar dengan polos, “Tadi ada tante itu ke sekolah, Pa. Al ka

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   156. Rasa Bersalah

    **Salsa Kamila kebetulan saja sedang jalan-jalan sendirian siang ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan di rumah, jadi ia bosan. Terlebih lagi, ia juga sedang meratapi nasib lima belas miliarnya yang raib bersama kematian Marvel. Yah, meskipun jumlah sekian tidak akan membuatnya mendadak miskin. Tapi tetap saja itu sayang, kan. Ia bisa menebus dua buah Aventador dengan uang sekian.Perempuan cantik itu menghentikan mobilnya pada jalur zebra cross sebab sekelompok anak-anak sedang menyeberang jalan. Salsa yang tidak pernah menyukai anak-anak memandang dengan bosan, sebelum kemudian objek yang ia lihat berhasil menyita perhatiannya.Bocah laki-laki tampan di seberang jalan itu.“Itu putranya Gavin?” Salsa bertanya kepada diri sendiri sembari menatap lekat si kecil yang sudah pernah ia temui sekali sebelum ini. Salsa belum lupa dengan wajahnya, kok.“Apakah aku harus turun dan menyapa? Kenapa dia sendirian?”Sekali lagi, Salsa bukanlah pecinta anak-anak. Namun wajah tampan dan lucu bocah k

  • Mengandung Pewaris Tuan CEO   155. Penutup Hari

    **(Mengandung konten 21+)Gavin menutup pintu kamar perlahan dan melangkah mendekati ranjang di mana sang istri sedang menunggu dengan senyum lembut. Pria itu meredupkan lampu sebelum menyusul naik ke atas ranjang dan merentangkan tangan untuk merangkul bahu wanitanya.“Anak-anak sudah tidur?” Inara bertanya.Gavin mengangguk. “Alaric minta tidur sama kakaknya. Aylin awalnya nggak mau, tapi akhirnya ya mau juga daripada lihat adiknya nangis.”“Ah, maaf, jadi kamu yang susah payah bujukin mereka nggak, sih? Harusnya tadi aku saja–”“Nggak, Sayang. Kamu harus istirahat. Lagian masalah anak-anak saja, masa aku nggak bisa ngatasin, sih. Aku kan Papanya mereka.”Inara tersenyum lagi. Ia mengikis jarak dan kian merapatkan diri. Kedua tangannya memeluk pinggang Gavin dengan manja.“Terimakasih banyak untuk semuanya.” Perempuan itu berujar pelan sembari mendongak, memandang wajah sang suami yang selalu tampan dan sama sekali tidak berubah kendati lebih dari satu dekade sudah mereka lewati be

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status