**Selama berhari-hari berikutnya, Aylin dihujani dengan berbagai hadiah mahal dan pelayanan bak putri raja oleh Gavin Devano Sanjaya. Tak lain adalah karena hasil tes DNA yang sudah keluar dan membuktikan bahwa gadis kecil itu benar-benar putri sang Direktur.Nah, Inara sama sekali tidak terkejut. Apa memangnya yang ia harapkan? Ia benar-benar masih perawan sampai ketika Gavin menjamahnya. Dan sesudahnya, ia juga tidak pernah mengenal lelaki manapun. Bahkan tanpa tes pun sebenarnya semua orang juga percaya jikalau Gavin mengakui Aylin begitu saja. Paras keduanya benar-benar mirip satu sama lain.“Nona, anda tidak perlu melakukan itu. Biarkan saja,” tegur salah seorang maid atau pelayan –yang Gavin bawa ke rumah sakit khusus untuk membantu merawat Aylin– saat melihat Inara melipat baju-baju ganti sang putri.“Ah, nggak apa-apa,” kilah Inara sembari tersenyum canggung. “Saya bosan nggak melakukan apa-apa. Lagi pula kan Aylin hari ini mungkin sudah boleh keluar, jadi saya bereskan baran
**“Saya bukan pencuri, Nona ….”“Jadi, siapa kau? Nggak mungkin Gavin memiliki kenalan perempuan lusuh sepertimu. Lihat saja, kau seperti asisten rumah tangga begitu.”Inara menunduk dalam-dalam. Ia sadar betul, jika dibandingkan dengan perempuan di hadapannya yang seperti artis ibu kota itu, penampilannya memang terlihat sangat kontras.“Nah, nggak bisa jawab kan, kau? Memang dasar pencuri! Pergi dari sana sekarang juga, atau aku beneran telepon polisi! Pergi!”Jessica meraih baju Inara dan menyeretnya paksa ke arah pintu. Membuat perempuan itu berseru panik, sebab sang putri berbuat hal yang sama.“Lepasin mamaku, orang jahat! Lepasin mamaku!” Aylin menarik Inara dari arah yang berlawanan.“Diam, kamu! Bocah ingusan!”“Orang jahat!”“Jessica, apa-apaan ini? Lepaskan dia, Jessica!”Cengkeraman kuat Jessica mendadak lepas saat vokal baritone itu keras berseru dari ambang pintu. Gadis itu menoleh, dengan wajah agak shock, ia mencoba klarifikasi.“Orang ini sedang ada di dapur apart ka
**“Siapa perempuan itu? Sialan!”Jessica Freya memukuli setir mobilnya bertubi-tubi, melampiaskan rasa kesal yang sudah meluap sejak ia meninggalkan apartemen Gavin. “Baru kali ini Gavin bawa pulang perempuan, tapi kenapa bentukannya kayak gembel begitu? Sudah begitu, aku pula yang disalahkan! Apa maunya itu orang sebenarnya?”Puas mengomel dan marah-marah kepada setir mobilnya, perempuan cantik itu lantas meraih ponsel yang tergeletak di atas dashboard. Mendial sebaris nomor kemudian.Butuh beberapa kali dengung nada sambung sampai panggilannya diterima.“Aldo!” seru Jessica, bahkan tanpa salam pembukaan atau sesuatu. “Siapa perempuan yang ada di apart Gavin?”“Hah?”“Hah-hah, aku tanya siapa perempuan yang ada di apart Gavin, jangan seperti orang bodoh begitu, kamu!”“Kenapa kamu tanya aku, bukan Gavin sendiri? Kamu pikir aku ibunya?” jawab lelaki bernama Aldo di seberang sana, tak kalah sarkas. Sendirinya juga kaget tiba-tiba dituntut seperti itu tanpa aba-aba apapun.“Biasanya k
**SUV hitam milik Gavin berhenti di pelataran luas kediaman kedua orangtuanya ketika malam belum cukup larut. Mungkin sekitar pukul delapan atau sembilan malam. Namun, bagaimanapun Gavin memacu kendaraan dengan cepat, sepertinya ia harus kecewa ketika melihat mobil Jessica sudah ada di sana. Ia terlambat, ya.Lelaki itu disambut oleh raut keruh sang Mami bahkan pada langkahnya yang pertama menapaki lantai rumah.Nah, mendapati ekspresi seperti itu dari Riani Sanjaya, perasaan Gavin semakin tidak enak.“Selamat malam, Mam,” sapa sang putra tunggal Sanjaya. Ia mencoba tersenyum, namun yang keluar justru seringai sarkas. “Mami baik sekali menyambutku seperti ini di pintu masuk. Biasanya nggak pernah.”Riani berdecih. Ia memutar tumit dan melangkah kembali ke dalam ruangan, diikuti Gavin di belakangnya.“Melihat gelagat Mami, sepertinya sudah ada yang melapor macam-macam,” komentar Gavin lagi.Riani menoleh sekilas. “Ke ruang tengah, Vin. Jessica dan Papi sudah menunggu di sana.”“Aku ha
**Inara tidak tahu, menunggu itu ternyata bisa semenjenuhkan ini. Ia juga tidak tahu, malam ternyata bisa terasa sepanjang ini. Sepanjang malam perempuan itu lewati dengan gelisah. Sebentar-sebentar ia terbangun dari tidurnya dan berharap hari sudah terang, namun ternyata waktu hanya bertambah sepuluh menit dan sepuluh menit lagi. Lambat sekali, entah mengapa.Penyebab Inara menunggu hari cepat berganti, tak lain dan tak bukan adalah karena sosok yang beberapa waktu belakangan ini telah menyertai hidupnya.Inara mengkhawatirkan Gavin, ya. Sekali lagi, ia tidak –belum– terlalu mengenal bagaimana kehidupan seorang Gavin Devano Sanjaya, jadi ketika lelaki itu berjanji akan pulang esok pagi, Inara benar-benar berharap pagi yang Gavin janjikan segera datang.“Tunggu, kenapa aku nungguin dia?” Seperti baru tersadar, ia merasa amat heran dengan kelakuannya sendiri. “Bukankah sama sekali nggak menjadi urusanku apa yang dia lakukan di luar sana? Dia meninggalkan aku dan Aylin di dalam rumah m
**“Pak, s-saya nggak sengaja, tolong lepaskan saya, jangan begini–”Inara berusaha menggeser tubuhnya yang jatuh tepat di atas tubuh Gavin, berusaha menyingkirkan kedua tangan yang bertengger dengan santai di pinggangnya itu. Namun, sepertinya satu yang lain sama sekali tidak kooperatif. Tidak bermaksud mengendurkan cengkeramannya, pun. Sampai Inara nyaris menangis dibuatnya.“Pak! Lepaskan!”“Terserah aku mau lepas apa nggak,” tolak Gavin dengan santai. Sesungguhnya pria itu sudah hampir meledak tertawa melihat wajah ketakutan Inara yang hampir menangis, tapi ia masih berpura-pura memasang tampang sangar. Rasanya menyenangkan melihat gadis itu kepayahan menjauh. Menyenangkan sekaligus … membuatnya panas.Baiklah, Gavin mengutuki dirinya sendiri untuk yang terakhir.“Pak,lepas–”“Mama?”Nah, Aylin menyelamatkan keadaan. Gavin akhirnya melepaskan tangannya dari pinggang Inara sehingga perempuan itu bisa menjauhkan diri saat mendapati Aylin sudah berdiri di ambang pintu kamar. Wajahnya
**“Pak Gavin, apa saya boleh duduk di belakang saja, bersama Aylin?” tanya Inara dengan takut-takut. Sebab setelah berkata demikian, Gavin segera melemparkan tatapan tajamnya.“Apa di matamu aku terlihat seperti sopir pribadi?”“Ah, tidak, tidak. Bukan begitu, Pak. Saya hanya–”“Duduk di depan, Inara.”Lalu seperti biasanya, Inara tidak bisa menolak titah pria itu. Ia menutup pintu belakang mobil dan membuka yang depan dengan lesu. Melayangkan tatapan iri kepada Aylin yang sedang bermain-main dalam damai bersama boneka-bonekanya di kursi belakang.Sekali lagi, Inara duduk di samping Gavin di dalam mobil yang beberapa saat kemudian melaju dalam kecepatan konstan menuju entah.Inara kembali membisu sepanjang perjalanan. Ia tidak tahu pria tampan di sampingnya ini akan membawanya ke mana. Pun Inara tidak berani bertanya macam-macam.Sampai akhirnya suara Aylin memecah keheningan canggung itu.“Om, kita mau ke mana?”“Hm?” sahut Gavin pelan, ”Aylin maunya kita ke mana?”“Jalan-jalan ya,
**Inara tahu, Gavin berkali-kali menoleh memandangnya dari balik kemudi. Terlihat dari sudut mata. Namun, Inara sama sekali tidak berani memandang balik. Ini menjengkelkan, benar. Sebab setelah memandang sekilas, Gavin tersenyum-senyum seperti orang lupa diri. Inara merasa sangat terintimidasi karenanya.“Pak Gavin, apakah ini terlihat sangat aneh di mata anda?” desahnya frustasi. Perempuan itu mencengkeram ujung dress berwarna merah marun yang ia kenakan.“Menurutmu, apakah aneh?”“T-tidak, Pak. Tadi waktu di cermin, kelihatan bagus, kok.”“Nah, ya sudah. Berarti nggak aneh.”“Tapi kenapa Pak Gavin menoleh-noleh terus sambil tersenyum begitu?”“Aku tidak tahu kalau aslinya kamu sangat cerewet, Inara. Terjawab sudah dari mana Aylin mendapatkan sifat itu.”Bungkam sudah. Inara seperti mati kutu mendapat pernyataan seperti itu dari Tuan CEO ini. Baginya, ini sangat memalukan. Lantas ia hanya cemberut dengan tangan terus mencengkeram ujung dress yang tepat berada di atas lututnya itu.“