Share

Bertemu silumn ular

Treng!! Treng!! Treng!!

Suara besi beradu dengan bebatuan di pinggir sungai, membuat nyali Rumana kian menciut. Dia sadar, pasti makhluk itu datang lagi mencarinya. Di kejar dua bocah setan yang sangat mengerikan di tambah makhluk misterius yang begitu seram, sudah seperti paket komplit yang menguji nyali.

Mau lanjut lari ke ke pinggiran sungai untuk menghindari kejaran dua setan cilik tapi takut di hadang makhluk menyeramkan lagi, kalau lari ke hutan, sama saja bunuh diri. Dua setan cilik itu terlihat sangat mengerikan dengan mulut sobek dan bola mata yang hampir keluar, lidah yang terus mengeluarkan air liur, terkesan begitu menjijikan dan mengerikan. Seperti zombie yang pernah dia tonton di televisi, tetapi mana ada zombie di negeri ini. Bukankah makhluk mengerikan itu hanya ada di luar negeri.

Membayangkan bertemu mereka lagi sudah sangat membuat Rumana bergidik ngeri. Bagai buah simalakama, mau mundur takut, maju apa lagi.

Kedua netra Rumana menyapu sekeliling yang hanya ada kegelapan dan semak daun pandan berduri, yang tadi sempat dia gunakan untuk bersembunyi. Pikirannya buntu, mau tidak mau dia harus merasakan lagi nikmatnya tusukan duri-duri pandan yang sebelumnya sempat melindungi dia dari kejaran makhluk mengerikan itu.

Degup jantungnya naik turun tak beraturan, keringat dingin menjalar sekujur tubuhnya. Di tempat itu, di depan sungai yang kini di depan matanya, beberapa saat lalu dia alami kejadian yang membuat hatinya ngilu.

Ia takut kejadian tadi terulang lagi, memegang kepala menyerupai Rihana yang sangat mengerikan, dan menyaksikan aliran sungai yang jernih berubah jadi darah segar. Dia memejamkan mata untuk menghalau rasa takutnya. Tiba-tiba sebuah tangan yang sangat dingin memegang tangannya yang dia lingkupkan ke lutut untuk menutup seluruh wajahnya.

"Jangan!" Triak Rumana histeris, dia pikir makhluk itu yang sudah berhasil menemukannya di semak ini.

Matanya masih terpejam karena tak mau melihat makhluk mengerikan itu di depan wajahnya, dia pikir tamat sudah riwayatnya, dan mungkin dia akan meninggal di tempat ini.

"Ibu...ssstttt!" Suara Rihana membuat Rumana membuka mata perlahan. Dia mengamati seorang gadis yang persis dengan Rihanna yang kini tepat di depan wajahnya.

Rumana terpaku dengan posisinya, dia tidak mau terkecoh lagi seperti sebelumnya. Dia takut sedang di permainkan lagi di tempat suram dan mengerikan ini.

"Ibu kenapa bisa ada di sini, apa Ibu mencari kami sampai ke sini?" Ujar gadis itu pelan tapi masih sangat jelas di telinga Rumana.

Mendengar penuturan Rihanna. Barulah Rumana percaya bahwa itu memang benar sukma anak pertamanya. Dengan Rianti yang terus memegang baju belakang kakaknya.

"Anak-anakku," Rumana menangis dan memeluk kedua anaknya. Rianti yang ketakutan hanya diam di belakang kakaknya. Anak itu takut kalau yang mereka kira Ibunya, ternyata jelmaan makhluk halus di tempat ini.

Rumana langsung memeluk Rihanna dan Rianti, lalu menghujami ciuman bertubi-tubi di pipi dan kening kedua anaknya. Sebuah mimpi yang indah bisa bertemu lagi dengan kedua putrinya yang dia sadari telah tiada, meskipun kenyataannya ini adalah mimpi buruk untuknya.

Makhluk dengan senjata jiwa berupa sabit maut itu, sudah merencanakan pertemuan kedua anak dengan Ibu mereka di sini. Tujuannya, agar Rumana semakin tersiksa dan menderita setelah menyaksikan sendiri kedua anaknya jadi budak iblis di alam sarpa ini, tanpa dia bisa melakukan apapun untuk kedua buah hatinya.

***

"Ibu kenapa ada di sini? Apa Ibu mencari kami sampai sini?" Tanya Rihana bingung, karena mengetahui Ibunya berada di tempat yang sama dengannya.

Mendapat pertanyaan sang buah hati tercinta, Rumana bingung harus menjawab apa. Dia menduga, kedua anaknya tidak sadar bahwa mereka sebenarnya telah tiada dari dunia.

"I-iya, Sayang. Ibu sengaja mencari kalian sampai sini. Kalian baik-baik aja kan? Apa makhluk itu menyakiti kalian," tanya Rumana pelan, penuh kasih sayang.

"Kok Ibu bisa tahu kami tadi di culik makhluk menyeramkan itu?" Tanya Rihana curiga. Tatapannya penuh selidik. Kenapa Ibunya bisa tahu dia sempat tertangkap oleh makhluk itu. Kalau tahu, kenapa tidak berusaha menolongnya. Ibu macan apa yang tega membiarkan kedua anaknya di tangkap oleh makhluk mengerikan seperti itu.

"T-tidak, Nak. Ibu hanya menebak saja, karena Ibu juga sedang di kejar oleh makhluk mengerikan itu," kilah Rumana. Dia tidak mungkin bicara yang sebenarnya pada putrinya yang sudah hampir menginjak remaja, takut malah jadi berburuk sangka karena tak bisa menolongnya. Padahal dia sudah berusaha sekuat tenaga untuk menolong mereka, tetapi sesuatu telah membuatnya tak berdaya dan hanya bisa menyaksikan saja dengan keperihan hati yang tidak terkira.

"Ssttt..." Rihana menempelkan jari telunjuk di hidung dan bibirnya."makhluk itu mendekat, kita jangan bersuara lagi."

Rumana segera mendekap kedua anaknya, di tengah kegelapan dan pedihnya goresan pandan berduri. Tetapi dia bisa sedikit lega karena telah berhasil menemukan sukma kedua anaknya. Seandainya ini dunia nyata, dia tak akan pernah lagi melepaskan kedua putrinya. Terbesit ego dalam hatinya, bagaimana kalau dia berhasil membawa kedua putrinya keluar dari alam ini, dan menghidupkan mereka lagi.

Apakah itu akan mungkin terjadi? Bisakah mereka keluar dari alam sarpa ini bersama? Atau justru sukma Rumana yang malah terjebak selamanya di sana? Entahlah.

"Hhhhmmmm..." Geraman makhluk itu terdengar semakin mendekat, di susul suara dentingan soul weapon yang sengaja di goreskan di atas bebatuan.

Tiba-tiba dari depan mereka muncul se ekor ular kobra yang mendesis serta menjulurkan lidahnya. Hampir saja Rumana terpekik saking kagetnya. Bagaimana tidak, ular yang bisa mematikan itu hanya berjarak beberapa inci dari tempat mereka duduk berpelukan.

Rumana memberikan kode pada kedua anaknya untuk tetap diam dan tidak bergerak sedikitpun, agar binatang melata itu tak menyadari keberadaan mereka. Rianti yang sudah di dekap Ibunya, kini mulai tenang dan tak merengek lagi seperti sebelumnya, sehingga mereka benar-benar bisa diam dalam pelukan seperti patung.

Perlahan tapi pasti, ular yang sejak tadi seperti memperhatikan mereka berubah wujud mulai dari kepala. Kini sesosok lelaki gagah perkasa setengah ular telah berdiri di hadapan mereka. Rumana panik bukan kepalang, dia tak percaya menyaksikan semua ini dengan mata kepalanya, meskipun dia sadar ini bukan di dunia manusia.

Tapi tak pernah terbayangkan olehnya akan di tampakan makhluk setengah ular ini seperti yang pernah dia tonton di film kolosal. Mau teriak tapi tidak jadi, karena tampang makhluk itu tidak mengerikan, malah bisa di bilang sangat tampan.

Apakah ini yang dinamakan siluman ular? Apakah bentuknya seperti ini? Kenapa tampan sekali. Seandainya dia bukan siluman dan hidup di dunia manusia, pasti sudah jadi idola kaum wanita. Postur tubuh ideal dengan rupa yang sempurna, membuat siapapun yang melihat tak percaya kalau dia adalah siluman ular jika tak menampakkan ekornya.

Rumana terpaku tidak percaya, masih terpana melihat ular berbisa yang tadi membuatnya panik, dan kini semakin panik dengan perubahannya menjadi sosok laki-laki tampan di hadapannya. Entah takut atau kagum dengan makhluk itu.

"Kau sudah bahagia kan, sudah bertemu kedua anakmu di sini?" Tanya makhluk itu menyadarkan Rumana.

"Ya, tapi tolong pulangkan kami, siapa kalian sebenarnya?" Timpal Rumana memberanikan diri. Dilihatnya makhluk berjubah hitam dengan rambut yang menutupi seluruh tubuh dan soul weapon di pundaknya mengawasi mereka dari belakang siluman ular itu.

"Kami? Tentu saja kami yang menguasai tempat ini," tukas Siluman ular dengan raut sinis, namun tak memudarkan ketampanannya. Malah terlihat semakin sexi.

Ya Rabbi, kenapa Rumana malah terpana dengan ketampanan siluman ular. Sadarlah Rumana, jangan sampai kamu lupakan misimu untuk menyelamatkan kedua anakmu dari tempat ini, dan melupakan suami serta anakmu yang masih balita di dunia nyata.

Di alam manusia, seorang wanita paruh baya tengah duduk seorang diri dengan menikmati kopi pahitnya di paviliun. Tatapnnya menerawang jauh. Bibirnya bergumam. "Ini baru permulaan, Rumana. Akan ada kejutkan yang lebih menyakitkan setelah ini." Diletakkannya cangkir berisi endapan kopi di atas meja, dan berlalu meninggalkan paviliun.

🥀🥀🥀

Bab 7

"Assalamualaikum, Bu Bidan, tolong anak saya, Bu!" Gunadi begitu panik membawa anaknya yang masih saja kejang-kejang sampai di rumah Bidan Melati.

"Walaikumsalam. Astaghfirullah, Pak. Cepat bawa masuk ke ruang periksa," ujar Bu Bidan Melati, mempersilahkan Gunadi masuk. Rumah sekaligus tempat praktek Bidan Melati itu memang ada ruang periksa nya.

Dengan sigap Bidan Melati memberi pertolongan pertama pada bayi mungil yang mulai lemas, dan menjadi tenang setelah lima menit kejang-kejang. Bidan melati tak mengerti, kenapa badannya dingin sekali. Dia panik dan langsung melakukan segala pertolongan, tetapi perlahan suhu tubuhnya normal. Aneh sekali, padahal biasanya, anak yang kejang itu di sebabkan karena terlalu tingginya suhu tubuh, sehingga menyebabkan kejang.

Tetapi berbeda dengan kasusu kali ini, Bidan Melati di buat keheranan dengan perubahan tiba-tiba si balita. Padahal beberapa detik yang lalu, bayi ini masih kejang saat di gendong Gunadi. Bidan Melati memeriksa seluruh nadi si bayi, takut kalau-kalau terlambat memberi pertolongan.

Tapi semua normal, pernafasan dan detak jantungnya normal. Tidak ada masalah serius yang perlu di khawatirkan. Sekali lagi dia periksa dengan stetoskop, karena masih tak percaya dengan perubahan tiba-tiba sang balita. Namun semua baik-baik saja, malah bayi itu tidur dengan pulasnya.

Gunadi turut menyaksikan semua perubahan anaknya. Saat di letakan di brangkar milik Bidan Melati, tiba-tiba anaknya langsung berhenti kejang, malah terlihat seperti sedang tidur nyenyak.

"Sebenarnya kenapa anak saya, Bu Bidan, kenapa bisa kejang-kejang?" tanya Gunadi tak kalah bingung dari Bidan Melati.

"Apa sebelumnya dedek bayi mengalami panas tinggi?" Bidan Melati berfikir secara logika, dengan memastikan keadaan si balita sebelumnya.

"Kemaren memang sempat demam, Bu. Tapi sudah dua hari yang lalu, hari ini nggak demam sama sekali, hanya saja sangat rewel saat akan tidur tadi. Nah saat mulai anteng dan tidur dalam gendongan saya, tiba-tiba dia seperti tadi pas di bawa kemari, Bu. Kejang-kejang dengan bola mata yang sampai membalik. Saya panik, dan langsung ke sini," papar Gunadi menjelaskan kronologi anaknya bisa sampai kejang.

"Aneh. Bukan apa-apa, tapi biasanya kalau kejang begini ya karena suhu badan yang tinggi. Tapi ini tidak, suhu tubuh anak bapak normal, tidak ada yang janggal. Artinya anak Bapak sehat-sehat saja, kenapa bisa kejang seperti tadi, ya?" Ujar Bidan Melati penasaran, dan malah membuat Gunadi semakin bingung.

"Loh, kok malah balik tanya?" batin Gunadi tak mengerti.

Bidan yang biasa menangani pasien saja bingun dan heran, apa lagi Gunadi yang orang awam. Mana tahu dia tentang seperti itu. Tetapi dia cukup lega, karena anaknya baik-baik saja. Lalu tadi itu kenapa? kok bisa tiba-tiba kejang? Apa mungkin anaknya terkena epilepsi? Ah, tapi kalau epilepsi masa langsung anteng setelah di tidurkan. Terlebih masih bayi, umumnya hanya setep karena panas yang terlalu tinggi kan. Tidak mungkin kalau terkena epilepsi. Lagian, Bidan pasti tahu kalau penyakit itu yang menimpa bayinya.

Sudahlah...Gunadi tak mau terlalu memikirkan soal yang barusan menimpa bayinya. Yang penting anaknya kini sudah baik-baik saja. Maka, dia segera pamit dan berterima kasih pada Bidan Melati.

Kepergian gunadi dari rumah sang Bidan tentu meninggalkan banyak tanya dalam benaknya. Hingga tanpa sadar dia bergumam, "bukan hanya aneh, tetapi juga mencurigakan. Ada apa sebenarnya dengan keluarga Pak Rasmadi. Kedua cucunya meninggal tenggelam di sungai, menantunya dia tampar di hari pemakaman kedua cucunya, yang dengan tega dia kuburkan dalam satu liang lahat, hingga kini kabarnya belum juga sadar.

Meskipun pernah aku mencoba memeriksanya, tetapi tidak juga di temukan sesuatu yang janggal dalam tubuh Bu Rum. Mungkin dia syok dan kelelahan. Lalu sekarang, cucunya yang masih bayi juga menunjukkan reaksi yang tidak wajar. Kasihan sekali Pak Gunadi, membayangkan saja membuatku ngeri. Semoga mereka baik-baik saja." Bidan Melati menutup Pintu, dengan rasa prihatin pada musibah yang menimpa keluarga Gunadi.

Hampir semua warga di kampung itu sudah dengar desas-desus yang beredar tentang jasad kedua cucu Rasmadi, yang di kubur dalam satu liang lahat tanpa di sholatkan, sudah seperti mengubur binatang saja bagi para warga. Namun mereka tak mau mencari perkara dan memilih diam saja, tentu hanya diam di depan Rasmadi serta keluarga. Tetapi tidak di belakangnya. Berbagai spekulasi warga bermunculan, ada yang bilang jadi tumbal, ada juga yang mengatakan Rasmadi menganut ilmu sesat.

***

"Gun, kok cepet pulangnya. Apa Rayhan sudah sembuh, kata Bidan kenapa bisa kejang, Gun?" Tuminah yang panik langsung memberondong putranya pertanyaan, saat baru saja turun dari motor menggendong bayinya.

"Sebentar, Bu. Aku taruh Rayhan di kamar dulu," timal Gunadi berlalu menuju kamar di mana Istrinya masih terbaring tak berdaya.

Dia letakkan bayi mungilnya yang masih terlelap, tepat di samping sang Istri. Dia tatap wajah cantik Rumana. Iya, Rumana masih terlihat cantik dan awet muda, meskipun dia sudah melahirkan empat orang anak. Usianya yang baru mau menginjak kepala empat, tak menampakan garis penuaan di wajahnya sedikitpun.

Tentu saja, Rumana seorang wanita keturunan Bali. Ayahnya orang Bali, dan Ibunya orang Jogja. Rumah warisan Ibunya lah yang kini mereka tempati di Jogja sana.

"Bangunlah, Rum. Kamu tidak kasihan pada Mas mu ini, lihatlah anakmu. Rayhan tadi kejang-kejang, Rum. Sedangkan Bagas seperti anak yang depresi, dia selalu mengurung dirinya di kamar. Dia selalu memanggil namamu dan kedua kakaknya. Apa yang harus aku lakukan sekarang, Rum." Tangia Gunadi pecah seketika, meratapi semua musibah yang menimpa padanya.

Andai saja Rumana tidak seperti ini, mungkin dia tak akan serapuh sekarang. Kehilangan dua putri sekaligus, sudah cukup merontokan hatinya. Dan kini, dia harus berjuang sendiri merawat kedua anak serta Istrinya. Meskipun ada kedua orang tua yang membantunya, tentu tidak akan sama seperti jika ada Rumana--Istrinya.

Gunadi tergugu di samping tubuh Rumana yang terlihat semakin menyusut, meskipun selang infus telah terpasang di tangannya, untuk memasukkan asupan nutrisi ke dalam tubuhnya, tetapi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan gizi hariannya.

Rumana butuh asupan tambahan, berupa makanan dan minuman yang bergizi. Tetapi semua itu tidak bisa masuk ke dalam tubuhnya, karena kondisinya yang seperti orang koma.

Tuminah yang tak sabar mendengar kondisi cucunya, segera masuk dan menghampiri Gunadi. Dilihatnya sang putra sedang menangis tersedu, membuat dada wanita sepuh itu sebak, dan tak urung bulir bening turut luruh membasahi pipi tuanya.

Dia tak menyangka musibah ini menimpa keluarga Putra tercinta. Andai dia bisa, biarkan dia yang menggantikan posisi Rumana, dia sudah tua, tak ada lagi tanggungjawab yang harus dia tunaikan sebesar menantunya.

"Malang sekali nasibmu, Nak. Maafkan Ibu dan bapak mu yang penuh dosa ini, hingga kamu yang harus ikut menanggung akibatnya. Gusti Allah... Jika kau ingin menghukum kami berdua, hukum saja aku dan suamiku, tetapi jangan Engkau hukum anakku beserta anak dan istrinya, ya Gusti..." Batin Tuminah berkecamuk, dengan melangitkan do'a pada Yang Maha Kuasa.

Ibu manapun tak tega melihat putranya yang sudah berumah tangga tersiksa seperti itu, bukan tersiksa karena di hianati istri seperti pada kebanyakan rumah tangga lainnya. Tetapi tersiksa karena kehilangan kedua putri dan istri yang koma, dengan meninggalkan balita yang masih sangat membutuhkan ASI dan kasih sayang sang Istri.

Tuminah menyeka air matanya, dan melangkah mendekati sang putra. Di usapnya pundak Gunadi yang masih terguncang. Seakan sedang menumpahkan segala sebak R dadanya selama kejadian yang tak pernah ia duga dalam hidupnya, yang terbilang sudah cukup bahagia bersama Rumana.

"Sabar ya, le. Rumana pasti akan segera bangun," hibur Tuminah.

Gunadi segera menghapus air mata, dan mendongak menatap sang Ibu. Dia hanya mengangguk samar dengan mengaminkan ucapan ibunya. Berharap Rumana benar-benar segera bangun.

Drrrrttt! Drrrttt!

Getaran ponsel di meja kecil sebelah tempat tidur, menyadarkan Gunadi, betapa lama dia melupakan benda pipih dan canggih itu.

"Abah!" Gunadai tersentak membaca nama Ayah mertua tertera di layar ponselnya.

"Astaghfirullah! Bagaimana ini." Raut wajah Gunadi terlihat begitu panik.

🥀🥀🥀

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status