"Hust! Kalo ngomong mbok ya di jaga to, Pak. Nanti kalo anakmu dengar bagaimana? sudah dihajar sampe memar begitu masih aja bicara ngawur," ujar Tuminah-- istri Rasmadi. Yang sedang menyeka tubuh Rumana dengan telaten.
"Loh kan memang kenyataannya, lihat aja, anaknya nangis terus setiap hari, sudah kaya di tinggal mati beneran aja. Berbisik banget loh, Bu," gerutu Rasmadi pada istrinya."Ya, itu kan salah bapak sendiri. Kenapa bapak tampar Rumana sampai pingsan begini," ujar Tuminah menahah kesal pada Rasmadi."Bapak nggak sengaja, Bu. Niatnya cuma bikin dia takut dan diam saat prosesi pemakaman. Dasar menantu lemah, di sentuh pipinya sedikit aja masa langsung pingsan ber hari-hari gini," dengus Rasmadi kesal menatap tubuh menantunya."Siapapun bisa tumbang saat kehilangan dua putri sekaligus, Pak," Tuminah masih membela menantunya."Ah, kamu ini, sama aja kayak anakmu, bela menantu yang nggak di ingunkan ini," cibir Rasmadi pada istrinya."Tapi tunggu. Bu, coba sini deh, deket sama Bapak," pinta Rasmadi yang duduk di seberang Tuminah, sambil melambaikan tangan pada sang istri, di depan menantunya yang masih tak sadarkan diri."Ini kan udah deket, kenapa sih, Pak.""Bapak mau bicara.""Tinggal ngomong aja, ngapain deket-deket segala, Sih.""Makanya sini, nanti kalau kedengaran Gunadi bisa-bisa dia menghajar bapak lagi," pintanya mengulangi."Ada apa sih." Akhirnya Tuminah mengalah dan mendekatkan telinganya ke mulut Rasmadi."Bapak curiga, kalau sukmanya Rumana ada di tangan makhluk itu," bisik Rasmadi pelan sekali di telinga istrinya."Ya Gusti!" Dengus Tuminah pelan, lalu menutup mulutnya tak percaya. Bulir bening jatuh begitu saja dari kedua sudut netranya.Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing."Nanti Bapak hubungi Kiai Hambali, semoga saja beliau bisa membantu anak mantu kita ya, Bu. Semoga saja dugaan bapak ini ndak bener. Soalnya bapak curiga karena Rumana tak kunjung sadar." Rasmadi mencoba menenangkan hati sang istri.Tuminah menghapus air matanya dan mengangguk. "Semoga saja ya, Pak. Aku kasihan pada mereka. Padahal ini kepulangan mereka setelah sekian lama, tapi kenapa malah menjumpai petaka seperti ini." Tuminah kembali terisak.Tuminah merasa bersalah karena gagal menjaga kedua cucunya. Meski dia tahu kemarahan Gunadi pada Rumana saat mengetahui kematian kedua putrinya karena rasa cinta, tapi tetap dia juga merasa jika dia pun pamtas dimarahi oleh Gunadi karena gagal menjaga kedua cucunya.Ditengah kekalutan, sepasang suami istri itu mendengar kegaduhan dari luar. Seperti suara Gunadi terdengar minta tolong."Bu, Pak! Tolong! Rayhan kejang-kejang!" Triak Gunadi dari ruang tamu, nada bicaranya terdengar sangat panik.Tuminah dan Rasmadi saling tatap mendengar triakan Gunadi dari luar. Kemudian meninggalkan menantunya yang sedang berjuang antara hidup dan mati di alam yang berbeda tanpa mereka ketahui.Dilihatnya sang cucu yang masih bayi, kejang-kejang dengan bola mata yang membalik, hingga menyembunyikan iris matanya yang hitam dan menyisakan bola mata berwarna putih saja. Membuat Tuminah dan Rasmadi panik bukan kepalang.Rasmadi memang tidak terlalu suka pada Rumana sebagai menantunya, tetapi dia seorang Kakek yang begitu menyayangi semua cucunya."Kenapa bisa kejang begini, Gun. Bukannya tadi sudah tidur," tanya Tuminah tak kalah panik melihat cucunya yang masih bayi kejang-kejang hebat."Nggak tahu, Bu. Lagi tidur di gendonganku tiba-tiba langsung kejang begini. Pak, tolong panggilkan Bidan desa, suruh segera kemari," pinta Gunadi pada bapaknya."Bocah ni gimana, sih, anak udah kejang gitu masih nyuruh bidan ke sini. Cepat bawa cucuku ke Bidan sekarang, jangan nunggu dia sekarat!" cerocos Rasmadi yang membuat Gunadi langsung mendelik padanya.Gunadi menatap ayahnya penuh kebencian, bukan jawaban itu yang dia inginkan. Bukan hanya Rasmadi saja yang panik, dia pun tak kalah paniknya, justru karena rasa panik itu yang membuatnya berpikir demikan. Tetapi dalam kondisi anaknya yang seperti itu, dia tidak mungkin melayani ocehan Ayahnya yang seperti tidak tahu kondisi.Tak mau berdebat dengan sang Ayah yang tak mengerti perasaan putranya, Gunadi bergegas pergi menggendong bayinya ke rumah Bidan desa, minta tolong pada Dika untuk memboncengnya.***Sementara itu, masih di alam yang berbeda, di mana sukma dua anak manusia masih dalam kebingungan dan ketakutan mencari jalan pulang."Rianti, sudah dong nangisnya. Nanti makhluk itu nangkep kita lagi gimana?" Bisik Rihanna, mengingatkan adiknya yang terus menangis karena ketakutan setelah sempat berhasil di tangkap makhluk hitam besar mengerikan dengan sabit maut di pundaknya."A-aku.. t-ta-takut, Kak." Rianti terus bersembunyi di balik tubuh kakaknya dengan terus terisak dan tubuh yang bergetar karena ketakutan."Makanya diam. Jangan ngrengek terus, bisa-bisa kita ketangkap beneran nih," tegas pelan sang kakak. Sama seperti adiknya, Rihanna juga sebenarnya sangat takut, namun dia tak punya pilihan lain, selain diam dan sembunyi agat tidak tertangkap lagi oleh makhluk menyeramkan itu.Sebelumnya mereka telah tertangkap oleh makhluk menyeramkan dengan jubah hitam, rambut menutupi tubuh, dan wajah hancur yang sangat mengerikan. Kedua mata yang sesekali menyala seperti laser, dan sabit maut yang selalu hilang timpul di tangannya. Membuat siapapun bergidik ngeri jika berhadapan dengannya.Jangankan anak-anak seperti mereka, orang tua sekalipun akan terbirit-birit jika makhluk seperti itu tiba-tiba muncul di hadapannya.Kini mereka bersembunyi di balik semak-semak tumbuhan pandan berduri, tepat di sebelah Rumana bersembunyi sebelumnya."Hoss...hoss...hoss...!" Tawa makhluk itu kini terdengar, membuat kedua sukma kakak beradik itu menutup mulut dan menahan nafasnya, agar makhluk itu tak menyadari keberadaannya.Duri-duri tajam dari pandan berduri yang sering kali menggores, bahkan menusuk kulit mereka, tak seberapa sakitnya di banding rasa takut yang mereka rasakan saat ini.Kedua anak manusia yang belum menyadari bahwa mereka telah mati, dan tengah berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini. Sungguh sebuah perjuangan yang ironi."Percuma terus menghindar dengan menyakiti diri kalian sendiri, tempat ini sudah jadi tempat kalian setelah mati. Kalian tidak bisa pergi dari tempat ini lagi." Suara makhluk berjubah hitam dengan sabit maut yang mengerikan terdengar memekakan telinga kedua kakak beradik itu.Tidak ingin dikelabui, mereka tetap sembunyi. Padahal sebenarnya makhluk itu telah mengetahui keberadaan mereka berdua. Hanya saja, dia ingin sedikit bermain-main sebagai penyambutan untuk mereka berdua di tempat barunya kini."Apakah aku dan adikku sudah benar-benar mati? Tapi kenapa kami bisa ada di sini. Apakah kami sekarang hanyalah roh, nyawa, atau sukma, seperti cerita horor yang pernah aku baca? Tidak! Ini tidak mungkin. Makhluk itu pasti ingin menjebak kami." Batin Rihanna masih tak percaya jika mereka sudah mati.🥀🥀🥀Treng!! Treng!! Treng!!Suara besi beradu dengan bebatuan di pinggir sungai, membuat nyali Rumana kian menciut. Dia sadar, pasti makhluk itu datang lagi mencarinya. Di kejar dua bocah setan yang sangat mengerikan di tambah makhluk misterius yang begitu seram, sudah seperti paket komplit yang menguji nyali.Mau lanjut lari ke ke pinggiran sungai untuk menghindari kejaran dua setan cilik tapi takut di hadang makhluk menyeramkan lagi, kalau lari ke hutan, sama saja bunuh diri. Dua setan cilik itu terlihat sangat mengerikan dengan mulut sobek dan bola mata yang hampir keluar, lidah yang terus mengeluarkan air liur, terkesan begitu menjijikan dan mengerikan. Seperti zombie yang pernah dia tonton di televisi, tetapi mana ada zombie di negeri ini. Bukankah makhluk mengerikan itu hanya ada di luar negeri.Membayangkan bertemu mereka lagi sudah sangat membuat Rumana bergidik ngeri. Bagai buah simalakama, mau mundur takut, maju apa lagi. Kedua netra Rumana menyapu sekeliling yang hanya ada kege
🥀🥀🥀"Abah!" Gunadi tersentak membaca nama Ayah mertua tertera di layar ponselnya. "Astaghfirullah! Bagaimana ini." Raut wajah Gunadi terlihat begitu panik.Bagaimana tidak, setelah kematian kedua putrinya ditambah Rumana yang tidak sadarkan diri hinggi kini, membuat Gunadi tak sempat menyentuh ponselnya. Kesibukannya mengurus Bagas dan Rayhan begitu menyita waktu, tenaga dan fikirnannya. Bahkan terdengar kabar bahwa kematian kedua putrinya sampai di beritakan di televisi. Dia yakin berita itu juga ramai di jagat maya. Makanya dia lebih memilih fokus saja mengurus anak-anak dan istrinya, daripada lebih hancur melihat pemberitaan yang beredar. "Apa itu Ayah mertuamu, Gun?" Tuminah penasaran dengan putranya yang langsung pucat pasi, setelah menatap layar ponsel dan mengagumkan nama Abah. "Iya, Bu. Aku bingung mau ngomong apa sama Abah. Aku suami yang gagal menjaga kedua anak, dan kini, Istriku juga masih terbaring lemah. Jika Abah tahu, mungkin aku bisa langsung di bunuh," tukas G
🥀🥀🥀"Kenapa kamu malah menyuruh mertuamu datang, Gun." Tuminah tak mengerti dengan pemikiran putranya, bukannya mengatakan saja yang sebenarnya, malah dia meminta mertuanya datang. Apa bukan bunuh diri namanya?"Aku ga bisa mengatakan semua ini lewat telefon, Bu. Biar Abah melihat sendiri kondisi putri tercintanya. Kalaupun nanti aku harus menerima caci makinya, aku ikhlas. Aku berharap kedatangan Abah bisa menyadarkan Rumana," ungkap Gunadi memandangi Istrinya.Bagi Gunadi saat ini, kesadaran Rumana adalah yang utama. Rasanya dia tak sanggup menjalani hari-hari lebih lama lagi tanpa Rumana. Seminggu tanpanya, sudah sangat melelahkan dan membuat Gunadi stres. Matanya kembali berkaca, saat menyadari betapa dia sangat membutuhkan peran Istri nya saat ini. Gunadi berjanji, jika Rumana bangun, dia tidak akan pernah sekalipun menyalahkan atau kasar padanya. Dia akan memperlakukan Rumana seperti Ratu di hatinya. "Rumana, bangunlah. Berapa lama kamu akan terus begini, ingatlah aku, Rum.
Part 10.Dua hari setelah dua bocah meninggal tenggelam."Tolong..! Tolong...! Siapapun di sana, tolong aku." Seorang wanita paruh baya terikat tangan dan kakinya di sebuah gubug di tengah hutan, dengan mata di tutup kain. Suaranya mulai parau karena terus berteriak, tetapi tak juga ada bantuan datang.Dia tak tahu bagaimana bisa sampai di tempat itu. Yang dia ingat, dia ingin berkunjung ke kampung halaman adik iparnya, ingin silaturahim karena sudah lama tak bersua, mumpung keluarga adiknya sedang mudik ke Kebumen. Sebuah kota yang ingin dia kunjungi karena terkenal banyaknya tempat pariwisata.Dia menaiki ojek dari stasiun Kebumen menuju desa Gunadi. Hingga sampailah dia, di pinggir jalan raya yang masih sangat sepi. Arloji di tangannya masih menunjukkan pukul 04.40 pagi, maka ia putuskan untuk berhenti di pinggir jalan raya itu untuk melanjutkan perjalanan ke rumah mertua Rumana, yang tidak terlalu jauh dari jalan raya. Menurut Kinanti, jika tukang ojek itu mengantarnya sampai dep
Tak mau terkecoh dengan ucapan Iblis lagi, Rumana menggendong Rianti dan menuntun Rihanna untuk segera berlari. Tanpa memperdulikan perkataan Raja Cobra.Rumana lari lintang pukang tanpa arah, menghindari kejaran Raja Cobra yang terus menyeringai di belakang, dengan sesekali meliukan badannya yang setengah ular. Wajah Raja Cobra yang tadinya sangat tampan, kini berubah sangat menyeramkan. Dengan taring yang tiba-tiba muncul di sela-sela gigi rapihnya, dan lidah panjang yang sesekali menjulur. Membuat Rumana semakin waspada, takut-takut Raja Cobra akan menyemburkan bisa nya. Suasana yang gelap gulita semakin menyulitkan langkahnya. Sehingga dia harus berhati-hati saat lari menggendong Rianti dan Rihanna dalam tuntunannya. "Aduh!!" Pekik Rihanna terjatuh, rupanya kakinya tersandung dan tersangkut akar belukar. Dengan sigap, Rumana melepaskan akar yang melilit kaki anaknya. Tetapi siapa sangka akar yang sedang dia lepaskan itu, berubah jadi jari-jari tangan yang kurus dan mengerikan.
"Rum... Rumana...!! Sadarlah Rum! Ini Ummi sayang. Jangan seperti ini, Nak. Huuuhuu." Ratmini tersedu memangku anaknya yang seperti itu. "Letakkan Rumana, Mi. Biar Abah periksa," kata I Ketut Sudikerta mengintruksikan sang istri untuk meletakan anaknya di kasur saja.Ratmini mengikuti saran suami. Diletakannya kepala Rumana dari pangkuannya ke bantal yang sejak delapan hari yang lalu jadi tempatnya menyandarkan kepala. Ratmini tak henti-hentinya menangis, kaget dan penasaran kenapa anaknya bisa jadi seperti ini. Dia berfikir mungkin Rumana tertekan dan belum bisa mengikhlaskan kedua putrinya, tetapi reaksinya itu kenapa tidak wajar. Ada apa sebenarnya dengan putri keduanya ini? Ratmini sungguh tak mengerti.Niat hati datang untuk menghibur Rumana yang kehilangan kedua anaknya, tetapi dia malah di suguhi dengan keadaan sang putri yang memprihatinkan. Membuat Ratmini sangat sedih. Dia menerka-- apa kiranya yang tengah menimpa keluarga Rumana. Musibah kehilangan dua anak tengah ia hada
🥀🥀🥀Setelah di beri makan dan minum oleh Tarno dan Parjo, Kinanti terlihat tak begitu pucat lagi. Duduknya mulai tegak, dan tatapannya semakin tajam. Namun dia belum mau bicara sepatah katapun. Entah apa yang sedang dia fikirkan. Karena hari sudah hampir petang, dan suasana remang-remang di tengah hutan, Tarno dan Parjo memutuskan untuk segera turun gunung. Merasa kasihan pada wanita yang dia tolong, Tarno berfikir akan mengajaknya turun. Mencarikan tempat tinggal untuknya, atau di titipkan ke rumah kakaknya. Yang suaminya sedang merantau di kota, sehingga di rumah itu hanya ada sang kakak dan anak-anak nya. Itu lebih baik, daripada di rumah Tarno yang kedua orang tuanya tengah pergi ke luar kota. Sedangkan dia sendiri masih bujangan dan tinggal sendiri. Itu bisa jadi fitnah untuk mereka. Tak mungkin juga Tarno meninggalkan wanita cantik ini sendirian dalam ketakutan di tengah hutan."Apa kamu bisa jalan?" Tanya Tarno memastikan pada Kinanti, yang di balas anggukan olehnya. "B
Parjo meringkuk di semak-semak, karena saking takutnya. Seumur hidup, ini pertama kalinya dia melihat dengan mata kepala sendiri, sosok hantu bertubuh manusia dengan muka yang sangat menyeramkan. Persis adegan yang sangat menakutkan saat menonton film horor. Saat hantunya muncul tiba-tiba.Tubuhnya menggigil, karena dia tipe orang yang sangat penakut. Mungkin dia tak akan mau ke kamar mandi sendirian setelah ini."Tarno ke mana nih. Jangan-jangan ketangkep hantu itu, hiiii," gumam Parjo di tengah ketakutan.Parjo bingung, temannya masih di belakang. Mau menyusul takut, tetapi mau turun duluan juga tidak tega. Akhirnya dia menunggu di semak-semak itu dengan rasa takut yang masih menghinggapi jiwa.Karena terlalu lama, Parjo memberanikan diri untuk keluar, takut juga kalau-kalau ada ular di semak belukar. Apalagi suasana yang gelap gulita."No! Kamu di mana, sih. Kok nggak turun-turun. Jangan becanda, No!" Triak Parjo memanggil temannya.Tak mendapat respon dari Tarno, Parjo jadi panik