Share

Rayhan kejang

Author: Pini arso
last update Last Updated: 2023-07-19 11:27:36

"Hust! Kalo ngomong mbok ya di jaga to, Pak. Nanti kalo anakmu dengar bagaimana? sudah dihajar sampe memar begitu masih aja bicara ngawur," ujar Tuminah-- istri Rasmadi. Yang sedang menyeka tubuh Rumana dengan telaten.

"Loh kan memang kenyataannya, lihat aja, anaknya nangis terus setiap hari, sudah kaya di tinggal mati beneran aja. Berbisik banget loh, Bu," gerutu Rasmadi pada istrinya.

"Ya, itu kan salah bapak sendiri. Kenapa bapak tampar Rumana sampai pingsan begini," ujar Tuminah menahah kesal pada Rasmadi.

"Bapak nggak sengaja, Bu. Niatnya cuma bikin dia takut dan diam saat prosesi pemakaman. Dasar menantu lemah, di sentuh pipinya sedikit aja masa langsung pingsan ber hari-hari gini," dengus Rasmadi kesal menatap tubuh menantunya.

"Siapapun bisa tumbang saat kehilangan dua putri sekaligus, Pak," Tuminah masih membela menantunya.

"Ah, kamu ini, sama aja kayak anakmu, bela menantu yang nggak di ingunkan ini," cibir Rasmadi pada istrinya.

"Tapi tunggu. Bu, coba sini deh, deket sama Bapak," pinta Rasmadi yang duduk di seberang Tuminah, sambil melambaikan tangan pada sang istri, di depan menantunya yang masih tak sadarkan diri.

"Ini kan udah deket, kenapa sih, Pak."

"Bapak mau bicara."

"Tinggal ngomong aja, ngapain deket-deket segala, Sih."

"Makanya sini, nanti kalau kedengaran Gunadi bisa-bisa dia menghajar bapak lagi," pintanya mengulangi.

"Ada apa sih." Akhirnya Tuminah mengalah dan mendekatkan telinganya ke mulut Rasmadi.

"Bapak curiga, kalau sukmanya Rumana ada di tangan makhluk itu," bisik Rasmadi pelan sekali di telinga istrinya.

"Ya Gusti!" Dengus Tuminah pelan, lalu menutup mulutnya tak percaya. Bulir bening jatuh begitu saja dari kedua sudut netranya.

Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Nanti Bapak hubungi Kiai Hambali, semoga saja beliau bisa membantu anak mantu kita ya, Bu. Semoga saja dugaan bapak ini ndak bener. Soalnya bapak curiga karena Rumana tak kunjung sadar." Rasmadi mencoba menenangkan hati sang istri.

Tuminah menghapus air matanya dan mengangguk. "Semoga saja ya, Pak. Aku kasihan pada mereka. Padahal ini kepulangan mereka setelah sekian lama, tapi kenapa malah menjumpai petaka seperti ini." Tuminah kembali terisak.

Tuminah merasa bersalah karena gagal menjaga kedua cucunya. Meski dia tahu kemarahan Gunadi pada Rumana saat mengetahui kematian kedua putrinya karena rasa cinta, tapi tetap dia juga merasa jika dia pun pamtas dimarahi oleh Gunadi karena gagal menjaga kedua cucunya.

Ditengah kekalutan, sepasang suami istri itu mendengar kegaduhan dari luar. Seperti suara Gunadi terdengar minta tolong.

"Bu, Pak! Tolong! Rayhan kejang-kejang!" Triak Gunadi dari ruang tamu, nada bicaranya terdengar sangat panik.

Tuminah dan Rasmadi saling tatap mendengar triakan Gunadi dari luar. Kemudian meninggalkan menantunya yang sedang berjuang antara hidup dan mati di alam yang berbeda tanpa mereka ketahui.

Dilihatnya sang cucu yang masih bayi, kejang-kejang dengan bola mata yang membalik, hingga menyembunyikan iris matanya yang hitam dan menyisakan bola mata berwarna putih saja. Membuat Tuminah dan Rasmadi panik bukan kepalang.

Rasmadi memang tidak terlalu suka pada Rumana sebagai menantunya, tetapi dia seorang Kakek yang begitu menyayangi semua cucunya.

"Kenapa bisa kejang begini, Gun. Bukannya tadi sudah tidur," tanya Tuminah tak kalah panik melihat cucunya yang masih bayi kejang-kejang hebat.

"Nggak tahu, Bu. Lagi tidur di gendonganku tiba-tiba langsung kejang begini. Pak, tolong panggilkan Bidan desa, suruh segera kemari," pinta Gunadi pada bapaknya.

"Bocah ni gimana, sih, anak udah kejang gitu masih nyuruh bidan ke sini. Cepat bawa cucuku ke Bidan sekarang, jangan nunggu dia sekarat!" cerocos Rasmadi yang membuat Gunadi langsung mendelik padanya.

Gunadi menatap ayahnya penuh kebencian, bukan jawaban itu yang dia inginkan. Bukan hanya Rasmadi saja yang panik, dia pun tak kalah paniknya, justru karena rasa panik itu yang membuatnya berpikir demikan. Tetapi dalam kondisi anaknya yang seperti itu, dia tidak mungkin melayani ocehan Ayahnya yang seperti tidak tahu kondisi.

Tak mau berdebat dengan sang Ayah yang tak mengerti perasaan putranya, Gunadi bergegas pergi menggendong bayinya ke rumah Bidan desa, minta tolong pada Dika untuk memboncengnya.

***

Sementara itu, masih di alam yang berbeda, di mana sukma dua anak manusia masih dalam kebingungan dan ketakutan mencari jalan pulang.

"Rianti, sudah dong nangisnya. Nanti makhluk itu nangkep kita lagi gimana?" Bisik Rihanna, mengingatkan adiknya yang terus menangis karena ketakutan setelah sempat berhasil di tangkap makhluk hitam besar mengerikan dengan sabit maut di pundaknya.

"A-aku.. t-ta-takut, Kak." Rianti terus bersembunyi di balik tubuh kakaknya dengan terus terisak dan tubuh yang bergetar karena ketakutan.

"Makanya diam. Jangan ngrengek terus, bisa-bisa kita ketangkap beneran nih," tegas pelan sang kakak. Sama seperti adiknya, Rihanna juga sebenarnya sangat takut, namun dia tak punya pilihan lain, selain diam dan sembunyi agat tidak tertangkap lagi oleh makhluk menyeramkan itu.

Sebelumnya mereka telah tertangkap oleh makhluk menyeramkan dengan jubah hitam, rambut menutupi tubuh, dan wajah hancur yang sangat mengerikan. Kedua mata yang sesekali menyala seperti laser, dan sabit maut yang selalu hilang timpul di tangannya. Membuat siapapun bergidik ngeri jika berhadapan dengannya.

Jangankan anak-anak seperti mereka, orang tua sekalipun akan terbirit-birit jika makhluk seperti itu tiba-tiba muncul di hadapannya.

Kini mereka bersembunyi di balik semak-semak tumbuhan pandan berduri, tepat di sebelah Rumana bersembunyi sebelumnya.

"Hoss...hoss...hoss...!" Tawa makhluk itu kini terdengar, membuat kedua sukma kakak beradik itu menutup mulut dan menahan nafasnya, agar makhluk itu tak menyadari keberadaannya.

Duri-duri tajam dari pandan berduri yang sering kali menggores, bahkan menusuk kulit mereka, tak seberapa sakitnya di banding rasa takut yang mereka rasakan saat ini.

Kedua anak manusia yang belum menyadari bahwa mereka telah mati, dan tengah berusaha mencari jalan keluar dari tempat ini. Sungguh sebuah perjuangan yang ironi.

"Percuma terus menghindar dengan menyakiti diri kalian sendiri, tempat ini sudah jadi tempat kalian setelah mati. Kalian tidak bisa pergi dari tempat ini lagi." Suara makhluk berjubah hitam dengan sabit maut yang mengerikan terdengar memekakan telinga kedua kakak beradik itu.

Tidak ingin dikelabui, mereka tetap sembunyi. Padahal sebenarnya makhluk itu telah mengetahui keberadaan mereka berdua. Hanya saja, dia ingin sedikit bermain-main sebagai penyambutan untuk mereka berdua di tempat barunya kini.

"Apakah aku dan adikku sudah benar-benar mati? Tapi kenapa kami bisa ada di sini. Apakah kami sekarang hanyalah roh, nyawa, atau sukma, seperti cerita horor yang pernah aku baca? Tidak! Ini tidak mungkin. Makhluk itu pasti ingin menjebak kami." Batin Rihanna masih tak percaya jika mereka sudah mati.

🥀🥀🥀

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Ending

    "Hentikan, Rumana! Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Sudikerta yang baru tiba. Mata Rumana memicing. Ia mulai paham dengan situasinya sekarang. Untuk apa pria tua itu menghentikannya? Datang disaat ia sudah berhasil menemukan kedua putranya beserta Nandini. Rumana rasa hanya sia-sia saja kedatangan mereka. "Abah ... Untuk apa Abah menyusul ke tempat ini jika hanya untuk menghentikanku. Biarkan aku hancurkan mereka, sebagaimana mereka menghancurkan duniaku, Bah! Mereka yang memulai!" lantang Rumana. Ia tak terima jika Sudikerta atau siapapun menghalangi aksinya menumpas Gayatri dan para ateknya. Ia bukan lagi Rumana yang pasrah menerima segala petaka yang hampir membuatnya g*la. "Tidak, Rum. Biarkan Abah yang menyelesaikan semua kekacauan ini. Karena semua berawal dari kesalahan Abah," ucap Sudikerta. Wajahnya tampak sendu."Maksud Abah apa?" tanya Rumana tak mengerti.Gayatri tertawa sinis ke arah Sudikerta. Dengan sekali kedipan mata, semua orang yang tadi Rumana kira bisa lol

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 58

    "Tutup mata, Bu," pinta Zaki pada Rumana. Rumana menurut saja karena saking takutnya. Pemuda itu lantas dengan cepat merapal sebuah doa. Terlihat dari gerakan bibirnya. "Sekarang buka mata, Bu Rum." Zaki meniup kedua mata Rumana perlahan. Rumana tampak mengedip beberapa kali dan mengecek kedua matanya. Memastikan apakah makhluk berbentuk kelapa sang ayah mertua sudah benar-benar hilang."Tadi itu sihir, Bu. Kita pasti sedang dipantau oleh makhluk alam ini. Ayo, kita gegas temukan mereka dan keluar dari sini," terang Zaki seakan mengerti kebingungan Rumana. Mereka kembali berjalan mencari sumber suara Bagas yang sempat mereka tangkap sebelumnya. "Itu mereka, Mbak!" Tangan Raganta terulur menunjuk sebuah gubug tua yang terlihat paling kokoh diantara gubug lainnya. Gegas, Rumana berlari menghampiri Nandini yang tengah meringkuk memeluk Bagas dan Rayhan di gendongan. "Allohuakbar, Nandini! Anak-anakku," pekik Rumana menghambur mendekap Bagas. Rumana terisak-isak menciumi pucuk ke

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 57

    Setelah melewati berbagai gangguan, Rumana dan dua pemuda tampan itu sudah kembali berada di dalam gua. Rumana mencoba menguatkan diri dan tekad untuk menyentuh ukiran di sisi dinding gua. Kali ini tak ada gangguan berarti yang menghalanginya.Akan tetapi, beberapa saat setelah ia menyentuhkan tangannya ke ukiran tersebut, guncangan kecil mulai ia rasakan. Disusul guncangan hebat yang membuat semuanya panik. "Guanya seperti akan runtuh, kita harus lari dari sini," ujar Raganta dengan wajah panik. "Tidak! Mungkin ini hanya efek dari sentuhan tangan saya. Ini bisa jadi benar-benar pintu masuk ke alam sarpa seperti yang dikatakan Kiai. Aku tidak akan keluar!" teriak Rumana masih kuat dengan pendiriannya. Dia terus berpegang pada dinding gua."Jangan konyol, Mbak. Kita semua bisa mati di sini kalo nggak cepat-cepat lari menyelamatkan diri!" sengit Raganta. Nada Raganta mulai emosi, dia menarik lengan Zaki dan Rumana. Setuju dengan pendapat Raganta, Zaki juga terlihat panik dan mulai m

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 56

    Rumana mengikuti saran Kiai Hambali untuk menjemput kedua anaknya dan Nandini yang konon dibawa oleh pengikut Gayatri. Dia mulai melangkah menyusuri lorong gua yang gelap dan sempit. Sebuah tempat yang terletak di dalam hutan Larangan yang jarang dijamah manusia. Sensasi mencekam mulai ia rasakan tatkala kakinya semakin maju ke dalam gua. Gelap, lembab, dan sumpak mendominasi nuansa di dalam gua. Rasa takut mulai bergelayut di hati Rumana, tapi ia juga tak mau menghentikan langkah demi kedua buah hatinya. Ia mengamati setiap sudut gua dengan pencahayaan yang terbatas dari cahaya obor. Ada Zaki dan Raganta yang turut menemani atas permintaan kiai Hambali.Perhatian Rumana jatuh pada sebuah dinding gua yang terlihat mencolok. Ada ukiran yang menggambarkan seperti gapura dan beberapa ukiran unik lainnya terpahat di sana. "Apa mungkin ini pintunya, ya?" Gumam Rumana. "Raga, Zaki, coba lihat ini."Kedua pemuda itu sontak mendekat. Mengarahkan cahaya obor mereka ke dinding gua yang dimak

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 55

    "Allohuma sholi, wa salim 'ala sayyidina, Muhammadin shohibil busyro, solatan tu basyiru Nabiha. Waakhlana waauladana, wa jami'a masyayikhina, wamualimina wathalabatana wa thalibatina. Min yaumina hadzha illaa, yaumil akhiroh." Entah sudah berapa kali Rumana melantunkan selawat Busro yang diyakini bisa membawa kabar bahagia bagi yang mengamalkannya itu. Kedua matanya terpejam, ia duduk di atas sajadah selepas salat Isya di kamar. Berharap segera mendapatkan kabar bahagia seperti yang terkandung dalam selawat tersebut. Kabar baik tentang kedua anaknya yang kembali dalam keadaan sehat selamat. Kabar baik tentang kondisi Kinanti, dan kabar baik tentang kemungkinan Gunadi masih hidup, meski dia telah menyaksikan sendiri prosesi pemakamannya kala itu. Kabar baik yang ia harap membawa kebahagiaan.Dia benar-benar berharap jika semua yang tengah terjadi dalam hidupnya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk, dan ia ingin sekali ada yang membangunkannya dari tidur panjang ini. Tok ... Tok ..

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 54

    "Aaakkk!" Jeritan Kinanti menyadarkan Sudikerta, bahwa yang dia tusuk bukan Gayatri, tapi putrinya sendiri. "Mbak Kinan!" jerit Rumana. Tubuh Kinanti perlahan roboh ke pelukannya. Dia menopang tubuh sang kakak yang sudah bersimbah darah di bagian perutnya. Sudikerta yang semula menggenggam erat pusakanya itu, reflek menjatuhkan keris ke lantai hingga menimbulkan suara dentingan cukup keras. Sudikerta bergetar hebat melihat darah segar yang muncrat dari perut sang putri dan menempel di tangannya. Dia segera meraih tub uh Kinanti dan membawanya dalam pekukan. "K-kenapa ... K-Kinanti ... Kinanti!" raung Sudikerta seakan sangat menyesali perbuatannya, tetapi semua hanya sia-sia.Diletakkannya tub uh bersimbah dar4h itu di atas dipan, dengan berusaha menutupi luka guna menyumbat dar4h yang terus mengucur dari perut bagian atas.Sementara itu, Gayatri tertawa puas melihat penderitaan Sudikerta. Dia beralih pada Rumana yang terus tergugu seakan menyalahkan sang ayah."Kau lihat kan, Rum

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 53

    Kecurigaan Rumana pada sang ayah semakin menjadi, dia merasa Sudikerta memang telah menyembunyikan sesuatu darinya, atau mungkin dari seluruh keluarganya."Apa yang Abah sembunyikan di kamar itu?" tanya Rumana. Sudikerta menatap sekilas Rumana, kemudian berdiri dan berjalan menuju kamar mendiang mertuanya. Di depan pintu di dalam kamar itu, Sudikerta duduk bersimpuh. Mulutnya komat-kamit seperti sedang merapal sebuah mantra atau doa. Rumana dan Kinanti hanya menyaksikan dengan seksama apa yang tengah dilakukan Sudikerta. Meski ia ingin sekali bertanya, tapi dia menahan diri setelah melihat betapa Sudikerta berkonsentrasi dan tak mungkin untuk di ganggu. Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa membahana dari seorang wanita. Tetapi tak Rumana lihat wujudnya. Suaranya seperti mengudara di dalam ruangan itu. Bau bunga melati juga menelusup ke dalam indra penciuman mereka. Rumana memasang badan waspada, sedangkan Kinanti justru bersembunyi di balik tub uh Rumana. "Siapa di sana!" seru

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    chapter 52

    "Kamu sudah melakukan semua sesuai rencana kan, Galuh!" Seorang wanita berkebaya warna biru laut, dengan rambut disanggul berhiaskan bunga melati di rambutnya, tengah menatap nyi Galuh. Riasan di wajah menambah pancaran cantiknya wanita itu. "Sudah, Ibu Ratu." Galuh membungkuk di depan wanita itu."Bagus! Sudah waktunya Sudikerta menerima akibat dari perbuatannya. Sekaranglah waktumu membayar semuanya, dan kamu harus tau dan mengingat itu, Sudikerta!" Wanita yang dipanggil ibu ratu oleh galuh itu bermonolog lalu menyeringai. Ada gurat kepuasan dari kedua netranya.Sudah puluhan tahun lamanya dia menantikan hari itu datang. Hari dimana dia bisa membalaskan dendam kesumat pada lelaki yang telah meluluhlantakkan kehidupannya dulu. Dimana dia kehilangan satu persatu orang-orang yang dicintainya, yang dekat dengannya, dan yang dengan tulus menolongnya, tanpa tahu sebab dari semua petaka yang menimpanya. Hal itu tentu membuatnya amat terpukul, frustasi dan depresi. Hampir saja dia dipasu

  • Mengantar Nyawa setelah hari raya    Chapter 51

    Rumana masih bungkam, enggan memberikan keterangan. Kendatai Kinanti terus memaksa untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi sampai dia pulang dalam kondisi mengenaskan seperti ini, tapi Rumana tetap tutup mulut. "Apa seseorang mengancamu?" tanya Kinanti terus memancing Rumana supaya mau bicara.Jawaban Rumana hanya berupa gelengan. Tapi, kenapa dia bungkam?Rumana masih syok dengan semua kenyataan pahit yang dia terima dari mulut Galuh. Entah kenyataan itu benar atau hanya untuk mengecohnya agar membenci sang ayah. Semua tragedi naas dalam hidupnya setelah pulang kampung ke Kebumen, dia pikir mungkin ada kaitannya denhan ayah mertua--Rasmadi. Tapi, nyatanya justru Sudikerta lah yang banyak andil di dalamnya tanpa dia duga sebelumnya.Dia kenal Abah orang yang rajin beribadah, taat menjalankan perintah Allah, tapi kenapa justru masa lalunya seburuk itu hingga berimbas pada keluarganya. Rumana masih tak terima dan mungkin akan menganggap ucapan buruk Galuh tentang Sudikerta hany

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status