Hawa dingin yang menusuk menyadarkan Marcel dari pingsan. “Ini di mana?”
Marcel melotot saat menyadari ada rantai yang mengikat tangan dan kakinya. Belum lagi kondisi tubuhnya yang tanpa busana.“Sudah sadar?” tanya suara maskulin yang terdengar begitu jauh.Mata Marcel menyipit agar bisa melihat wajah lawan bicaranya. Namun, sia-sia karena terlalu gelap.Suara alas kaki beradu dengan lantai terdengar menggema, Marcel curiga kalau dia disekap di gudang yang jauh dari pemungkiman. Namun, rupanya orang itu tidak berjalan mendekat, hanya berpindah tempat beberapa langkah saja.“Di mana kamu, itu tidak penting. Aku dengar kamu menggunakan Bianca sebagai alat tukar bisnis, padahal wanita itu adalah pacarmu?” Suara itu terdengar lagi.“Cih! Wanita itu hanyalah seorang pelacur, yang bisa dengan mudah berpaling ke pelukan pria lain,” bantah Marcel dengan nada jijik.“Dan kamu memilih untuk percaya dengan halusinasimu itu?" sahut*Happy Reading*"Mak?""Hm ....""Tahu, gak? Kemaren emaknya karyawan Nur di toko. Tiba-tiba kena bisul gede banget diujung mata, loh. Katanya sih, gara-gara suka ngintipin sama nguping pembicaraan orang."Mak Kanjeng pun langsung mendelik galak, pada anak bungsunya yang baru saja menyindir dengan terang terangan. "Lo nyumpahin, gua?" salaknya tak terima. "Kagak, sih. Ngasih tahu doang," sahut Nur dengan polos. "Tapi ... semisal emak kesinggung sih, Alhamdulilah. Itu berarti emak masih punya kemaluan."Pletak!Sejurus kemudian. Jitakan maut Mak kanjeng pun melayang cepat ke arah kepala Nur. Membuat yang punya kepala mengaduh kesakitan. "Anak durhaka emang lo! Sekate-kate kalau ngatain gue. Heh! Kalau gue gak punya kemaluan. Lo sama si Al brojol dari mana?!" tukas Mak Kanjeng sengit. "Bukan itu maksud Nur, ih!" Nur membantah seraya mengusap-usap kepalanya yang terasa nyeri akibat jitakan Mak
“Yuhu, Ladies. Apa kalian tidak bisa menghentikannya sejenak? Aku bahkan belum berkesempatan mengenalkan anak-anakku padanya. Kenapa kalian menyerobot giliranku?” Ucapan santai dari wanita kelima membuat wanita yang lain menghentikan kegiatan mereka.Dengan perlahan mereka mundur, sambil merapikan tatanan rambut yang berantakan, akibat terlalu bersemangat melampiaskan emosi."Siapa? Siapa kalian sebenarnya? Kenapa mau repot-repot membalaskan dendam Bianca? Dibayar berapa kalian oleh Bianca? Aku bisa melipat gandakannya untuk kalian." Akhirnya Marcel bisa menyuarakan benaknya, seraya mencoba bernegosiasi dengan wanita-wanita syco yang ada di tempat itu. Bukannya tertarik dengan tawaran Marcel, keenam wanita itu malah tergelak renyah dengan nada merendahkan tawaran Marcel barusan."Kamu kira kami begini hanya sekedar untuk uang saja, Sayang?" Wanita keempat menjawab, sambil melipat tangannya di bawah dada dengan gaya angkuh. "Tidak, Sayang. Bukan h
*Happy Reading*Lolongan demi lolongan memilukan pun terdengar setelahnya dari mulut Marcel. Dengan aroma darah yang semakin kental, seiring banyaknya luka pada tubuh pria itu. Reyn tersenyum puas melihatnya. Memejamkan mata dan menghirup aroma kehancuran dengan senang sekali. Bukankah lolongan itu terdengar merdu. Sangat menentramkan hati, dan menenangkan. Ugh ... cobalah hidu aroma darah ini. Sangat menyegarkan dan membuat gelora semakin naik. Astaga! Reyn suka sekali. Tidak ada yang lebih menyenangkan dari semua kehancuran ini. "Bos, apa kau tidak ingin ambil bagian dari kesenangan ini?" Sebuah suara menyita atensi Reyn yang tengah terlarut menikmati aroma darah yang menguar dalam ruangan itu. Netra hijau itu pun terbuka perlahan, dengan senyum yang belum luntur dari birainya. Lelaki itu lalu melirik pria yang sudah tak berdaya di tempatnya, dengan beberapa bagian tubuh yang sudah tidak pada tempatnya. Meski beg
*Happy Reading*"Mas Bos.""Hm ....""Aika jadi pengen ketemu Mama Desi, deh," ucap Aika tiba-tiba, saat menunggu di luar ruangan Bianca. Memberi waktu pad Alvaro dan Bianca untuk bicara berdua. Setelah dokter yang memeriksa Bianca berlalu pergi."Bukankah tadi pagi sudah ketemu? Belum puas?" tanya Kairo heran. "Ck, Mas Bos mah gak peka!" Lah? Kairo pun makin heran saat setelahnya, Aika malah berdecak kesal dan merajuk. Salah Kairo di mana? Bukankah jawabannya benar adanya? Kenapa malah marah? Ada apa sebenarnya dengan istrinya ini? Aneh!Ah, lupa. Kalau gak aneh, justru bukan Aika namanya. "Iya, maaf. Saya memang kurang peka. Makanya jelasin dong, biar saya ngerti." Demi kemaslahat bersama, Kairo pun memilih mengalah. Lagi.Bukannya menjelaskan, Aika malah menghela napas kasar, sebelum akhirnya melingkarkan tangan pada Kairo, dan merebahkan kepalanya dengan nyaman di pundak sang suami.
"Sorry, Al. Saya tidak tahu kalau Emak kamu akan menerobos seperti ini."Akhirnya Alvaro pun berhasil menguasai keterkejutan yang sempat hadir. Setelah mendengar suara Bos-nya yang kemudian menyusul di belakang tubuh Mak Kanjeng dengan tergesa. Memijat keningnya sejenak, Alvaro lalu mengalihkan tatapan pada sang ibu yang lancang menerobos masuk.“Mak!” Niat Alvaro ingin menegur ibunya dengan suara tegas.Namun, alih-alih bisa mengomeli sang ibu. Nyalinya malah seketika ciut, saat melihat emaknya memutar tubuh hingga menghadapnya. Tatapan membunuh sudah ditujukan kepada dirinya.Tak sampai di sana. Tanpa aba-aba, Emak Kanjeng menghampiri Alvaro, kemudian menamparnya cukup keras. Membuat Alvaro membeku. Rasa sakit kemudian menjalar di pipi. Meski dia aku, tidak sebanding dengan pedih yang ada di hatinya.“Tante!” Kali ini gantian Bianca yang protes.“Ngapa lo? Gak suka sama tindakan Emak?" tukas Mak Kanjeng lebih galak. M
"Akhirnya dia tidur juga." Desah panjang terdengar dari Mak Kanjeng, setelah melihat Bianca tertidur dengan pulas. Aneh sebenarnya. Soalnya sedari tadi Mak sudah berusaha membuat Bianca terlelap dengan menceritakan tentang perjuangan Indonesia mengusir penjajah. Namun, suara Mak Kanjeng yang berapi-api rupanya tidak memberikan efek ngantuk pada gadis itu.Mak Kanjeng jadi merasa seperti tukang obat yang sedang gelar lapak, dan mengoceh sepanjang jalan kenangan. Laku, kagak. Haus, iya.Kemudian Mak Kanjeng pun beralih dengan menepuk pantat Bianca dengan lembut. Berharap dengan perlakuannya itu, Bianca merasa seperti bayi dan langsung terlelap. Sayangnya, wanita itu malah beringsut menjauh dengan wajah ketakutan. Seperti akan Mak Kanjeng ajak ena-ena. Ah, mungkin itu yang di namanykan trauma.Akhirnya, Mak kanjeng menyerah berusaha. Saat itulah Bianca malah jatuh tertidur seenaknya."Cakep bener nih bocah. Idungnya mancung kek p
*Happy Reading*Saat Bianca mengkhawatirkan sikap Mak Kanjeng kedepannya setelah tahu aib dirinya. Yang Bianca tidak tahu, bahwasanya sebenarnya Mak Kanjeng sudah mengetahui semua hal yang menimpa Bianca. Dari mana Mak Kanjeng tahu? Tentu saja dari saat cosplay jadi cicak-cicak di dinding. Eh, maksudnya, dari mencuri dengar saat Alvaro dan Kairo berbicara tempo hari. Ingat kan?Nah, karena itulah, sebenarnya tidak ada yang harus Bianca khawatirkan lagi dari Mak Kanjeng. Karena Mak Kanjeng sudah menerimanya apa adanya. "Makan yang banyak, Neng. Biar cepet sembuh. Nanti Emak kawinin sama si Al," titah Mak Kanjeng. Seraya menyuapkan sesendok penuh bubur ke dalam mulut Bianca. Mmbuat gadis itu hampir tersedak. Buset. Ini Mak Kanjeng niat nyuapin atau bunuh, sih? Nyuapinnya ekstrem banget!"Aduh, Mak. Pelan-pelan, dong. Mulut Bianca kan masih sakit," keluh Bianca akhirnya. Memegangi rahang yang memang masih terasa ngilu j
*Happy Reading*“Tenang saja, Bro. Aku nggak akan rebut Bianca dari kamu.” Spontan Aaron melepas tangan pada Bianca, dan perlahan-lahan menjauh.“Aku hanya ingin mendampingi Bianca, seperti yang sudah dilakukannya pada Aika. Kamu tahu betapa sayangnya aku dengan Aika. Jadi, aku juga menganggap teman baiknya sebagai adik sendiri.”"Aika?" beo Mak Kanjeng seakan menyadari sesuatu. "Aika? Aika? Aika?" Selanjutnya, wanita paruh baya itu menyebutkan nama Aika berkali-kali, seakan merapalkan doa sambil mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari.Tak ayal, kelakuan Mak Kanjeng pun mengundang kerutan dalam pada kening Mama Desi, Aaron, dan Bianca. "Kalau gak salah, itu nama cewek yang lo taksir dulu, kan, Al?"Degh!Jantung Bianca seketika bertalu cepat mendengar ceplosan Mak Kanjeng barusan. Pun Mama Desi, khususnya Alvaro yang memilih segera masuk ke dalam ruangan. "Mak?" Alvaro bahkan memperingatkan Emaknya, seraya melirik khawatir pada Bianca yang rona wajahnya berubah sendu seketika."Jadi b