*Happy reading*
"Sial! Sial! Sial!"
Alvaro menepikan mobil ketika sudah di tempat sepi. Semua agar dia bisa melampiaskan kekesalannya, pada stir mobil yang tidak bersalah. Andaikan stir itu adalah lengan manusia, sekarang pasti sudah terlihat bekas cengkeraman Alvaro di sana.
"Sial!"
Sekali lagi, Alvaro memaki sendiri, mengeluarkan perasaan tak nyamannya terhadap pemandangan yang tak sengaja dilihat tadi.
Sekalipun dia berulang kali menekankan dalam hati. Jika itu bukanlah urusannya. Tetap saja, bayangan Bianca ditampar pacarnya benar-benar mengganggunya sekali.
Dia merasa ... apa, ya? Iba, mungkin. Tapi lebih ke ... entahlah, Alvaro tak bisa menggambarkan dengan detail apa yang dia rasakan saat ini.
Pokoknya rasanya ingin marah saja. Pada siapa? Entah. Alvaro tidak tahu.
Setelah menenangkan diri selama beberapa menit, cowok itu pun kembali melajukan mobil. Menuju jalan pulang.
Namun, rupanya keadaan damai itu tidak berlangsung lama. Karena Sepanjang jalan, Alvaro tidak berhenti memikirkan keadaan Bianca.
Semoga Bianca tidak apa-apa.
"Pokoknya Nur gak mau!"
Alvaro mendesah pelan, saat baru saja turun dari mobilnya. Sudah di sambut seruan cempreng dari dalam rumahnya.
Seruan adik semata wayangnya tepatnya, yang pastinya kembali bersitegang dengan ibunya.
Bukan bertengkar, lebih ke berdebat saja gak jelas. Tetapi karena mereka orang betawi. Jadi intonasi nadanya malah seperti bertengkar setiap hari. Padahal, ya ... memang begitulah adik dan emaknya. Selalu rame.
"Lah, lo mau yang kek mana lagi, Nur! Ntu si Dharma udah paling cucok buat lo!"
"Ya tapi gak penjual gorengan juga, Emak! Kek Nur gak laku aja!"
Alvaro mengulas senyum tipisnya, mendengar sekilas perdebatan keluarganya kali ini.
Pasti, Emak memaksa Nur nikah lagi. Entahlah, Emak memang ngebet banget punya mantu, dan terus saja mencoba memaksa Nur cepat nikah.
Padahal, adiknya itu baru lulus kuliah dan sedang merintis karirnya. Tapi Emak memaksanya menikah, seakan dia akan menjadi perawan tua sebentar lagi.
Konyol sekali.
Untuk alasan emaknya sendiri, kenapa ngebet punya mantu? Alvaro tidak tahu.
"Ya, enggak papa kali, Nur. Penting--"
"Assalamualaikum ...."
Omelan Emak pun langsung terhenti, dengan salam dari Alvaro.
"Waalaikumsalam. Udah balik lo, Al?" balas Emak, saat melihat keberadaannya.
"Nah, kebetulan. Tuh Abang aja yang suruh nikah cepetan, Mak. Udah mapan dan cukup umur juga, kan? Nur nanti-nanti aja."
Pletak!
Alvaro langsung meringis tanpa sadar. Saat melihat kepala Nur di jitak emak dengan gemas.
"Jangan cari kambing item lo, Nur. Udah langka. Yang putih aja bejibun." jawab Emak tidak sinkron. Sukses membuat bibir Nur maju lima centi.
"Lagian Al itu cowok, Nur. Wajar kalau telat nikah juga. Biar dia ngejar karir dulu sampe sukses. Supaya anak bininya gak kelaparan ntar."
Sebenarnya, Emak mengucapkan itu dengan nada riang, dan nyamblak seperti biasanya. Namun entah kenapa? Al selalu menangkap kesedihan dari ucapannya barusan.
Tentu saja, dibalik sikap nyablak Emak. dulu beliau selalu berpura-pura bahagia di hadapan anak-anaknya. Menyembunyikan luka yang ditimbulkan oleh mantan suami agar anak-anaknya tetap merasa bahagia.
Beruntung, saat itu Alvaro memergoki tindakan brutal bapaknya, dan berhasil menahan vas bunga yang hendak dihantamkan ke kepala ibunya. Kalau tidak, entah bagaimana nasibnya dan Nur saat ini.
Akhirnya, Alvaro pun menghajar dan mengancam bapaknya, hingga pria benalu itu pergi dari rumah.
Tindakannya itu membuat Emak sadar, kalau memang tidak baik terus bertahan dalam kondisi rumah tangga yang rusak. Beliau memutuskan untuk bercerai, demi kebaikan Alvaro dan Nur.
"Ck, apa lagi sih, yang Bang Al cari? Orang udah mapan gitu, kok. Udah bener-bener pas banget buat segera nikah," cebik Nur tak terima.
"Nikah mah urusan Al, lah. Ngapa jadi lo yang ribet. Kurang kerjaan idup lo, sampe masalah orang lo urusin."
"Ih, yang duluan ribetin urusan orang sapa?"
"Ya--"
"Mak, Al laper. Makanan udah siap belum?"
Alvaro pun buka suara. Sebelum perdebatan Emak dan Nur makin melebar kemana-mana.
"Udah, nih. Buru ganti baju sono! Abis itu cuci tangan, terus balik sini lagi," titah Emak kemudian.
"Iya, Mak. Nur? Ikut Abang sini. Abang mau ngomong," jawab Al, sekaligus meminta adiknya mengikutinya.
Bukan apa-apa. Al cuma takut, jika Emak ditinggal berdua dengan Nur saat ini. Mereka pasti bertengkar lagi.
"Apa? Abang gak mau maksa Nur nikah juga, kan?" tanya Nur penuh curiga.
"Enggak, Nur. Abang mana pernah kaya gitu."
"Lha, terus?"
"Udah ikut aja. Katanya mau buka usaha sendiri? Nih Abang udah ada info tempat usaha bagus," pancing Al sengaja. Membuat Nur langsung tersenyum lebar, hingga mau mengekori Abang satu-satunya itu.
Namuh, Al tidak sedang membual, kok. Karena dia memang jujur, ingin membantu Nur dalam mewujudkan mimpinya itu.
Tentu saja, Nur adalah adik satu-satunya. Apapun akan Al lakukan untuk kebahagiaan Nur. Termasuk membantunya mewujudkan mimpinya.
"Nah, bagus itu. Buruan punya usaha sendiri dah, lo. Emak juga udah empet banget liat lo leyeh-leyeh di rumah," sahut Emak. Membuat Nur mencebik kesal.
"Jangan lupa sekalian cari mantu buat Emak, kalau udah kerja, ya?"
Bibir Nur pun makin maju dengan seruan Emak barusan.
*Happy reading*"Selamat pagi, Pak," sapa Bianca yang terus menunduk ketika memasuki lift.Cewek itu masuk dari lobi, sedangkan Alvaro sudah naik dari basement. Mereka berdua tidak saling berbicara karena keadaan lift yang hampir penuh. Bianca segera turun ketika sudah sampai di lantai tempatnya bekerja.Bahunya bergerak naik perlahan kemudian turun dengan perlahan. Sebisa mungkin dia harus menghindari Alvaro. Ada dua alasan utama yang coba ditanamkan lekat-lekat ke pikiran. Yang pertama karena pacarnya cemburu buta, yang kedua karena perlahan-lahan perhatiannya mulai teralihkan pada Alvaro.Bianca berharap kalau Alvaro tidak menyaksikan apa yang sudah dilakukan pacarnya. Beruntung ada supir taxi yang menengahi, hingga cowoknya tidak jadi menyingkap jas yang terika
Babang 9*Happy Reading*"Sayang, makasih ya, buat hadiahnya. Aku suka banget."Entah sudah berapa kali Bianca mengucapkan kalimat itu, sambil terus menatap benda melingkar yang berkilau di lengannya.Senyumnya tak bisa luntur, tiap kali mengingat perlakuan manis Marcel, yang sangat jarang dia dapatkan.Bukan jarang sebenarnya, tapi lebih ke ... mahal.Ya. Mahal sekali. Karena perlakuan Marcel harus selalu di tukar kesakitannya."Iya, Sayang. Aku juga minta maaf buat kejadian kemarin, ya?" balas Marcel sambil mengusap rambut Bianca dengan lembut."Iya, gak papa kok. Aku ngerti."Bianca hanya tersenyum tipis, saat diingatkan kejadian yang sering terjadi dalam hubungan mereka.Saking seringnya, Bianca kini malah jadi terbiasa.Terbiasa disakiti, dan terbiasa dengan sikap Marcel yang seperti musim pancaroba. Bisa berganti hanya dalam hitungan detik."Habis ini mau kemana lagi, Sayang? Aku turuti. Mumpung
Babang 10*Happy Reading* "Eh, bener juga apa yang lo kata, ya?" gumam si Tante Betawi itu mengaminkan. "Ya, udah. Gue--" "Saya nggak jadi beli, deh. Biar Tante ini saja yang beli. Saya mau cari jas lain yang lebih baik," ucap wanita muda memotong ucapan Tante Betawi, sambil meninggalkan toko begitu saja. "Lah? Keduluan gue." Wanita tua itu melongo seketika. Lain hal Tante Betawi yang melongo, Bianca malah tersenyum penuh kemenangan melihat kejadian tadi. Karena itu berarti, saingannya dalam memperebutkan jas ini berkurang sudah. "Nah, Tante--" Ddrrttt ... ddrrtt ... dddrrtt .... Baru saja Bianca mau angkat bicara, ponselnya sudah berdering nyaring, dengan nama Marcel di layar depannya. Ck, ganggu aja! "Ya, udah ya, Tan. Saya duluan." Tahu akan watak pacarnya, Bianca pun buru-buru mengangkat panggilan Marcel, agar pria pemarah itu tidak ngamuk lagi. "Oh, iya. Maaf, Tan. Saya bohong soal kualit
*Happy Reading*Menyadari kehadiran Marcel. Bianca pun segera menjauhkan diri dari Alvaro, dan bergegas masuk ke mobil pacarnya, tanpa repot-repot berpamitan pada pria yang sebenarnya masih termasuk atasannya itu.Persetan dengan status Alvaro. Saat ini, Bianca lebih ketakutan pada tatapan nyalang Marcel, yang terus menatapnya dan Alvaro.Aduh! Mampus ini, mah! Marcel bisa salah paham lagi, dan ....Akh!Baru juga Bianca mendaratkan pantat di kursi samping kemudi, tangan Marcel sudah dengan cepat menjambak rambut Bianca kasar."Dasar jalang! Siapa lagi ya lo godain sekarang?" desis Marcel dengan suara dalam, membuat kuduk Bianca langsung meremang karena ketakutan."Yang, ka-kamu salah paham, Yang. I-itu tadi ... Bos aku. Dia--""Owh ... Bos elo. Pintar ya sekarang cari mangsanya?"Bianca sontak menelan salivanya kelat, saat melihat senyum miring Marcel."Bu-bukan begitu, Yang. Ak-aku dan dia gak ada hubungan
Babang 12*Happy Reading*"Hentikan!"Tiba-tiba saja Bianca menyusup di antara keduanya. Alvaro menyeringai ketika Bianca berdiri membelakanginya dengan kedua tangan terentang.Tak ayal, mata Marcel pun langsung menyalang ke arah keduanya. "Kamu membelanya, Bi?"Takut-takut, Bianca menurunkan kedua tangannya saat mendengar gelegar suara Marcel barusan, kemudian menoleh ragu-ragu ke belakang. Tubuhnya pun mulai gemetaran.Alvaro maju hingga tubuhnya menjulang di depan Bianca untuk menutupi pandangan Marcel. Namun, sebuah tinju menghantam perutnya saat belum sepenuhnya siap. Hingga Alvaro terbungkuk sambil menahan sakit.Tidak hanya sekali, tapi berkali-kali Marcel melayangkan tinjunya. Tidak peduli Alvaro siap atau tidak, bisa atau tidak membalas. Marcel terus saja melayangkan pukulannya, seperti kesetanan.Bianca hanya bisa berteriak-teriak di tempatnya melihat hal itu. Dia ingin menolong, tapi tidak bisa. Tenaganya kalah telak p
"Halo," ucap Alvaro dengan senyum mengembang setelah menepikan mobil.Suara ramah yang dipadukan senyum manis membuat Bianca nyaris meneteskan air liur. Sungguh merupakan perpaduan maut yang bisa membuat cewek-cewek jatuh hati.Sayang pria ini terlalu pelit memperlihatkannya pada publik."Enggak, kok. Ini cuma mau mampir ke apartemen dulu, setelah itu Al meluncur ke situ."Bianca sekuat mungkin menahan diri untuk tidak menoleh ke arah Alvaro. Saat suara lembut itu terdengar rungunya.Meski sebenarnya dia sangat kepo sekali pada orang yang menelpon Alvaro, hingga mampu membuat cowok jutek ini berubah jadi seperti kucing manis seperti itu.Pasti pacarnya, gak salah lagi!
Bab 14*Happy Reading* Di sisi lain, Alvaro juga sudah memasuki lift. Langsung bersandar di dinding dinginnya. Alvaro memejamkan mata erat seraya meredakan debaran jantung yang seperti deburan ombak, kencang menghantam. Sialan! Gue kenapa, sih? Kenapa tadi itu …. "Argh .... Ingat, Al! Dia itu sahabatnya istri bos kamu, Aika. Kamu harus menjaganya. Bukan mengencaninya." Alvaro menggeram kesal setelahnya, sebelum menyugar rambut dengan kasar. Ini gila! Alvaro merasa mulai tak mengenali dirinya sendiri. Dia pun bergegas pergi saat pintu lift sudah sampai tujuannya, agar tidak berubah pikiran dan malah kembali masuk ke apartemen. Tidak boleh, Al. Dia bukan tipemu!' Batinnya kembali memperingatkan. Setengah jam kemudian, Alvaro baru sadar kalau sudah berhenti di depan rumah. Tuhan, Jadi, dari tadi dia nyetir sambil melamun? Alvaro meletakkan kepala di atas setir mobil. Menutup mata sejenak dan mengatur
*Happy Reading* Paginya, Bianca terbangun dengan perasaan lebih ringan. Otaknya terasa segar karena tidur yang nyenyak semalaman. Bahkan, sebenarnya untuk bangun pagi ini pun. Bianca malas sekali. Toh, dia juga sudah mendapat izin cuti kan? Jadi, bermalas-malasan sejenak rasanya tidak masalah. Betul! Bianca sudah berniat akan bermalasan seharian hari ini. Memanjakan diri dan berusaha tidak memikirkan hari esok. Istilah kerennya me time, gaes! Karena itulah, meski sebenarnya masih ingin bergumul di atas kasur. Bianca harus memaksakan bangun untuk bersiap pergi ke salon, karena ingin memulai hidup yang baru dengan penampilan yang baru pula. Kan, dia juga harus mencari mangsa baru. Jadi upgrade penampilan itu hukumnya wajib untuk Bianca saat ini. Mengingat hal itu, Bianca pun meregangkan tubuh dengan puas. Kemudian Berguling ke samping, mengangkat pantat sedikit tinggi dan .... Duuutttttt ...